Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

suryantharaAvatar border
TS
suryanthara
( Al Capone dari Bangkalan ) Cuci Uang Kanjeng Bangkalan

Hukum
Senin, 2 Februari 2015
Cuci Uang Kanjeng Bangkalan

Rumah berlantai dua itu menyembul dari balik pagar seng setinggi sekitar dua meter di Jalan Letnan Mestu, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Ketika Tempo mengelilingi Kampung Saksa, Kelurahan Kraton-tempat rumah itu berdiri-pekan lalu, bisa disebut inilah bangunan paling mentereng.

Pemiliknya bukan orang sembarangan. Dia Fuad Amin Imron, bekas bupati yang juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan periode 2014-2019. Di Bangkalan, Fuad memiliki panggilan khas: Pak Kanjeng. Dia disegani-juga ditakuti.

Sejak Fuad Amin dicokok penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi awal Desember tahun lalu, rumah itu selalu terlihat sepi. Padahal, menurut sejumlah warga di sana, sebelumnya saban hari selalu ada tamu datang ke sana untuk menemui Fuad. Pria 66 tahun itu terhitung baru menempati rumah tersebut, yakni pada pertengahan 2014. Di sana ia tinggal bersama istri mudanya, Siti Masnuri.

Saat menggeledah rumah itu pada Desember tahun lalu, penyidik KPK menemukan uang Rp 4 miliar yang disimpan di balik lukisan. Belakangan, KPK menyita uang sekitar Rp 100 miliar dari berbagai rekening milik Fuad. "Uangnya sekarang ada di rekening penampungan KPK," kata juru bicara KPK, Priharsa Nugraha.

Setelah menetapkan Fuad Amin Imron sebagai tersangka korupsi pada awal Januari lalu, KPK tidak hanya menjerat pria itu dengan pasal korupsi, tapi juga kejahatan pencucian uang. Dia disangka menyamarkan harta kekayaan yang diduga hasil korupsi. Ancaman hukumannya penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp 10 miliar.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah dua kali menyerahkan laporan hasil analisis transaksi di 35 rekening yang terkait dengan Fuad Amin. Untuk menyamarkan transaksi, Fuad biasanya memecah setoran uang ke rekeningnya. "Setorannya kecil-kecil, tapi sering," ujar Ketua PPATK Muhammad Yusuf.

Komisi antikorupsi menyeret Fuad setelah menangkap Direktur PT Media Karya Sentosa Antonio Bambang Djatmika dan Rauf-ajudan Fuad-di Jalan Bangka, Jakarta Selatan, pada awal Desember 2014. Petugas ketika itu menemukan duit Rp 700 juta di mobil Rauf. Sehari kemudian, KPK mencokok Fuad di rumahnya di Bangkalan.

Politikus Partai Gerindra itu diduga rutin menerima duit dari Media Karya sebagai "ucapan terima kasih" lantaran dibantu mendapatkan kontrak penyaluran gas dari PT Pertamina Hulu Energy West Madura Offshore (PHE-WMO). Media Karya Sentosa mendapatkan kontrak itu pada 2007, ketika Fuad masih menjabat Bupati Bangkalan.

Untuk mendapatkan kontrak dari PHE-WMO, Media Karya menggandeng PD Sumber Daya. Badan usaha milik daerah itu didirikan pada 2004 atau setahun setelah Fuad menjadi bupati. Tapi tak banyak yang tahu keberadaan PD Sumber Daya. Dua bangunan yang pernah dipakai sebagai kantor perusahaan tersebut tak pernah dipasangi papan nama.

Selama sembilan tahun, PD Sumber Daya berkantor di dalam kompleks rumah dinas bupati di Jalan Letnan Abdullah, Bangkalan. Sejak 2013, Sumber Daya pindah ke kantor yang lebih megah di Jalan Teuku Umar, Bangkalan. Perusahaan itu menyewa bangunan milik Fuad yang luas tanahnya sekitar 2.000 meter. Posisinya bersebelahan dengan kantor Bank Tabungan Negara.

Di kantor baru Sumber Daya pun tak ada tanda-tanda bahwa BUMD itu menjalankan bisnis jual-beli gas. Di ruangan kantor itu yang terpajang hanya etalase kaca berisi aneka alat tulis kantor. Sewaktu menggeledah kantor itu, KPK menyita sejumlah dokumen, yang diangkut dengan dua mobil pikap.

Bukan hanya warga biasa yang tak tahu apa sesungguhnya bidang usaha PD Sumber Daya. Anggota DPRD Bangkalan periode 2004-2009, Aliman Haris, misalnya, mengenal Sumber Daya sebagai pemasok alat tulis kantor. Selama menjadi bupati, menurut Aliman, Fuad Amin Imron tak pernah melaporkan kontrak penyaluran gas oleh Sumber Daya dan Media Karya ke DPRD. "Kedua perusahaan itu seperti menjalankan operasi diam-diam. Tak ada yang tahu," ucap Aliman.

Sejak 2007 hingga 2011, laporan keuangan perusahaan itu pun selalu merah. Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, pada 2007-2008 akumulasi kerugian Sumber Daya sebesar Rp 232 juta. Baru pada 2013 Sumber Daya menyetorkan 35 persen pendapatan ke kas daerah Bangkalan sebesar Rp 15 miliar.

Direktur Utama PD Sumber Daya Mohammad Sutikno mengaku tidak tahu-menahu riwayat proyek yang dikerjakan perusahaannya. Dia beralasan baru diangkat tiga bulan lalu menggantikan Abdul Hakim, mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Bangkalan. Sutikno dan Hakim telah dimintai keterangan oleh KPK, bersama Bendahara Sumber Daya, Mariatul Kiptiyah.

Menurut penelusuran PPATK, total transaksi mencurigakan di rekening Sumber Daya mencapai Rp 300 miliar. Sebagian besar dana mampir ke rekening Fuad, yang menjadi komisaris di perusahaan tersebut.

****

RUAS jalan yang menghubungkan Jalan Raya Halim Perdanakusuma dan pemakaman Buju Sara, Desa Martajasah, Bangkalan, kini mulus beraspal. Tapi proyek jalan yang baru selesai akhir 2014 itu tak luput dari masalah. Baru sebulan diselesaikan, jalan yang bersinggungan dengan Jalan Raya Halim Perdanakusuma ambles sepanjang tiga meter. Kontraktor memang sigap membenahi jalan yang ambles itu dengan menambah aspal. Namun "bau" tak sedap perihal proyek jalan ini telanjur meruyak.

Pembangunan jalan itu dikerjakan dalam dua tahap. Pertama, pada 2013, PT Trigaya Ciptamarga membangun jalan itu dengan anggaran Rp 13,2 miliar. Tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Bangkalan menambah anggaran Rp 9,5 miliar. Kali ini pelaksana proyeknya CV Amin Jaya.

Direktur Madura Corruption Watch Syukur mencium indikasi korupsi dalam proyek jalan itu setelah menerima laporan dari salah satu kontraktor. Si pengusaha mengaku menyetorkan Rp 719 juta kepada Fuad Amin Imron. Pengusaha itu pun mengaku "menyawer" pejabat Bangkalan lainnya. Total setoran sekitar Rp 1 miliar.

Karena dananya jadi bancakan, menurut Syukur, jalan itu dibangun tidak sesuai dengan standar. "Sudah kami laporkan ke KPK," kata Syukur, yang masih menyimpan dokumen laporan keuangan proyek itu.

Beberapa kali mengerjakan proyek pemerintah, Ketua Kamar Dagang dan Industri Bangkalan Humaidi menghitung bahwa "upeti" di Bangkalan minimal sepuluh persen dari nilai proyek. "Kami anggap itu sedekah. Kalau tak diberikan, kami akan kesulitan mendapatkan proyek," tutur Humaidi.

Pada 2013, misalnya, Humaidi mengerjakan proyek pemecah gelombang senilai Rp 1,6 miliar. Dia pun menyetorkan Rp 160 juta langsung ke Fuad Amin di rumahnya. "Saksinya anak buah Fuad yang memegang buku dan mencatat setoran saya," ujar Humaidi.

Kepala Dinas Bina Marga Bangkalan Taufan Z.S. membantah kabar bahwa dana proyek di dinasnya tercecer ke banyak tempat. Menurut dia, semua proyek dikerjakan melalui proses lelang terbuka. "Proyek berjalan sesuai dengan aturan," kata Taufan.

****

DI Bangkalan, bukan hanya pengusaha rekanan yang terkena "wajib setor". Tenaga honorer di kantor-kantor pemerintah, yang disebut tenaga harian lepas, pun tak luput dari pemerasan.

Ketua Poros Pemuda Bangkalan Mahmudi termasuk yang getol mempersoalkan setoran yang dibebankan kepada tenaga honorer. Setahu dia, rekrutmen tenaga harian lepas semestinya dihentikan sejak September 2005. Namun, di Bangkalan, rekrutmen tenaga honorer terus berjalan. Modusnya, surat keputusan bupati tentang pengangkatan tenaga harian lepas itu dimanipulasi. "SK dibuat dengan tanggal mundur," ucap Mahmudi. Pada 2012, setelah getol mempersoalkan keanehan tenaga honorer itu, Mahmudi dibacok orang tak dikenal.

Semua itu tak bisa jalan tanpa uang pelicin. Setoran untuk selembar surat keputusan bervariasi, dari Rp 5 juta sampai Rp 25 juta. Ini misalnya seperti yang diungkapkan Amik-sebut saja namanya begitu-kepada Tempo. Lulusan sekolah tinggi di Bangkalan itu sudah lima tahun menjadi guru honorer, dengan upah Rp 900 ribu per bulan. Pada tahun pertama menjadi guru honorer, Amik harus menyetorkan Rp 5 juta kepada pejabat di dinas pendidikan. "Bila tidak, saya bisa dipecat," kata Amik.

Calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Bangkalan pun menjadi sasaran empuk jaringan pemeras. Pegawai honorer yang lolos tes CPNS diminta menyetorkan sejumlah uang, sesuai dengan tingkat pendidikan si calon. Untuk lulusan sekolah menengah atas, setorannya Rp 75 juta. Adapun calon lulusan perguruan tinggi diminta menyetor Rp 100-125 juta. "Mereka ditakut-takuti SK CPNS tak akan keluar bila tak menyetor dulu," kata Mahmudi.

Mahmudah-bukan nama sebenarnya-termasuk calon pegawai negeri yang beruntung. Pada November tahun lalu, dia dipanggil seorang pejabat di dinas pendidikan dan diminta membayar Rp 100 juta. Sebelum membayar, Mahmudah mengadukan kasusnya ke sejumlah pegiat antikorupsi di Bangkalan. "Saya disarankan tak membayar," ujarnya. "Setelah Pak Fuad ditangkap, saya menerima SK." Adanya "setoran-setoran" ini ditampik Kepala Dinas Pendidikan Bangkalan Mohni. Dia menegaskan tak ada pemerasan terhadap tenaga honorer dan calon pegawai negeri di dinasnya. "Mana buktinya?" kata Mohni.

Bupati Makmun Ibnu Fuad, 29 tahun, anak Fuad Amin Imron, juga memilih diam soal berbagai tuduhan yang mengarah kepada sang bapak. Saat Tempo meminta konfirmasi atas pelbagai perbuatan miring yang dilakukan bapaknya selama menjadi bupati dan pejabat di Bangkalan, ia menggelengkan kepala. "Saya tak mau menanggapi itu," ujar Makmun.

Yuliawati, Musthofa Bisri (bangkalan), Linda Trianita, Muhamad Rizki

Mesin Politik Bernama Klebun

Sehari setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Fuad Amin Imron, awal Desember tahun lalu, Pondok Pesantren Ibnu Kholil, Bangkalan, mendadak meriah. Di sana, para santri menyembelih seekor sapi. "Potong sapi sebagai simbol menyembelih kezaliman di Bangkalan," kata pemimpin Pesantren Ibnu Kholil, Imam Bukhori, ketika menceritakan lagi acara syukuran itu, Rabu pekan lalu. Itulah cara Imam Bukhori dan pengikutnya mensyukuri penangkapan Fuad.

Ra Imam-panggilan Imam Bukhori-bisa diibaratkan kerikil dalam sepatu bagi dinasti politik yang dibangun Fuad Amin. Meski Ra Imam dan Fuad Amin sama-sama keturunan Bani Kholil-keluarga besar ulama legendaris Syaikhona Kholil-hubungan di antara keduanya selalu panas-dingin.

Fuad Amin, 66 tahun, mulai terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa periode 1999-2004. Menurut peneliti tradisi politik Bangkalan, Abdur Rozaqi, Fuad sangat pandai memanfaatkan statusnya sebagai keturunan Syaikhona Kholil untuk meraih berbagai posisi politik. Bermodal status sosial itu pula ia melenggang menjadi Bupati Bangkalan selama dua periode pada 2003-2013.

Gangguan kecil atas dominasi Fuad Amin justru datang dari Ra Imam, kiai muda yang masih saudara sepupu Fuad. Pada 2012, misalnya, Ra Imam maju sebagai calon Bupati Bangkalan melawan anak Fuad, Makmun Ibnu Fuad.

Untuk memuluskan pencalonan Makmun, Fuad menggunakan jaringan kepala desa atau klebun. Sialnya, saat kampanye, sebagian besar klebun kompak menutup akses Ra Imam bertemu dengan warga desa. Pernah suatu hari rombongan Ra Imam dihadang para klebun dari 16 desa di Kecamatan Kwanyar, Bangkalan. "Mereka takut dianggap mendukung bila saya bersosialisasi di daerah mereka," kata Ra Imam.

Fuad memang memanfaatkan klebun untuk memenangkan dirinya sekaligus menghambat pesaingnya. Caranya, sejak menjabat Bupati Bangkalan pada 2003, Fuad mengisi jabatan klebun dengan mengangkat pejabat sementara. Fuad pun terus menunda pemilihan langsung kepala desa oleh warga. Kini, dari 281 jabatan kepala desa di Bangkalan, 200 di antaranya diisi pejabat sementara.

Bila ada klebun yang membangkang, Fuad langsung memecat dan menggantinya. Dengan cara itu, "Fuad bisa membuat para klebun tunduk pada kemauan dia," ujar Direktur Madura Corruption Watch Syukur. Termasuk yang dipecat Fuad adalah Abdul Azis, klebun dari Desa Tobaddung, Kecamatan Klampis. Azis dicopot dari jabatan klebun dua hari setelah mengundang Ra Imam ke desanya.

Berkat dukungan penuh jaringan klebun, Makmun Ibnu Fuad terpilih sebagai Bupati Bangkalan pada usia 26 tahun. Berpasangan dengan Mondir Rofi, Makmun meraih 90 persen suara, mengalahkan pasangan Moh. Nizar Zahro-R.H. Zulkifli. Sedangkan pasangan calon Imam Bukhori-Zainal Alim dianulir Komisi Pemilihan Umum Daerah Bangkalan sepekan sebelum pencoblosan.

Fuad kembali memakai jaringan klebun dalam Pemilihan Umum 2014. Membawa bendera Partai Gerindra, ia menempatkan sepuluh wakil partai itu di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan. Sebelum dicokok KPK, Fuad sendiri menjabat Ketua DPRD Bangkalan.

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Bangkalan Ismet Effendi menepis anggapan bahwa penundaan pemilihan klebun merupakan cara untuk melanggengkan kekuasaan dinasti Fuad Amin. Menurut dia, posisi klebun yang "mengambang" itu bukan disengaja, melainkan lantaran kondisi keamanan di Bangkalan belum memungkinkan pemilihan langsung kepala desa. Tahun ini, kata dia, sedang dipersiapkan pemilihan kepala desa secara langsung.

Yuliawati Dan Musthofa Bisri (Bangkalan)

Sumber: http://majalah.tempo.co/konten/2015/...angkalan/49/43
0
2.9K
15
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan