- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
(SHARING BLOG) RUANGAN PUTIH


TS
O_Q
(SHARING BLOG) RUANGAN PUTIH
Siang agan dan aganwati sekalian.. 

Ane cuma mau share blog ane yang baru bikin nih, isinya sih hasil karya tulisan ane. Ane udah lama banget enggak nulis, makanya sekarang ane lagi coba buat balik lagi nulis. Ane juga butuh saran dan masukan dari agan aganwati sekalian,, semisal tulisan ane ini jelek, buruk rupa, hancur, dan lain sebagainya, kasih tahu ane gan supaya ane bisa memperbaikinya. Sekali lagi, terima kasih bantuannya.

Kalau misalkan penasaran, bisa cek blog ane DI SINI
Berikut tulisan ane gan, semoga terhibur ya!
Quote:
RUANGAN PUTIH
Created by : Okky Putra Perdana
Ruangan itu cukup luas dan nyaman. Dinding yang dicat putih dengan lukisan dan dekorasi minimalis, membuatnya memiliki nuansa elegan. Furnitur seperti sofa, karpet, dan meja menyediakan kenyamanan bagi siapa saja yang berada di dalam ruangan itu. Bayangkan sebuah pesta kecil di sana, semua orang mungkin akan gembira dan bersuka cita dengan asyiknya, benar-benar mendukung bila digunakan untuk sebuah acara seperti itu. Untuk menimbulkan suasana klasik, tidak ada peralatan listrik di dalam ruangan tersebut. Tidak ada saklar, tidak ada sumber listrik, namun memiliki lampu di dinding, cukup banyak untuk menerangi hampir setiap sudut ruangan. Tanaman di dalam pot dan vas yang memberikan kesan natural. Ruangan yang sangat cantik.
Ruangan tersebut tidak memiliki jendela. Tidak ada pintu menuju ruangan lain, hanya ada satu pintu di ruangan itu. Sebuah pintu besi yang tidak serasi dengan suasana ruangan yang sedemikian cantiknya. Pintu besi yang dingin dan mengintimidasi. Keberadaannya merusak suasana elegan dan nyaman di dalam ruangan. Setiap orang yang akan masuk ke dalam ruangan pasti akan melalui pintu besi yang cukup besar ini. Untuk membukanya pun cukup merepotkan, kita harus memutar benda yang berbentuk seperti setir mobil di tengahnya, kemudian setelah terdengar suara hentakan yang keras, barulah pintu tersebut bisa dibuka.
BANG!
Seseorang membuka pintu tersebut. Tidak hanya satu orang, dua orang, tapi ada tiga orang yang kemudian masuk mengisi ruangan. Yang pertama kali masuk adalah seorang lelaki bebadan cukup tinggi, besar, namun tidak gemuk. Yang satu lagi adalah seorang wanita, cantik, penampilannya sangat atraktif. Blouse merah, rok hitam, sangat menarik untuk dilihat. Satu lagi orang yang masuk ke dalam ruangan tersebut adalah seorang lelaki dengan muka cukup menyeramkan dengan penampilan yang sangat kaku. Jas hitam dengan kemeja putih dan dasi merah, dia lebih terlihat seperti pembunuh bayaran.
“Ini adalah ruangan putih. Untuk sementara saya minta anda menunggu dulu di sini.” Kata wanita dengan paras cantik itu.
“Baiklah.” Jawab laki-laki jangkung itu. Ia segera menjatuhkan dirinya ke atas sofa. “Bisakah kalian membawakanku makanan? Saya belum makan dari pagi.”
“Tunggu saja di sini.” Sang wanita menunjukan wajah datar kepada lelaki ini. Dia dan lelaki berwajah seram di belakangnya kemudian kembali menuju pintu besi.
“Mc’D juga tidak apa-apa! Jangan lama ya!”
Perkataannya tidak digubris.
Kini ruangan putih dihuni oleh satu orang, dan orang tersebut kelihatannya menyukai ruangan ini. “Sayang tidak ada televisi di sini,” katanya kecewa.
Dia masih bersantai di atas sofa, memandangi langit-langit ruangan tersebut. Ia memperhatiakn hampir setiap sudut langit-langit itu. Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya. Tidak ada hiburan, tidak ada teman. Lelaki sangat fokus dengan apa yang sedang dilakukannya. Memandangi langit-langit.
Waktu terus berlalu dan lelaki tersebut masih memandangi langit-langit.
“Mana makananku?” Tiba-tiba ia mengoceh. Perut kosong menarik dirinya kembali ke dunia nyata. Ia kemudian bangun dari sofa, dan mulai berkeliling melihat ruangan tersebut. Ia baru menyadari bahwa tidak ada jam dinding di dalam ruangan tersebut.
“Jam berapa sekarang?” Dia tidak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam ruangan itu. Apakah hari itu masih siang atau sudah malam? Apakah sudah 1 jam? 2 jam? 3 jam? Ia tidak tahu. Tidak ada satu hal pun yang bisa memberikan informasi tersebut.
“Mana makananku?” Ia sedikit mengeraskan suaranya, berharap ada yang mendengar. Ia melirik ke aras pintu besi, masih belum terbuka juga. Kedua orang yang mengantarkannya ke ruangan putih ini masih belum kembali. Lelaki jangkung ini mulai curiga bahwa kedua orang tadi telah melupakan dirinya. Menyadari hal ini, ia berjalan menuju pintu besi dan mencoba untuk keluar. Pintu tersebut terkunci.
Ia terlihat sedikit kesal.
“Ayolah! Aku lapar!” Kini ia berteriak. Namun, sepertinya suaranya tidak terdengar dari luar ruangan.
Tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya. Ada sebuah meja di dalam ruangan, tersembunyi di balik tanaman. Kecurigaannya timbul saat ia menyadar bahwa mengapa meja tersebut harus disembunyikan? Jika diperhatikan, meja tersebut memiliki laci kecil yang bisa dibuka. Ia menghampiri meja tersebut, dan mengangkatanya ke tengah ruangan. Meja itu tidak terlalu besar, mungkin lebih mirip seperti kursi kecil, namun sedikit lebih lebar.
Tanpa ragu-ragu ia membuka laci kecil itu. Rasa kecewa langsung muncul di dalam dirinya. Ia berharap laci tersebut berisi makanan, namun yang ia termukan ternyata hanyalah sebuah mobil mainan, kertas kosong, kaleng bekas, dan kartu.
Ia mengambil tumpukan kartu yang ia temukan dan mulai mengocoknya. Setidaknya kini ia menemukan sebuah hiburan.
“Hmm.. Hmmm” Sang lelaki jangkung mulai tenggelam dalam permainan kartunya, ia mulai melupakan sekitar. Sama halnya seperti yang dilakukannya saat ia memandangi langit-langit. Ia terus bermain dengan kartu itu, membagi-bagikan kartunya, memainkan Solitaire, menumpuknya kembali, lalu kemudia membagi-bagikan kartunya lagi. Waktu terus berputar tanpa ia ketahui.
Sampailah pada titik dimana ia mulai jenuh dengan permainan tersebut. Ia mencoba meregangkan otot-ototnya yang mulai kaku. Kembali ia memperhatikan sekeliling ruangan tersebut, tidak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Ruangan tersebut kini tidak secantik dan senyaman pertama kali lelaki tersebut masuk ke dalam. Meja di tengah ruangan, karpet yang tergeser, sofa dengan bantal tergeletak di lantai, kartu berserakan, semua karena keberadaan lelaki jangkung ini.
Sang lelaki menggaruk-garuk kepala dan mengendus jari-jarinya. Ia merasakan gatal yang luar biasa.
“Jam berapa sekarang?” ia kembali menanyakan hal tersebut.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan di dalam ruangan tersebut. Sang lelaki kembali duduk di atas sofa sambil melamun. Beberapa saat kemudian, ia mengambil mobil mainan di atas meja tersebut dan mulai memainkannya seperti anak kecil.
“Vroom! Vroom!! Ciiiit!” Ia memaju mundurkan mobil mainan di atas meja.
“Ciiit! Cekrek!” Ia mulai memainkan tangannya, menirukan orang yang sedang berjalan. Kelihatannya ia sedang membuat semacam skenario di dalam permainannya.
“Apa yang sedang kau lakukan, gadis? Tidakkah itu membosankan? Bermain dengan boneka jelek yang selalu kau bawa? Sini! biar paman tunjukan sesuatu yang akan membuatmu senang.”
Kini ia memainkan kedua tangannya, “Baik, paman.” Katanya sambil menirukan suara gadis kecil.
Kedua tangannya berjalan ke arah mobil mainan seperti halnya dua orang yang hendak menaiki mobil. Tiba-tiba lelaki tersebut mengambil mobil mainannya dan berlari-lari di dalam ruangan.
“Ngeeeeeeenng!! Ngeeeeng!! Hahahaha!” ia tertawa. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia berhenti dan melempar mobil mainan tersebut ke arah dinding.
PRAK!!
“BOOOOOM!! Hahahaha!” Rasa puas menyelimuti dirinya saat melihat mainan mobil tersebut hancur berkeping-keping, “Matilah dirimu, ** SENSOR **!”
Ia kembali tenang, dan duduk di atas sofa. Raut mukanya masih menunjukan seakan-akan ia menikmati apa yang baru saja terjadi. Cekikikan tawanya masih terdengar.
“Harusnya waktu itu kusuruh juga orang tuanya masuk ke dalam mobil. Pasti akan jadi lebih menarik lagi!” ia berbicara sendiri, “Daripada capek-capek membunuhnya dengan pisau. Aku jadi tertangkap gara-gara itu.”
Kalimat terakhirnya membuat ia terdiam. Raut mukanya kini menunjukan rasa kesal. Hal itu membuat rasa lapar di dalam dirinya kembali muncul. Dengan keras ia menendang meja yang ada di depannya, “MANA MAKANANKU BRENGSEK!!”
Sekarang ia menyadari bahwa dirinya tidak berada di dalam sebuah ruangan yang dapat membuatnya nyaman. Ia merasa ditipu. Sebenarnya ia sedang dikurung di dalam ruangan ini.
Menyadari hal ini, ia membanting meja yang ia tendang hingga hancur. Potongan dari meja tersebut ia ambil dan dilempar ke arah pintu besi, berharap pintu tersebut rusak dan terbuka sehingga ia bisa kabur dari ruangan itu.
“BUKA PINTUNYA!”
Ia terus berteriak di depan pintu besi itu, namun pintu tersebut tetap tertutup rapat. Menyadari hal ini, amarahnya makin memuncak. Ia kemudian melampiaskannya dengan merusak semua benda yang ada di dalam ruangan. Ia menjatuhkan lukisannya, menendang pot tanaman hingga pecah, melempar-lemparkan bantal, ruangan putih kini benar-benar kacau.
Merasa apa yang dilakukannya tidak akan membuatnya keluar dari ruangan tersebut, ia berhenti. Ia mencoba meredam amarahnya agar dapat kembali berpikir jernih. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya bisa dengan mudah ditipu oleh kedua orang yang membawanya masuk ke dalam ruangan ini. Entah apa yang dipikirkan dirinya, semua orang sehat pasti akan melihat ruangan ini sebagai ruangan yang mencurigakan. Dengan pintu besi sebesar itu, siapapun pasti akan curiga. Tapi, dirinya tidak mencurigai hal itu.
Kini sang lelaki putus asa. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa memandangi kertas dan kaleng yang ia temukan di dalam lemari tanpa mengetahui apa yang bisa ia lakukan dengan benda tersebut.
“Apa yang bisa kulakukan?” Katanya sambil menggenggam kaleng bekas. Ia kemudian membuang kaleng tersebut, mengambil selembar kertas di hadapannya dan menyobeknya hingga menjadi potongan-potongan kecil.
Sesaat ia menyadari bahwa tangannya basah. Bingung akan hal ini, ia kemudian melihat kaleng yang ia lempar, ternyata berisi cairan. Segera ia mengambil kaleng tersebut kembali dan mengendus isinya. Tidak ada baunya.
“Air!” Tanpa pikir panjang, ia meminum habis isinya. Rasa haus nya kini sedikit hilang.
BANG!
Tiba-tiba pintu besi tersebut terbuka. Seseorang datang. Sang lelaki jangkung itu hendak melakukan perlawanan, namun ia belum siap. Sayangnya lelaki dengan wajah menyeramkan kembali ke dalam ruangan dengan menodongkan pistol ke arah si lelaki jangkung.
“Apa kau mengakui kesalahanmu, Jati?” Kata si lelaki berwajah seram.
“Apa?”
“Apa kau mengakui telah membunuh Adam dan Luis berserta anak perempuannya?”
“Siapa kau?”
Lelaki berwajah seram itu tertawa, “Tidak usah kau jawab. Kita semua sudah tahu jawabannya.”
Jati hanya tersenyum sambil mengangkat tangannya, “Kukira aku akan dikurung di sini selamanya?”
“Sayangnya tidak” jawab si lelaki berwajah seram itu.
“Berarti aku bisa keluar sekarang?”
“Sepertinya tidak, maaf.”
“Mana si cantik? Kenapa ia tidak ikut denganmu?”
“Nyonya Lisa ada di sini. Memperhatikanmu dari atas. Lebih tepatnya di atas sana.”
Lelaki berwajah seram itu melirik ke arah langit-langit. Jati melirik ke atas. Ia memandangi langit-langit ruangan tersebut, “Di sana?”
“Iya.”
“Jadi selama ini kau memantau ruangan ini?” Kata jati heran.
“Iya.”
Jati terdiam, “Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan di sini? Aku tidak mengerti tujuannya. Menyiksaku? Untuk apa? Apa untungnya?”
“Kami tidak menyiksamu.”
“Apa? Lalu untuk apa?” Lelaki seram itu terdiam.
“Ok, kami sedikit menyiksamu dengan membiarkan dirimu berada di dalam ruangan putih sendirian. Kami semua bertaruh di atas sana. Kami bertaruh bagaimana dirimu akan mati di dalam ruangan ini.” Ia menurunkan pistolnya, “Kami tahu bahwa kau adalah tersangka yang akan dihukum mati oleh pemerintah minggu ini. Kami mencuri dirimu dari pemerintah.”
“Mencuri? Maksudmu saya diculik?”
“Iya. Saya bertugas sebagai orang dalam pemerintahan, sehingga mencurimu bukanlah hal yang sulit. Kami sudah melakukan ini berkali-kali. Bayangkan keuntungan yang dihasilkan dari melihat orang lain mati. Kau tidak akan percaya jika kuceritakan siapa saja yang sedang bertaruh di atas sana.”
Jati terdiam. Kini ia menyadari bahwa kematiannya sudah pasti. Dia akan mati hari ini.
“lalu? Apa kau akan membunuhku sekarang?”
“Tidak. Kau sudah mati, Jati.”
“A.. Apa maksudmu?” Jati terkejut.
“Permainan sudah berakhir. Air yang kau minum itu adalah racun.”
Jati terhenyak mendengar perkataan orang itu.
“Kau membawa keuntungan 10 juta miliar dollar bagi kami.”
Jati tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia merasa tenggorokannya kini mulai panas.
“Sebenarnya racun bukanlah hal yang menarik. Kami akan lebih terhibur jika kau bisa membakar dirimu di sini. Dengan selembar kertas dan kayu-kayu di sini? Kami akan sangat terhibur jika kau bisa menciptakan api di dalam sini.”
Jati mulai merasa lehernya tercekik, ia tidak bisa bernafas. Badannya kini serasa terbakar, membuatnya terjatuh.
“Tahun lalu ada orang yang berhasil membunuh dirinya sendiri dengan menabrakan diri ke tembok. Mungkin ia berharap tembok tersebut bisa pecah, sayangnya kepalanya pecah duluan.”
Pandangan jati mulai menghilang. Ia sudah tidak bisa merasakan apa-apa.
“Hey! Yang satu ini sudah mati. Cepat bawa tubuhnya dan bereskan ruangan ini untuk permainan selanjutnya.”
Jati kini sudah mati, dengan mata terbuka lebar dan tangan di leher. Kematiannya menyakitkan, tapi bagi orang di atas langit-langit ruangan itu, kematiannya membosankan. Walaupun begitu, kematiannya membawa banyak uang bagi pemenang taruhan dan pemilik ruangan putih ini.
Mayatnya diangkut oleh sekumpulan orang dengan jas hitam. Sebagian dari mereka membereskan ruangan putih. Dalam hitungan jam, ruangan tersebut sudah kembali seperti awal, cantik dan nyaman. Siap untuk dihuni oleh korban berikutnya.
Created by : Okky Putra Perdana
Ruangan itu cukup luas dan nyaman. Dinding yang dicat putih dengan lukisan dan dekorasi minimalis, membuatnya memiliki nuansa elegan. Furnitur seperti sofa, karpet, dan meja menyediakan kenyamanan bagi siapa saja yang berada di dalam ruangan itu. Bayangkan sebuah pesta kecil di sana, semua orang mungkin akan gembira dan bersuka cita dengan asyiknya, benar-benar mendukung bila digunakan untuk sebuah acara seperti itu. Untuk menimbulkan suasana klasik, tidak ada peralatan listrik di dalam ruangan tersebut. Tidak ada saklar, tidak ada sumber listrik, namun memiliki lampu di dinding, cukup banyak untuk menerangi hampir setiap sudut ruangan. Tanaman di dalam pot dan vas yang memberikan kesan natural. Ruangan yang sangat cantik.
Ruangan tersebut tidak memiliki jendela. Tidak ada pintu menuju ruangan lain, hanya ada satu pintu di ruangan itu. Sebuah pintu besi yang tidak serasi dengan suasana ruangan yang sedemikian cantiknya. Pintu besi yang dingin dan mengintimidasi. Keberadaannya merusak suasana elegan dan nyaman di dalam ruangan. Setiap orang yang akan masuk ke dalam ruangan pasti akan melalui pintu besi yang cukup besar ini. Untuk membukanya pun cukup merepotkan, kita harus memutar benda yang berbentuk seperti setir mobil di tengahnya, kemudian setelah terdengar suara hentakan yang keras, barulah pintu tersebut bisa dibuka.
BANG!
Seseorang membuka pintu tersebut. Tidak hanya satu orang, dua orang, tapi ada tiga orang yang kemudian masuk mengisi ruangan. Yang pertama kali masuk adalah seorang lelaki bebadan cukup tinggi, besar, namun tidak gemuk. Yang satu lagi adalah seorang wanita, cantik, penampilannya sangat atraktif. Blouse merah, rok hitam, sangat menarik untuk dilihat. Satu lagi orang yang masuk ke dalam ruangan tersebut adalah seorang lelaki dengan muka cukup menyeramkan dengan penampilan yang sangat kaku. Jas hitam dengan kemeja putih dan dasi merah, dia lebih terlihat seperti pembunuh bayaran.
“Ini adalah ruangan putih. Untuk sementara saya minta anda menunggu dulu di sini.” Kata wanita dengan paras cantik itu.
“Baiklah.” Jawab laki-laki jangkung itu. Ia segera menjatuhkan dirinya ke atas sofa. “Bisakah kalian membawakanku makanan? Saya belum makan dari pagi.”
“Tunggu saja di sini.” Sang wanita menunjukan wajah datar kepada lelaki ini. Dia dan lelaki berwajah seram di belakangnya kemudian kembali menuju pintu besi.
“Mc’D juga tidak apa-apa! Jangan lama ya!”
Perkataannya tidak digubris.
Kini ruangan putih dihuni oleh satu orang, dan orang tersebut kelihatannya menyukai ruangan ini. “Sayang tidak ada televisi di sini,” katanya kecewa.
Dia masih bersantai di atas sofa, memandangi langit-langit ruangan tersebut. Ia memperhatiakn hampir setiap sudut langit-langit itu. Tidak ada yang bisa dilakukan olehnya. Tidak ada hiburan, tidak ada teman. Lelaki sangat fokus dengan apa yang sedang dilakukannya. Memandangi langit-langit.
Waktu terus berlalu dan lelaki tersebut masih memandangi langit-langit.
“Mana makananku?” Tiba-tiba ia mengoceh. Perut kosong menarik dirinya kembali ke dunia nyata. Ia kemudian bangun dari sofa, dan mulai berkeliling melihat ruangan tersebut. Ia baru menyadari bahwa tidak ada jam dinding di dalam ruangan tersebut.
“Jam berapa sekarang?” Dia tidak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam ruangan itu. Apakah hari itu masih siang atau sudah malam? Apakah sudah 1 jam? 2 jam? 3 jam? Ia tidak tahu. Tidak ada satu hal pun yang bisa memberikan informasi tersebut.
“Mana makananku?” Ia sedikit mengeraskan suaranya, berharap ada yang mendengar. Ia melirik ke aras pintu besi, masih belum terbuka juga. Kedua orang yang mengantarkannya ke ruangan putih ini masih belum kembali. Lelaki jangkung ini mulai curiga bahwa kedua orang tadi telah melupakan dirinya. Menyadari hal ini, ia berjalan menuju pintu besi dan mencoba untuk keluar. Pintu tersebut terkunci.
Ia terlihat sedikit kesal.
“Ayolah! Aku lapar!” Kini ia berteriak. Namun, sepertinya suaranya tidak terdengar dari luar ruangan.
Tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya. Ada sebuah meja di dalam ruangan, tersembunyi di balik tanaman. Kecurigaannya timbul saat ia menyadar bahwa mengapa meja tersebut harus disembunyikan? Jika diperhatikan, meja tersebut memiliki laci kecil yang bisa dibuka. Ia menghampiri meja tersebut, dan mengangkatanya ke tengah ruangan. Meja itu tidak terlalu besar, mungkin lebih mirip seperti kursi kecil, namun sedikit lebih lebar.
Tanpa ragu-ragu ia membuka laci kecil itu. Rasa kecewa langsung muncul di dalam dirinya. Ia berharap laci tersebut berisi makanan, namun yang ia termukan ternyata hanyalah sebuah mobil mainan, kertas kosong, kaleng bekas, dan kartu.
Ia mengambil tumpukan kartu yang ia temukan dan mulai mengocoknya. Setidaknya kini ia menemukan sebuah hiburan.
“Hmm.. Hmmm” Sang lelaki jangkung mulai tenggelam dalam permainan kartunya, ia mulai melupakan sekitar. Sama halnya seperti yang dilakukannya saat ia memandangi langit-langit. Ia terus bermain dengan kartu itu, membagi-bagikan kartunya, memainkan Solitaire, menumpuknya kembali, lalu kemudia membagi-bagikan kartunya lagi. Waktu terus berputar tanpa ia ketahui.
Sampailah pada titik dimana ia mulai jenuh dengan permainan tersebut. Ia mencoba meregangkan otot-ototnya yang mulai kaku. Kembali ia memperhatikan sekeliling ruangan tersebut, tidak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Ruangan tersebut kini tidak secantik dan senyaman pertama kali lelaki tersebut masuk ke dalam. Meja di tengah ruangan, karpet yang tergeser, sofa dengan bantal tergeletak di lantai, kartu berserakan, semua karena keberadaan lelaki jangkung ini.
Sang lelaki menggaruk-garuk kepala dan mengendus jari-jarinya. Ia merasakan gatal yang luar biasa.
“Jam berapa sekarang?” ia kembali menanyakan hal tersebut.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan di dalam ruangan tersebut. Sang lelaki kembali duduk di atas sofa sambil melamun. Beberapa saat kemudian, ia mengambil mobil mainan di atas meja tersebut dan mulai memainkannya seperti anak kecil.
“Vroom! Vroom!! Ciiiit!” Ia memaju mundurkan mobil mainan di atas meja.
“Ciiit! Cekrek!” Ia mulai memainkan tangannya, menirukan orang yang sedang berjalan. Kelihatannya ia sedang membuat semacam skenario di dalam permainannya.
“Apa yang sedang kau lakukan, gadis? Tidakkah itu membosankan? Bermain dengan boneka jelek yang selalu kau bawa? Sini! biar paman tunjukan sesuatu yang akan membuatmu senang.”
Kini ia memainkan kedua tangannya, “Baik, paman.” Katanya sambil menirukan suara gadis kecil.
Kedua tangannya berjalan ke arah mobil mainan seperti halnya dua orang yang hendak menaiki mobil. Tiba-tiba lelaki tersebut mengambil mobil mainannya dan berlari-lari di dalam ruangan.
“Ngeeeeeeenng!! Ngeeeeng!! Hahahaha!” ia tertawa. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia berhenti dan melempar mobil mainan tersebut ke arah dinding.
PRAK!!
“BOOOOOM!! Hahahaha!” Rasa puas menyelimuti dirinya saat melihat mainan mobil tersebut hancur berkeping-keping, “Matilah dirimu, ** SENSOR **!”
Ia kembali tenang, dan duduk di atas sofa. Raut mukanya masih menunjukan seakan-akan ia menikmati apa yang baru saja terjadi. Cekikikan tawanya masih terdengar.
“Harusnya waktu itu kusuruh juga orang tuanya masuk ke dalam mobil. Pasti akan jadi lebih menarik lagi!” ia berbicara sendiri, “Daripada capek-capek membunuhnya dengan pisau. Aku jadi tertangkap gara-gara itu.”
Kalimat terakhirnya membuat ia terdiam. Raut mukanya kini menunjukan rasa kesal. Hal itu membuat rasa lapar di dalam dirinya kembali muncul. Dengan keras ia menendang meja yang ada di depannya, “MANA MAKANANKU BRENGSEK!!”
Sekarang ia menyadari bahwa dirinya tidak berada di dalam sebuah ruangan yang dapat membuatnya nyaman. Ia merasa ditipu. Sebenarnya ia sedang dikurung di dalam ruangan ini.
Menyadari hal ini, ia membanting meja yang ia tendang hingga hancur. Potongan dari meja tersebut ia ambil dan dilempar ke arah pintu besi, berharap pintu tersebut rusak dan terbuka sehingga ia bisa kabur dari ruangan itu.
“BUKA PINTUNYA!”
Ia terus berteriak di depan pintu besi itu, namun pintu tersebut tetap tertutup rapat. Menyadari hal ini, amarahnya makin memuncak. Ia kemudian melampiaskannya dengan merusak semua benda yang ada di dalam ruangan. Ia menjatuhkan lukisannya, menendang pot tanaman hingga pecah, melempar-lemparkan bantal, ruangan putih kini benar-benar kacau.
Merasa apa yang dilakukannya tidak akan membuatnya keluar dari ruangan tersebut, ia berhenti. Ia mencoba meredam amarahnya agar dapat kembali berpikir jernih. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya bisa dengan mudah ditipu oleh kedua orang yang membawanya masuk ke dalam ruangan ini. Entah apa yang dipikirkan dirinya, semua orang sehat pasti akan melihat ruangan ini sebagai ruangan yang mencurigakan. Dengan pintu besi sebesar itu, siapapun pasti akan curiga. Tapi, dirinya tidak mencurigai hal itu.
Kini sang lelaki putus asa. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa memandangi kertas dan kaleng yang ia temukan di dalam lemari tanpa mengetahui apa yang bisa ia lakukan dengan benda tersebut.
“Apa yang bisa kulakukan?” Katanya sambil menggenggam kaleng bekas. Ia kemudian membuang kaleng tersebut, mengambil selembar kertas di hadapannya dan menyobeknya hingga menjadi potongan-potongan kecil.
Sesaat ia menyadari bahwa tangannya basah. Bingung akan hal ini, ia kemudian melihat kaleng yang ia lempar, ternyata berisi cairan. Segera ia mengambil kaleng tersebut kembali dan mengendus isinya. Tidak ada baunya.
“Air!” Tanpa pikir panjang, ia meminum habis isinya. Rasa haus nya kini sedikit hilang.
BANG!
Tiba-tiba pintu besi tersebut terbuka. Seseorang datang. Sang lelaki jangkung itu hendak melakukan perlawanan, namun ia belum siap. Sayangnya lelaki dengan wajah menyeramkan kembali ke dalam ruangan dengan menodongkan pistol ke arah si lelaki jangkung.
“Apa kau mengakui kesalahanmu, Jati?” Kata si lelaki berwajah seram.
“Apa?”
“Apa kau mengakui telah membunuh Adam dan Luis berserta anak perempuannya?”
“Siapa kau?”
Lelaki berwajah seram itu tertawa, “Tidak usah kau jawab. Kita semua sudah tahu jawabannya.”
Jati hanya tersenyum sambil mengangkat tangannya, “Kukira aku akan dikurung di sini selamanya?”
“Sayangnya tidak” jawab si lelaki berwajah seram itu.
“Berarti aku bisa keluar sekarang?”
“Sepertinya tidak, maaf.”
“Mana si cantik? Kenapa ia tidak ikut denganmu?”
“Nyonya Lisa ada di sini. Memperhatikanmu dari atas. Lebih tepatnya di atas sana.”
Lelaki berwajah seram itu melirik ke arah langit-langit. Jati melirik ke atas. Ia memandangi langit-langit ruangan tersebut, “Di sana?”
“Iya.”
“Jadi selama ini kau memantau ruangan ini?” Kata jati heran.
“Iya.”
Jati terdiam, “Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan di sini? Aku tidak mengerti tujuannya. Menyiksaku? Untuk apa? Apa untungnya?”
“Kami tidak menyiksamu.”
“Apa? Lalu untuk apa?” Lelaki seram itu terdiam.
“Ok, kami sedikit menyiksamu dengan membiarkan dirimu berada di dalam ruangan putih sendirian. Kami semua bertaruh di atas sana. Kami bertaruh bagaimana dirimu akan mati di dalam ruangan ini.” Ia menurunkan pistolnya, “Kami tahu bahwa kau adalah tersangka yang akan dihukum mati oleh pemerintah minggu ini. Kami mencuri dirimu dari pemerintah.”
“Mencuri? Maksudmu saya diculik?”
“Iya. Saya bertugas sebagai orang dalam pemerintahan, sehingga mencurimu bukanlah hal yang sulit. Kami sudah melakukan ini berkali-kali. Bayangkan keuntungan yang dihasilkan dari melihat orang lain mati. Kau tidak akan percaya jika kuceritakan siapa saja yang sedang bertaruh di atas sana.”
Jati terdiam. Kini ia menyadari bahwa kematiannya sudah pasti. Dia akan mati hari ini.
“lalu? Apa kau akan membunuhku sekarang?”
“Tidak. Kau sudah mati, Jati.”
“A.. Apa maksudmu?” Jati terkejut.
“Permainan sudah berakhir. Air yang kau minum itu adalah racun.”
Jati terhenyak mendengar perkataan orang itu.
“Kau membawa keuntungan 10 juta miliar dollar bagi kami.”
Jati tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia merasa tenggorokannya kini mulai panas.
“Sebenarnya racun bukanlah hal yang menarik. Kami akan lebih terhibur jika kau bisa membakar dirimu di sini. Dengan selembar kertas dan kayu-kayu di sini? Kami akan sangat terhibur jika kau bisa menciptakan api di dalam sini.”
Jati mulai merasa lehernya tercekik, ia tidak bisa bernafas. Badannya kini serasa terbakar, membuatnya terjatuh.
“Tahun lalu ada orang yang berhasil membunuh dirinya sendiri dengan menabrakan diri ke tembok. Mungkin ia berharap tembok tersebut bisa pecah, sayangnya kepalanya pecah duluan.”
Pandangan jati mulai menghilang. Ia sudah tidak bisa merasakan apa-apa.
“Hey! Yang satu ini sudah mati. Cepat bawa tubuhnya dan bereskan ruangan ini untuk permainan selanjutnya.”
Jati kini sudah mati, dengan mata terbuka lebar dan tangan di leher. Kematiannya menyakitkan, tapi bagi orang di atas langit-langit ruangan itu, kematiannya membosankan. Walaupun begitu, kematiannya membawa banyak uang bagi pemenang taruhan dan pemilik ruangan putih ini.
Mayatnya diangkut oleh sekumpulan orang dengan jas hitam. Sebagian dari mereka membereskan ruangan putih. Dalam hitungan jam, ruangan tersebut sudah kembali seperti awal, cantik dan nyaman. Siap untuk dihuni oleh korban berikutnya.
0
1.3K
Kutip
7
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan