Kaskus

News

bukan69Avatar border
TS
bukan69
JOKOWI BUKAN BONEKA
KOMPAS - Siapa pun yang jujur mengikuti hati
nuraninya akan dapat mengakui bahwa Joko
Widodo adalah presiden yang mau bekerja keras,
sedang bekerja keras, bercita-cita memimpin
Indonesia untuk menjadi bangsa dan negara yang
lebih baik, lebih sejahtera, lebih kuat, lebih
manusiawi. Ia pun kini sedang terus berbuat
mengejawantahkan cita-cita itu.
Itu semua sudah ia buktikan bukan hanya melalui
penampilan dan wicaranya yang sederhana dan
apa adanya atau melalui blusukan -nya yang
tulus, melainkan juga melalui tindakannya
memilih beberapa menteri yang sungguh
merupakan pilihannya sendiri tanpa pengaruh
signifikan kompromi politik. Sebutlah seperti
Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti
dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.
Setidak-tidaknya kita dapat melihat bahwa kedua
menteri pilihan asli Jokowi itu langsung bekerja
nyata untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang
menguntungkan rakyat.
"Orangtua" yang dominan
Akan tetapi, kita pun melihat betapa Jokowi tidak
terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh politik yang
sosoknya sulit dilawan oleh Jokowi. Agaknya
tokoh-tokoh itu adalah orang-orang senior dalam
politik yang dapat terhayati oleh Jokowi sebagai
sosok "orangtua" dominan (penuh kuasa), yang
menghendaki Jokowi bersikap submisif (tunduk
dan menurut). Salah satu dari tokoh-tokoh itu
adalah Megawati Soekarnoputri.
Publik luas membaca betapa Megawati dapat
begitu kuat memengaruhi Jokowi dalam memilih
pejabat, sampai-sampai sebagian dari publik
menyindir Jokowi dengan menyebutnya sebagai
"presiden boneka". Kejadian terakhir yang
mencolok, yang mengesankan pengaruh kuat tak
terlawankan dari Megawati terhadap Jokowi
adalah dipilihnya Komisaris Jenderal Budi
Gunawan menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian
Negara RI oleh Jokowi, yang kemudian berbuntut
kekisruhan berlarut-larut yang menggerogoti
legitimasi Jokowi di hadapan rakyat.
Kita tidak tahu apakah Megawati sebagai
negarawan memiliki ketegaan yang luar biasa
untuk membiarkan Jokowi mengalami
penggerogotan legitimasi di hadapan rakyat
dengan berkeras "memerintahkan" Jokowi untuk
memilih Budi Gunawan sebagai Kepala Polri.
Padahal, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Budi Gunawan menyandang indikasi-
indikasi sangat kuat sebagai pelaku korupsi.
Apakah Megawati hanya setingkat saja dengan
anggota-anggota DPR yang tega menjerumuskan
Jokowi dengan menyetujui (bukan mengoreksi)
pilihan Jokowi, padahal pilihan Jokowi itu jelas-
jelas tidak diterima oleh rakyat yang diwakili oleh
para anggota DPR itu.
Keseluruhan drama itu menyodorkan tanda-tanda
bahwa, bagi Jokowi, melawan kehendak jutaan
relawan pendukungnya dan ratusan juta rakyat
jelata yang memilihnya untuk menjadi orang
nomor satu di Republik Indonesia adalah lebih
enteng, lebih mudah, dan lebih bisa dilakukan
daripada melawan kehendak perseorangan tokoh
"orangtua" yang—bagi jiwa subyektif Jokowi—
terhayati secara idiosyncratic (sangat unik)
sebagai kekuatan yang begitu hegemonik dan
digdaya. Tak tertahankan, tak terlawankan.
Dalam mengalami praktik psikoterapi bersama
pasien-pasien, di sana-sini penulis menjumpai
orang-orang yang memang memiliki penghayatan
subyektif idiosinkratik "begitu tidak berdaya"
ketika mereka berhadapan dengan "orangtua".
Betapa pun orang-orang itu berumur dewasa,
bahkan setengah tua, tetapi ketika mereka
berhadapan dengan "orangtua", mereka menjadi
penurut. Mereka tidak sanggup meneruskan
fungsi berpikir otonom yang selama ini sudah
mereka miliki dengan baik dan mereka
ejawantahkan dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Di hadapan sang "orangtua", mereka
cenderung meninggalkan pilihan bebas mereka dan
menuruti saja kehendak sang "orangtua".
Saya khawatir Jokowi adalah orang yang seperti
itu di hadapan sang "orangtua", yang dalam hal
ini terutama adalah Megawati Soekarnoputri.
Kita melihat beberapa bahasa tubuh Jokowi, baik
di masa-masa sebelum dia dipilih menjadi calon
presiden oleh Megawati ataupun pada masa-
masa setelah itu, yang mencerminkan betapa
Jokowi "tunduk" di hadapan Megawati. Salah satu
yang terpenting adalah tindakan berulang Jokowi
mencium tangan Megawati sembari
membungkukkan punggungnya secara signifikan.
Memang kita bisa mengatakan bahwa itu hanya
sikap santun Jokowi sebagai orang Jawa dan
orang Solo yang sangat diresapi budaya
menghormati orangtua, tetapi terus terang
tindakan berulang Jokowi itu dapat dilihat
sebagai sebuah bahasa nonverbal yang dapat
mencerminkan penghayatan diri yang submisif
(tunduk dan menurut) di hadapan Megawati yang
adalah "orangtua" yang dominan.
Penulis sama sekali tidak memiliki kebencian apa
pun terhadap Jokowi ataupun Megawati. Dalam
pemilihan umum dulu, ketika Megawati maju
sebagai calon presiden (meskipun kemudian
terbukti kalah), penulis memilih beliau. Dalam
Pemilu 2014, penulis memilih Jokowi. Maksud
tulisan ini hanyalah mengingatkan Jokowi dan
Megawati, kedua-duanya, bahwa dalam hubungan
dua orang manusia bisa terjadi penghayatan
(yang sebagian besar sesungguhnya berlangsung
secara nirsadar) bahwa salah satu dari dua orang
itu adalah figur "orangtua" (parental figure)
yang begitu kuat, dahsyat, dominan tak
tertahankan dan tak terlawankan pengaruhnya.
Di sini terjadi hubungan "anak" yang submisif dan
"orangtua" yang dominan.
Tentulah hubungan seperti itu bukanlah suatu
wujud hubungan yang sehat. Sebab pihak yang
submisif menjadi terhambat tumbuh-kembangnya,
bisa kehilangan fungsi berpikir otonomnya, bisa
kehilangan kemampuan imajinatifnya. Secara luas
sekaligus mendasar dapat dikatakan bahwa pihak
yang submisif itu bisa kehilangan kebebasan
mendasarnya sebagai pribadi manusia dewasa dan
bermartabat. Jika hubungan tidak sehat seperti
ini terjadi antara dua orang tokoh pemimpin di
dalam negara, kita bisa membayangkan betapa
akan sangat besarlah efek-efek distortifnya
untuk kehidupan kenegaraan.

Bahan renungan
Penulis masih percaya bahwa Megawati
Soekarnoputri adalah seorang negarawan besar
yang juga mencintai Joko Widodo secara tulus.
Megawati tentunya tidak ingin melihat Jokowi
tergerogoti legitimasinya di hadapan rakyat
karena memilih pejabat-pejabat tanpa
mengindahkan janji-janjinya sewaktu kampanye,
yaitu hanya memilih pejabat-pejabat yang bersih
dan jujur saja. Megawati Soekarnoputri juga
tentunya tidak ingin melihat Jokowi menjadi
penguasa lalim yang mengabaikan suara rakyat
hanya demi terhindar dari rasa takut di hadapan
sang "orangtua" yang dahsyat dominan tak
terlawankan.
Megawati perlu menyadari bahwa justru karena
sosok dirinya terhayati sebagai "orangtua" yang
dominan bagi Jokowi, ia perlu sangat berhati-
hati dalam menerapkan pengaruhnya terhadap
sang presiden. Bahkan, seyogianya ia sangat
meminimalkan pengaruhnya terhadap Jokowi,
yakni dengan membiarkan Jokowi mengambil
keputusan-keputusannya sendiri walaupun
keputusan-keputusan itu tidak cocok dengan
kehendak dan selera sang ibu.
Di sisi lain, barangkali tulisan ini dapat menjadi
salah satu bahan renungan bagi Jokowi. Ia
memang perlu menjadi sungguh-sungguh Jokowi,
seorang pria dan pemimpin yang dekat dengan
rakyat, begitu energik mendengarkan rakyat dan
melayani rakyat dengan tulus. Kalau Jokowi
menjadi sungguh Presiden Joko Widodo, pastilah
ia itu presiden bukan boneka. Mulai sekarang ia
perlu menegaskan kembali dengan segenap
keputusan yang akan ia ambil dalam perjalanan
pemerintahannya sampai 2019 bahwa memang
Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia,
presiden milik rakyat Indonesia, bukan presiden
boneka dari siapa pun.

Limas Sutanto
Psikiater Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang

http://nasional.kompas.com/read/2015...4/Bukan.Boneka

DIMENSI KONFLIK POLITIK

JAKARTA, KOMPAS - Dalam karya klasiknya,
Democracy in America, bangsawan Perancis, Alexis
de Tocqueville, menulis dalam pengantar bukunya
tahun 1830-an: "Apakah manusia selalu menghuni
suatu dunia seperti yang ada sekarang, di mana
segala sesuatu tidak berada dalam hubungan yang
benar dengan yang lain, di mana kebajikan hadir
tanpa kecerdasan, dan kecerdasan ada tanpa
kehormatan; di mana cinta akan tata tertib
dikacaukan dengan selera untuk penindasan, dan
penghormatan yang suci terhadap kebebasan
dikacaukan dengan pelecehan terhadap hukum; di
mana sinar yang dipancarkan oleh hati nurani
atas tindakan manusia menjadi redup, dan tidak
ada lagi yang terlarang atau diizinkan,
terhormat atau memalukan, salah atau benar?"
Tiap ketegangan dan krisis politik mempunyai
satu manfaat, yaitu memperlihatkan
mengkristalnya kepentingan-kepentingan politik
dan kekuatan yang mendukung setiap kepentingan
yang saling bersaing. Ketegangan yang muncul
karena usul Presiden Joko Widodo kepada DPR
pada 9 Januari 2015 agar menyetujui penunjukan
Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan (BG)
sebagai Kepala Kepolisian Negara RI dan
sambutan DPR yang, di luar dugaan, mendukung
pencalonan BG telah menimbulkan heboh politik,
khususnya setelah KPK mengumumkan pada 13
Januari 2015 bahwa calon bersangkutan menjadi
tersangka oleh KPK. Ketegangan agak mereda
setelah Presiden Jokowi mengumumkan pada 16
Januari bahwa pelantikan BG ditunda.
Krisis politik tersebut patut dipandang sebagai
hanya salah satu peristiwa politik yang
memperlihatkan relasi dan oposisi di antara
beberapa kekuatan sosial-politik yang membawa
serta kepentingan politik mereka. Kalau hubungan
di antara berbagai kekuatan politik itu tidak
dibenahi, krisis yang sama akan muncul kembali
kalau terjadi benturan kepentingan dalam pola
yang sama di kemudian hari.
Dalam keadaan sekarang relasi dan oposisi itu
dapat muncul dalam hubungan (1) di antara
eksekutif dan legislatif, (2) di antara presiden
dan koalisi pendukungnya, (3) di antara koalisi-
koalisi dalam DPR, (4) di antara presiden dan
kelompok masyarakat sipil, khususnya kelompok-
kelompok relawan, (5) di antara kepentingan
oligarki dan kepentingan demokrasi, dan (6) di
antara prosedur politik dan substansi politik.
Setiap hubungan ini akan ditinjau secara singkat
dalam tulisan ini.
Adanya koalisi pendukung presiden menjadi
penting karena dalam Badan Legislatif koalisi
pendukung ini menjadi penyeimbang koalisi oposisi
dalam menyetujui atau menolak kebijakan
pemerintah dan program-program pemerintah
yang mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Tanpa adanya koalisi pendukung yang kuat,
kebijakan apa pun dari pemerintah dapat saja
dijegal oleh oposisi dalam DPR. Di negara-negara
dengan demokrasi yang sudah mapan persaingan
di antara koalisi didasarkan pada ideologi setiap
pihak. Maka koalisi yang yakin akan pentingnya
pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan
industri, akan berhadapan dengan koalisi yang
membela terawatnya lingkungan hidup. Atau
sejauh menyangkut pengendalian pertumbuhan
penduduk, persaingan terjadi di antara koalisi
yang mengambil posisi pro life dan koalisi yang
menganut paham pro choice.
Seorang eksekutif tertinggi seperti presiden
diharapkan atau bahkan dituntut membuat
kebijakan yang sejalan dengan ideologi koalisi
pendukungnya dan bukannya harus sesuai
keinginan seorang pemimpin partai dalam koalisi,
yang lebih merupakan kepentingan pribadi dan
bukannya kepentingan ideologi yang dianut dalam
koalisi pendukung. Dalam kasus Indonesia,
ideologi partai-partai politik dan ideologi koalisi
politik pada umumnya belum jelas atau baru jelas
dalam berbagai pernyataan politik, tetapi tidak
dioperasionalisasikan dalam program-program
politik. Akibatnya, sikap partai dan koalisi lebih
bergantung pada kehendak pemimpin partai yang
paling dominan dalam koalisi, meskipun
pelaksanaan keinginan ketua partai tersebut
dapat merugikan atau membahayakan posisi
koalisi yang dipimpinnya.
Ketika mengusulkan nama BG sebagai calon
Kapolri, yang didukung Koalisi Indonesia Hebat
(dan kemudian juga Koalisi Merah Putih), Presiden
pasti mengalami kesulitan menjelaskan hubungan
di antara pengangkatan komjen yang konon
kaya-raya itu dengan rencana ekonomi Presiden
Jokowi untuk memberi perhatian utama kepada
masyarakat menengah-bawah. Juga PDI-P akan
kelabakan menjelaskan kaitan BG dengan PDI-P
sebagai partai wong cilik. Demikian pun Nasdem
sebagai partai perubahan tidak mudah melihat
hubungan di antara perubahan yang dikehendaki
dan kondisi seorang arriviste di kalangan elite
politik. Quis custodiet custodes? Siapa yang
harus mengawal para pengawal? Itulah
pertanyaan para ahli hukum Romawi zaman dulu.
Dalam hal itu sebaiknya pemimpin mendengar
suara rakyatnya karena merekalah yang paling
berkepentingan dengan pengawalan yang
diberikan kepada mereka.
Relasi timpang eksekutif-legislatif
Hal ini berhubungan dengan masalah kedua, yaitu
relasi dan oposisi di antara eksekutif dan
legislatif. Sejarah politik Indonesia sejak Orde
Baru memperlihatkan bahwa hubungan itu
cenderung menjadi hubungan yang timpang.
Dalam pemerintahan Presiden Soeharto, DPR
praktis hanya berperan sebagai stempel yang
mengesahkan semua kebijakan yang diajukan oleh
eksekutif. Tidak ada fungsi kontrol oleh DPR
sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Dapatlah dipahami bahwa sejak Reformasi 1998
DPR berusaha merebut otonominya kembali dengan
membuat tiga fungsinya menjadi efektif, yaitu
legislasi, pengawasan, dan anggaran. Menurut
logika tata negara tiga fungsi ini semestinya
mengejawantahkan kedudukan DPR sebagai
representative body, yaitu representasi
kepentingan rakyat.
Dalam arti itu keberhasilan tiga fungsi DPR amat
tergantung dari seberapa jauh representasi itu
direalisasikan dalam tiga fungsi itu. Apakah
dalam menjalankan fungsi legislasi DPR membuat
UU yang mewakili kepentingan rakyat atau lebih
mengutamakan kepentingan negara dan malahan
membela kepentingan pasar dan konglomerat?
Apakah pengawasan yang dilakukan DPR menjadi
kontrol terhadap kekuasaan negara dan terhadap
intervensi elite politik dan para anggota oligarki
atau hanya menjadi kontrol terhadap kebebasan
rakyat dalam menyatakan pendapat dan
memperjuangkan aspirasinya? Demikian pun dalam
mengesahkan anggaran belanja negara, apakah
diperhatikan anggaran yang disusun memihak
kepentingan rakyat, kepentingan penguasa atau
kepentingan pasar semata-mata?
Sudah jelas bahwa dalam menyusun usul anggaran
para eksekutif memberi perhatian utama pada
target-target yang harus dicapai oleh setiap
departemen pemerintahan. Namun, imbangan
yang dapat diberikan oleh DPR adalah meninjau
seberapa jauh target-target dalam program
pembangunan memihak, menjauhi atau bahkan
bertentangan dengan kepentingan rakyat. Kalau
tugas-tugas representasi ini dilaksanakan
dengan benar dan bertanggung jawab, dapat
dipastikan, para anggota DPR punya lebih dari
cukup pekerjaan rumah dan tidak banyak waktu
yang tersisa untuk melakukan manuver-manuver
yang tidak perlu untuk memperoleh lebih banyak
kekuasaan atau membuat pertandingan hegemoni
dengan kalangan eksekutif.
Hubungan di antara koalisi dalam DPR, yaitu di
antara koalisi pendukung pemerintah dan koalisi
oposisi amat penting untuk menjaga
keseimbangan melalui pembagian peran. Koalisi
pendukung pemerintah dapat menjelaskan dan
mendukung kebijakan pemerintah, sementara
koalisi oposisi mempertanyakan dan
mempersoalkan hal-hal yang belum jelas atau
dianggap tak sesuai dengan UU. Koalisi pendukung
pemerintah dapat menjadi sandaran legislatif
bagi kebijakan yang diajukan oleh eksekutif, dan
diharap tidak mendesak keinginan mereka sendiri
agar dilaksanakan oleh pemerintah.
Koalisi partai oposisi perlu ada untuk mengecek,
apakah pelaksanaan kekuasaan eksekutif sesuai
atau bertentangan dengan UU dan sejalan dengan
kepentingan rakyat yang direpresentasikan dalam
fungsi DPR. Dalam rumusan yang ekstrem dapat
dikatakan, oposisi harus ada agar pemerintah dan
koalisi pendukungnya tidak menjadi sewenang-
wenang dan otoriter dalam penggunaan
kekuasaan, sedangkan koalisi pendukung
pemerintah perlu ada agar oposisi tidak menjadi
sewenang-wenang dan anarkistis dalam
menjungkir-balikkan kekuasaan yang sah.
Keduanya akan bertemu pada dua titik yang
sama, yaitu pelaksanaan kekuasaan (atau
machtsaanwending, menurut rumusan Bung
Karno) tidak berkembang hingga keluar batas UU
atau bertentangan dengan kepentingan rakyat
yang terwakili dalam diri legislator dan lembaga
legislatif.
Ketentuan normatif di atas tidak dengan
sendirinya meniadakan vested interest dalam
setiap koalisi. Kasus BG dapat menjadi ilustrasi.
Setelah BG diajukan sebagai calon Kapolri dan
disusul penetapan dirinya sebagai tersangka oleh
KPK, baik koalisi pendukung pemerintah maupun
koalisi oposisi kelihatan tidak terpengaruh oleh
penetapan KPK ini. Komisi III DPR tetap
melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan pada
14 Januari 2015 dengan hasil mendukung
pencalonan BG sebagai Kapolri, yang sehari
kemudian diperkuat oleh dukungan rapat
paripurna DPR. Muncul pertanyaan: mengapa KIH
sebagai pendukung pemerintah menyetujui
pencalonan BG, meskipun sudah dinyatakan
sebagai tersangka? Mengapa juga KMP sebagai
oposisi, yang sebelum ini belum pernah sejalan
dengan koalisi pendukung pemerintah, sekali ini
demikian kompak dalam mendukung BG? Tentulah
sukar bagi rakyat untuk percaya bahwa dukungan
itu diberikan untuk menjamin pemerintahan yang
bersih tanpa korupsi, meskipun keinginan itu
berulang-ulang diucapkan oleh kedua koalisi
selama masa kampanye.
Elite politik vs kekuatan rakyat
Terlihat di sini tegangan antara politik yang
dijalankan elite politik dan politik yang
digerakkan oleh kekuatan rakyat dalam
masyarakat sipil, yang telah memainkan peranan
yang menentukan dalam kemenangan Jokowi
sebagai capres. Kesulitan yang dihadapi
masyarakat sipil ialah kemampuan mereka dalam
mendukung atau menggagalkan perebutan
kekuasaan atau machtsvorming menurut istilah
Bung Karno, belum diimbangi dengan kemampuan
mereka dalam membantu penggunaan kekuasaan
secara lebih baik oleh pemegang kekuasaan.
Proses-proses politik intra-parlementer hampir
tak ada hubungannya dengan proses-proses
ekstra-parlementer, kecuali dalam bentuk
parlemen jalanan kalau ada krisis politik. Perlu
dicari jalan agar suara dan aspirasi masyarakat
sipil dapat diakomodasi sebagai input dalam
perdebatan di DPR, misalnya melalui usul
perbaikan rencana UU atau usul perbaikan alokasi
anggaran pada tingkat nasional dan tingkat
daerah sehingga fungsi representasi DPR semakin
diperkuat oleh partisipasi aktif dan efektif oleh
kelompok masyarakat sipil. Dirumuskan dalam
bentuk ekstrem, suatu politik intra-parlementer
tanpa persinggungan dengan masyarakat sipil
hanya menghasilkan isolasionisme kelembagaan
yang akan membuat mandul fungsi representasi
DPR. Sebaliknya, aktivisme kelompok-kelompok
masyarakat sipil yang tak punya titik-temu
dengan proses-proses intra-parlementer akan
menghasilkan kesibukan dan sport politik yang tak
ada efeknya terhadap penguatan partisipasi
politik.
Ketegangan-ketegangan itu di atas yang
menimbulkan konflik politik merupakan
terjemahan dari tegangan antara prosedur politik
dan substansi politik. Menekankan pentingnya
keadilan, pemerintahan yang bersih atau
keamanan dan integrasi politik, tanpa
mengindahkan prosedur yang demokratis dalam
mencapainya dapat membawa kita ke sikap
otoriter. Sebaliknya, menekankan pentingnya
prosedur tanpa memperhatikan substansi akan
menghasilkan oportunisme politik yang selalu
terjebak dalam capaian-capaian jangka pendek
yang semata-mata pragmatis sifatnya. Risiko
yang satu adalah tujuan menghalalkan cara,
risiko yang lain adalah cara menghalalkan tujuan.
Demokrasi memang sulit karena tujuan yang
benar harus dicapai dengan cara yang benar.
Ignas Kleden
Sosiolog; Ketua Badan Pengurus Komunitas
Indonesia untuk Demokrasi (KID)

http://nasional.kompas.com/read/2015...onflik.Politik

siap" JOKOWI BUKAN BONEKA berharap dapet emoticon-Toast emoticon-Cendol (S)
Diubah oleh bukan69 27-01-2015 15:48
0
3.2K
24
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan