- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Anak Komjen Budi Dapat Kredit Rp 57 M, Wajarkah?


TS
toocooldimas
Anak Komjen Budi Dapat Kredit Rp 57 M, Wajarkah?
Quote:
Anak Komjen Budi Dapat Kredit Rp 57 M, Wajarkah?

Jakarta: Kepala Lembaga Pendidikan Akademi Kepolisian Komisaris Jenderal Budi Gunawan pernah mengatakan, transaksi jumbo yang tercatat dalam rekeningnya merupakan titipan anaknya, Muhammad Herviano Widyatama. Menurut Budi, dana Rp 57 miliar dalam rekening itu pinjaman yang diperoleh Herviano dari perusahaan Selandia Baru, Pacific Blue International Limited. Akad kredit diteken pada 5 Juli 2005. Semua pinjaman itu berbentuk tunai dalam mata uang rupiah.
Kepada Tim Penyelidik Terpadu Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri yang memeriksanya sekitar Juni 2010, Budi menjelaskan, kredit itu rencananya dipakai Herviano untuk mengembangkan bisnis perhotelan dan pertambangan timah. Dalam dokumen yang tersebar saat Budi mengikuti uji kelayakan sebagai Kepala Polri di DPR, pertengahan Januari 2015, dana itu dikucurkan empat tahap sepanjang Agustus 2005-Agustus 2006.
Dokumen itu menyebutkan, dana Rp 57 miliar ditampung dalam dua rekening di Bank Central Asia, masing-masing nomor 55202255XXXX yang dibuka pada 2 Agustus 2005, dan nomor 55202224XXXX yang dibuka pada 23 Maret 2006. Selain dua rekening milik Budi, Herviano juga membuka rekening di BCA dengan nomor rekening 552022XXXX pada 1 Agustus 2005, atau sebulan setelah akad kredit dengan Pacific Blue.
Dari penelusuran Tempo, ketika akad kredit itu diteken Herviano masih berusia 19 tahun. Sedangkan Budi Gunawan menjabat Kepala Biro Pengembangan Karir pada Divisi Sumber Daya Manusia Mabes Polri (2004-2006) dengan pangkat brigadir jenderal. Adapun saat diperiksa oleh Tim Bareskrim Polri pada Juni 2010, Budi Gunawan, menduduki posisi Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (2010-2012) dengan pangkat inspektur jenderal.
Herviano tercatat menggunakan dana pinjamannya pertama kali untuk investasi surat berharga. Ia mengucurkan investasi Rp 8 miliar dalam empat tahap selama periode 15 Desember 2005 hingga 11 Agustus 2006. Kemudian, Herviano menanamkan modal Rp 17,6 miliar di bisnis perhotelan selama 20 April 2007 hingga 5 Februari 2008, serta investasi di bidang pertambangan timah sebanyak Rp 10 miliar sepanjang 23 Mei 2007 hingga 18 Desember 2007.
KPK sudah mencurigai adanya transaksi tak wajar selama 2006 itu. Transaksi tersebut, menurut KPK, tidak sesuai dengan profil Budi sebagai anggota Polri. Kepemilikan rekening tak wajar inilah yang menjadi salah satu sangkaan KPK terhadap Budi sehingga Kepala Lembaga Kepolisian Polri itu ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa, 13 Januari 2015, sehari sebelum Budi mengikuti uji kelayakan di DPR.
Adapun Budi berkali-kali membantah adanya kejanggalan dalam rekeningnya. Budi berkilah, pembukaan dan penggunaan kedua rekening BCA miliknya di samping untuk menerima dana pinjaman puteranya, juga dimaksudkan dengan pertimbangan untuk turut mengawasi penggunaan pemanfaatan dana pinjaman. "Sehingga sesuai dengan tujuan pinjaman," kata Budi kepada Tim Bareskrim yang memeriksanya.
Lantas wajarkah kredit Rp 57 miliar itu digelontorkan kepada Herviano? Yanuar Rizky--analis yang sepuluh tahun bergelut di pasar modal dan keuangan--mengatakan, syarat-syarat investasi yang dikucurkan oleh lembaga keuangan non-bank, seperti kredit Pacific Blue kepada Herviano, memang tidak seketat syarat yang diajukan oleh lembaga perbankan. "Tidak terstandarisasi seperti prudential (syarat kehati-hatian) di bank," kata Yanuar kepada Tempo, Rabu, 4 Februari 2015.
Menurut Yanuar, prinsip pengucuran kredit tetap sama, yakni berdasarkan asas governance (keterbukaan, aset, dan tata kelola). Investor memberi pembiayaan jika penerima kredit (debitur) memiliki aset cukup dan bisnisnya menjanjikan. Ciri khasnya, Yanuar melanjutkan, jika kredit itu berupa pembiayaan penuh atawa tak ada aset yang cukup sebagai agunan, maka agar mendapat margin dari pembiayaan, investor lazimnya menempatkan orang di perusahaan penerima kredit.
Di samping syarat adanya perwakilan investor, kata Yanuar, perusahaan pemberi kredit mensyaratkan 'kendaraan' lain, berupa penawaran saham perdana alias Initial Public Offering (IPO) di lantai bursa. "Jika kreditur tidak mensyaratkan IPO (penawaran saham), berarti ada aset yang diagunkan. Tapi jika tidak ada aset, penerima kredit hanya pengatur antara alokasi dengan investasi yang diinginkan pemilik dana," ujar Yanuar.
Soal usia Herviano yang terbilang 'bau kencur' di ranah bisnis, Yanuar mengatakan, hal tersebut bisa diperdebatkan. Sebabnya, banyak juga investor yang berani membiayai ide-ide anak muda menjadi sebuah bisnis. Ia mencontohkan Facebook. Begitu ada pembiayaan kredit, maka investor langsung menempatkan perwakilannya di perusahaan milik Mark Zuckerberg itu, dan juga ada IPO. "Seharusnya juga ada hitung-hitungan itu oleh Pacific Blue," ucap Yanuar.
Penelusuran Tempo dari dokumen pemeriksaan Bareskrim terhadap rekening Budi Gunawan, menemukan kredit, yang diterima Herviano tidak mensyaratkan adanya agunan aset. Herviano hanya menyodorkan Letter of Guarantee dari Robert Priantono Bonosusatya, yang diakui Budi Gunawan sebagai karib lamanya. Belakangan, seperti yang dikutip dari laman Business Week, Robert adalah Presiden Komisaris PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk, perusahaan penerbitan dan percetakan di Surabaya.
David Koh, kuasa direksi Pacific Blue, seperti yang disebutkan dalam dokumen itu, tidak menjelaskan adanya perwakilan Pacific Blue di PT Mitra Abadi Berkatindo. Di perusahaan pertambangan timah ini, Herviano duduk sebagai salah satu komisaris. Namun, tak ada penjelasan sosok perwakilan Pacific Blue di perusahaan patungan yang berdiri pada 4 Mei 2007 itu. Padahal, Herviano mengucurkan investasi Rp 10 miliar ke PT Sumber Jaya Indah, yang juga perusahaan timah.
Di PT Mitra Abadi, Herviano berkongsi dengan tiga investor lain. Salah satunya Lo Stefanus, pendiri jaringan toko berlian dan permata Frank & Co, yang juga pemilik PT Mondial Investama Indonesia. Di PT Mitra Abadi, Stefanus memiliki 40 persen saham, sedangkan Herviano menguasai 20 persen saham. Saat diperiksa oleh Tim Bareskrim pada 7 Juni 2010, Stefanus mengakui penyertaan modal oleh Herviano di PT Mitra Abadi berasal dari Pacific Blue.
Kepada Tempo, Rabu, 4 Februari 2015, Komisaris Jenderal Purnawirawan Ito Sumardi--saat penyelidikan rekening jumbo milik Budi menjabat Kepala Bareskrim-- mengatakan, lantaran masih berusia 19 tahun dan menjadi direksi, maka Herviano dikawal oleh Budi Gunawan. "Dia (Herviano) belum sempurna menjadi pebisnis. Maksudnya belum matang. Semua transaksi saat itu dibantu oleh BG," kata Ito, yang kini menjabat Duta Besar Indonesia di Myanmar.
Stefanus belum berhasil dikonfirmasi terkait pengucuran dana dan siapa perwakilan Pacific Blue di PT Mitra Abadi. Berkali-kali panggilan dan pesan pendek yang dilayangkan ke telepon selulernya tak berbalas. Tempo menelusuri keberadaannya, namun Stefanus sulit ditemui di kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. "Beliau (Stefanus) jarang ke kantor. Sebulan sekali belum tentu," ujar Ari, pegawai di PT Central Mega Kencana, induk usaha Frank & Co, Kamis, 5 Februari 2015.
Pun demikian dengan David Koh. Ia belum dapat dimintai konfirmasi mengenai kredit perusahaannya kepada Herviano. David tercatat sebagai direktur di Pacific Blue sejak 10 Mei 2010. Saat dikonfirmasi Tempo ke kantor Pacific Blue di Level 2, The Public Trust Building, Dunedin, Selandia Baru, telepon perusahaan itu tidak pernah aktif. Belakangan diketahui perusahaan yang berdiri sejak 20 Oktober 2000 itu sudah ditutup pada 25 Februari 2013.
SUMBER.....
Emang enak jadi anak pejabat di Indonesia, mau kredit dapet kemudahan, aturannya di bikin peraturan kalo anak pejabat dilarang menggunakan nama orang tuanya untuk kepentingan pribadi!!!!!
0
3.7K
Kutip
27
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan