Kaskus

News

superstoreidAvatar border
TS
superstoreid
Gubernur Jokowi Lebih Superior dari Presiden SBY
Sumbernya dulu Gan



“The Rise of City Mayor and The Fall of National President” review buku Benjamin Barber

Menanggapi silih pendapat soal SBY yang bilang soal macet Jakarta tanya Djokowi maka sebetulnya bagi yang faham dinamika urban governning ini adalah tanda bahwa SBY sedang melempar handuk putih tanda kalah.

Minggu lalu saya beli buku yang cukup menarik dengan judul fantastik: Bagaimana bila Gubernur/Walikota memimpin dunia? (If Mayors Ruled The World) dari Benjamin R. Barber.

Kajian dari Ben bukan baru, tetapi sudah dibahas orang sejak 1970-an sejak era Frederich Jamesan, sampai Edward Soja. Ini terjadi ketika pelan-pelan terjadi transformasi seragam di seluruh dunia; dimana desa-desa berubah menjadi kota-kota akibat perubahan konsep dalam memahami wilayah.

Kota yang awalnya hanyalah bagian daripada satu unititas bernama nasion atau negara pelan-pelan mengeluarkan dirinya sendiri untuk menjadi lepas dan merdeka. Semenjak terjadinya akumulasi modal-modal dan bergerakknya financial flight ke negara-negara di seluruh dunia, maka kota dari sekedar tempat tinggal bergerak menjadi model utama dari sistem kontrol. Dimana di dalamnya duit, kebijakan, dan kekuasaan di negosiasikan dan dimediasikan melebih apa yang dapat dilakukan oleh sebuah negara.

Ambil contoh, Kota negara Singapura yang disebut Habibie -only a red dot- kenyataannya memutar separuh ekonomi Asia. Kota yang hanya seluas 350 km2 (750km dengan lautnya) hampir seluas Jakarta ternyata menguasai lebih dari 12 juta hektar lahan sawit dan kebun2 tanaman industri lainnya di seluruh dunia.

Kota juga mengandung di dalamnya hampir seluruh problematika yang dihadapi oleh sebuah negara. Yaitu over population, unemployment, kemiskinan, ketimpangan, penyisihan sosial, kriminalitas, korupsi, kesehatan, gelandangan, kemacetan, premanisme sampai terorisme.

Dengan persoalan yang hampir seragam di seluruh kota-kota dalam satu negara ini lah yang kemudian membuat pemerintah pusat (presiden) kehilangan kontrol dan kemampuan mengelola masalahnya. Terjadi apa yang ditulis Ben sebagai disfungsi nasion, mis manajemen pemerintahan, dan inefektif government.

Pemerintah pusat kemudian kehilangan legitimasi dan jumawanya, partai juga tidak lagi efektif menggerakkan mesin politik-sosialnya. Pada kondisi ini, kemudian muncul patriotik kota yang akhirnya membawa harapan besar bagi perubahan di tingkal yang lebih kecil dari negara tetapi berdampak lebih luas. Kelahiran politik para Major (walikota/bupati) atau Gubernur.

Di kota ini kemudian sosok gubernur/walikota pun diproyeksikan melampaui batasan-batasan yang dibuat seperti wilayah, asal, budaya, partai, dan akhirnya kekuasaan itu sendiri. Sebaliknya presiden sebagai supra pemerintahan pelan-pelan kehilangan popularitasnya karena apa yang didefinisikan sebagai rakyat sekarang adalah penduduk di kota-kota, yang umumnya memiliki informasi dan nalar kritis lebih dibanding mereka yang di desa.

Nalar kritis ini yang memunculkan Fenomena Jokowi The Mayor of Solo. Salah satu penyebabnya adalah rakyat kota yang muak dengan konsep dan janji2 politisi dan pemerintah pusat. Orang suka dengan cara “can do policy”, tanpa banyak bicara dan prosedur masalah yang harusnya bisa selesai ya segera diselesaikan.

Di sini kekuatan sosok sang Mayor/gubernur/bupati adalah contoh dari bagaimana suatu kota dapat menghancurkan struktur hirarki nasion seperti hirarki Pusat-daerah, pusat-provinsi-kabupaten-kecamatan-desa-kota,. Ia juga memandulkan institusi2 kekuasaan mapan seperti aparatus tentara, pemerintahan, parlemen, partai, komunitas agama, dan main stream media.

Sosok mayor Jokowi van Solo kemudian terproyeksikan ke level Kota besar seperti Jakarta. Sebagaimana faham, kemenangan Jokowi di Jakarta adalah identifikasi bahwa Jakarta selalu berkorelasi dengan “kedudukan” kekuasaan, popularitas, dan akhirnya kontrol itu sendiri.

Sehingga, Ben menulis trend penguasa kota akan menjadi lebih populer daripada penguasa negeri itu akan menjadi hal-hal lumrah saja dalam waktu-waktu dekat in selama pemerintah pusat seperti presiden gagal menjalankan fungsi pemerintahannya dan menarik maju nasion.

Jadi waktu SBY menyalahkan Djokowi untuk hal-hal seperti macet, banjir, polusi kota….ia sadar atau tidak telah menurunkan dirinya ke struktur yang lebih rendah daripada seorang kepala pemerintahan.

Namun pada saat yang sama ia menjadikan perihal “kota” dan “gubernurnya” sebagai sesuatu yang lebih tinggi dan penting untuk dikomentari. Sekaligus membuktikan jika ia sudah gagal menjalankan pemerintahanya yang semakin disfugnsional dan mismanajemen.

Di sini menariknya membaca buku Benjamin mengenai fenomena mayor (bupati dan gubernur) sebagai pemimpin dunia.

Dan kepada pecinta Jokowi, perilaku suka nyalahin gubernur seperti dilakukan Menteri mobil murah, Menteri broker dagang, para petinggi partai pemerintah, anggota dewan, sampai Presiden SBY sendiri adalah bukti bahwa yang demikian adalah pernyatan kekalahan awal politik mereka atas Djokowi.
0
5.4K
76
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan