- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[Kupas Sejarah] 5 Pejabat KPK yang 'Dijegal' Saat Menangani Kasus 'Hot'


TS
n4z1
[Kupas Sejarah] 5 Pejabat KPK yang 'Dijegal' Saat Menangani Kasus 'Hot'
5 Pejabat KPK yang 'Dijegal' Saat Menangani Kasus 'Hot'
![[Kupas Sejarah] 5 Pejabat KPK yang 'Dijegal' Saat Menangani Kasus 'Hot'](https://s.kaskus.id/images/2015/01/25/482992_20150125022717.jpg)
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah produk pasca reformasi, yang dibentuk karena publik sudah tak percaya dengan kinerja Kejaksaan Agung dan Polri untuk menumpas korupsi. Beberapa koruptor dinilai melakukan fight back atau perlawanan balik. Beberapa pejabat KPK 'dijegal' saat menangani kasus besar seperti mereka ini.
![[Kupas Sejarah] 5 Pejabat KPK yang 'Dijegal' Saat Menangani Kasus 'Hot'](https://s.kaskus.id/images/2015/01/25/482992_20150125022844.jpg)
Antasari Azhar
Antasari Azhar menjadi Ketua KPK sejak tahun 2007. Di bawah kepemimpinannya, kasus-kasus korupsi yang menggegerkan dikuak. Sebutlah, menangkap jaksa terbaik Urip Tri Gunawan yang menjadi Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Urip tertangkap tangan menerima suap U$ 660 ribu dari Artalyta Suryani alias Ayin dalam kaitan kasus BLBI Syamsul Nursalim pada Maret 2008. Kejaksaan menghentikan penyelidikan tersebut melalui Jaksa Agung Muda Kemas Yahya Rahman pada tanggal 29 Februari 2008.
Di bawah Antasari, KPK juga menangkap anggota DPR Komisi IV dari PPP Al Amin Nur Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan di Hotel Ritz-Carlton pada April 2008. Beberapa anggota DPR juga menyusul Amin. Seperti anggota Komisi V DPR dari FPAN Abdul Hadi Djamal. KPK juga memenjarakan Aulia Pohan, Deputi Gubernur BI yang juga besan Presiden SBY.
Kemudian, tiba-tiba ada penembakan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnain hingga tewas pada 15 Maret 2009. 1,5 Bulan kemudian, polisi menangkap Heri Santosa, Kapolres Jaksel saat itu Wiliardi Wizar dan Komisaris PT Pers Indonesia Merdeka (PIM) Sigid Haryo Wibisono.
Dari hasil pemeriksaan Wiliardi dan Sigid diperoleh keterangan bahwa yang mempunyai keinginan untuk menghilangkan nyawa Nasrudin adalah Antasari Azhar. Sebab, Nasrudin sering meneror dan memeras Antasari dengan ancaman akan membongkar perselingkuhan Antasari dengan istri siri Nasrudin bernama Rani yang terjadi di Hotel Grand Mahakam Kebayoran Baru Jaksel sekitar bulan Mei 2008. Karena ancaman tersebut dirasakan sudah sangat mengganggu baik diri pribadi maupun istri dari Antasari, maka Sigid menghubungi Wiliardi untuk meminta bantuan pembunuhan terhadap Nasrudin.
Atas hasil pemeriksaan polisi itu, Antasari ditahan Polda Metro Jaya pada 4 Mei 2009 dan dinonaktifkan Presiden SBY pada 6 Mei 2009. Antasari kemudian divonis hakim 17 tahun bui dan dinyatakan terbukti bersalah menjadi otak pembunuhan Nasrudin. Hingga tahun 2014, Antasari membantah semua yang dituduhkan polisi dan jaksa. Hingga akhir tahun 2014, Antasari masih melakukan upaya hukum. Tercatat Antasari melakukan praperadilan pada Juni 2013 dan November 2014.
Praperadilan yang diajukan tentang SMS gelap. Menurut pihak Antasari, SMS tersebut 'gelap' karena tidak diketahui siapa pengirimnya. Tuduhan bahwa Antasari mengirim SMS tersebut ke PT Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nazrudin Zurkarnain yang tewas ditembak itu adalah tidak benar
Di bawah Antasari, KPK juga menangkap anggota DPR Komisi IV dari PPP Al Amin Nur Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan di Hotel Ritz-Carlton pada April 2008. Beberapa anggota DPR juga menyusul Amin. Seperti anggota Komisi V DPR dari FPAN Abdul Hadi Djamal. KPK juga memenjarakan Aulia Pohan, Deputi Gubernur BI yang juga besan Presiden SBY.
Kemudian, tiba-tiba ada penembakan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnain hingga tewas pada 15 Maret 2009. 1,5 Bulan kemudian, polisi menangkap Heri Santosa, Kapolres Jaksel saat itu Wiliardi Wizar dan Komisaris PT Pers Indonesia Merdeka (PIM) Sigid Haryo Wibisono.
Dari hasil pemeriksaan Wiliardi dan Sigid diperoleh keterangan bahwa yang mempunyai keinginan untuk menghilangkan nyawa Nasrudin adalah Antasari Azhar. Sebab, Nasrudin sering meneror dan memeras Antasari dengan ancaman akan membongkar perselingkuhan Antasari dengan istri siri Nasrudin bernama Rani yang terjadi di Hotel Grand Mahakam Kebayoran Baru Jaksel sekitar bulan Mei 2008. Karena ancaman tersebut dirasakan sudah sangat mengganggu baik diri pribadi maupun istri dari Antasari, maka Sigid menghubungi Wiliardi untuk meminta bantuan pembunuhan terhadap Nasrudin.
Atas hasil pemeriksaan polisi itu, Antasari ditahan Polda Metro Jaya pada 4 Mei 2009 dan dinonaktifkan Presiden SBY pada 6 Mei 2009. Antasari kemudian divonis hakim 17 tahun bui dan dinyatakan terbukti bersalah menjadi otak pembunuhan Nasrudin. Hingga tahun 2014, Antasari membantah semua yang dituduhkan polisi dan jaksa. Hingga akhir tahun 2014, Antasari masih melakukan upaya hukum. Tercatat Antasari melakukan praperadilan pada Juni 2013 dan November 2014.
Praperadilan yang diajukan tentang SMS gelap. Menurut pihak Antasari, SMS tersebut 'gelap' karena tidak diketahui siapa pengirimnya. Tuduhan bahwa Antasari mengirim SMS tersebut ke PT Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nazrudin Zurkarnain yang tewas ditembak itu adalah tidak benar
![[Kupas Sejarah] 5 Pejabat KPK yang 'Dijegal' Saat Menangani Kasus 'Hot'](https://s.kaskus.id/images/2015/01/25/482992_20150125023214.jpg)
Bibit Samad Rianto-Chandra Hamzah
Setelah Antasari Azhar ditahan Polda Metro Jaya, badai menerpa Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Perseteruan tersebut berawal dari isu yang beredar adanya penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji. Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna. Susno mengaku bila penyadapan terkait kasus Bank Century-Antaboga. Susno mengaku karena merasa disadap dia menjadi asal ngomong. Susno disebut-sebut meminta uang dalam percakapan telepon itu.
Kasus ini mulai bergulir pada Juli 2009. Saat itu, Kabareskrim Susno dalam wawancara di Majalah Tempo, mengatakan, "Cicak kok mau melawan buaya". Susno mengibaratkan institusinya sebagai buaya dan KPK sebagai cicak. Mulai saat itu, muncullah istilah 'Cicak vs Buaya' untuk perseteruan antara KPK dan Polri.
Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dalam jumpa pers di KPK mengatakan bahwa sistem penyadapan yang KPK lakukan adalah lawful interception (hanya menyadap pihak yang terindikasi korupsi). Itu digunakan untuk penegakan hukum bila merasa ada yang tersadap dan punya masalah dengan itu, datang saja ke KPK, tentu KPK memberikan penjelasan.
KPK memasukkan Anggoro Widjojo ke dalam DPO dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia, padahal diketahui bahwa Anggoro masih berada di Singapura. Dan Susno menegaskan, surat DPO Anggoro dari KPK tidak pernah diterimanya hingga saat ini.
Susno menemui Anggoro Widjojo di Singapura dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi sesuai dengan pelaporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit. Susno Duadji mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Kapolri serta Susno Duadji menegaskan bahwa surat DPO Anggoro Widjojo dari KPK tidak pernah diterimanya.
Bibit dan Chandra ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan. Mereka diduga telah menyalahgunakan kewenangannya saat mencekal bos PT Masaro Radiocom, Anggoro Widjojo dan mencabut cekal bos PT Era Giat Prima Joko Soegiarto Tjandra.
Bibit dan Chandra ditahan mulai Kamis (29/10/2009) karena menyandang status tersangka kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang itu pun terancam 5 tahun penjara. Penahanan terhadap 2 tersangka mulai hari ini antara lain karena persyaratan obyektifnya sudah terpenuhi, sebagaimana diatur dalam KUHP ancaman penjara atas Bibit dan Chandra di atas 5 tahun.
Dua pekan setelah Bibit dan Chandra ditahan polisi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Menurut SBY ada sejumlah permasalahan di ketiga Lembaga Penegak Hukum saat itu yakni Polri, Kejaksaan Agung dan KPK.
"Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik, yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu yaitu Polri, Kejaksaan Agung dan KPK," kata SBY saat memberikan pidato terkait kasus cicak vs buaya pada 23 November 2009 di Istana Negara.
Kasus ini mulai bergulir pada Juli 2009. Saat itu, Kabareskrim Susno dalam wawancara di Majalah Tempo, mengatakan, "Cicak kok mau melawan buaya". Susno mengibaratkan institusinya sebagai buaya dan KPK sebagai cicak. Mulai saat itu, muncullah istilah 'Cicak vs Buaya' untuk perseteruan antara KPK dan Polri.
Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dalam jumpa pers di KPK mengatakan bahwa sistem penyadapan yang KPK lakukan adalah lawful interception (hanya menyadap pihak yang terindikasi korupsi). Itu digunakan untuk penegakan hukum bila merasa ada yang tersadap dan punya masalah dengan itu, datang saja ke KPK, tentu KPK memberikan penjelasan.
KPK memasukkan Anggoro Widjojo ke dalam DPO dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia, padahal diketahui bahwa Anggoro masih berada di Singapura. Dan Susno menegaskan, surat DPO Anggoro dari KPK tidak pernah diterimanya hingga saat ini.
Susno menemui Anggoro Widjojo di Singapura dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi sesuai dengan pelaporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit. Susno Duadji mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan atas perintah Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Kapolri serta Susno Duadji menegaskan bahwa surat DPO Anggoro Widjojo dari KPK tidak pernah diterimanya.
Bibit dan Chandra ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan. Mereka diduga telah menyalahgunakan kewenangannya saat mencekal bos PT Masaro Radiocom, Anggoro Widjojo dan mencabut cekal bos PT Era Giat Prima Joko Soegiarto Tjandra.
Bibit dan Chandra ditahan mulai Kamis (29/10/2009) karena menyandang status tersangka kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang itu pun terancam 5 tahun penjara. Penahanan terhadap 2 tersangka mulai hari ini antara lain karena persyaratan obyektifnya sudah terpenuhi, sebagaimana diatur dalam KUHP ancaman penjara atas Bibit dan Chandra di atas 5 tahun.
Dua pekan setelah Bibit dan Chandra ditahan polisi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Menurut SBY ada sejumlah permasalahan di ketiga Lembaga Penegak Hukum saat itu yakni Polri, Kejaksaan Agung dan KPK.
"Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik, yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu yaitu Polri, Kejaksaan Agung dan KPK," kata SBY saat memberikan pidato terkait kasus cicak vs buaya pada 23 November 2009 di Istana Negara.
![[Kupas Sejarah] 5 Pejabat KPK yang 'Dijegal' Saat Menangani Kasus 'Hot'](https://s.kaskus.id/images/2015/01/25/482992_20150125023454.jpg)
Novel Baswedan
Tiga tahun kemudian kasus cicak vs buaya kembali terjadi pada awal Oktober 2012. Kasus ini dipicu oleh langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Saat itu tak lama setelah KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka, Bareskrim Mabes Polri menetapkan salah satu penyidik komisi antirasuah Komisaris Polisi Novel Baswedan sebagai tersangka. Tuduhan Bareskrim kepada Novel bukan kasus baru melainkan peristiwa yang terjadi pada 2004 atau delapan tahun sebelumnya.
Polri memberi penjelasan bahwa polisi akan menangkap Novel terkait kasus penganiayaan berat. Anehnya, kasus penganiayaan ini terjadi pada 2004 lalu. Kadiv Humas Mabes Polri saat itu Irjen Pol Suhardi Aliyus mengatakan penyidik KPK dari Polri berinisial N terlibat kasus penganiayaan berat terhadap seseorang hingga meninggal dunia.
Sebelum Mabes polri mengumumkan Novel sebagai tersangka, sekitar pukul 20.00 WIB pada Jumat 5 Oktober 2012, puluhan polisi berseragam lengkap dan preman berdatangan secara bergelombang ke Gedung KPK. Belasan dari mereka terlihat memakai pakaian resmi Provost. Mayoritas mereka berasal dari Polda Bengkulu. Hingga pukul 24.00 WIB, sebagian dari mereka masih berada di KPK.
Saat sejumlah anggota Polri berniat menangkap Novel, ratusan aktivis antikorupsi membuat pagar betis di gedung KPK. Mereka memberikan dukungan terhadap KPK karena menduga kasus yang dituduhkan ke Novel hanya rekayasa dan mendesak agar Presiden SBY turun tangan. Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara.
"Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru," kata SBY saat memberikan pidato di Istana Negara pada Senin, 8 Oktober 2012.
Secara tegas Presiden SBY menyebut bahwa penyidikan yang dilakukan Polri atas kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan Novel Baswedan pada 2004 lalu tidak tepat. Apa langkah Polri merespons kasus itu?
"Kita lihat nanti, kita evaluasi ya," kata Kapolri Jenderal Polri Timur Pradopo di Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (8/10/2012) seusai mengikuti pidato Presiden SBY.
Akhirnya, Novel mundur menjadi perwira Polri dan sepenuhnya mengabdi di KPK pada Oktober 2012. Novel adalah lulusan Akpol 1998 dan sempat di Bengkulu antara 1999-2005. Saat kasus penembakan aparat terhadap 6 pencuri walet di Bengkulu pada 2004, dia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Bengkulu. Pada 2005 ia bergabung ke KPK.
Saat itu tak lama setelah KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka, Bareskrim Mabes Polri menetapkan salah satu penyidik komisi antirasuah Komisaris Polisi Novel Baswedan sebagai tersangka. Tuduhan Bareskrim kepada Novel bukan kasus baru melainkan peristiwa yang terjadi pada 2004 atau delapan tahun sebelumnya.
Polri memberi penjelasan bahwa polisi akan menangkap Novel terkait kasus penganiayaan berat. Anehnya, kasus penganiayaan ini terjadi pada 2004 lalu. Kadiv Humas Mabes Polri saat itu Irjen Pol Suhardi Aliyus mengatakan penyidik KPK dari Polri berinisial N terlibat kasus penganiayaan berat terhadap seseorang hingga meninggal dunia.
Sebelum Mabes polri mengumumkan Novel sebagai tersangka, sekitar pukul 20.00 WIB pada Jumat 5 Oktober 2012, puluhan polisi berseragam lengkap dan preman berdatangan secara bergelombang ke Gedung KPK. Belasan dari mereka terlihat memakai pakaian resmi Provost. Mayoritas mereka berasal dari Polda Bengkulu. Hingga pukul 24.00 WIB, sebagian dari mereka masih berada di KPK.
Saat sejumlah anggota Polri berniat menangkap Novel, ratusan aktivis antikorupsi membuat pagar betis di gedung KPK. Mereka memberikan dukungan terhadap KPK karena menduga kasus yang dituduhkan ke Novel hanya rekayasa dan mendesak agar Presiden SBY turun tangan. Tiga hari kemudian, Presiden SBY angkat bicara.
"Solusi penegakan hukum Polri Kombes Novel yang sekarang menjadi penyidik KPK. Insiden itu terjadi pada tanggal 5 Oktober 2012 dan hal itu sangat saya sesalkan. Saya juga menyesalkan berkembangnya berita yang simpang siur demikian sehingga muncul masalah politik yang baru," kata SBY saat memberikan pidato di Istana Negara pada Senin, 8 Oktober 2012.
Secara tegas Presiden SBY menyebut bahwa penyidikan yang dilakukan Polri atas kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan Novel Baswedan pada 2004 lalu tidak tepat. Apa langkah Polri merespons kasus itu?
"Kita lihat nanti, kita evaluasi ya," kata Kapolri Jenderal Polri Timur Pradopo di Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (8/10/2012) seusai mengikuti pidato Presiden SBY.
Akhirnya, Novel mundur menjadi perwira Polri dan sepenuhnya mengabdi di KPK pada Oktober 2012. Novel adalah lulusan Akpol 1998 dan sempat di Bengkulu antara 1999-2005. Saat kasus penembakan aparat terhadap 6 pencuri walet di Bengkulu pada 2004, dia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Bengkulu. Pada 2005 ia bergabung ke KPK.
![[Kupas Sejarah] 5 Pejabat KPK yang 'Dijegal' Saat Menangani Kasus 'Hot'](https://s.kaskus.id/images/2015/01/25/482992_20150125023959.jpg)
Bambang Widjojanto
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim Mabes Polri, Jumat (23/1) pagi ini. Kemudian pukul 11.00 WIB, pendukung KPK membanjiri gedung KPK untuk memberikan dukungan untuk menyelamatkan KPK dengan tagline #SaveKPK dan Saya KPK
Polri membenarkan tentang penangkapan Bambang pukul 11.00 WIB dan bahwa penyidik Bareskrim menangkap Bambang di jalan raya di kawasan Depok, Jawa Barat, pada pukul 07.30 WIB. Bambang dijerat tersangka karena menyuruh melakukan atau memberikan keterangan palsu di depan sidang pengadilan MK dalam kasus Pilkada Bupati Kotawaringin Barat pada 2010 dan dikenai pasal 242 juncto 55 KUHP dengan ancaman kurang lebih 7 tahun bui. Polisi menangkap Bambang berdasar laporan masyarakat pada 15 Januari 2015.
Aksi penangkapan Bambang Widjojanto ini diketahui merupakan aksi perdana Irjen Budi Waseso -- jenderal bintang dua yang turut mendampingi Komjen Budi Gunawan saat fit and proper test di DPR -- sebagai Kabareskrim.
Komjen Budi Gunawan sendiri ditetapkan tersangka oleh KPK pada Selasa 13 Januari 2015 lalu.KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan yang juga calon Kapolri sebagai tersangka kasus rekening gendut. KPK mengaku menemukan dua alat bukti.
"Komjen BG tersangka kasus Tipikor saat menduduki kepala biro kepala pembinaan karir," kata Ketua KPK Abraham Samad yang didampingi oleh Bambang Widjajanto dalam jumpa pers di Kuningan, Jakarta, Selasa (13/1/2015).
Menurut Samad, penyidik menemukan transaksi tidak wajar. KPK telah melakukan penyelidikan sejak Juli 2014. "KPK melakukan penyidikan setengah tahun lebih terhadap kasus transaksi mencurigakan," tutup dia.
Karena desakan publik, Presiden Jokowi menunda melantik Komjen Budi sebagai Kapolri.
"Berhubung Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan SH MSi sedang menjalani proses hukum, maka kami pandang perlu untuk menunda pengangkatan sebagai Kepala Polisi Negara Indonesia," kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (16/1/2015) pukul 20.10 WIB.
Lima jam setelah penangkapan Bambang Widjajanto, Presiden Jokowi memanggil Ketua KPK dan Wakapolri. Tiga jam kemudian Jokowi memberikan pernyataan singkat.
"Saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan Undang-undang," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (23/1/2015).
Polri membenarkan tentang penangkapan Bambang pukul 11.00 WIB dan bahwa penyidik Bareskrim menangkap Bambang di jalan raya di kawasan Depok, Jawa Barat, pada pukul 07.30 WIB. Bambang dijerat tersangka karena menyuruh melakukan atau memberikan keterangan palsu di depan sidang pengadilan MK dalam kasus Pilkada Bupati Kotawaringin Barat pada 2010 dan dikenai pasal 242 juncto 55 KUHP dengan ancaman kurang lebih 7 tahun bui. Polisi menangkap Bambang berdasar laporan masyarakat pada 15 Januari 2015.
Aksi penangkapan Bambang Widjojanto ini diketahui merupakan aksi perdana Irjen Budi Waseso -- jenderal bintang dua yang turut mendampingi Komjen Budi Gunawan saat fit and proper test di DPR -- sebagai Kabareskrim.
Komjen Budi Gunawan sendiri ditetapkan tersangka oleh KPK pada Selasa 13 Januari 2015 lalu.KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan yang juga calon Kapolri sebagai tersangka kasus rekening gendut. KPK mengaku menemukan dua alat bukti.
"Komjen BG tersangka kasus Tipikor saat menduduki kepala biro kepala pembinaan karir," kata Ketua KPK Abraham Samad yang didampingi oleh Bambang Widjajanto dalam jumpa pers di Kuningan, Jakarta, Selasa (13/1/2015).
Menurut Samad, penyidik menemukan transaksi tidak wajar. KPK telah melakukan penyelidikan sejak Juli 2014. "KPK melakukan penyidikan setengah tahun lebih terhadap kasus transaksi mencurigakan," tutup dia.
Karena desakan publik, Presiden Jokowi menunda melantik Komjen Budi sebagai Kapolri.
"Berhubung Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan SH MSi sedang menjalani proses hukum, maka kami pandang perlu untuk menunda pengangkatan sebagai Kepala Polisi Negara Indonesia," kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (16/1/2015) pukul 20.10 WIB.
Lima jam setelah penangkapan Bambang Widjajanto, Presiden Jokowi memanggil Ketua KPK dan Wakapolri. Tiga jam kemudian Jokowi memberikan pernyataan singkat.
"Saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan Undang-undang," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (23/1/2015).
Nograhany Widhi K - detikNews
================
Dari 4 pertempuran, terungkap bahwa KPK 3 kali berhadap-hadapan dengan POLRI. hanya kasus Antasari Azhar yang berbeda, karena KPK berhadap-hadapan dengan Kejaksaan Agung yang dibackup POLRI, plus adanya indikasi permainan tangan kotor lingkar Istana.
Silakan menilai sendiri. Kita perlu POLRI, kita perlu KPK, kita butuh pemberantasan Korupsi yang masih sangat kuat di Indonesia. Lalu, apakah kita hanya perlu memberantas korupsi tanpa henti, sementara hukuman yang diberikan tak pernah menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi? hanya 1 hukuman yang pasti akan memberikan dampak langsung terhadap pelaku korupsi, maupun yang ingin melakukan korupsi, yaitu hukuman potong tangan dan hukuman mati! Siapapun! mau lingkar Istana, mau Kejaksaan Agung, mau Kepolisian, mau KPK, mau siapapun juga, tak pandang bulu!
Saat kita mengkritisi kinerja Kejaksaan Agung yang menjadi gudang mafia hukum sampai ke MK, kita juga harus mengkritisi Institusi Kepolisian RI yang masih saja bermain esprit de corp sampai ke masalah yang melanggap hukum. Harus membela institusi meskipun salah! Dan hal lain yang jangan dilupakan, kita juga harus mengkritisi proses-proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang setengah hati dan tebang pilih, yang dilakukan oleh KPK. jangan hanya karena kita mencintai KPK, maka kita membiarkan proses-proses hukum di KPK berjalan semaunya tanpa koridor, tanpa limit, tanpa kepastian dalam mengungkap gurit-gurita korupsi yang sampai sekarang tidak tersentuh, meski sudah berulang kali pelaku-pelakunya disebut dalam pengadilan! Kita tidak mau pimpinan-pimpinan KPK seperti artis yang selalu merindukan sorotan kamera dengan janji-janji dan ucapan-ucapan yang tak pasti!
Akankah semuanya terwujud? Akankah Indonesia memiliki perangkat hukum yang benar-benar bersih dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia? Hanya waktu yang dapat menjawabnya, disamping juga kita sebagai Warga Negara Indonesia tak henti-hentinya bersuara lantang jika melihat sesuatu yang aneh diantara mereka semua.
Selamat berharap dan bermimpi!
Silakan menilai sendiri. Kita perlu POLRI, kita perlu KPK, kita butuh pemberantasan Korupsi yang masih sangat kuat di Indonesia. Lalu, apakah kita hanya perlu memberantas korupsi tanpa henti, sementara hukuman yang diberikan tak pernah menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi? hanya 1 hukuman yang pasti akan memberikan dampak langsung terhadap pelaku korupsi, maupun yang ingin melakukan korupsi, yaitu hukuman potong tangan dan hukuman mati! Siapapun! mau lingkar Istana, mau Kejaksaan Agung, mau Kepolisian, mau KPK, mau siapapun juga, tak pandang bulu!
Saat kita mengkritisi kinerja Kejaksaan Agung yang menjadi gudang mafia hukum sampai ke MK, kita juga harus mengkritisi Institusi Kepolisian RI yang masih saja bermain esprit de corp sampai ke masalah yang melanggap hukum. Harus membela institusi meskipun salah! Dan hal lain yang jangan dilupakan, kita juga harus mengkritisi proses-proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang setengah hati dan tebang pilih, yang dilakukan oleh KPK. jangan hanya karena kita mencintai KPK, maka kita membiarkan proses-proses hukum di KPK berjalan semaunya tanpa koridor, tanpa limit, tanpa kepastian dalam mengungkap gurit-gurita korupsi yang sampai sekarang tidak tersentuh, meski sudah berulang kali pelaku-pelakunya disebut dalam pengadilan! Kita tidak mau pimpinan-pimpinan KPK seperti artis yang selalu merindukan sorotan kamera dengan janji-janji dan ucapan-ucapan yang tak pasti!
Akankah semuanya terwujud? Akankah Indonesia memiliki perangkat hukum yang benar-benar bersih dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia? Hanya waktu yang dapat menjawabnya, disamping juga kita sebagai Warga Negara Indonesia tak henti-hentinya bersuara lantang jika melihat sesuatu yang aneh diantara mereka semua.
Selamat berharap dan bermimpi!
0
6.9K
56


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan