Meskipun Indonesia banyak dinilai berhasil menanggulangi terorisme, namun hingga saat ini, ancaman terkait masih ada. Mungkin bentuknya tidak lagi berupa aksi pengeboman semata, melainkan telah menjelma menjadi propaganda masif mengenai paham-paham ekstremis yang menyesatkan.

Saya pernah membaca berita mengenai penjelasan terkait oleh pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang saya lupa namanya. Pejabat ini berujar bahwa ancaman terorisme tidak berarti muncul di wilayah-wilayah tertentu sama (seperti Jakarta dan Bali), melainkan lebih besar jangkauannya. Menurutnya, dugaan tersebut berasal dari pengamalan dan catatan mengenai perkembangan isu terorisme di tanah air dari tahun ke tahun.

Terlebih, masih menurutnya, dengan kemunculan kelompok-kelompok ekstremis baru seperti ISIS, membuat dugaan tersebut berubah menjadi kewaspadaan. Oleh karena itu, BNPT bekerja sama dengan pihak-pihak terkait lainnya, berupaya untuk terus menghancurkan seluruh jaringan teroris di tanah air dengan berbagai cara, baik melalui tindakan hukum maupun kampanye sosial anti terorisme.

BNPT tidak akan melakukan upaya penghancuran terorisme tersebut dengan terus-terusan menghantam, seperti melakukan penyerbuan dan penahanan berdasar hukum, dikarenakan hal tersebut berpotensi meningkatkan jiwa miltan mereka (pelaku aksi terorisme). Untuk itu, BNPT pun melakukan berbagai program penanggulangan terorisme, seperti pencegahan, deradikalisasi, dan kontra radikalisasi.

Program pencegahan yang dilakukan adalah dengan melaksanakan kampanye masif di media publik mengenai bahaya terorisme. Adapun mengenai deradikalisasi dilakukan dengan cara mendekati ulama, kaum muda, dan masyarakat umum untuk kemudian diberikan wawasan mengenai bahaya terorisme, sehingga kemudian dapat dirangkul bersama untuk melawannya. Sedangkan kontra radikalisasi adalah upaya penyadaran kepada pelaku dan simpatisan terorisme melalui jalan pembinaan sosial.

Mengenai poin terakhir yang disebut di atas, saya setuju. Menurut saya, para pelaku dan simpatisan terorisme yang ketahuan oleh publik sebaiknya tidak dicap negatif, apalagi dijauhi. Sebagai saudara sebangsa dan setanah air, seharusnya kita merangkul mereka untuk lepas dari pengaruh sesat tersebut. Apalagi jika mereka telah bertobat, sebaiknya kita lapang dada menerima mereka dan kemudian merangkulnya untuk kembali membangun harapan hidup yang lebih baik di bawah naungan Negara Republik Indonesia (NKRI).

Bagaimanapun juga kita tidak dapat menutup mata bahwa sebagian besar pelaku dan simpatisan terorisme berasal dari mereka-mereka yang merasa termarjinalkan oleh lingkungannya. Perasaan marjinal tersebut membuat mereka menjadi berpikiran sempit dan mudah terpengaruh oleh hasutan-hasutan sesat seperti terorisme.

Hasutan-hasutan tersebut seringkali mampu membangkitkan eksistensi mereka, sehingga mereka pun merasa diakui, di mana kemudian berubah menjadi keyakinan bahwa jalan yang mereka pilih (terorisme) adalah benar. Namun jika kita dan pemerintah mampu menghindarkan perasaan marjinal mereka, yakni melalui sikap toleransi dan saling menghargai, maka mereka (bahkan juga kita) akan terhindar dari ancaman propaganda terorisme.

Oleh karena itu, mari kita mulai bersikap saling toleransi, tenggang rasa, dan menghargai satu sama lain demi menghindarkan perasaan termarjinal yang kemudian akan berisiko memicu jalan masuk propaganda sesat terorisme. Mari terus bersama jaga kesatuan dan persatuan Indonesia!