Hey Guys, SELAMAT DATANG di B-Log aku. B-Log ini aku buat sebagai sarana untuk mendapatkan masukan, kritik, cacian, semangat ataupun saran dan kasih sayang . Gak ada aturan khusus, tapi aku berharap kalian mau membaca dan bisa bergabung ke dalam dunia yang sedang aku tulis.
Quote:
B-Log ini masih dalam tahap awal pengembangan, untuk ketidaknyamanannya aku menyampaikan permintaan maaf
Apasih itu LANA :
LANA adalah nama karakter fiksional yang aku ciptakan sekaligus menjadi judul novel fantasi yang sedang aku tulis.
Project untuk membuat novel sebenarnya muncul setahun yang lalu, setelah melalui serangkaian bongkar pasang cerita dan karakter, akhirnya aku putuskan untuk menulis tentang LANA.
Inspirasi membuat novel LANA datang dari kisah di dunia Middle Earthyang ditulis oleh J.R.R Tolkien.
Selain inspirasi yang datang dari dunia Middle Earth, segala sesuatu yang ada di Novel LANA adalah hasil karya yang kubuat sendiri dan tidak menjiplak ataupun membajak cerita dari orang lain. Baik sebagian maupun keseluruhan cerita. Adapun seluruh karakter dalam cerita ini adalah fiktif dan apabila terdapat kesamaan dengan karakter di dunia nyata maka hal tersebut adalah hal yang tidak disengaja.
B-Log ini dibuat untuk berbagi dan menjadi sarana untuk mengembangkan cerita yang lebih baik selama penulisan novel dan DILARANG KERAS untuk menyebarkan, menggandakan, atau menjiplak tulisan di dalam B-Log ini.
Here We Go!
**********************************
Quote:
Quote:
Map diatas adalah lokasi/setting keseluruhan dalam cerita novel LANA. Map ini masih dalam tahap awal dan dalam pengembangan lebih lanjut. Aku uplod map ini untuk mempermudah pembaca dalam memahami kisah yang disampaikan. MAP aku buat dari program AutoRealm dan Photoshop (Mungkin ada saran dari kalian yang bisa membantu aku terkait apa saja yang bisa aku pakai untuk memperbagus tampilan map)
Quote:
TOKOH CERITA (Untuk Sementara)
Spoiler for Lana Arsevill:
Lana adalah seorang gadis remaja yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini. Lana seorang yatim piatu yang di asuh oleh Pamannya, Arved dan bibinya, Martha.
Watak : Ceria, Mudah Panik, suka menolong, selalu ingin tahu, suka membaca, dan dalam situasi tertentu suka takut tapi pemberani namun penuh pertimbangan
Ciri Fisik : Manusia, Perempuan, Umur 15 tahun, Tinggi 150 centimeter, badan mungil, kulit putih dan berambut hitam panjang bergelombang.
Spoiler for Ilustrasi Lana Arsevill:
Sebenarnya aku tidak tahu siapa perempuan dalam foto ini (saya ambil dari google setelah membuat karakter Lana). Keyword mengenai Lana aku cari dan dari sekian banyak wajah perempuan imut yang beredar, maka foto ini cocok dengan apa yang aku bayangkan tentang Lana, meski rambutnya berwarna coklat dan tidak bergelombang
Spoiler for Hilda:
Hilda adalah nama kuda betina milik Lana yang diberikan oleh pamannya.
Karakter : penurut, suka apel, tidak suka hujan
Ciri Fisik : Kuda, umur 6 tahun, warna rambut coklat, tinggi 2 meter, kaki sedikit pendek.
Spoiler for Ilustrasi Hilda:
Gambar aku comot dari mbah google. dari sekian kuda yang cantik maka kuda diatas terpilih dan jangan tanya jenis atau nama kuda yang ada digambar karena saya belum melakukan penelitian lebih dalam
Spoiler for Arved:
Spoiler for Ilustrasi Arved:
Spoiler for Martha:
Spoiler for Ilustrasi Martha:
Spoiler for Gil:
Spoiler for Ilustrasi Gil:
Gambar diatas adalah sosok Glorfindel yang berasal dari Midlle Earth. Untuk karakter peri aku mengambil inspirasi dari peri yang diciptakan J.R.R Tolkien, namun mengalami sedikit perubahan di sana sini
Spoiler for Hendrikson Arto:
Spoiler for Ilustrasi Hendrikson Arto:
SUMPAH GAN, entah sadar atau tidak saat membuat karakter Hendrikson Arto, wajah pemeran paman Harry Potter ini cocok namun dengan watak yang tentu tidak sama
Spoiler for Boris:
Spoiler for Ilustrasi Boris:
Untuk Boris, sejujurnya aku lebih kepada kesan imej seorang kakek tua yang baik hati namun tegas dimana umur tuanya tidak menghalanginya untuk tetap beraktivitas (Karakter ini tercipta berdasarkan Almarhum kakek aku)
Quote:
LANA : CHAPTER I
Spoiler for Chapter 1 : Peri dan Cahaya Permata:
PERI DAN CAHAYA PERMATA
Baru saja Lana Arsevill keluar dari Hutan Marahill, tiba-tiba hujan mengguyur deras. Lana pun panik dan berlari, menyeret kuda coklatnya ke salah satu pohon yang tak jauh di depannya. Ia bersungut karena tahu sejak berangkat dari rumah tadi pagi tak dilihatnya awan hitam sepanjang rute perjalanannya. Rupanya mendung menguntit dari arah selatan, begitu pikirnya ketika menengok ke arah desa tempatnya tinggal, Marahill.
Setelah mengenakan mantel, Lana segera mengecek tas karung yang berada di punggung kudanya. Dia bersyukur tak ada rotinya yang basah karena pamannya, Arved, mengemas roti-roti itu dengan lembaran kulit sapi dilapisan dalam karung. Seratus roti dibawanya hari itu, pesanan untuk penginapan The Butter Duck, di Ibukota Kerajaan Daratan Mara, Raven City. Ini hari pertamanya pergi ke Ibukota seorang diri dan tidak hanya akan mengantar roti, ia juga akan menetap dan bekerja di kota.
Lana akan bekerja sebagai pembantu ditempat dimana roti-roti itu akan diantarkan. Pemilik penginapan, Hendrikson Arto, adalah sahabat pamannya. Pria tua yang tubuhnya tak sesuai dengan karakternya, begitu Lana mendeskripsikan Hendrikson yang sudah dikenalnya sejak umurnya 10 tahun.
Mantel hujan bekas bibinya membuat Lana sedikit kesulitan bergerak. Meski ukurannya sudah diperkecil, tetap saja tangan dan kakinya hampir tenggelam dibalik pelindung hujan itu. Diumurnya yang sudah 15 tahun, Lana tergolong manusia yang lambat pertumbuhan tubuhnya. Inilah yang menyebabkan Lana mendapat ejekan, terutama dari pamannya.
Tetapi dibalik tubuhnya yang kecil, Lana termasuk gadis yang gigih dalam memperjuangkan sesuatu. Salah satunya soal keinginan ia untuk segera bekerja dan mencari uang sendiri. “Lagipula kau sering pergi meninggalkanku sendiri dan Nyoya Larkin sedang membutuhkan seseorang untuk mengantarkan roti-rotinya ke kota,” rengek Lana kepada Arved berbulan-bulan setelah ulang tahunnya.
“Baiklah, aku akan percayakan kamu ke Hendrikson,” jawab Arved suatu hari setelah tiga kali mondar-mandir di ruang makan. Lana menyambut jawaban pamannya itu dengan pelukan erat. Pertimbangan yang berat sebenarnya dirasakan oleh Arved. Namun, dia lebih cemas jika Lana harus menghabiskan waktu seorang diri lebih lama lagi setelah Martha, istrinya meninggal satu tahun lalu.
Berdasarkan perkiraan Lana, masih tersisa dua jam lagi sebelum matahari terbenam dan bukan ide yang bagus untuk tinggal sendirian berlama-lama di pinggir hutan. Banyak rumor menakutkan seputar hutan yang memisahkan Raven City dengan desanya itu. Soal munculnya hewan buas yang menyerang pengembara hingga penampakan hantu hutan yang mengganggu di malam hari.
“Kurasa kita harus melanjutkan perjalanan ini dengan basah kuyup Hilda dan kuharap kau tidak keberatan,” tuturnya dengan perasaan tidak nyaman kepada kuda coklatnya yang terlihat murung.
“Ayo, nanti akan kubelikan apel untukmu,” ujar Lana sambil mengusap leher kudanya dan perlahan menuntunnya meneruskan perjalanan. Ia begitu sayang dan perhatian terhadap Hilda. Kuda betina gemuk dengan kaki pendek. Meski terlihat seperti kuda pemalas, Hilda adalah kuda yang kuat dan penurut.
Diingatnya kembali ketika lima tahun lalu dalam cuaca yang sama seperti hari ini ia pertama kali melihat Hilda. Arved yang bertubuh besar jangkung menggendongnya ke rumah. Tubuh Hilda saat itu kurus dan kesulitan berdiri. Ada luka di pergelangan kaki kanan belakangnya. Pamannya bercerita, jika dia menemukan kuda tersebut di hutan terjerat tali yang biasa digunakan pemburu untuk menangkap rusa.
“Sepertinya yang memasang perangkap tersebut kemungkinan lupa dan tidak kembali untuk memeriksa apakah ada hewan yang tertangkap,” tutur pamannya yang kasihan melihat makhluk malang itu tergolek lemas saat ditemukan.
Oleh perawatan Lana, kuda yang sebelumnya hampir menemui ajal itu akhirnya mampu kembali sehat dan bisa hidup normal. “Bagaimana kalau kita beri nama dia Hilda,” ucap Arved suatu ketika melihat kuda yang diselamatkannya itu kini sudah sanggup berlari.
“Apa artinya itu paman?” Tanya Lana.
“Karena dia betina maka namanya berarti kekuatan (perempuan), bagaimana menurutmu?” jelas Arved.
“Dan karena kau sudah menjadi gadis yang penyayang dan penyabar untuk kesembuhannya, maka dia kuberikan untukmu,” sambungnya.
“Benarkah?” teriak Lana melompat kegirangan sambil memeluk pamannya. Martha yang saat itu menyaksikan keduanya ikut tertawa. Tiga bulan selanjutnya dihabiskan Lana untuk bermain dan belajar menunggang Hilda. Berkat bimbingan pamannya, Lana mampu dan mahir menunggang kuda diusianya yang baru 10 tahun.
Sambaran petir mengoyak langit menyadarkan Lana akan kenangan masa lalunya, butiran tirai hujan tak hentinya menerpa dan membuat Lana dan Hilda basah kuyup. Dengan gigih Lana terus melangkah meski kadang kakinya tersandung batu yang tertutup genangan lumpur. Agar tidak bosan, Lana terus berbicara kepada Hilda, meski kudanya itu hanya bisa menunduk berharap hujan berhenti.
Keduanya kini tiba diantara deretan Batu Besar, harusnya Lana sudah bisa melihat menara penjaga kota. Namun, cuaca menghalangi pandangannya dan langit perlahan makin gelap. “Kuharap aku bisa sampai sebelum mereka menutup pintu gerbangnya,” kata Lana kepada Hilda.
Sebelum Lana berangkat, Arved mengatakan jika kota dalam keadaan siaga perang. Karena itu penjagaan akan diperketat dan mereka yang masuk atau keluar kota harus menjalani serangkaian pemeriksaan oleh tentara kerajaan. Mereka tak ingin ada penyusup ataupun pembawa masalah masuk ke kerajaan. Arved berkata ini terjadi sejak perang antara Aliansi Kerajaan di Pulau Papu dengan Kerajaan Semenanjung Sul setahun belakangan.
Meski Raja Daratan Mara, Vorsaliath Argo XII, mengklaim jika kerajaannya netral, namun posisi Daratan Mara yang berada pada segitiga emas Kepulauan Andonesi membuat pihak kerajaan tak boleh lengah. Masyarakat di kerajaan pun meyakini jika suatu hari, cepat atau lambat Daratan Mara akan terlibat perang. Sejarah panjang tidak akurnya ketiga kerajaan tertanam dalam setiap ingatan dan hati penduduk, termasuk Lana. Lagu dan kisah tentang perang selalu menjadi kisah pengantar tidur setiap orang tua kepada anak-anaknya. Untuk Lana, kisah itu banyak diceritakan oleh bibinya.
“Oh tidak, mereka menutup gerbangnya, Hilda. Kuharap ada penjaga yang aku kenal yang bertugas saat ini. Kalau tidak kita akan menjalani serangkaian interogasi dan pemeriksaan, begitu info dari paman,” keluh Lana ketika melihat bendera merah tanda gerbang ditutup terpasang di tiang pos penjaga.
Tinggal seratusan meter antara Lana dan Pos Penjaga pertama selatan kota. Lana semakin bergegas dan memperpanjang langkahnya. Tanah becek membuatnya harus berjuang. Namun baru beberapa langkah, Hilda yang ada di sampingnya tiba-tiba gusar dan berhenti. Lana terkejut dan hampir saja terjatuh terjungkal. “Ya ampun Hilda, apa yang kau lakukan!” Lana kesal kepada kudanya itu.
Tapi kesalnya digantikan syok ketika melihat apa yang seharusnya ia injak tadi. Sosok mirip tubuh orang mengenakan jubah coklat sehingga membaur dengan tanah dan genangan air hujan. Pandangan mata Lana yang sedari tadi fokus ke bendera merah rupanya mengalihkan sosok yang tergeletak di jalan itu.
“Oh tidak, oh tidak,” gumam Lana panik.
Lana berniat mundur, namun ketika hendak melangkah, sosok itu menangkap kaki kanannya. Kaget, Lana jatuh terduduk dan berteriak.
“Ampun, tolong, tolong, tolong, ampun,” tangisnya pecah. Sosok tersebut tiba-tiba dengan susah payah duduk sambil memegangi kaki lana.
“Diam,” katanya lantang mengalahkan suara hujan. Suara seorang pria.
“Tolong tuan, jangan sakiti saya, tolong tuan,” pinta Lana sesenggukan.
Sambil melepas genggamannya ,“Tenang, aku tak akan menyakitimu,” kata sosok itu kemudian mengerang seperti menahan rasa sakit.
“Apakah kau terluka tuan?” kata Lana mendapati sebatang anak panah yang patah di punggung kiri orang itu. Bertambah ketakutan Lana, namun dia tahu orang itu memerlukan pertolongan. “Oh tuan, kau harus segera ditolong,” kata Lana melihat ada aliran darah mengalir di tangan pria itu.
Dengan sigap Lana membantu pria tersebut berdiri dengan perasaan aneh karena ringan sekali tubuh orang ini. Ia lalu membawa pria itu ke salah satu batu besar di kiri jalan. “Terima kasih. Tapi aku tak punya banyak waktu saat ini untuk menerima pertolongan yang lebih dari ini,” kata pria itu sambil membuka tudung mantel dan memperlihatkan wajahnya.
Meski hanya tahu dari pamannya, Lana yakin kalau pria didepannya adalah salah satu kaum peri. Mereka memiliki tubuh kurus jangkung. Warna kulit peri putih pucat, wajah lonjong dengan dagu dan telinga yang runcing. Rambut mereka lurus tergerai panjang kadang hingga sepinggul. Mereka memiliki tatapan yang lembut namun sedikit menyeramkan.
Menurut cerita pamannya, kaum peri berasal dari hutan. Mereka gesit dan pandai bersembunyi. Karena itu, kebanyakan kaum peri sering digunakan kerajaan sebagai mata-mata, ataupun pembunuh bayaran. “Mungkin peri ini adalah satunya,” kata dalam dalam benaknya.
“Siapa namamu?” Tanya peri peri itu ketika menyadari Lana memerhatikannya dengan pandangan aneh. “Nama saya Lana, Tuan, 15 tahun umur saya. Saya berasal dari desa Marahill,” jawab Lana setengah terpesona dengan keindahan suara yang keluar dari bibir peri itu.
“Baik Lana dari desa Marahill, namaku Gil, dan aku berharap kau segera pergi dari sini, dan…,” Gil menghentikan bicaranya dan tampak fokus sambil menengadah ke atas. Tiba-tiba saja Lana melihat Gil merogoh sesuatu di dalam mantelnya.
“Aku mohon bantuanmu Lana. Kau harus menyerahkan ini langsung kepada Raja,” Gil menarik tangan kanan Lana dan memberikan sebuah kantung kecil yang terbuat dari kain.
“Jangan ada orang lain yang tahu dan jangan coba-coba menceritakan baik soal kejadian ini atau benda ini kepada siapapun, ingat itu!” tekannya.
“kau harus menyerahkan ini sebelum bulan menjadi penuh purnama,”
“kita tak punya waktu lagi, cepat ke kota, cepat, cepat,” tegas Gil mengusir Lana.
Lana hanya bisa terbengong, dan akhirnya mampu beranjak dari tempatnya setelah Gil beberapa kali memintanya pergi. Lana berjalan ke arah Hilda yang sejak tadi menunggu setia. Kantung kecil masih digenggamnya. Begitu hendak memegang tali kekang kudanya, ada dentingan logam dibelakangnya, dan ketika dia menoleh, Gil yang tadinya ia sandarkan di sebuah batu sudah tidak ada.
Ia melihat ke tangannya, kantung kain itu berwarna putih dengan noda darah Gil menempel. Masih syok, kantung itu dimasukan ke saku bajunya.