- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
cerita dari desa sukadia 1


TS
sukevin
cerita dari desa sukadia 1
Sore hari mulai memerahkan warna langit desa Sukadia ketika dua pemuda desa, Jaja dan Bolet, menikmati sungai desa yang masih asri dan airnya yang bening.
Dua pemuda yang berprofesi sebagai pembobol rumah kosong ini masih betah bersantai di areal sungai sukadia. Mereka menikmati pemandangan sungai dengan duduk atas bale bambu dan ditemani beberapa botol minuman beralkohol.
Bolet, yang tampak lebih muda, masih sibuk dengan botol yang ada gambar badaknya. Sesekali ia meneguk bir sambil menerawang ke arah langit, barisan burung gereja melintasi langit sungai untuk pulang menarik perhatiannya.
Bolet terlihat girang, ketika melihat sepasang burung gereja yang terbang hanya berduaan. Sejoli, pikir Bolet.
“Ciyee...Liat Bang, mengagumkan. Burungnya pacaran di udara!” seru Bolet menunjuk ke atas mengajak Jaja ikut melihat langit.
Jaja melirik sinis Bolet, “Mabok lo berlebihan, Let!”
Jaja ikut mendongak, tapi fokus pandangan Jaja tidak pada kumpulan burung yang makin intens melintas, tapi pada langit yang sudah mulai jauh dari cerah. Jaja merasa sudah waktunya untuk mengakhiri aktifitas haram mereka.
“Let, botolnya beresin. Gue takut ada yang datang kesini.”
“Takut ada yang datang? Maksud abang?” tanya Bolet bingung.
Jaja justru bertanya balik dengan ketidaktahuan Bolet, perihal cerita orang desa tentang si Putih. Gadis hantu yang kerap mendatangi sungai, tempat mereka melakukan ritual minum saat ini.
“Gimana lo, cerita desa sendiri gak tau?”
“Si Putih… Si Putih…?” Bolet coba mengingat-ingat.
“Kayaknya aku pernah liat sekali, Bang. Kalo gak salah waktu sore-sore aku lewat puskesmas desa.” Bolet sepertinya punya satu cerita tentang Si Putih. Jaja menyimak.
“Waktu itu, aku lihat sekilas bayangan putih lewat belakang puskesmas desa. Rambutnya panjang, serem banget, Bang. Trus dia kabur waktu dikejar mahluk berkaki empat, dan mengeluarkan suara gukguk gukguk dari mulutnya. Dia larinya cepat banget, Bang.”
“Lo liat bayangan Si Putih. Apa lihat Bu bidan dikejar anjing?”
“Ehh lain, ya?”
“Gakguk gakguk berkaki empat? Gak jelas banget!”
“Maklum Bang, kan aku gak menekuni bidang perhantuan.”
Dituduh menekuni bidang perhantuan, Jaja kepalang tanggung untuk bercerita lebih lanjut. Tentang penampakan Si Putih di sekitaran tanah pemakaman dan sungai desa. Ada juga orang desa yang pernah melihat penampakan si Putih di rumah Bibi penjaga pemakaman.
“Rumah Bibi penjaga pemakaman, Bang?”
“Iya, konon si Bibi penjaga pemakaman ini yang menolong disaat menjelang kematian Putih. Hubungan batin mereka jadi dekat.” Jaja menambahkan, menurut cerita yang beredar, Si Putih hanya hantu penasaran yang masih merindukan kekasihnya. Dan Putih jarang menampakkan diri untuk mengganggu atau menakuti orang desa.
“Putih pemalu, tapi romantis ya, Bang.” potong Bolet.
“Romantis gimana? Mau gue kenalin?”
“Gak usah Bang, ntar ngerepotin." Bolet menolak halus tawaran Jaja, tawaran yang terdengar manis tapi berujung horor.
Jaja melihat langit yang mulai berangsur gelap, “Selain muncul di pemakaman desa, kata orang-orang si Putih juga sering ke sungai ini. Makanya gue ngajak bubaran sebelum Putih datang ke sini.”
“Datang ke sini?”
Bolet telat sadar. Dengan cekatan Bolet membereskan botol-botol di atas bale dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.
“Ayo balik, Bang. Aku lupa belum ngasih makan ayamku.” ajak Bolet.
“Gue kagak tau lo piara ayam?!”
“Emang nggak, Bang. Ini rencananya mau beli dulu. Ayo Bang, kita beli ayam.” dengan cerdas Bolet membelokkan ajakannya.
“Katanya romantis… Ayam?”
Bolet tidak menghiraukan sindiran Jaja. Ia langsung menjauhi bale bambu dan menuju ke atas lereng, dataran yang lebih tinggi dari area sungai. Bolet menunggu langkah lambat Jaja dengan duduk di atas motor.
Beberapa jarak meninggalkan sungai dan areal pemakaman setelahnya, motor dua pemuda ini mulai melintasi rumah Bibi penjaga makam yang berhadapan dengan rumah bekas keluarga si Putih.
Setelah tanah lapang, motor melewati sebuah rumah sederhana milik Ari, pemuda yang konon disukai si Putih.
Kemudian motor keluar dari gang makam dan mulai melintasi jalan beraspal. Jalan utama desa Sukadia.
“Rumah di gang makam cuma tiga, Bang? Sepi banget…” kata Bolet, menyempatkan menengok ke belakang memandangi gang makam.
“Lagian, siapa yang mau rumahnya dekat pemakaman!”
“Iya juga ya, suasananya kayak kuburan.”
“…?”
Beruntung, dua pemuda figuran ini dengan selamat meninggalkan gang makam, gang dimana kabar si Putih sering beredar. Jika saja mereka bertemu dengan si Putih, besar kemungkinan Si Putih akan bertemu dengan mereka.
Sori masih amatir!! Ditunggu ya the next chapters!
Dua pemuda yang berprofesi sebagai pembobol rumah kosong ini masih betah bersantai di areal sungai sukadia. Mereka menikmati pemandangan sungai dengan duduk atas bale bambu dan ditemani beberapa botol minuman beralkohol.
Bolet, yang tampak lebih muda, masih sibuk dengan botol yang ada gambar badaknya. Sesekali ia meneguk bir sambil menerawang ke arah langit, barisan burung gereja melintasi langit sungai untuk pulang menarik perhatiannya.
Bolet terlihat girang, ketika melihat sepasang burung gereja yang terbang hanya berduaan. Sejoli, pikir Bolet.
“Ciyee...Liat Bang, mengagumkan. Burungnya pacaran di udara!” seru Bolet menunjuk ke atas mengajak Jaja ikut melihat langit.
Jaja melirik sinis Bolet, “Mabok lo berlebihan, Let!”
Jaja ikut mendongak, tapi fokus pandangan Jaja tidak pada kumpulan burung yang makin intens melintas, tapi pada langit yang sudah mulai jauh dari cerah. Jaja merasa sudah waktunya untuk mengakhiri aktifitas haram mereka.
“Let, botolnya beresin. Gue takut ada yang datang kesini.”
“Takut ada yang datang? Maksud abang?” tanya Bolet bingung.
Jaja justru bertanya balik dengan ketidaktahuan Bolet, perihal cerita orang desa tentang si Putih. Gadis hantu yang kerap mendatangi sungai, tempat mereka melakukan ritual minum saat ini.
“Gimana lo, cerita desa sendiri gak tau?”
“Si Putih… Si Putih…?” Bolet coba mengingat-ingat.
“Kayaknya aku pernah liat sekali, Bang. Kalo gak salah waktu sore-sore aku lewat puskesmas desa.” Bolet sepertinya punya satu cerita tentang Si Putih. Jaja menyimak.
“Waktu itu, aku lihat sekilas bayangan putih lewat belakang puskesmas desa. Rambutnya panjang, serem banget, Bang. Trus dia kabur waktu dikejar mahluk berkaki empat, dan mengeluarkan suara gukguk gukguk dari mulutnya. Dia larinya cepat banget, Bang.”
“Lo liat bayangan Si Putih. Apa lihat Bu bidan dikejar anjing?”
“Ehh lain, ya?”
“Gakguk gakguk berkaki empat? Gak jelas banget!”
“Maklum Bang, kan aku gak menekuni bidang perhantuan.”
Dituduh menekuni bidang perhantuan, Jaja kepalang tanggung untuk bercerita lebih lanjut. Tentang penampakan Si Putih di sekitaran tanah pemakaman dan sungai desa. Ada juga orang desa yang pernah melihat penampakan si Putih di rumah Bibi penjaga pemakaman.
“Rumah Bibi penjaga pemakaman, Bang?”
“Iya, konon si Bibi penjaga pemakaman ini yang menolong disaat menjelang kematian Putih. Hubungan batin mereka jadi dekat.” Jaja menambahkan, menurut cerita yang beredar, Si Putih hanya hantu penasaran yang masih merindukan kekasihnya. Dan Putih jarang menampakkan diri untuk mengganggu atau menakuti orang desa.
“Putih pemalu, tapi romantis ya, Bang.” potong Bolet.
“Romantis gimana? Mau gue kenalin?”
“Gak usah Bang, ntar ngerepotin." Bolet menolak halus tawaran Jaja, tawaran yang terdengar manis tapi berujung horor.
Jaja melihat langit yang mulai berangsur gelap, “Selain muncul di pemakaman desa, kata orang-orang si Putih juga sering ke sungai ini. Makanya gue ngajak bubaran sebelum Putih datang ke sini.”
“Datang ke sini?”
Bolet telat sadar. Dengan cekatan Bolet membereskan botol-botol di atas bale dan memasukkannya ke dalam kantong plastik.
“Ayo balik, Bang. Aku lupa belum ngasih makan ayamku.” ajak Bolet.
“Gue kagak tau lo piara ayam?!”
“Emang nggak, Bang. Ini rencananya mau beli dulu. Ayo Bang, kita beli ayam.” dengan cerdas Bolet membelokkan ajakannya.
“Katanya romantis… Ayam?”
Bolet tidak menghiraukan sindiran Jaja. Ia langsung menjauhi bale bambu dan menuju ke atas lereng, dataran yang lebih tinggi dari area sungai. Bolet menunggu langkah lambat Jaja dengan duduk di atas motor.
Beberapa jarak meninggalkan sungai dan areal pemakaman setelahnya, motor dua pemuda ini mulai melintasi rumah Bibi penjaga makam yang berhadapan dengan rumah bekas keluarga si Putih.
Setelah tanah lapang, motor melewati sebuah rumah sederhana milik Ari, pemuda yang konon disukai si Putih.
Kemudian motor keluar dari gang makam dan mulai melintasi jalan beraspal. Jalan utama desa Sukadia.
“Rumah di gang makam cuma tiga, Bang? Sepi banget…” kata Bolet, menyempatkan menengok ke belakang memandangi gang makam.
“Lagian, siapa yang mau rumahnya dekat pemakaman!”
“Iya juga ya, suasananya kayak kuburan.”
“…?”
Beruntung, dua pemuda figuran ini dengan selamat meninggalkan gang makam, gang dimana kabar si Putih sering beredar. Jika saja mereka bertemu dengan si Putih, besar kemungkinan Si Putih akan bertemu dengan mereka.


Polling
0 suara
lucu gak gan?
Diubah oleh sukevin 08-03-2015 12:25
0
1.7K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan