- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kapan mau jadi bangsa yang mandiri?


TS
tattics
Kapan mau jadi bangsa yang mandiri?
Dear prenz,
Saya mau sdkt berbagi isi pikiran saya thdp apa yg terjadi saat ini. Tp sblmnya saya ingin tegaskan nih bahwa saya sama skali tidak berafiliasi dengan apa/siapa pun.
Ane dr kmrn2 dgr ttg kekisruhan yg terjadi di seputar naik turun bbm, napi dieksekusi mati dan kebijakan2 lainnya. Perihal bbm, memang kt blm siap dgn kondisi naik turun harga shingga terkesan ktidakpastian. Dgn turunnya harga bbm toh harga2 komoditas utama jg tdk turun. Artinya pemerintah hrs pny sistem pengendali pasar yg lebih baik nih. Di sisi lain, ini jd keuntungan jg bt kita krn pd saat turun bs sisihin uang sisa beli bbm.
Masyarakat kt memang sdh terbiasa menggantungkan hidup pada "sang majikan", siapa pun itu, bs pemerintah, kantor, atasan atau siapa pun lah. Inisiatif menjadi brg mahal dan langka, krn entah tidak dibiasakan atau tidak diperbolehkan. Kepastian selalu bergantung pd status yg lbh di atas (jgn artikan Tuhan ya). Alhasil, ktika terjadi sbuah perubahan kita ckp lambat dlm beradaptasi.
Perihal kebijakan yg menyangkut HAM dan perjanjian2 internasional, kt sbg bangsa sptnya sdh sepakat (stdknya mayoritas) bhw kt akan slalu ttp berpegang teguh pd norma2 budaya yg ada. Meskipun ada yg sdh kurang pas di jaman skg, tp dipastikan bahwa Indonesian pny norma2 budayanya sendiri. Maka dari itu, tidak mgkn kita mengadopsi HAM internasional dan perjanjian2 internasional lainnya. Contohnya, perkimpoian sesama jenis, memang sdh siap utk menerima itu?
Hal yg menarik, perjanjian utk menghadapi masyarakat ekonomi asean (MEA). Ini lbh ngeri dr sekedar naik turun bbm. Secara kondisi kita betul2 blm siap. Akan sgt mengerikan kalau kebanyakan masyarakat Indonesia yg tgkt pendidikannya blm mumpuni hrs berhadapan dgn org2 Singapura. Mereka bkn hny pny pendidikan yg mumpuni, tp jg pny pola berpikir yg lbh kritis dan mental yg lbh mandiri. Lagi2 ini mslh budaya. Kt sdh terbiasa dgn pola kerja dgn gaji tetap dan pesangon besar dan tetap menerima gaji ktika pensiun (baca PNS). Maka mana mgkn bs bertarung dgn kesiapan yg sama dgn org Singapura yg tdk hny pny pendidikan lbh baik (penelitian dunia menunjukkan ini) dan mental kerja yg terbiasa mandiri.
Kesimpulannya? Pemerintah dengan dinas2nya tdk boleh hanya memikirkan kebijakan yg tepat bagi kita smua, tp jg pendekatan yg tepat untuk kita beradaptasi dgn kebijakan2 tsb. Memang tdk akan mgkn membahagiakan smua org, tp stidaknya bs dicoba dgn menggunakan pendekatan yg khas agar masyarakat dgn latar blkg berbeda2 dapat beradaptasi dgn baik. Salah satu caranya? Ilmu2 sosial hrs lbh dilibatkan dlm membuat kebijakan2 sosial, hukum dan pendidikan. Pemerintah bs mencoba pemetaan scr psikososial dan antropologis. Brand besar spt Nike saja menggunakan pendekatan psikoantropologis utk menjual barang2 mereka, apalagi utk membuat kebijakan yg menentukan nasib bnyk org, pasti hrs lbh komprehensif lg.
Saya mau sdkt berbagi isi pikiran saya thdp apa yg terjadi saat ini. Tp sblmnya saya ingin tegaskan nih bahwa saya sama skali tidak berafiliasi dengan apa/siapa pun.
Ane dr kmrn2 dgr ttg kekisruhan yg terjadi di seputar naik turun bbm, napi dieksekusi mati dan kebijakan2 lainnya. Perihal bbm, memang kt blm siap dgn kondisi naik turun harga shingga terkesan ktidakpastian. Dgn turunnya harga bbm toh harga2 komoditas utama jg tdk turun. Artinya pemerintah hrs pny sistem pengendali pasar yg lebih baik nih. Di sisi lain, ini jd keuntungan jg bt kita krn pd saat turun bs sisihin uang sisa beli bbm.
Masyarakat kt memang sdh terbiasa menggantungkan hidup pada "sang majikan", siapa pun itu, bs pemerintah, kantor, atasan atau siapa pun lah. Inisiatif menjadi brg mahal dan langka, krn entah tidak dibiasakan atau tidak diperbolehkan. Kepastian selalu bergantung pd status yg lbh di atas (jgn artikan Tuhan ya). Alhasil, ktika terjadi sbuah perubahan kita ckp lambat dlm beradaptasi.
Perihal kebijakan yg menyangkut HAM dan perjanjian2 internasional, kt sbg bangsa sptnya sdh sepakat (stdknya mayoritas) bhw kt akan slalu ttp berpegang teguh pd norma2 budaya yg ada. Meskipun ada yg sdh kurang pas di jaman skg, tp dipastikan bahwa Indonesian pny norma2 budayanya sendiri. Maka dari itu, tidak mgkn kita mengadopsi HAM internasional dan perjanjian2 internasional lainnya. Contohnya, perkimpoian sesama jenis, memang sdh siap utk menerima itu?
Hal yg menarik, perjanjian utk menghadapi masyarakat ekonomi asean (MEA). Ini lbh ngeri dr sekedar naik turun bbm. Secara kondisi kita betul2 blm siap. Akan sgt mengerikan kalau kebanyakan masyarakat Indonesia yg tgkt pendidikannya blm mumpuni hrs berhadapan dgn org2 Singapura. Mereka bkn hny pny pendidikan yg mumpuni, tp jg pny pola berpikir yg lbh kritis dan mental yg lbh mandiri. Lagi2 ini mslh budaya. Kt sdh terbiasa dgn pola kerja dgn gaji tetap dan pesangon besar dan tetap menerima gaji ktika pensiun (baca PNS). Maka mana mgkn bs bertarung dgn kesiapan yg sama dgn org Singapura yg tdk hny pny pendidikan lbh baik (penelitian dunia menunjukkan ini) dan mental kerja yg terbiasa mandiri.
Kesimpulannya? Pemerintah dengan dinas2nya tdk boleh hanya memikirkan kebijakan yg tepat bagi kita smua, tp jg pendekatan yg tepat untuk kita beradaptasi dgn kebijakan2 tsb. Memang tdk akan mgkn membahagiakan smua org, tp stidaknya bs dicoba dgn menggunakan pendekatan yg khas agar masyarakat dgn latar blkg berbeda2 dapat beradaptasi dgn baik. Salah satu caranya? Ilmu2 sosial hrs lbh dilibatkan dlm membuat kebijakan2 sosial, hukum dan pendidikan. Pemerintah bs mencoba pemetaan scr psikososial dan antropologis. Brand besar spt Nike saja menggunakan pendekatan psikoantropologis utk menjual barang2 mereka, apalagi utk membuat kebijakan yg menentukan nasib bnyk org, pasti hrs lbh komprehensif lg.
Diubah oleh tattics 19-01-2015 09:36
0
1.2K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan