- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Menyesal Pilih Jokowi


TS
who.siapa
Menyesal Pilih Jokowi

Quote:
Quote:
KOMISARIS Jenderal Budi Gunawan menjadi calon tunggal Kepala Polisi RI dan di dunia maya, di jagat internet, muncul opini massa yang bertendensi negatif terhadap Presiden Joko Widodo. Barisan pasukan pembencinya membengkak berkali-kali lipat. Lebih banyak lagi adalah barisan yang mencopot dukungan terhadap dirinya. Barisan ini, secara terbuka, menunjukkan sikap itu: Menyesal Pilih Jokowi -dengan ataupun tak memampangkan hastag/tagar (#).
Memang, sejauh ini, Jokowi masih memiliki banyak pendukung setia. Suporter-suporter garis keras, yang sebagaimana pembenci fanatik yang lahir dari rahim dendam pemilu, sengaja menulikan telinga dan membutakan matanya. Namun presiden mesti mewaspadai kemunculan barisan baru tadi. Barisan yang mulai menyesal. Pertama, karena sebagian besar mereka adalah orang-orang yang sangat terpelajar, terpelajar, dan setengah terpelajar. Kaum yang terbiasa berpikir sebelum bertindak mengambil keputusan.
Mengapa orang-orang seperti ini bisa berubah sikap dan pandangan, presiden semestinya melakukan introspeksi diri. Sebab jika tak ada hal-hal luar biasapilihan yang didasari oleh pemikiran yang terpelajar, tidak akan mudah goyah. Sekiranya pun terjadi tak akan secepat ini. Jokowi baru dua bulan menjadi presiden.
Apakah Jokowi tidak becus dalam memimpin? Tentu saja becus. Di beberapa bidang, sejauh ini, ia telah menunjukkan sistem pengelolaan koordinasi kerja yang serba cepat, efisien, dan tepat. Contoh paling nyata adalah penanganan tragedi longsor Banjarnegara dan jatuhnya pesawat AirAsia. Indonesia mendapat pujian dunia internasional. Ketegasan terhadap pelanggaran batas-batas teritorial laut dan kejahatan narkotika, meski masih banyak cacat di sana-sini, juga melambungkan kewibawaan Indonesia.
Tapi Jokowi justru banyak abai terhadap persoalan-persoalan internal. Masalah dalam negeri yang jelas tak kalah krusial. Penembakan warga sipil di Papua, kelanjutan penanganan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, wacana reklamasi Teluk Benoa, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), hingga pengangkatan pejabat-pejabat teras di lingkungan seputar istana, mulai dari Jaksa Agung hingga kini, Kepala Polisi. Jokowi, yang sejak awal gembar-gembor tidak akan terseret kepentingan politik praktis, dalam hal ini, justru kian terindikasi ke arah sebaliknya.
Sepanjang pengetahuan saya, sejak peristiwa Papua, satu-persatu kawan yang saya tahu memberikan hak pilihnya untuk Jokowi pada Pemilihan Umum Presiden yang lalu, tidak lagi lantang menyuarakan dukungan. Mereka memang tak lantas konyol meniru kelakuan para politisi yang enteng saja menukar kulit, berganti topeng, berbalik badan jadi suporter Prabowo Subiyanto. Tapi mereka menarik dukungan dan mulai getol melontar kritik. Dan penunjukan Budi Gunawan membuat mereka meledak.
Sejak Jenderal Hoegeng dicopot Presiden Soeharto pascaheboh kasus penyelundupan mobil mewah oleh pengusaha muda Robby Tjahjadi di tahun 1971, Kepala Polisi Indonesia tidak pernah lagi dijabat oleh figur yang benar-benar meyakinkan. Selalu saja ada keragu-raguan terhadap kecakapan dan kredibilitasnya.
Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengemukakan lelucon satiris. Menurut Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur dan bersih di Indonesia. Yakni Hoegeng, polisi patung, dan polisi tidur. Hoegeng sudah lama pensiun dan meninggal dunia, sedangkan dua lainnya benda mati. Dengan kata lain, tak ada polisi "yang bener" di Indonesia.
Benarkah demikian? Gus Dur barangkali terlalu hiperbolik. Banyak polisi jujur di Indonesia. Banyak yang sangat berdedikasi, menolak suap dan korupsi, bekerja ikhlas dari pagi hingga menjelang pagi lagi, meski gaji tak pernah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari. Di Jogja, bahkan ada polisi berpangkat rendah yang terpaksa tidur di bekas kandang sapi. Namun persoalannya, tidak sedikit juga polisi yang diam-diam menumpuk harta dan bergaya hidup mewah layaknya pangeran-pangeran dari Saudi.
Budi Gunawan sejak 2010 telah disorot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditengarai memiliki rekening dalam jumlah tak wajar (diistilahkan sebagai rekening gendut). Salah satu dari 21 perwira tinggi. KPK curiga Budi terlibat dalam perkara korupsi dan gratifikasi, setelah menemukan fakta jumlah hartanya mengalami kenaikan lima kali lipat sejak menjabat Kapolda Jambi dan Bali.
Benar bahwa Budi, mantan ajudan Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden, belum tentu bersalah. Barangkali benar pula bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak murni dilandasi kepentingan hukum. Barangkali ada interest politik di sana. Namun logikanya, tidak ada asap jika tak ada api, bukan? Dan semestinya, Presiden Jokowi, tak gegabah menunjukkan orang yang tidak (atau belum) benar-benar bersih untuk jabatan sevital ini.
Saya bukan pemilih Jokowi. Saya juga bukan pemilih Prabowo. Pada hari pencoblosan, saya pergi tidur dengan perasaan yang sungguh-sungguh kesal lantaran Brasil ditekuk Jerman 1-7, dan baru terbangun pada pukul empat sore, saat TPS-TPS sudah tutup. Namun memang, seandainya pada hari itu saya mencoblos, maka kemungkinan besar saya akan mencoblos Jokowi. Alasannya apa, tak perlu saya papar di sini.
Tapi begitulah, sekiranya Jokowi tetap ngeyel, tak meninjau ulang keputusannya mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal, respek saya terhadap dirinya akan semakin tergerus. Dan saya percaya, banyak orang yang bersikap serupa. Relawan yang kemarin itu menyelenggarakan konser "Salam Dua Jari", mengancam akan turun ke jalan apabila Jokowi melantik Budi. Selain memprotes Jokowi, mereka juga berencana menggeruduk gedung DPR.
Ah... Saya cuma rakyat biasa yang sudah tak lagi punya energi berlebih untuk turun ke jalan. Karenanya saya hanya bisa berharap satu hal. "Pak Jokowi, Bapak dan Ibu anggota dewan, dengarkanlah kata hati Anda. Ketahuilah, bersepakat dalam memuluskan siasat kejahatan sesungguhnya tidak beda dengan melakukan sendiri kejahatan itu."
Memang, sejauh ini, Jokowi masih memiliki banyak pendukung setia. Suporter-suporter garis keras, yang sebagaimana pembenci fanatik yang lahir dari rahim dendam pemilu, sengaja menulikan telinga dan membutakan matanya. Namun presiden mesti mewaspadai kemunculan barisan baru tadi. Barisan yang mulai menyesal. Pertama, karena sebagian besar mereka adalah orang-orang yang sangat terpelajar, terpelajar, dan setengah terpelajar. Kaum yang terbiasa berpikir sebelum bertindak mengambil keputusan.
Mengapa orang-orang seperti ini bisa berubah sikap dan pandangan, presiden semestinya melakukan introspeksi diri. Sebab jika tak ada hal-hal luar biasapilihan yang didasari oleh pemikiran yang terpelajar, tidak akan mudah goyah. Sekiranya pun terjadi tak akan secepat ini. Jokowi baru dua bulan menjadi presiden.
Apakah Jokowi tidak becus dalam memimpin? Tentu saja becus. Di beberapa bidang, sejauh ini, ia telah menunjukkan sistem pengelolaan koordinasi kerja yang serba cepat, efisien, dan tepat. Contoh paling nyata adalah penanganan tragedi longsor Banjarnegara dan jatuhnya pesawat AirAsia. Indonesia mendapat pujian dunia internasional. Ketegasan terhadap pelanggaran batas-batas teritorial laut dan kejahatan narkotika, meski masih banyak cacat di sana-sini, juga melambungkan kewibawaan Indonesia.
Tapi Jokowi justru banyak abai terhadap persoalan-persoalan internal. Masalah dalam negeri yang jelas tak kalah krusial. Penembakan warga sipil di Papua, kelanjutan penanganan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, wacana reklamasi Teluk Benoa, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), hingga pengangkatan pejabat-pejabat teras di lingkungan seputar istana, mulai dari Jaksa Agung hingga kini, Kepala Polisi. Jokowi, yang sejak awal gembar-gembor tidak akan terseret kepentingan politik praktis, dalam hal ini, justru kian terindikasi ke arah sebaliknya.
Sepanjang pengetahuan saya, sejak peristiwa Papua, satu-persatu kawan yang saya tahu memberikan hak pilihnya untuk Jokowi pada Pemilihan Umum Presiden yang lalu, tidak lagi lantang menyuarakan dukungan. Mereka memang tak lantas konyol meniru kelakuan para politisi yang enteng saja menukar kulit, berganti topeng, berbalik badan jadi suporter Prabowo Subiyanto. Tapi mereka menarik dukungan dan mulai getol melontar kritik. Dan penunjukan Budi Gunawan membuat mereka meledak.
Sejak Jenderal Hoegeng dicopot Presiden Soeharto pascaheboh kasus penyelundupan mobil mewah oleh pengusaha muda Robby Tjahjadi di tahun 1971, Kepala Polisi Indonesia tidak pernah lagi dijabat oleh figur yang benar-benar meyakinkan. Selalu saja ada keragu-raguan terhadap kecakapan dan kredibilitasnya.
Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengemukakan lelucon satiris. Menurut Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur dan bersih di Indonesia. Yakni Hoegeng, polisi patung, dan polisi tidur. Hoegeng sudah lama pensiun dan meninggal dunia, sedangkan dua lainnya benda mati. Dengan kata lain, tak ada polisi "yang bener" di Indonesia.
Benarkah demikian? Gus Dur barangkali terlalu hiperbolik. Banyak polisi jujur di Indonesia. Banyak yang sangat berdedikasi, menolak suap dan korupsi, bekerja ikhlas dari pagi hingga menjelang pagi lagi, meski gaji tak pernah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari. Di Jogja, bahkan ada polisi berpangkat rendah yang terpaksa tidur di bekas kandang sapi. Namun persoalannya, tidak sedikit juga polisi yang diam-diam menumpuk harta dan bergaya hidup mewah layaknya pangeran-pangeran dari Saudi.
Budi Gunawan sejak 2010 telah disorot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditengarai memiliki rekening dalam jumlah tak wajar (diistilahkan sebagai rekening gendut). Salah satu dari 21 perwira tinggi. KPK curiga Budi terlibat dalam perkara korupsi dan gratifikasi, setelah menemukan fakta jumlah hartanya mengalami kenaikan lima kali lipat sejak menjabat Kapolda Jambi dan Bali.
Benar bahwa Budi, mantan ajudan Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden, belum tentu bersalah. Barangkali benar pula bahwa penetapan tersangka oleh KPK tidak murni dilandasi kepentingan hukum. Barangkali ada interest politik di sana. Namun logikanya, tidak ada asap jika tak ada api, bukan? Dan semestinya, Presiden Jokowi, tak gegabah menunjukkan orang yang tidak (atau belum) benar-benar bersih untuk jabatan sevital ini.
Saya bukan pemilih Jokowi. Saya juga bukan pemilih Prabowo. Pada hari pencoblosan, saya pergi tidur dengan perasaan yang sungguh-sungguh kesal lantaran Brasil ditekuk Jerman 1-7, dan baru terbangun pada pukul empat sore, saat TPS-TPS sudah tutup. Namun memang, seandainya pada hari itu saya mencoblos, maka kemungkinan besar saya akan mencoblos Jokowi. Alasannya apa, tak perlu saya papar di sini.
Tapi begitulah, sekiranya Jokowi tetap ngeyel, tak meninjau ulang keputusannya mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal, respek saya terhadap dirinya akan semakin tergerus. Dan saya percaya, banyak orang yang bersikap serupa. Relawan yang kemarin itu menyelenggarakan konser "Salam Dua Jari", mengancam akan turun ke jalan apabila Jokowi melantik Budi. Selain memprotes Jokowi, mereka juga berencana menggeruduk gedung DPR.
Ah... Saya cuma rakyat biasa yang sudah tak lagi punya energi berlebih untuk turun ke jalan. Karenanya saya hanya bisa berharap satu hal. "Pak Jokowi, Bapak dan Ibu anggota dewan, dengarkanlah kata hati Anda. Ketahuilah, bersepakat dalam memuluskan siasat kejahatan sesungguhnya tidak beda dengan melakukan sendiri kejahatan itu."

Quote:
Ketua KPK Abraham Samad bersama Relawan Salam Dua Jari melakukan aksi menolak Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri di gedung KPK, Kamis (15/1/2015).
noh.. noh.. panastak kaskus pada ikutan demo gak?

Spoiler for se ikhlasnya saja:

[SUMBER]
lumayan lah jadi top thread di BP


Diubah oleh who.siapa 16-01-2015 12:36
0
37K
Kutip
532
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan