- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Apakah Indonesia Bakal Rugi Jika Putus Hubungan Bilateral dengan Austarlia & Brazil?


TS
agungtri45
Apakah Indonesia Bakal Rugi Jika Putus Hubungan Bilateral dengan Austarlia & Brazil?
Assalamualikum,,
kali ini ane mau mengulas apakah indonesia rugi jika memutus hubungan bilateral dengan australia dan berazil..
Semoga tidak repost
Cekidotttt
kali ini ane mau mengulas apakah indonesia rugi jika memutus hubungan bilateral dengan australia dan berazil..
Semoga tidak repost
Cekidotttt
Spoiler for Buka:
Mendag: Jika Hubungan Putus, Australia & Brasil Bakal Rugi
Metrotvnews.com, Jakarta: Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Brasil dan Australia akhir-akhir ini sedang mengalami kerenggangan. Pasalnya, pemerintah Indonesia tetap berpegang teguh terhadap hukum dan aturan yang telah ditetapkan dengan memberi hukuman mati terhadap warga kedua negara tersebut karena telah melakukan penyelundupan dan pengedaran narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).
Australia dan Brasil pun tak tinggal diam. Mereka terus berupaya agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui permohonan grasi (pengurangan hukuman) warga mereka yang divonis hukuman mati tersebut. Namun Jokowi tak bergeming, karena menurut dia, pengedaran narkoba di Indonesia telah merusak generasi penerus bangsa.
Hubungan yang renggang ini ditakutkan akan menuju pada pemutusan hubungan bilateral antar negara tersebut. Hal ini akan mempengaruhi semua sektor, utamanya perekonomian.
Saat ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel tengah mengkaji apa yang harus diilakukan Indonesia jika benar terjadi pemutusan hubungan bilateral tersebut. Meskipun begitu, menteri yang berlatarbelakang pengusaha elektronik ini mengungkapkan, perdagangan antara Indonesia dengan Brasil dan Australia tetap berjalan dengan baik.
"Kita bisnis tetap jalan. Tentu kita lihat nantinya, apa yang mereka lakukan kepada Indonesia," ujar Rachmat, saat ditemui usai menghadiri acara Sustainable Business Awards Indonesia, di Hotel Shangri-La, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 1, Jakarta Pusat, Rabu (25/2/2015) malam.
Rachmat menjelaskan, jika pemutusan hubungan bilateral itu benar terjadi antara Indonesia dengan Brasil dan Australia, maka Indonesia tak akan dirugikan. Justru sebaliknya, sebut Rachmat, Brasil dan Australia lah yang akan mengalami kerugian besar. "Saya kira, jika mereka stop, dia sendiri yang akan rugi," yakin Rachmat.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Dirjen PDN) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Nus Nuzulia Ishak, menjelaskan, Indonesia merupakan pasar utama tujuan ekspor kedua negara tersebut. Sehingga jika hubungan tersebut diputuskan, maka yang paling dirugikan adalah Brasil dan Australia itu sendiri.
"Kita tidak usah takut. Kalau masih seperti itu, kita akan cari komoditi dari negara lain untuk mengimpor komoditi yang hilang dari Brazil dan Australia," kata Nus.
Terlihat dari neraca perdagangan, Brasil mendominasi perdagangan ke Indonesia sebesar USD2,55 miliar lebih tinggi daripada ekspor Indonesia ke Brasil yang hanya sebesar USD1,51 miliar pada 2014. Begitu pun dengan Australia. Ekspor dari negeri Kangguru tersebut ke Indonesia mencapai USD5,65 miliar atau lebih tinggi sekitar 12 persen dari ekspor Indonesia ke Australia yang hanya sebesar USD5,03 miliar.
"Jadi, Brasil dan Australia harus hati-hati juga dengan kita. Jika itu terjadi, maka pasar Brasil dan Australia akan berkurang drastis, sedangkan mereka kesulitan untuk mencari pasar potensial seperti di Indonesia," pungkas Nus.
AHL
Metrotvnews.com, Jakarta: Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Brasil dan Australia akhir-akhir ini sedang mengalami kerenggangan. Pasalnya, pemerintah Indonesia tetap berpegang teguh terhadap hukum dan aturan yang telah ditetapkan dengan memberi hukuman mati terhadap warga kedua negara tersebut karena telah melakukan penyelundupan dan pengedaran narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).
Australia dan Brasil pun tak tinggal diam. Mereka terus berupaya agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui permohonan grasi (pengurangan hukuman) warga mereka yang divonis hukuman mati tersebut. Namun Jokowi tak bergeming, karena menurut dia, pengedaran narkoba di Indonesia telah merusak generasi penerus bangsa.
Hubungan yang renggang ini ditakutkan akan menuju pada pemutusan hubungan bilateral antar negara tersebut. Hal ini akan mempengaruhi semua sektor, utamanya perekonomian.
Saat ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel tengah mengkaji apa yang harus diilakukan Indonesia jika benar terjadi pemutusan hubungan bilateral tersebut. Meskipun begitu, menteri yang berlatarbelakang pengusaha elektronik ini mengungkapkan, perdagangan antara Indonesia dengan Brasil dan Australia tetap berjalan dengan baik.
"Kita bisnis tetap jalan. Tentu kita lihat nantinya, apa yang mereka lakukan kepada Indonesia," ujar Rachmat, saat ditemui usai menghadiri acara Sustainable Business Awards Indonesia, di Hotel Shangri-La, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 1, Jakarta Pusat, Rabu (25/2/2015) malam.
Rachmat menjelaskan, jika pemutusan hubungan bilateral itu benar terjadi antara Indonesia dengan Brasil dan Australia, maka Indonesia tak akan dirugikan. Justru sebaliknya, sebut Rachmat, Brasil dan Australia lah yang akan mengalami kerugian besar. "Saya kira, jika mereka stop, dia sendiri yang akan rugi," yakin Rachmat.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Dirjen PDN) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Nus Nuzulia Ishak, menjelaskan, Indonesia merupakan pasar utama tujuan ekspor kedua negara tersebut. Sehingga jika hubungan tersebut diputuskan, maka yang paling dirugikan adalah Brasil dan Australia itu sendiri.
"Kita tidak usah takut. Kalau masih seperti itu, kita akan cari komoditi dari negara lain untuk mengimpor komoditi yang hilang dari Brazil dan Australia," kata Nus.
Terlihat dari neraca perdagangan, Brasil mendominasi perdagangan ke Indonesia sebesar USD2,55 miliar lebih tinggi daripada ekspor Indonesia ke Brasil yang hanya sebesar USD1,51 miliar pada 2014. Begitu pun dengan Australia. Ekspor dari negeri Kangguru tersebut ke Indonesia mencapai USD5,65 miliar atau lebih tinggi sekitar 12 persen dari ekspor Indonesia ke Australia yang hanya sebesar USD5,03 miliar.
"Jadi, Brasil dan Australia harus hati-hati juga dengan kita. Jika itu terjadi, maka pasar Brasil dan Australia akan berkurang drastis, sedangkan mereka kesulitan untuk mencari pasar potensial seperti di Indonesia," pungkas Nus.
AHL
Spoiler for Buka Di sini:
Pakar HI: Eksekusi Mati Tak Akan Rugikan Indonesia Dalam Hubungan Bilateral


Covesia.com - Pakar Hubungan Internasional Universitas Andalas Virtuous Setyaka menilai bentuk reaksi keras yang dilakukan pemerintah Australia terhadap keputusan eksekusi mati warga negaranya tidak akan merugikan Indonesia dalam segi hubungan bilateral dengan negara bersangkutan.
"Hal yang dilakukan Autralia dan sebelumnya Brazil serta Belanda secara kedaulatan merupakan bentuk perlindungan mereka terhadap warganya, dan ini merupakan hal yang biasa terjadi sama hal nya seperti Pemerintah Indonesia yang berusaha melindungi WNI yang mendapat hukum mati," katanya kepada covesia, Kamis (19/2/2015).
Menurut Virtuous meskipun Australia mengungkit-ungkit bantuan mereka pada bencana Tsunami Aceh 2004 silam tidak lebih hanya semacam negoisasi Australia terhadap Pemerintah Indonesia.
Selain itu lulusan S2 UGM ini juga mengatakan mereka (Australia) tidak akan buru-buru mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dengan Indonesia, pasalnya mereka pasti akan mempertimbangkan kerugian segi ekonomi jika memutuskan hubungan dengan Indonesia.
"Hubungan Indonesia dan Australia sudah sangat sering terjadi pasang surut seperti ini. Mereka pasti akan memikirkan segi ekonomi juga dan banyak faktor lainnya, jadi saya yakin tak akan jadi masalah," jelasnya.
Sebelumnya guna membujuk Pemerintah Indonesia agar mengampuni dua warga negaranya, Andrew Chan and Myuran Sukumaran, yang terancam hukuman mati, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, mengungkit soal bantuan kemanusiaan pada 2004 silam.
Menurutnya, Australia juga pernah mengirimkan angkatan bersenjata untuk menolong Indonesia, dan tidak sedikit pula prajurit mereka yang gugur dalam misi bantuan kemanusiaan itu.
"Hal yang dilakukan Autralia dan sebelumnya Brazil serta Belanda secara kedaulatan merupakan bentuk perlindungan mereka terhadap warganya, dan ini merupakan hal yang biasa terjadi sama hal nya seperti Pemerintah Indonesia yang berusaha melindungi WNI yang mendapat hukum mati," katanya kepada covesia, Kamis (19/2/2015).
Menurut Virtuous meskipun Australia mengungkit-ungkit bantuan mereka pada bencana Tsunami Aceh 2004 silam tidak lebih hanya semacam negoisasi Australia terhadap Pemerintah Indonesia.
Selain itu lulusan S2 UGM ini juga mengatakan mereka (Australia) tidak akan buru-buru mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dengan Indonesia, pasalnya mereka pasti akan mempertimbangkan kerugian segi ekonomi jika memutuskan hubungan dengan Indonesia.
"Hubungan Indonesia dan Australia sudah sangat sering terjadi pasang surut seperti ini. Mereka pasti akan memikirkan segi ekonomi juga dan banyak faktor lainnya, jadi saya yakin tak akan jadi masalah," jelasnya.
Sebelumnya guna membujuk Pemerintah Indonesia agar mengampuni dua warga negaranya, Andrew Chan and Myuran Sukumaran, yang terancam hukuman mati, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, mengungkit soal bantuan kemanusiaan pada 2004 silam.
Menurutnya, Australia juga pernah mengirimkan angkatan bersenjata untuk menolong Indonesia, dan tidak sedikit pula prajurit mereka yang gugur dalam misi bantuan kemanusiaan itu.
Spoiler for Buka Di sini:
Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil
Lain Australia lain pula Brazil, demikian pepatah yang pas untuk menceritakan reaksi kedua negara ini terhadap hukuman mati warganya. Bila Australia tanpa sengaja cenderung mempermalukan dirinya, maka Brazil mencoba mempermalukan Dubes RI. Namun kedua reaksi ini sama-sam kontra produktif, karena bukanya Indonesia menjadi ragu, malah membuat Presiden semakin tegas, dan mendorong publik Indonesia semakin retorik. Jika tujuan kedua negara ini adalah murni dalam rangka perlindungan warga negaranya, maka hasil akhir justru membebani warganya sendiri.
Kedua negara sama-sama berjuang dengan menggunakan instrumen perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Artinya, Kedua negara bertindak atas nama warganya berhadapan dengan Indonesia di jalur diplomatik. Keduanya mempersoalkan kebijakan hukuman mati untuk warganya. Ingat, hanya untuk warganya, bukan untuk warga lainnya. Maknanya adalah, kedua negara mencoba melindungi warganya dan bukan mempersoalkan bahwa hukuman mati itu melanggar hukum internasional, dan bukan menggugat peradilan Indonesia. Praktik ini lazim dan sah sah saja menurut hukum internasional.
Namun ada yang beda antara kedua negara ini. Australia menggunakan semua cara dan mekanisme yang tersedia dalam hukum diplomatik, tapi Brazil justru melanggar hukum diplomatik itu sendiri. Menlu RI tegas menilai bahwa tindakan Brazil telah melanggar Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Kedua negara memang marah. Namun dapatkah kemarahannya dituangkan dalam bentuk pelanggaran hukum internasional? Australia masih mendingan, karena kemarahannya diwujudkan dengan koaran kata-kata saja. Membisingkan memang, tapi so far belum ada norma hukum yang dilanggar. Ibarat orang yang emosi, Australia tidak dan belum menyentuh “fisik” Indonesia. Karenyanya, tidak ada alasan Indonesia melakukan pembalasan “fisik”. Dan juga, belum ada tindakannya yang bisa menghalangi Indonesia untuk melaksanakan kedaulatannya.
Reaksi Brazil agak anomali. Dari sisi hukum diplomatik sangat serius. Mari kita runut kronologinya: Duta Besar RI dijadwalkan dan diundang oleh oleh protokol negara untuk penyerahan kredensial kepada Presiden. Ini adalah upacara akbar diplomatik yang persiapannya pasti lama dan matang. Akbar karena di upacara inilah terjadi simbolisasi bagaimana dua negara bersahabat “bersalaman dan berpelukan”. Setibanya di istana dan menjelang prosesi dimulai tiba-tiba Presiden Rousseff “tiba-tiba” menolaknya. Alasannya, menunggu hubungan kedua negara lebih baik.
Bagaimana mungkin acara akbar yang seperti mantenan ini bisa tiba-tiba dibatalkan dengan dalih nunggu hubungan negara lebih baik? Tidak ada hukum diplomatik yang melarang Presiden menolak kredensial Duta Besar, sekalipun alasannya karena tidak suka sama Duta Besar. Tapi menolak Duta Besar RI setelah diundang resmi itu ibarat kita diundang ke pesta namun begitu masuk pintu kita tiba-tiba diusir. Bukan penolakannya yang jadi masalah, melainkan niat jeleknya (bad faith). Acara se sakral ini tidak mungkin tidak ada persiapan matang. Pasti semua hal sudah diantisipasi jauh-jauh hari. Kemarahan Brazil bukan mulai saat pesta, tapi sudah jauh sebelumnya. Artinya, sulit menyangkal bahwa Brazil dengan sengaja, dan dengan perencanaan yang matang ingin mempermalukan Duta Besar RI.
Mari kita tilik Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Indonesia dan Brazil terikat pada Konvensi ini. Pasal 29 Konvensi yang dirujuk oleh Menlu RI menyatakan bahwa setiap negara penerima (dalam hal ini Brazil) harus memperlakukan setiap Duta Besar secara terhormat dan mencegah adanya serangan terhadap kehormatannya. Maksud pasal ini adalah, negara harus memastikan bahwa tidak ada pihak lain dibawah jurisdiksi Brazil, misalnya individu, LSM, demonstran, pelaku tindak pidana, yang menyerang kehormatan Duta Besar. Ironisnya, dan ini yang jadi anomali, penyerang kehormatan Duta Besar ini justru dilakukan oleh negara bukan individu. Bukannya malah melindungi tetapi justru jadi pelaku. Pagar makan tanaman kata penyanyi Dangdut Mansyur. Membiarkan pihak lain mencemarkan Duta Besar saja sudah pelanggaran oleh negara itu, apalagi jika pelakunya justru negara.
Mengapa Duta Besar harus dijaga dignitinya? Sederhana saja. Duta Besar adalah institusi dan simbol negara. Wajah negara melekat pada sosok Duta Besar. Sejak dulu, Duta Besar itu sosok yang sakral di mata hukum setempat, makanya dia diberi kekebalan dan keistimewaan. Duta Besar membunuh sekali pun, tidak dapat diproses hukum di negara itu. Karena Duta Besar identik dengan negara. Makanya lahir norma hukum diplomatik supaya jangan ada yang coba-coba menyerang kehormatan Duta Besar. Konon, banyak negara yang semakin mendessak agar pasa 29 Konvensi ini diperluas lingkupnya. Jadi, mencoret-coret foto Duta Besar pun sudah dianggap pencemaran terhadap kehormatannya. Ironisnya lagi, Brazil justru sedang merusak tatanan norma ini.
Namun demikian pelanggaran hukum internasional ole Brazil ini bisa saja menjadi halal jika perbuatan ini dimaksudkan sebagai tindakan balasan terhadap pelanggaran hukum oleh Indonesia. Ini disebut dengan counter-measure/reprisal. Disini uniknya hukum internasional. Karena tidak ada polisi dunia maka tidak ada tempat mengadu, akhirnya negara harus menjaga dirinya sendiri (self help).
Tapi apakah Indonensia dengan mengeksekusi WN Brazil adalah pelanggaran hukum internasional? Mari kita bedah kasus ini. Pertama, penerapan hukuman mati itu sendiri ternyata masih direstui oleh ICCPR. Menurut Konvensi ini negara pihak tidak diwajibkan menghapus secara total hukuman mati melainkan diwajibkan untuk membatasi penerapan hukum mati khususnya menghapus hukuman mati untuk perbuatan yang bukan “most serious crime” (Para 6 HRC General Comments of Art. 6: that States parties are not obliged to abolish the death penalty totally they are obliged to limit its use and, in particular, to abolish it for other than the “most serious crimes”). Indonesia sedang darurat Narkoba dan tidak ada yang membantah bahwa kelangsungan generasi sedang terancam,
Kedua, ICCPR melarang eksekusi hukuman mati yang bersifat extra judical, yaitu tanpa proses peradilan. Sedangkan kasus ini, terpidana mati telah menjalani semua rangkaian proses hukum dari tingkat awal sampai tingkat final dan mengikat. Semua proses ini dilakukan di depan pengadilan. Bahkan diberi kesempatan minta Grasi. Artinya, semua rangkaian upaya hukum sudah diberikan termasuk akses seluas-luasnya bagi Kedutaan Besarnya terhadap perkara warganya.
Jadi tidak ada sehelai norma pun yang dilanggar oleh Indonesia. Karenanya perbuatan, perbuatan Brazil yang melanggar Konvensi Wina menjadi tidak sah. Dalam hukum internasional, justru Indonesia diberi hak untuk melakukan counter-measur terhadap Brazil atas pelanggaran ini. Bentuknya banyak, termasuk pembatalan transaksi dagang, embargo, resiprositas , serta tindakan balasan lain. Dan ini tidak melanggar hukum internasional.
Reaksi Indonesia ternyata sangat tegas. Dalam hitungan jam sejak kejadian perkara, Menlu RI langsung menarik Dubes RI ke Jakarta. Pada malam itu juga, Kemlu memanggil Duta Besar Brazil di Jakarta dan menyampaikan protes keras atas perlakuan Presiden Brazil. Ini bukan tindakan diplomatik biasa. Dulu Brazil dan Belanda juga menarik Dubesnya, namun tidak disertai dengan ‘kemarahan diplomatik, dan selang beberapa lama dikembalikan lagi ke Jakarta. Kemurkaan diplomatik dalam hal ini sudah sangat tinggi dan pasti diluar perhituntan Brazil. Terus apa hasil akhir dari permainan diplomatik Brazil ini? Hasilnya ternyata semakin mengeraskan Indonesia untuk lanjut dengan eksekusi berikutnya, dan salah satunya adalah Warga Brazil.
Kedua negara sama-sama berjuang dengan menggunakan instrumen perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Artinya, Kedua negara bertindak atas nama warganya berhadapan dengan Indonesia di jalur diplomatik. Keduanya mempersoalkan kebijakan hukuman mati untuk warganya. Ingat, hanya untuk warganya, bukan untuk warga lainnya. Maknanya adalah, kedua negara mencoba melindungi warganya dan bukan mempersoalkan bahwa hukuman mati itu melanggar hukum internasional, dan bukan menggugat peradilan Indonesia. Praktik ini lazim dan sah sah saja menurut hukum internasional.
Namun ada yang beda antara kedua negara ini. Australia menggunakan semua cara dan mekanisme yang tersedia dalam hukum diplomatik, tapi Brazil justru melanggar hukum diplomatik itu sendiri. Menlu RI tegas menilai bahwa tindakan Brazil telah melanggar Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Kedua negara memang marah. Namun dapatkah kemarahannya dituangkan dalam bentuk pelanggaran hukum internasional? Australia masih mendingan, karena kemarahannya diwujudkan dengan koaran kata-kata saja. Membisingkan memang, tapi so far belum ada norma hukum yang dilanggar. Ibarat orang yang emosi, Australia tidak dan belum menyentuh “fisik” Indonesia. Karenyanya, tidak ada alasan Indonesia melakukan pembalasan “fisik”. Dan juga, belum ada tindakannya yang bisa menghalangi Indonesia untuk melaksanakan kedaulatannya.
Reaksi Brazil agak anomali. Dari sisi hukum diplomatik sangat serius. Mari kita runut kronologinya: Duta Besar RI dijadwalkan dan diundang oleh oleh protokol negara untuk penyerahan kredensial kepada Presiden. Ini adalah upacara akbar diplomatik yang persiapannya pasti lama dan matang. Akbar karena di upacara inilah terjadi simbolisasi bagaimana dua negara bersahabat “bersalaman dan berpelukan”. Setibanya di istana dan menjelang prosesi dimulai tiba-tiba Presiden Rousseff “tiba-tiba” menolaknya. Alasannya, menunggu hubungan kedua negara lebih baik.
Bagaimana mungkin acara akbar yang seperti mantenan ini bisa tiba-tiba dibatalkan dengan dalih nunggu hubungan negara lebih baik? Tidak ada hukum diplomatik yang melarang Presiden menolak kredensial Duta Besar, sekalipun alasannya karena tidak suka sama Duta Besar. Tapi menolak Duta Besar RI setelah diundang resmi itu ibarat kita diundang ke pesta namun begitu masuk pintu kita tiba-tiba diusir. Bukan penolakannya yang jadi masalah, melainkan niat jeleknya (bad faith). Acara se sakral ini tidak mungkin tidak ada persiapan matang. Pasti semua hal sudah diantisipasi jauh-jauh hari. Kemarahan Brazil bukan mulai saat pesta, tapi sudah jauh sebelumnya. Artinya, sulit menyangkal bahwa Brazil dengan sengaja, dan dengan perencanaan yang matang ingin mempermalukan Duta Besar RI.
Mari kita tilik Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Indonesia dan Brazil terikat pada Konvensi ini. Pasal 29 Konvensi yang dirujuk oleh Menlu RI menyatakan bahwa setiap negara penerima (dalam hal ini Brazil) harus memperlakukan setiap Duta Besar secara terhormat dan mencegah adanya serangan terhadap kehormatannya. Maksud pasal ini adalah, negara harus memastikan bahwa tidak ada pihak lain dibawah jurisdiksi Brazil, misalnya individu, LSM, demonstran, pelaku tindak pidana, yang menyerang kehormatan Duta Besar. Ironisnya, dan ini yang jadi anomali, penyerang kehormatan Duta Besar ini justru dilakukan oleh negara bukan individu. Bukannya malah melindungi tetapi justru jadi pelaku. Pagar makan tanaman kata penyanyi Dangdut Mansyur. Membiarkan pihak lain mencemarkan Duta Besar saja sudah pelanggaran oleh negara itu, apalagi jika pelakunya justru negara.
Mengapa Duta Besar harus dijaga dignitinya? Sederhana saja. Duta Besar adalah institusi dan simbol negara. Wajah negara melekat pada sosok Duta Besar. Sejak dulu, Duta Besar itu sosok yang sakral di mata hukum setempat, makanya dia diberi kekebalan dan keistimewaan. Duta Besar membunuh sekali pun, tidak dapat diproses hukum di negara itu. Karena Duta Besar identik dengan negara. Makanya lahir norma hukum diplomatik supaya jangan ada yang coba-coba menyerang kehormatan Duta Besar. Konon, banyak negara yang semakin mendessak agar pasa 29 Konvensi ini diperluas lingkupnya. Jadi, mencoret-coret foto Duta Besar pun sudah dianggap pencemaran terhadap kehormatannya. Ironisnya lagi, Brazil justru sedang merusak tatanan norma ini.
Namun demikian pelanggaran hukum internasional ole Brazil ini bisa saja menjadi halal jika perbuatan ini dimaksudkan sebagai tindakan balasan terhadap pelanggaran hukum oleh Indonesia. Ini disebut dengan counter-measure/reprisal. Disini uniknya hukum internasional. Karena tidak ada polisi dunia maka tidak ada tempat mengadu, akhirnya negara harus menjaga dirinya sendiri (self help).
Tapi apakah Indonensia dengan mengeksekusi WN Brazil adalah pelanggaran hukum internasional? Mari kita bedah kasus ini. Pertama, penerapan hukuman mati itu sendiri ternyata masih direstui oleh ICCPR. Menurut Konvensi ini negara pihak tidak diwajibkan menghapus secara total hukuman mati melainkan diwajibkan untuk membatasi penerapan hukum mati khususnya menghapus hukuman mati untuk perbuatan yang bukan “most serious crime” (Para 6 HRC General Comments of Art. 6: that States parties are not obliged to abolish the death penalty totally they are obliged to limit its use and, in particular, to abolish it for other than the “most serious crimes”). Indonesia sedang darurat Narkoba dan tidak ada yang membantah bahwa kelangsungan generasi sedang terancam,
Kedua, ICCPR melarang eksekusi hukuman mati yang bersifat extra judical, yaitu tanpa proses peradilan. Sedangkan kasus ini, terpidana mati telah menjalani semua rangkaian proses hukum dari tingkat awal sampai tingkat final dan mengikat. Semua proses ini dilakukan di depan pengadilan. Bahkan diberi kesempatan minta Grasi. Artinya, semua rangkaian upaya hukum sudah diberikan termasuk akses seluas-luasnya bagi Kedutaan Besarnya terhadap perkara warganya.
Jadi tidak ada sehelai norma pun yang dilanggar oleh Indonesia. Karenanya perbuatan, perbuatan Brazil yang melanggar Konvensi Wina menjadi tidak sah. Dalam hukum internasional, justru Indonesia diberi hak untuk melakukan counter-measur terhadap Brazil atas pelanggaran ini. Bentuknya banyak, termasuk pembatalan transaksi dagang, embargo, resiprositas , serta tindakan balasan lain. Dan ini tidak melanggar hukum internasional.
Reaksi Indonesia ternyata sangat tegas. Dalam hitungan jam sejak kejadian perkara, Menlu RI langsung menarik Dubes RI ke Jakarta. Pada malam itu juga, Kemlu memanggil Duta Besar Brazil di Jakarta dan menyampaikan protes keras atas perlakuan Presiden Brazil. Ini bukan tindakan diplomatik biasa. Dulu Brazil dan Belanda juga menarik Dubesnya, namun tidak disertai dengan ‘kemarahan diplomatik, dan selang beberapa lama dikembalikan lagi ke Jakarta. Kemurkaan diplomatik dalam hal ini sudah sangat tinggi dan pasti diluar perhituntan Brazil. Terus apa hasil akhir dari permainan diplomatik Brazil ini? Hasilnya ternyata semakin mengeraskan Indonesia untuk lanjut dengan eksekusi berikutnya, dan salah satunya adalah Warga Brazil.
Spoiler for Buka Di sini:
Hubungan Bilateral Belanda-Brazil & Indonesia Diprediksi Tak Akan Putus
Jakarta - Pemerintah Belanda dan Brazil menarik Dubesnya dari Indonesia lantaran memprotes eksekusi mati yang dilakukan di Nusakambangan dan Boyolali. Tapi protes ini dinilai tidak akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
“Mereka memarik Dubesnya, itu lumrah, dan baik dalam segi hubungan internasional karena mereka punya kewajiban untuk itu. Tapi saya rasa itu nggak akan berkembang menjadi hal yang lebih serius seperti pemutusan hubungan diplomatik. Nggak mungkin sama sekali,” kata Shafiah F Muhibat, peneliti senior di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di kantornya, Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Senin (19/1/2015).
Shafiah menjelaskan, hubungan diplomatik antarnegara tersusun oleh banyak aspek. Menurutnya, ada kebutuhan yang bersifat timbal balik antara Indonesia dengan kedua negara tersebut yang selama ini membuat hubungan bilateralnya awet.
“Hubungan bilateral nggak hanya 1-3 aspek tapi banyak sekali lapisan di dalamnya. Belanda dan Brazil butuh hubungan dengan kita sama seperti kita butuh hubungan dengan mereka. Jadi nggak mungkin satu isu bisa memutuskan hubungan bilateral dua negara,” tuturnya.
Hal ini, lanjut Shafiah, juga sama dengan kondisi sejumlah warga negara Indonesia yang jadi tersangka di sejumlah negara. Banyak WNI yang terancam hukuman mati bahkan sedang antri untuk dieksekusi.
“Kalau misalnya itu terjadi, Indonesia harus protes keras, sama seperti mereka (Belanda dan Brazil), mungkin menarik Dubes dan menyampaikan nota protes. Tapi itu nggak akan memutuskan hubungan bilateral dua negara, nggak semudah itu saya kira,” pungkas Shafiah.
“Mereka memarik Dubesnya, itu lumrah, dan baik dalam segi hubungan internasional karena mereka punya kewajiban untuk itu. Tapi saya rasa itu nggak akan berkembang menjadi hal yang lebih serius seperti pemutusan hubungan diplomatik. Nggak mungkin sama sekali,” kata Shafiah F Muhibat, peneliti senior di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di kantornya, Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Senin (19/1/2015).
Shafiah menjelaskan, hubungan diplomatik antarnegara tersusun oleh banyak aspek. Menurutnya, ada kebutuhan yang bersifat timbal balik antara Indonesia dengan kedua negara tersebut yang selama ini membuat hubungan bilateralnya awet.
“Hubungan bilateral nggak hanya 1-3 aspek tapi banyak sekali lapisan di dalamnya. Belanda dan Brazil butuh hubungan dengan kita sama seperti kita butuh hubungan dengan mereka. Jadi nggak mungkin satu isu bisa memutuskan hubungan bilateral dua negara,” tuturnya.
Hal ini, lanjut Shafiah, juga sama dengan kondisi sejumlah warga negara Indonesia yang jadi tersangka di sejumlah negara. Banyak WNI yang terancam hukuman mati bahkan sedang antri untuk dieksekusi.
“Kalau misalnya itu terjadi, Indonesia harus protes keras, sama seperti mereka (Belanda dan Brazil), mungkin menarik Dubes dan menyampaikan nota protes. Tapi itu nggak akan memutuskan hubungan bilateral dua negara, nggak semudah itu saya kira,” pungkas Shafiah.
Kalo menurut pendapat ane sih
Quote:
Indonesia gk bakalan rugi gan,karena salah satu impor ternak khususnya sapi itu 50% ke indonesia.jadi kita gak bakalan rugi,, yang rugi malah Australia dan brazil
Gimana menurut pendapat agan??
Spoiler for Sumber:
Jangan lupa





Diubah oleh agungtri45 07-03-2015 10:51
0
2.7K
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan