wamlnAvatar border
TS
wamln
Pelapor Bambang KPK Pernah Potong Jari Aktivis
Spoiler for Sugianto Sabran:


TEMPO.CO, Jakarta- Sugianto, nama pelapor Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014. Anggota Komisi Hukum DPR itu menyelesaikan pendidikan hingga SMEA di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringinbarat, Kalimantan Tengah.

Pada pemilihan umum 2009, Sugianto terpilih dari Dapil Kalimantan Tengah dengan perolehan suara mencapai 41.337 suara (35,8%). Pengusaha kelahiran Sampit 5 Juli 1973 tercatat pernah menikah dengan artis Ussy Sulistiawaty pada 12 Agustus 2005 sampai bercerai setahun kemudian. (Baca:Pelapor Kasus Bambang Widjojanto dari PDIP, Siapa Dia?)

Nama Sugianto sempat populer saat terjadi kasus penyiksaan investigator lingkungan hidup Faith Doherty dari Environmental Investigation Agency, London dan Ruwidrijanto, anggota lembaga swadaya masyarakat Telapak Indonesia. Sugianto juga dituding menyiksa Abi Kusno Nachran, wartawan tabloid Lintas Khatulistiwa. Abi ternyata masih kakek Sugianto.

Penyiksaan yang diterima Faith Doherty waktu itu cukup kejam. Empat jari tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol. Sedangkan Abi Kusno Nachran, jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka. Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid. (Baca:Pelapor Bambang KPK Klaim Korban Pilkada Kobar)

Selain itu Sugianto juga pernah dikaitkan dengan kasus pembalakan liar di Taman Nasional Tanjung Puting. Waktu itu tahun 2002 Sugianto dipercaya pamannya Rasyid mengelola perusahaan Tanjung Lingga yang mendapat hak pengusahaan hutan seluas 40 ribu hektare lebih di Kalimantan Tengah.

Terbongkarnya pembalakan liar diakui sendiri oleh Sugianto. Ia terekam video pabrik-pabrik ramin milik Rasyid yang dibuat oleh tim investigasi Environmental Investigation Agency bersama Ruwidrijanto, anggota Telapak Indonesia, pada tahun 1999. Ketika itu, mereka menyamar sebagai pengusaha kayu yang melihat-lihat pabrik milik Rasyid. Sugianto, sendiri yang mengantar tim ini berkeliling saat itu.

Dalam rekaman itu Sugianto juga memaparkan bagaimana seluk beluk mengekspor kayu-kayu secara ilegal dari Taman Nasional Tanjung Puting. Tindakan itu menghindari pajak ekspor yang mencapai 25 persen.

Evan | PDAT Sumber Diolah Tempo, KPU

-----------------------------------------------------------------------


  • Tidak mungkin tampaknya jika Sugianto bergerak tanpa perintah "atasan". Apalagi, kasusnya sudah cukup lama.
  • Melihat sepak terjangnya, ngga heran nih orang berani-beraninya membawa nama Tuhan bahwa apa yang ia lakukan (melaporkan BW) dilakukan atas inisiatif sendiri.


-----------------------------------------------------------------------


Update, Gan.

Ternyata nama doi sebelum ganti jadi Sugianto Sabran adalah Yusuf Sugianto.

Ini berita yang ane copas dari SCTV.CO.ID

Suami Ussy Sulistiawaty Diduga Terlibat Penganiayaan Berat

BELUM genap tiga bulan Yusuf Sugianto menjadi suami Ussy Sulistiawaty, rumor tak sedap sudah meruap. Yusuf yang pengusaha kayu asal Kalimantan dituduh mendalangi penganiayaan terhadap Abikusno Nachran, aktivis lingkungan hidup Wana Cipta Lestari. Kasus pemukulan terjadi November 2001. Kala itu, Abikusno yang juga wartawan lokal menerbitkan tulisan kasus penyelundupan kayu ke Cina yang diduga melibatkan Abdul Rasyid (anggota MPR), paman Yusuf. Abikusno pun memberikan data kepada Departemen Kehutanan, sehingga tiga kapal milik Cina yang dipakai mengangkuti kayu ilegal disita.

Buntut penerbitan tulisan itu, Abikusno diteror habis-habisan. "Saya diserang dua puluh orang bersenjata mandau," ungkap dia. Para penyerang memotong habis empat jari tangan dan setengah dari salah satu ibu jari Abikusno. Lengan lelaki bertubuh sedang itu juga hampir putus. "Seharusnya saya sudah meninggal, tapi diselamatkan Allah," ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Kalimantan Tengah itu.

Penganiayaan terhadap Abikusno bukan tidak diketahui pemerintah. Buktinya, mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan Soeripto pada era Presiden Abdurrahman Wahid mengakui, pernah mendengar berita itu. Namun, dia tidak dapat memastikan keterlibatan Yusuf. Soeripto hanya menjelaskan Abikusno dengan seorang aktivis lain dianiaya karena tertangkap basah tengah mencari bukti keterlibatan PT Tanjung Lingga pimpinan Abdul Rasyid. "Mereka [Abikusno] menyamar sebagai pembeli," kata Soeripto.

Benar atau tidaknya Yusuf terlibat sejauh ini masih sulit dikonfirmasi. Yusuf maupun Ussy yang tengah berbadan dua sulit ditemui. Kita tunggu saja kelanjutan berita ini.

-----------------------------------------------------------------------


Dapet dari milis Yahoo

Kayu Haram dari Jantung Kalimantan

Edisi. 34/XXXI/21 - 27 Oktober 2002

Investigasi
Kayu Haram dari Jantung Kalimantan
Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah---salah satu kawasan
hutan konservasi yang paling luas di Indonesia---terancam punah. Jutaan
kubik kayu langka dicuri dari situ dan diperdagangkan secara ilegal. Volume
perdagangan kayu-kayu tersebut mencapai Rp 70 miliar lebih per tahun. Bisnis
haram ini berbiak secepat penyakit menular, sekaligus melahirkan seorang
”raja lokal” yang mampu membuat gemetar penebang liar hingga pejabat
tertinggi di provinsi itu. "Raja lokal" itu bernama Abdul Rasyid, seorang
anggota MPR dari Fraksi Utusan Daerah.

Jari manis wanita muda itu sudah sulit dipasangi cincin. Ruas jari itu
cacat, melengkung ke atas saban kali telapaknya ditelungkupkan di atas meja.
Di ruang rapat TEMPO dua pekan silam, Faith Doherty, penyelidik senior dari
Environmental Investigation Agency, sebuah biro investigasi lingkungan yang
bermarkas di London, bercerita bagaimana dia memperoleh cacat itu. Di lantai
dua kantor pusat PT Tanjung Lingga Group, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah,
dua tahun silam, dia disiksa.

Doherty menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu:
Sugianto dan Abdul Rasyid.

Sebelum Doherty, datang berkunjung ke TEMPO seorang pria dengan empat jari
tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol yang tak lagi utuh. Dialah
Abi Kusno Nachran, wartawan Lintas Khatulistiwa—sebuah tabloid lingkungan.
Jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka.

Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto
dan Abdul Rasyid.

Ini bukan hanya kisah tentang jari yang terpenggal seperti dalam film
kekerasan ala mafia. Baik Doherty maupun Abi berkisah tentang betapa besar
risiko mereka yang ingin menyelamatkan hutan Indonesia dari ambang kepunahan
akibat pencurian kayu liar besar-besaran.

Abdul Rasyid bukan seorang ”don” seperti dalam film The Godfather—setidaknya
dalam kehidupan sosial dan politiknya yang terhormat. Dia duduk di Majelis
Permusyaratan Rakyat dalam Fraksi Utusan Daerah, mewakili Provinsi
Kalimantan Tengah. Di kota kelahirannya, Pangkalan Bun, orang mengenalnya
sebagai anggota Partai Golkar yang terpandang.

Tak hanya itu. Berusia 44 tahun, dia juga seorang pengusaha sukses.
Perusahaan miliknya, Tanjung Lingga Group, menjulurkan guritanya hingga
Surabaya, Jakarta, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Usahanya meliputi
bisnis pengusahaan hutan ke perkebunan, konstruksi, pelayaran, hingga
perbankan.

Rasyid juga dikenal sebagai orang yang murah hati membuka peti kasnya untuk
urusan derma. Dia mendirikan panti jompo, menyantuni universitas di
Palangkaraya, mendanai beberapa koran lokal, bahkan mempercantik
kantor-kantor polisi setempat. ”Dia penyumbang terbesar untuk Partai Golkar
di Kalimantan,” kata salah seorang kawan dekatnya kepada TEMPO.

Adapun Sugianto, 28 tahun, adalah keponakan Rasyid yang kini menjadi
Presiden Direktur Tanjung Lingga. Dia orang kepercayaan Rasyid.

Dermawan. Terhomat. Sukses. Tapi mengapa nama Rasyid muncul dalam
laporan-laporan resmi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat tentang
pencurian kayu di Taman Nasional Tanjung Puting yang dilindungi? Mengapa dia
dijuluki ”Raja” dan orang Pangkalan Bun seperti tercekik ketakutan tatkala
TEMPO sekadar bertanya, ”Apa betul Abdul Rasyid seorang bos pencuri kayu”?

Pada awal 2000, Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan
(waktu itu) Suripto memaparkan hasil investigasi departemen tersebut sebagai
berikut: dalam setahun, kayu yang disikat para pencuri dari Tanjung Puting
senilai US$ 8 juta (kurang-lebih Rp 72 miliar) dan sekitar 95 persen
dikuasai Rasyid beserta keluarga. Angka ini berkesesuaian dengan hasil
hitungan Telapak Indonesia, sebuah lembaga swadaya lingkungan lokal, dan
observasi TEMPO di lapangan.

Beberapa ”bos lapangan” dan ”bos desa” (lihat Patgulipat di Tepi Pelabuhan)
menuturkan kepada sumber TEMPO yang ikut dalam penebangan liar tersebut
bahwa 95 persen wilayah barat Tanjung Puting adalah wilayah kekuasaan ”Raja”
(Rasyid). ”Dia begitu berkuasa. Tak satu pun orang yang berani mengganggu
wilayahnya,” kata Jusuf Mahdi, bukan nama sebenarnya. Wilayah barat hutan
lindung itu memang paling potensial menyimpan kayu-kayu kelas termahal:
ramin, meranti, dan sebagainya.

Rasyid tak bersedia menjawab semua tudingan ini, bahkan tidak juga mau
menjawab soal bisnis perkayuannya. ”Anda tanyakan saja ke para direksi
Tanjung Lingga,” kata Rasyid dalam jawaban tertulisnya kepada TEMPO. "Sejak
menjadi anggota MPR, saya sudah berhenti dari bisnis."

Justru dalam posisinya sebagai anggota MPR nama Rasyid bakal menjadi sorotan
tajam, tak hanya secara nasional, tapi juga internasional. Awal Januari 2003
di Yogyakarta, Consultative Group on Indonesia (CGI), kelompok negara
pemberi utang Indonesia, bersidang dan salah satu agendanya membicarakan
soal hutan--pertemuan tersebut tadinya diagendakan pada akhir pekan ini tapi
dibatalkan karena peristiwa bom Legian.

Bantuan CGI memang antara lain dikaitkan dengan syarat Indonesia bisa
menghentikan illegal logging alias pencurian kayu, khususnya di hutan-hutan
lindung. Alasan negeri donor itu logis: hutan tropis Indonesia tak hanya
punya makna bagi Indonesia, tapi juga bagi kelestarian seluruh planet bumi.

Dalam penilaian CGI, Indonesia gagal memenuhi 12 komitmen berkaitan dengan
soal hutan yang dibicarakan di Jakarta tahun silam dan di Tokyo dua tahun
silam.

Pencurian kayu, termasuk di hutan-hutan lindung, telah menjadi kelaziman
sejak jauh di masa Orde Baru. Togu Manurung, Direktur Forest Watch
Indonesia, memperkirakan Indonesia kehilangan luas hutan 2,4 juta hektare
setiap tahunnya. Lembaga itu juga mencatat nilai pencurian kayu di Indonesia
diperkirakan mencapai Rp 30 triliun per tahun.

Dengan kata lain, hutan Indonesia musnah dengan laju yang mengerikan: 6 kali
luas lapangan sepak bola setiap menitnya, seraya pemerintah kehilangan pajak
US$ 1.300 setiap menit. Setiap tahun, hutan seluas Provinsi Jawa Barat
lenyap dari permukaan bumi Indonesia.

Lebih menyedihkan karena kepunahan itu justru sebagian dialami oleh
hutan-hutan yang sebenarnya tak boleh dijamah, seperti Taman Nasional
Tanjung Puting. Sejak 1984, kawasan itu ditetapkan sebagai hutang lindung,
bahkan sejak 1930-an telah digolongkan sebagai suaka margasatwa. Dengan luas
lebih dari 300 ribu hektare, Tanjung Puting adalah tempat hidup bagi 200
spesies burung, 17 spesies reptil, dan 19 spesies mamalia. Sembilan dari 13
primata Borneo terdapat di taman nasional ini.

Dalam observasi ke Tanjung Puting, wartawan mingguan ini berkumpul dengan
sekelompok penebang di wilayah Naga Tengah. Para penebang itu mengatakan
bahwa kayu ramin yang sedang dihanyutkan di sungai menuju pos-pos
penggergajian adalah milik Rasyid.

Kesaksian itu diperkuat oleh rekaman video pabrik-pabrik ramin milik Rasyid
yang dibuat oleh tim investigasi Environmental Investigation Agency bersama
Ruwidrijanto--anggota Telapak Indonesia--pada tahun 1999. Ketika itu, mereka
menyamar sebagai pengusaha kayu yang melihat-lihat pabrik milik Rasyid.
Sugianto, keponakan Rasyid, sendiri yang mengantar tim ini berkeliling saat
itu.

Dalam "tur keliling" itu, Sugianto bahkan memaparkan kiat bisnisnya:
bagaimana mengekspor kayu-kayu mahal itu secara ilegal untuk menghindari
pajak ekspor sebesar 25 persen.

Setahun kemudian, Ruwi kembali ke Pangkalan Bun bersama Faith Doherty.
Keduanya ingin menemui Abdul Rasyid untuk mengonfirmasikan sejumlah temuan
dari tim investigasi sebelumnya. Tanjung Lingga menjawab permintaan mereka:
Abdul Rasyid bersedia bertemu dengan Doherty dan Ruwi. Saat keduanya
menginjak lantai dua kantor itu, Sugianto kontan mengenali Ruwi, si
"pengusaha" yang pernah diantarnya. Dia begitu naik darah sehingga,
"Sugianto meletakkan sepucuk senjata dan mengancam akan membunuh kami," ujar
Doherty. Ruwi dihajar hingga babak-belur dan Doherty kebagian jatah
ditelikung jari-jarinya hingga patah. Toh, Doherty masih berupaya menanyakan
pencurian ramin.

Doherty: "Kami ingin membicarakan pencurian ramin oleh Tanjung Lingga di
Tanjung Puting dengan Rasyid."

Sugianto: "Rasyid tidak ada. Dan Tanjung Puting itu milik kami."

Kepada TEMPO, Rasyid membantah memerintah anak buahnya melakukan penyiksaan.
”Saya tidak tahu-menahu karena sedang berada di luar negeri,” ujarnya.

Adapun Sugianto tidak membantah. ”Sudah untung mereka tidak kami bunuh,”
katanya, ”Masuk ke perusahaan orang kok seperti itu.” (lihat "Ke Tanjung
Puting Saja Saya Belum Pernah"). Sugianto bahkan tidak membantah telah
memberi order menyiksa Abi Kusno. ”Dia masih tergolong kakek saya,” katanya,
”Tapi dia juga pemeras. Sudah untung dia tidak kami bunuh.”

Sugianto memberikan dua wawancara melalui telepon kepada TEMPO. Dalam
wawancara terakhir, dia membantah menyatakan ”memiliki” Tanjung Puting.
Namun, dia mungkin lupa, dalam wawancara pertama, dia mengatakan yang
sebaliknya, artinya menganggap Tanjung Puting masuk dalam kawasan
pengelolaan hutan Tanjung Lingga.

”Tanjung Lingga masuk ke Tanjung Puting pada 1986 karena meneruskan HPH dari
perusahaan lain, PT Eksabasah,” katanya, ”Jika itu salah, salahkan
pemerintah yang memberi izin tersebut.”

Siapa pun yang salah, Sugianto mengakui Tanjung Lingga telah beroperasi di
situ sejak 1986, jauh sebelum Abdul Rasyid mundur dari perusahaan itu pada
awal 2000.

Dalam peristiwa penyelundupan kayu oleh tiga kapal asing (lihat Kisah dari
Tiga Kapal) pada November 2001, setumpuk dokumen yang diperoleh TEMPO
menunjukkan dua hal penting. Pertama, perusahaan Rasyid, PT Lingga
Marintama, terlibat dalam usaha penyelundupan 25 ribu meter kubik kayu
senilai Rp 50 miliar. Kedua, penyidikan polisi sama sekali tidak menyentuh
perusahaan itu, padahal Lingga Marintamalah yang mengageni ketiga kapal
asing itu di Indonesia.

Ujung-ujungnya malah pada Februari lalu sekitar 6.000 orang berdemo dan
menduduki kantor DPRD Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun, menuntut agar
kapal-kapal tersebut dilepaskan. Mereka mengaku berasal dari organisasi
Masyarakat Perkayuan Daerah. Abdul Rasyid adalah pendiri asosiasi 76
pengusaha kayu itu.

Salah satu kehebatan Rasyid memang menjalin hubungan mesra dengan para
petinggi, polisi, dan jenderal. Tak hanya membantu membangun kantor polisi,
menurut seorang kenalan dekat Rasyid, dia menghadiahkan mobil Toyota Land
Cruiser kepada seorang pejabat lokal polisi di Pangkalan Bun.

Rasyid mengatakan tidak ada yang salah dengan menjalin hubungan baik ke
semua pihak. ”Sebagai anggota MPR, tentu saya harus menjalin hubungan baik
dengan aparat pemerintah."

AKBP Heryanto, juru bicara Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, memberikan
jawaban ini: ”Kapolda sudah menegaskan bahwa kami harus melakukan tindakan
represif terhadap pelaku pencurian kayu dan anggota polisi yang terlibat,”
katanya, ”Dan kami tidak berkompromi dengan anggota yang terlibat.”

Polisi hanya salah satu dalam wilayah kekuasaan Rasyid. Salah satu orang
dekat Rasyid yang lain lagi bercerita kepada TEMPO bahwa dalam pencalonan
Gubernur Kalimantan Tengah terakhir, Rasyid pernah ditawari menempati posisi
itu. Dia menolak. ”Mendingan kita membantu salah satu calon,” kata Rasyid
seperti ditirukan sumber itu, ”Begitu menang, dia akan berutang sama kita
sehingga segala urusan lancar.”

Banyak urusan Rasyid memang lancar tampaknya. Suripto, mantan Sekretaris
Jenderal Kehutanan dan Perkebunan, menceritakan sebuah pertemuan yang
dihadiri Gubernur Kalimantan Tengah Asmawi Gani pada 26 Januari 2001 di
kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam rapat antardepartemen tentang penebangan kayu liar itu, Asmawi
mengatakan tak ada lagi kayu yang diangkut keluar dari provinsinya sejak
Desember 2000.

Mendengar laporan tersebut, Suripto langsung menyergah bahwa berdasarkan
laporan yang masuk sehari sebelum pertemuan itu, pencurian kayu pun masih
berlangsung. Dan pada waktu yang lain, saat Suripto terus saja menyebutkan
nama Rasyid di belakang pencurian kayu, seorang jenderal angkatan darat
membisikinya untuk berhenti menyeret tokoh itu, yang ”sudah sangat berjasa
dalam menyejahterakan para prajurit.”

Para prajurit tetap miskin. Juga para penebang yang membalak kayu-kayu itu
untuk para cukong di Tanjung Puting hari demi hari (lihat Agar Asap Terus
Mengepul). Sedangkan hutan kita yang kaya tiada tara musnah, juga hari demi
hari. Dengan laju pencurian seperti sekarang, hutan tropis dataran rendah
Kalimantan diramalkan akan punah delapan tahun lagi
Diubah oleh wamln 24-01-2015 06:27
0
27.4K
263
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan