- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Isi Curhat Bandar Sabu Yang Jadi ATM Polisi


TS
Pitung.Kw
Isi Curhat Bandar Sabu Yang Jadi ATM Polisi
Quote:
BD Sabu jadi ATM Polisi
Ads by Google
MEDAN – PM
Kebijakan Kapolda Sumut, Irjen Pol Eko Hadi Sutedjo yang bakal memecat anggotanya yang terlibat narkoba, patut diapresiasi. Tapi bagaimana dengan komplotan polisi yang gemar menjadikan bandar atau pengedar sabu jadi ‘ATM’?
Ya, sudah jadi rahasia umum, ada komplotan polisi yang kerap membisniskan para pengedar, terlebih bandar narkoba. Awalnya, polisi nakal itu berteman dengan BD atau pengedar. Lewat pertemanan, dia bisa mengonsumsi narkoba, umumnya sabu secara gratis. “Semacam upeti lah. Namanya dia polisi. Apalagi, kadang dia ngasih info kalau bakal ada penggerebekan,” jelas salah satu bandar sabu di kawasan Sunggal, sebut saja Boy.
Belakangan, setelah berteman sekitar setengah tahum, polisi nakal itu mulai membawa rekan-rekannya sesama polisi. Walau mereka membeli sabu, tapi Boy tetap rugi. “Bayangkan aja, ngasih uang Rp300 ribu minta 1 jie yang harganya Rp1,5 juta. Tapi, cemana lagi mau dibuat. Awak jualan sabu, dia polisi. Mau gak mau lah Bang,” jelasnya.
Meski merasa sudah memberikan servis terbaik, Boy tak habis fikir dengan ulah polisi temannya itu. Belakangan, Boy curiga. Pasalnya, tiap kali ‘buah’ (sebutan untuk sabu, red) yang dipesannya datang, polisi itu tahu dan langsung datang. Padahal, selama ini, dia merahasiakan dari mana dan kapan sabu miliknya datang.
“Curiga awak Bang. Tiap ‘buah jatuh’ (sabu pesanan datang, red) dia bisa tahu. Rupanya dia cari-cari info,” paparnya. Parahnya, Boy akhirnya 2 kali ditangkap. “Akhirnya 2 kali aku ditangkap Bang. Yang nangkap itu, kawan-kawan polisi yang udah kuanggap kawan itu. Memang gak pernah nyampe ke kantor, selesai di jalan semua. Pertama kena aku Rp85 juta. Selang 3 bulan kemudian, diangkut lagi. Kena Rp50 juta,” papar Boy.
Memang, sambung Boy, sehari dia bisa geser 15 jie sabu. “Lain lagi yang diketengi, paket hemat. Kalau itu yang jual ya kaki-kaki kita Bang,” urainya. Lalu, kemana saja dibawa dan bagaimana proses 86 itu? Boy memaparkan, saat diciduk, dia langsung dimasukkan ke mobil. Dia sengaja dibawa mutar-mutar. “Berhenti juga kami lama di dekat Pinang Baris, tapi gak keluar mobil.
Biasalah, karena awak udah kenal juga sama yang nangkap, memang diservisnya. Dikasih rokok sama minum. Tapi ya tetap kena mop. Kalau gak mau nyangkut, setorlah. Terpaksa juga Bang. Dari pada nginap di sel, kan lebih bagus damai. Jadi masih bisa nyari lagi, tetap main sabu lah Bang. Kalau nggak darimana bisa balikkan uang itu,” bebernya.
Siapa yang antar uangnya? “Kalau yang pertama adik perempuanku, penangkapan kedua, orang rumah yang ngantar uangnya, habis uang aku dibante orang itu. Polisi jelebau itu,” geramnya mengenang penangkapannnya. Tak mau 3 kali dijadikan ‘ATM’, Boy akhirnya mandah. Dia pilok (pindah lokasi) jualan sabu meski masih di sekitar Sunggal.
Masih ada polisi nakal? “tetap ada Bang, tapi agak-hati-hati aku kali ini berkawan sama polisi. Dekat kali jangan, jauh pun jangan. Gitulah bekawan sama polisi macam itu Bang, pande-pandelah,” jelasnya, lalu mulai membakar sabu yang sedari tadi sudah dipersiapkannya.
Lain cerita Boy, lain pul cerita 2 BD sabu yang pernah bernasib sama yang ditemui Sabtu (17/1) sore. Pertama, sebut saja Jon. Kisahnya dibeber istrinya. Dia dapat kabar Jon ditangkap dan dibawa naik Avanza hitam di pelataran salah satu hotel di Medan. Bermodalkan info suaminya ditangkap atas kasus narkoba, dirinya pun menyisir kantor polisi yang ada di Kota Medan.
“Ada 4 kantor polisi yang akui sambangi. Tapi, tak ada 1 pun yang membenarkan kalau suamiku ditahan di sana,” keluhnya. Perempuan berkulit putih ini pun memutuskan untuk mendatangi mako polisi yang berada di Jl. SM Raja km 11,5. Kembali, hanya berbekal suaminya dibekuk atas kasus kepemilikan barang haram tersebut dirinya pun memberanikan diri menyambangi tempat tersebut.
Tak sia-sia, hasil pencariannya pun menemui titik terang. Pasalnya, kala itu petugas di mako tersebut membenarkan kalau suaminya dibekuk petugas yang bertugas di mako tersebut. Karena itulah, dia pun akhirnya dipertemukan dengan penyidik yang menangkap suaminya tersebut.
Kala itu, petugas meminta uang senilai Rp85 juta untuk membebaskan suaminya. Karena, saat itu petugas menyebutkan kalau suaminya melakukan perlawanan hingga mengakibatkan petugas babak belur. “Saat itu petugas bilang, suami saya melakukan perlawanan saat ditangkap. Babak belur katanya petugas saat itu dibuat suami saya. Ngeri kali ngomongnya,” ungkapnya.
Akibat ucapan tersebut, dirinya pun mengaku ketakutan dan melakukan kordinasi dengan keluarga untuk membebaskan suaminya tersebut. Namun, salah seorang keluarga menyebutkan tidak usah memberikan uang tersebut dan menyuruh untuk mencari tahu terlebih dahulu. “Kami datangi lah lokasi penangkapannya. Dan kami cari tahu gimana ceritanya,” ucapnya.
Setelah diketahui bagaimana penangkapannya kala itu, barulah harga tersebut pun berkurang sampai dengan Rp35 juta. “Sudah kami tahu, tawarannya jadi jatuh. Bahkan sampai Rp35 juta. Sebab, kami ketahui kalau waktu penangkapan itu dia gak ada ngelawan. Bahkan dia yang babak belur dipukuli orang itu. Makanya kami datangi, dan kami bilang dia tidak ada ngelawan. Dia yang dipukuli. Makanya jadi turun harganya,” tungkasnya.
Kendati begitu, tambahnya, mereka pun enggan mengeluarkan sepersen uangpun. Sebab, takut jika mereka mengeluarkan uang tersebut, Jon tak akan bebas juga.
“Mana mau kami. Makanya, divonis dalam suami saya lantaran tidak ada kami ngeluari uang sepersenpun. Karena, kami anggap ini hanya pemerasan aja. Kami cuma minta supaya petugas seperti ini diberantas. Bukan apa, suamiku itu dijebak,” pungkasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan salah seorang bandar yang saat ini telah bertobat. Lelaki yang enggan namanya dikorankan ini mengungkapkan, kalau dalam kasusnya tersebut berbeda. Saat itu dia hanya diminta untuk menyebutkan bandar yang lebih besar lagi darinya. “Mereka minta bandar yang lebih besar dari saya. Jika saya sebutkan, saya akan dibebaskan,” ucapnya.
Namun, lantaran dirinya juga tak mau melibatkan kawannya, sumber ini pun akhirnya mendekam dibalik jeruji besi dalam kurun waktu 3 tahun. “Uda, cuma itu yang saya alami. Kami minta janganlah ada lagi seperti itu,” pungkasnya.
Terbukti dengan aksi 2 personel Polsek Patumbak jelang akhir tahun 2014. Keduanya memeras dan akhirnya ditembak. Mereka adalah Brigadir Charlie Ben Gurion Sinaga (CS), dan Brigadir Piet Chandra Pardede (TP). Mereka menggerebek rumah Susianto (29) di Jl Gaperta Gg Pribadi II, No 16 E Kel Helvetia Tengah, Kec Medan Helvetia, pada malam tahun baru 2015, sekitar pukul 02.00 Wib lalu.
Diterangkan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Helfi Assegaf, dalam kasus itu Brigadir TP bersama Brigadir CS menggerebek kediaman Susyanto yang diduga pengedar narkoba.
Saat penggerebekan, keduanya sempat meletuskan empat kali tembakan, sebagai peringatan terhadap korban. Oleh karenanya, terjadi negosiasi hingga disepakati uang damai Rp15 juta. Namun, uang itu diambil terlebih dahulu di mesin ATM.
Karena Susyanto tidak bersedia memberikan nomor pin ATM-nya. Tersangka langsung menembak paha kiri korban, sehingga korban akhirnya memberi nomor pin.
Terkait ulah polisi nakal itu, Helfi mengaku, oknum polisi yang terbukti akan diproses secara hukum. “Jadi, pidananya dulu diputuskan oleh pengadilan, setelah itu, akan dilakukan sidang kode etik,” jelasnya.
Lanjutnya, tahapan-tahapan yang dilakukan untuk melakukan proses hukum polisi memang sudah ada. Mulai dari pemeriksaan, dilimpahkan ke jaksa hingga pengadilan. Secara umum, tahapan itu harus dilakukan. Dari beberapa kasus, memang tahapan umumnya seperti itu. “Apapun yang melanggar pidana umum, harus diputuskan dulu oleh Pengadilan Negeri. Setelah itu, sidang kode etiknya. Kalau ada polisi yang terkena hukuman, sanksinya dapat berupa disiplin hingga pemecatan (PTDH),” tandas perwira tiga melati emas di pundaknya.
Ditegaskanya, untuk menekan aksi polisi koboy, setiap operasi wajib untuk dilaporkan. Kalau tidak dijalankan, berarti telah melanggar Standard Operasional Prosedur (SOP). Pihaknya tidak akan memberikan toleransi pada anggota yang lakukan penyimpangan dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap polri, baik itu perjudian, perampokan dan pidana umum lainnya serta tindakan yang meresahkan masyarakat lainya.
Personil Provos dan Propam akan intensif melakukan patroli di jalanan untuk meminalisir aksi kejahatan yang dilakukan oknum polisi. “Ada beberapa trik dalam melakukan pengawasan melekat itu, salah satunya adalah melakukan PLB (Panggilan Luar Biasa). Kapan saja bisa diawasi,” ujarnya.
Banyaknya aksi pemerasan yang dilakukan oknum polisi terhadap para bandar narkoba, khususnya sabu, tak lepas dari godaan dan niat awal anggota Polrti tersbut. Untuk itu, dalam melakukan penangkapan tersebut petugas harus mempunyai hati yang bersih.
Hal tersebut diungkapkan Kriminolog Sumatera Utara, Rudianto kepada kru koran ini, Kamis (15/1) sore. Dikatakannya, penangkapan awalnya mempunyai niat yang baik. Namun, lantaran adanya tawaran dari pelaku tindak kriminal dengan menunjukkan sejumlah uang membuat para oknumpun akhirnya goyang.
Alhasil, mereka pun akhirnya menjadi lupa diri dan akhirnya mengikuti bujuk rayu pelaku tersebut. “Dari penangkapan niat awalnya baik. Namun ada godaan yang buat mereka yang lupa diri,” ungkapnya.
Lebih lanjut, bukan hanya godaan dari pelaku tindak kriminal. Godaan tersebut juga mulai tampak dari niat oknum yang melakukan penangkapan. “Mungkin dia awalnya sudah berniat untuk melakukan perampokan lantaran sudah terlilit masalah. Jadi, dari awalnya dia sudah berniat,” ungkapnya.
Atas hal itu, Redianto meminta Polri untuk segera melakukan evaluasi. Karena, akibat tindakan tersebut akan membuat Polri menjadi tercoreng. “Kita minta supaya Polri harus segara melakukan evaluasi supaya tidak tercoreng atas tindakan-tindakan seperti itu. Kemudian, bagi penegak hukum harus mempunyai sifat yang konsisten disamping mereka mempunyai hati yang bersih,” ucapnya.
Saat disinggung apakah hal tersebut akibat bawahan takut atasannya makan besar makanya mereka melakukan hal tersebut, Redianto mengi bisa jadi. “Bisa jadi. Semua tidak menutup kemungkinan. Untuk itu, kita meminta supaya oknum-oknum yang seperti itu harus segera diberi tindakan tegas bahkan sampai pemecatan,” pungkasnya.
Terkait aksi tindakan kriminal yang dilakukan anggota kepolisian, akibat gagalnya pengawasan yang dilakukan atasannya. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum IPW, Neta S Pane kepada kru koran ini. Dikatakannya, dari data-data yang dimiliki IPW, jumlah polisi yang terduga terlibat dalam kasus tindak kriminal semakin hari semakin bertambah.
Pasalnya, setiap tahunnya IPW mendapati ada sekira 600 personil Polisi yang terduga terlibat dalam kasus tindak kriminal di Indonesia. “Dari kasus penyalah gunaan narkoba sendiri ada sekira 200 personil hingga 300 personil rata-rata setiap tahunnya. Dan yang lainnya itu, perampokan hingga disersi,” ucapnya. Melihat banyaknya personil yang terduga melakukan tindak kriminal tersebut, Neta mengatakan, itu semua akibat pembinaan yang sangat buruk dari pimpinannya. “Karena semakin hari semakin bertambah, IPW melihat ini akibat pembinaan atasan yang sangat buruk,” ucapnya.
Disamping itu jug, tambahnya, hal itu lantaran tidak adanya pengawasan yang dilakukan atasannya yang mengakibatkan para personil tersebut terbiasa melakukan tindakkan-tindakkan kriminal. “Kita berharap kepada Poldasu untuk melakukan pengawasan yang ketat dan tegas. Kemudian, propam juga diminta untuk turun tangan dalam penanganan kasus tersebut. Dan jika memang terbukti seperti apa yang dituduhkan kepadanya seperti perampokan dan lain sebagainya, ya dia harus di pecat terus diproses supaya bisa tersangka dibawa ke pengadilan,” tegasnya.
Kemudian, Neta mengatakan, pemecatan yang dilakukan kepolisian memang harus menunggu putusan dari pengadilan. Namun, sebelum adanya putusan pengadilan tersebut petugas berhak melakukan penahanan sampai akhirnya menunggu keputusan pengadilan. “Tapi, jika tingkat kejahatannya sudah cukup berat, Kapolda punya wewenang untuk melakukan pemecatan sebelum adanya putusan pengadilan,” tungkasnya.
Pasalnya, hal tersebut dapat disimpulkan penyidik dari hasil penyelidikan mereka. “Sejauh apa hasilnya, dan bagaimana track recordnya. Sebab, banyak juga petugas kepolisian dipecat sebelum adanya putusan dari pengadilan,” ucapnya. Melihat tingginya angka kriminal yang dilakukan petugas kepolisian tersebut, IPW sangat menyayanginya. Untuk itu, IPW meminta kepada Kapolsek hingga ke Kapolda untuk melakukan pengawasan yang ketat supaya tidak adanya penambahan petugas kepolisian yang melakukan tindakan kriminal.
“Untuk itu, kita meminta kepada Kapolsek, Kapolres, dan Kapolda untuk melakukan pengawasan yang ketat. Sebab tingginya tindakan kriminal yang dilakukan anggota kepolsian akibat dari lemahnya pengawasan yang dilakukan atasannya,” pungkasnya. (ind/trg)
http://www.posmetro-medan.com/?p=18643
Ads by Google
MEDAN – PM
Kebijakan Kapolda Sumut, Irjen Pol Eko Hadi Sutedjo yang bakal memecat anggotanya yang terlibat narkoba, patut diapresiasi. Tapi bagaimana dengan komplotan polisi yang gemar menjadikan bandar atau pengedar sabu jadi ‘ATM’?
Ya, sudah jadi rahasia umum, ada komplotan polisi yang kerap membisniskan para pengedar, terlebih bandar narkoba. Awalnya, polisi nakal itu berteman dengan BD atau pengedar. Lewat pertemanan, dia bisa mengonsumsi narkoba, umumnya sabu secara gratis. “Semacam upeti lah. Namanya dia polisi. Apalagi, kadang dia ngasih info kalau bakal ada penggerebekan,” jelas salah satu bandar sabu di kawasan Sunggal, sebut saja Boy.
Belakangan, setelah berteman sekitar setengah tahum, polisi nakal itu mulai membawa rekan-rekannya sesama polisi. Walau mereka membeli sabu, tapi Boy tetap rugi. “Bayangkan aja, ngasih uang Rp300 ribu minta 1 jie yang harganya Rp1,5 juta. Tapi, cemana lagi mau dibuat. Awak jualan sabu, dia polisi. Mau gak mau lah Bang,” jelasnya.
Meski merasa sudah memberikan servis terbaik, Boy tak habis fikir dengan ulah polisi temannya itu. Belakangan, Boy curiga. Pasalnya, tiap kali ‘buah’ (sebutan untuk sabu, red) yang dipesannya datang, polisi itu tahu dan langsung datang. Padahal, selama ini, dia merahasiakan dari mana dan kapan sabu miliknya datang.
“Curiga awak Bang. Tiap ‘buah jatuh’ (sabu pesanan datang, red) dia bisa tahu. Rupanya dia cari-cari info,” paparnya. Parahnya, Boy akhirnya 2 kali ditangkap. “Akhirnya 2 kali aku ditangkap Bang. Yang nangkap itu, kawan-kawan polisi yang udah kuanggap kawan itu. Memang gak pernah nyampe ke kantor, selesai di jalan semua. Pertama kena aku Rp85 juta. Selang 3 bulan kemudian, diangkut lagi. Kena Rp50 juta,” papar Boy.
Memang, sambung Boy, sehari dia bisa geser 15 jie sabu. “Lain lagi yang diketengi, paket hemat. Kalau itu yang jual ya kaki-kaki kita Bang,” urainya. Lalu, kemana saja dibawa dan bagaimana proses 86 itu? Boy memaparkan, saat diciduk, dia langsung dimasukkan ke mobil. Dia sengaja dibawa mutar-mutar. “Berhenti juga kami lama di dekat Pinang Baris, tapi gak keluar mobil.
Biasalah, karena awak udah kenal juga sama yang nangkap, memang diservisnya. Dikasih rokok sama minum. Tapi ya tetap kena mop. Kalau gak mau nyangkut, setorlah. Terpaksa juga Bang. Dari pada nginap di sel, kan lebih bagus damai. Jadi masih bisa nyari lagi, tetap main sabu lah Bang. Kalau nggak darimana bisa balikkan uang itu,” bebernya.
Siapa yang antar uangnya? “Kalau yang pertama adik perempuanku, penangkapan kedua, orang rumah yang ngantar uangnya, habis uang aku dibante orang itu. Polisi jelebau itu,” geramnya mengenang penangkapannnya. Tak mau 3 kali dijadikan ‘ATM’, Boy akhirnya mandah. Dia pilok (pindah lokasi) jualan sabu meski masih di sekitar Sunggal.
Masih ada polisi nakal? “tetap ada Bang, tapi agak-hati-hati aku kali ini berkawan sama polisi. Dekat kali jangan, jauh pun jangan. Gitulah bekawan sama polisi macam itu Bang, pande-pandelah,” jelasnya, lalu mulai membakar sabu yang sedari tadi sudah dipersiapkannya.
Lain cerita Boy, lain pul cerita 2 BD sabu yang pernah bernasib sama yang ditemui Sabtu (17/1) sore. Pertama, sebut saja Jon. Kisahnya dibeber istrinya. Dia dapat kabar Jon ditangkap dan dibawa naik Avanza hitam di pelataran salah satu hotel di Medan. Bermodalkan info suaminya ditangkap atas kasus narkoba, dirinya pun menyisir kantor polisi yang ada di Kota Medan.
“Ada 4 kantor polisi yang akui sambangi. Tapi, tak ada 1 pun yang membenarkan kalau suamiku ditahan di sana,” keluhnya. Perempuan berkulit putih ini pun memutuskan untuk mendatangi mako polisi yang berada di Jl. SM Raja km 11,5. Kembali, hanya berbekal suaminya dibekuk atas kasus kepemilikan barang haram tersebut dirinya pun memberanikan diri menyambangi tempat tersebut.
Tak sia-sia, hasil pencariannya pun menemui titik terang. Pasalnya, kala itu petugas di mako tersebut membenarkan kalau suaminya dibekuk petugas yang bertugas di mako tersebut. Karena itulah, dia pun akhirnya dipertemukan dengan penyidik yang menangkap suaminya tersebut.
Kala itu, petugas meminta uang senilai Rp85 juta untuk membebaskan suaminya. Karena, saat itu petugas menyebutkan kalau suaminya melakukan perlawanan hingga mengakibatkan petugas babak belur. “Saat itu petugas bilang, suami saya melakukan perlawanan saat ditangkap. Babak belur katanya petugas saat itu dibuat suami saya. Ngeri kali ngomongnya,” ungkapnya.
Akibat ucapan tersebut, dirinya pun mengaku ketakutan dan melakukan kordinasi dengan keluarga untuk membebaskan suaminya tersebut. Namun, salah seorang keluarga menyebutkan tidak usah memberikan uang tersebut dan menyuruh untuk mencari tahu terlebih dahulu. “Kami datangi lah lokasi penangkapannya. Dan kami cari tahu gimana ceritanya,” ucapnya.
Setelah diketahui bagaimana penangkapannya kala itu, barulah harga tersebut pun berkurang sampai dengan Rp35 juta. “Sudah kami tahu, tawarannya jadi jatuh. Bahkan sampai Rp35 juta. Sebab, kami ketahui kalau waktu penangkapan itu dia gak ada ngelawan. Bahkan dia yang babak belur dipukuli orang itu. Makanya kami datangi, dan kami bilang dia tidak ada ngelawan. Dia yang dipukuli. Makanya jadi turun harganya,” tungkasnya.
Kendati begitu, tambahnya, mereka pun enggan mengeluarkan sepersen uangpun. Sebab, takut jika mereka mengeluarkan uang tersebut, Jon tak akan bebas juga.
“Mana mau kami. Makanya, divonis dalam suami saya lantaran tidak ada kami ngeluari uang sepersenpun. Karena, kami anggap ini hanya pemerasan aja. Kami cuma minta supaya petugas seperti ini diberantas. Bukan apa, suamiku itu dijebak,” pungkasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan salah seorang bandar yang saat ini telah bertobat. Lelaki yang enggan namanya dikorankan ini mengungkapkan, kalau dalam kasusnya tersebut berbeda. Saat itu dia hanya diminta untuk menyebutkan bandar yang lebih besar lagi darinya. “Mereka minta bandar yang lebih besar dari saya. Jika saya sebutkan, saya akan dibebaskan,” ucapnya.
Namun, lantaran dirinya juga tak mau melibatkan kawannya, sumber ini pun akhirnya mendekam dibalik jeruji besi dalam kurun waktu 3 tahun. “Uda, cuma itu yang saya alami. Kami minta janganlah ada lagi seperti itu,” pungkasnya.
Terbukti dengan aksi 2 personel Polsek Patumbak jelang akhir tahun 2014. Keduanya memeras dan akhirnya ditembak. Mereka adalah Brigadir Charlie Ben Gurion Sinaga (CS), dan Brigadir Piet Chandra Pardede (TP). Mereka menggerebek rumah Susianto (29) di Jl Gaperta Gg Pribadi II, No 16 E Kel Helvetia Tengah, Kec Medan Helvetia, pada malam tahun baru 2015, sekitar pukul 02.00 Wib lalu.
Diterangkan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Helfi Assegaf, dalam kasus itu Brigadir TP bersama Brigadir CS menggerebek kediaman Susyanto yang diduga pengedar narkoba.
Saat penggerebekan, keduanya sempat meletuskan empat kali tembakan, sebagai peringatan terhadap korban. Oleh karenanya, terjadi negosiasi hingga disepakati uang damai Rp15 juta. Namun, uang itu diambil terlebih dahulu di mesin ATM.
Karena Susyanto tidak bersedia memberikan nomor pin ATM-nya. Tersangka langsung menembak paha kiri korban, sehingga korban akhirnya memberi nomor pin.
Terkait ulah polisi nakal itu, Helfi mengaku, oknum polisi yang terbukti akan diproses secara hukum. “Jadi, pidananya dulu diputuskan oleh pengadilan, setelah itu, akan dilakukan sidang kode etik,” jelasnya.
Lanjutnya, tahapan-tahapan yang dilakukan untuk melakukan proses hukum polisi memang sudah ada. Mulai dari pemeriksaan, dilimpahkan ke jaksa hingga pengadilan. Secara umum, tahapan itu harus dilakukan. Dari beberapa kasus, memang tahapan umumnya seperti itu. “Apapun yang melanggar pidana umum, harus diputuskan dulu oleh Pengadilan Negeri. Setelah itu, sidang kode etiknya. Kalau ada polisi yang terkena hukuman, sanksinya dapat berupa disiplin hingga pemecatan (PTDH),” tandas perwira tiga melati emas di pundaknya.
Ditegaskanya, untuk menekan aksi polisi koboy, setiap operasi wajib untuk dilaporkan. Kalau tidak dijalankan, berarti telah melanggar Standard Operasional Prosedur (SOP). Pihaknya tidak akan memberikan toleransi pada anggota yang lakukan penyimpangan dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap polri, baik itu perjudian, perampokan dan pidana umum lainnya serta tindakan yang meresahkan masyarakat lainya.
Personil Provos dan Propam akan intensif melakukan patroli di jalanan untuk meminalisir aksi kejahatan yang dilakukan oknum polisi. “Ada beberapa trik dalam melakukan pengawasan melekat itu, salah satunya adalah melakukan PLB (Panggilan Luar Biasa). Kapan saja bisa diawasi,” ujarnya.
Banyaknya aksi pemerasan yang dilakukan oknum polisi terhadap para bandar narkoba, khususnya sabu, tak lepas dari godaan dan niat awal anggota Polrti tersbut. Untuk itu, dalam melakukan penangkapan tersebut petugas harus mempunyai hati yang bersih.
Hal tersebut diungkapkan Kriminolog Sumatera Utara, Rudianto kepada kru koran ini, Kamis (15/1) sore. Dikatakannya, penangkapan awalnya mempunyai niat yang baik. Namun, lantaran adanya tawaran dari pelaku tindak kriminal dengan menunjukkan sejumlah uang membuat para oknumpun akhirnya goyang.
Alhasil, mereka pun akhirnya menjadi lupa diri dan akhirnya mengikuti bujuk rayu pelaku tersebut. “Dari penangkapan niat awalnya baik. Namun ada godaan yang buat mereka yang lupa diri,” ungkapnya.
Lebih lanjut, bukan hanya godaan dari pelaku tindak kriminal. Godaan tersebut juga mulai tampak dari niat oknum yang melakukan penangkapan. “Mungkin dia awalnya sudah berniat untuk melakukan perampokan lantaran sudah terlilit masalah. Jadi, dari awalnya dia sudah berniat,” ungkapnya.
Atas hal itu, Redianto meminta Polri untuk segera melakukan evaluasi. Karena, akibat tindakan tersebut akan membuat Polri menjadi tercoreng. “Kita minta supaya Polri harus segara melakukan evaluasi supaya tidak tercoreng atas tindakan-tindakan seperti itu. Kemudian, bagi penegak hukum harus mempunyai sifat yang konsisten disamping mereka mempunyai hati yang bersih,” ucapnya.
Saat disinggung apakah hal tersebut akibat bawahan takut atasannya makan besar makanya mereka melakukan hal tersebut, Redianto mengi bisa jadi. “Bisa jadi. Semua tidak menutup kemungkinan. Untuk itu, kita meminta supaya oknum-oknum yang seperti itu harus segera diberi tindakan tegas bahkan sampai pemecatan,” pungkasnya.
Terkait aksi tindakan kriminal yang dilakukan anggota kepolisian, akibat gagalnya pengawasan yang dilakukan atasannya. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum IPW, Neta S Pane kepada kru koran ini. Dikatakannya, dari data-data yang dimiliki IPW, jumlah polisi yang terduga terlibat dalam kasus tindak kriminal semakin hari semakin bertambah.
Pasalnya, setiap tahunnya IPW mendapati ada sekira 600 personil Polisi yang terduga terlibat dalam kasus tindak kriminal di Indonesia. “Dari kasus penyalah gunaan narkoba sendiri ada sekira 200 personil hingga 300 personil rata-rata setiap tahunnya. Dan yang lainnya itu, perampokan hingga disersi,” ucapnya. Melihat banyaknya personil yang terduga melakukan tindak kriminal tersebut, Neta mengatakan, itu semua akibat pembinaan yang sangat buruk dari pimpinannya. “Karena semakin hari semakin bertambah, IPW melihat ini akibat pembinaan atasan yang sangat buruk,” ucapnya.
Disamping itu jug, tambahnya, hal itu lantaran tidak adanya pengawasan yang dilakukan atasannya yang mengakibatkan para personil tersebut terbiasa melakukan tindakkan-tindakkan kriminal. “Kita berharap kepada Poldasu untuk melakukan pengawasan yang ketat dan tegas. Kemudian, propam juga diminta untuk turun tangan dalam penanganan kasus tersebut. Dan jika memang terbukti seperti apa yang dituduhkan kepadanya seperti perampokan dan lain sebagainya, ya dia harus di pecat terus diproses supaya bisa tersangka dibawa ke pengadilan,” tegasnya.
Kemudian, Neta mengatakan, pemecatan yang dilakukan kepolisian memang harus menunggu putusan dari pengadilan. Namun, sebelum adanya putusan pengadilan tersebut petugas berhak melakukan penahanan sampai akhirnya menunggu keputusan pengadilan. “Tapi, jika tingkat kejahatannya sudah cukup berat, Kapolda punya wewenang untuk melakukan pemecatan sebelum adanya putusan pengadilan,” tungkasnya.
Pasalnya, hal tersebut dapat disimpulkan penyidik dari hasil penyelidikan mereka. “Sejauh apa hasilnya, dan bagaimana track recordnya. Sebab, banyak juga petugas kepolisian dipecat sebelum adanya putusan dari pengadilan,” ucapnya. Melihat tingginya angka kriminal yang dilakukan petugas kepolisian tersebut, IPW sangat menyayanginya. Untuk itu, IPW meminta kepada Kapolsek hingga ke Kapolda untuk melakukan pengawasan yang ketat supaya tidak adanya penambahan petugas kepolisian yang melakukan tindakan kriminal.
“Untuk itu, kita meminta kepada Kapolsek, Kapolres, dan Kapolda untuk melakukan pengawasan yang ketat. Sebab tingginya tindakan kriminal yang dilakukan anggota kepolsian akibat dari lemahnya pengawasan yang dilakukan atasannya,” pungkasnya. (ind/trg)
http://www.posmetro-medan.com/?p=18643
emang enak jadi atm

0
9.4K
Kutip
32
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan