Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

h4ckm1Avatar border
TS
h4ckm1
Perbedaan Fans Sepak Bola Inggris dan Italia
Perbedaan Fans Sepak Bola Inggris dan Italia

Dua klub ternama yang sering di juluki "The Devils" menjalani cerita yang sama tapi dengan jalan berbeda pada musim ini. Manchester United kini tengah terpuruk. Di papan klasemen Liga Inggris mereka kedodoran untuk bersaing di papan atas. Di Liga Champions pun mereka tersaruk-saruk. Mereka harus sangat susah payah menyingkirkan tim semenjana, Olympiakos, tim dari negeri yang masih terkoyak-koyak oleh krisis ekonomi.

Nada-nada minor nyaring terdengar kepada Moyes saat Manchester United akan menjamu seteru abadi mereka - Liverpool di Old Trafford. Pasalnya MU yang sekarang beda jauh dengan yang dulu.Tetapi pada laga itu, Moyes masuk ke lapang dengan rasa percaya diri. Tulisan "In Moyes We Trust" masih sempat terlihat diacung-acungkan suporter cilik penggemar MU. Yel-yel dukungan tetap menggema kompak seperti biasanya pada setiap tribun. Standing applause dilakukan semua penonton menyambut para pemain pesakitan mereka masuk lapangan.

Masuk dengan dada membusung, pulang dengan punggung membungkuk. MU kalah telak 0-3 oleh Liverpool. 1500 Kilometer dari Kota Manchester, tepatnya di Kota Milan pada waktu yang bersamaan "Il Diavolo" mengalami nasib sama. Tapi dengan jalan berbeda.

Perbedaan Fans Sepak Bola Inggris dan Italia

Kenaasan di musim ini mutlak milik Milan -tersingkir dari Liga Champions dan terasingkan dari klub-klub besar karena hanya mampu bertengger di papan tengah kompetisi Serie A. Musim ini berpotensi akan menjadi musim terburuk bagi AC Milan selama kurun waktu 28 tahun terakhir. Dalam rentan waktu itu mereka selalu mampu lolos ke kompetisi Eropa. Pada musim ini kemungkinan rekor itu terhenti.

Berbeda dengan MU, melawan Parma di San Siro, skuat Milan mendapat perlakuan berbeda. Stadion amat sepi karena beberapa kelompok memutuskan untuk boykot sebagai aksi protes tersingkirnya Milan dari Liga Champions dengan kalah memalukan 5-1 dari Atletico Madrid.

Tak berhenti disitu, sebelum memasuki stadion sekitar ratusan orang sudah memadati di luar stadion. Tujuan mereka jelas untuk melampiaskan sumpah serapah, cacian kotor tak terkira yang ditujukan kepada seluruh official dan pemain Milan. Puluhan barikade polisi bahkan dikerahkan untuk memberi jalan agar bus bisa masuk kedalam stadion.

Tak hanya para ultras, para penggemar dari semua kalangan usia dan gender dari anak kecil hingga kakek nenek pun ikut dalam aksi itu. Jelas unjuk rasa ini bukan yang pertama. Bulan November lalu, Ultras bahkan memblokade jalan agar bus tim tak bisa keluar dari stadion setelah Milan hanya mampu bermain imbang 1-1 melawan Genoa, di San Siro.

Dua keterpurukan dengan dua cara penyikapan yang sangat kontras.

Melihat Loyalitas Inggris pada Suporter Leeds

Sepakbola pada khakikatnya merepresentasikan kebudayaan, adat istiadat dan karakter dari sekelompok masyarakat. Maka tidak mengherankan jika sepakbola selalu menghadirkan cara pandang yang berbeda terhadap banyak hal yang terjadi di lapangan. Beda tempat, beda cara. Ini termasuk dalam perkara menyikapi kekalahan-kekalahan yang beruntun.

Dalam kajian terkait budaya suporter, membandingkan kultur sepakbola Inggris dan Italia memang seringkali terasa benar kontrasnya. Gianluca Vialli dan Gabrielle Marcoti sempat membahas ini pada suatu bab khusus dalam buku The Italian Job.



Pernah mendengar jargon "If you can't support us when we lose, you can't support us when we win"(terjemahan bebasnya: Jika kau tak memberi dukungan saat timmu kalah, maka kau tak berhak ikut bergembira saat timmu menang)? Bagi fans Inggris jargon itu teramat keramat.

Untuk mendalami seberapa tinggi fans Inggris menghayati jargon itu mungkin kita bisa melihatnya saat Leeds United terdegradasi tahun 2004 silam. Pertandingan akhir musim menghadapi Charlton Athletic sudah tak menentukan lagi bagi Leeds, mengingat mereka sebenarnya sudah dipastikan terlempar dari Premier Leaque.Pada laga itu, siapa sangka Stadion Ellan Road – kandang Leeds tetap penuh. Fans tetap menyanyi memberi dukungan sepanjang pertandingan, bahkan saat tim tamu menyamakan kedudukan 3-3, dukungan kepada Leeds kian mengencang.

Semua itu memuncak saat wasit meniup peluit tanda pertandingan berakhir. Pitch invasion dilakukan, dan anehnya tak ada kekerasan, malah pemain Leeds diserbu bak seperti seorang pahlawan. Tak peduli rasa sakit itu, fans hanya bisa melampiaskannya lewat air mata.

"Inilah Inggris, kesabaran mereka tak ada batasnya. Fans tak akan pernah mengkritik dan mereka selalu mengeluk-elukan Anda. Dan stadion akan tetap selalu penuh. Tidak penting Anda bermain bagus atau jelek, fans akan selalu mendukung Anda," ucap Sven Goran Eriksson.

Orang Italia tak akan percaya kisah yang terjadi di Leeds. Jargon "if you cant support bla..bla..bla.." bagi orang Italia akan sangat sukar dipraktikkan, bahkan boleh jadi akan diolok-olok.

Andaikan klubnya degradasi reaksi orang Italia mungkin akan beda. Mulai dari menyerbu tempat latihan, mengepung ruang ganti, vandalisme terhadap mobil dan rumah-rumah pemain hingga melakukan tindak kekerasan pada idola mereka sendiri.

Tapi jangankan degradasi, untuk hal-hal remeh temehpun kenekatan bisa terjadi. Masih ingat penyerangan Ultras Lazio kepada para pemain Lazio setelah Si Elang kalah telak 5-1 dari AS Roma? Atau mungkin perusakan mobil Adriano Galliani oleh Ultras Milan sebagai aksi protes menolak wacana penjualan Kaka ke Real Madrid. Atau mungkin fans garis keras Roma yang menyerang Totti cs setelah mereka kalah dari Lazio di Final Copa Italia tahun lalu.

Di Inggris, hal itu tak akan terjadi.Lain lubuk, memang lain juga ikannya.

Klub sebagai Representasi Kekudusan yang Tak Boleh Terkoyak

Orang Italia dan Inggris bersikukuh menganggap apa yang dilakukannya adalah benar. Ada sebuah cara pandang berbeda terkait bagaimana orang Italia dan Inggris kepada klub idolanya. Dan Vialli dalam buku The Italian Job menggambarkan perbedaan itu lewat dua kata: Identityuntuk Inggris dan Faith untuk Italia.

Fans Inggris memposisikan diri dengan klubnya sebagai sebuah hubungan horizontal. Menjadikan klub sebagai identitas pribadi mereka sendiri. Pemain, pelatih, dan tim berdiri sejajar dalam hubungan itu. Karenanya di Inggris jika menghina tim menandakan dia menistakan dirinya sendiri.

Bagi Vialli,fans Italia memandang klub lebih dari sekadar representasi identitas diri. Kecintaan kepada klub bukan lagi sebagai identitas, melainkan faith, mirip sebuah hubungan "quasi-religious" atau"separuh spiritual", "seperti kultus terhadap hal-hal yang sakral". Hubungan antara fans dan klub pun tak lagi horizontal, tapi vertikal.

Jika klub di Inggris dianggap sebagai representasi identitas diri sendiri oleh para fans-nya, maka fans di Italia menganggap klub melampaui dirinya sendiri, berada di tempat yang kudus, di altar perjamuan yang suci. Imbas cara pandang ini adalah: kekalahan memalukan tidak dianggap semata sebagai rusaknya identitas diri para fans, tapi lebih seperti perasaan terkoyaknya suatu iman, sobeknya suatu kepercayaan. Dan itu tak bisa diterima, tak mungkin dibiarkan.

Maka saat klub terpuruk dan menelan kekalahan beruntun secara memalukan, para fans di Italia merasakan kegoncangan spiritual, dan mereka tak bisa membiarkannya begitu saja. Mereka harus berusaha mengatasi kegoncangan itu dan memulihkan kembali kekudusan yang dijunjung tinggi itu.

Maka jika klub adalah gereja yang mengejawantahkan kepercayaan dan iman (faith, dalam istilahnya Vialli), rusaknya kekudusan gereja harus dipulihkan dengan cara memaksa para pelayan gereja (direktur klub, manajemen, manajer, pelatih dan pemain) untuk secepat mungkin berbenah, memulihkan kehancuran, dan menyembuhkan kerusakan.

Intinya kejayaan klub adalah kebangaan fans, tapi kemerosotan klub fans enggan ikut menanggung beban. Direktur Marketing Atalanta, Luca Locatelli, menyebutnya sebagai sebuah hubungan sepihak. Karena itu di Italia selalu ada jarak antara fans dan klub, hubungan mereka tak secair seperti di Inggris.

Pada klub-klub Inggris, sering kita temui klub mengadakan forum-forum diskusi untuk menampung aspirasi fans kepada pelatih, pemain atau pengurus. Di Italia hal itu sukar terlihat.

"Maaf jika saya harus mengatakan para fans tidak menghormati kami. Hanya ketika kami bisa membuktikan kepada para fans bahwa kami bisa bekerja dengan baik dan layak mendapat respek, barulah kita bisa membangun dialog secara damai dan terbuka," ujar Luca Locatelli.

Dengan semua catatan seperti di atas, jangan heran jika para fans di Italia tak mau tanggung-tanggung dalam melakukan kritik kepada para pengurus klub, mereka yang menjadi "pelayan gereja" itu.

Lihat saja spanduk yang dipasang fans Lazio saat menghujat presiden mereka sendiri Claudio Lotito beberapa minggu lalu. Tertulis makian seperti "Lotito Merda", "LotitoVaffanculo", "Lotito Babi Gendut". Berlusconi, Galliani, Moratti pun pernah merasakan hal yang sama.

Makian-makian itu tak hanya sebatas lewat verbal tapi divisualisasikan lewat spanduk. Dalam budaya suporter di Italia, makian lewat spanduk menegaskan betapa pesan yang disampaikan adalah sesuatu hal yang serius.

Sekesal-kesalnya fans Inggris pada idola mereka atau sebenci-bencinya pada klub lawan, tak akan sampai setega seperti orang-orang Italiadalam mengirimkan pesan-pesannya. Pesan-pesan spanduk orang-orang Inggris lebih sarkas,kadang memainkan satire, dan jarang menyerang individual secara kasar dan verbal– jikapun tetap terjadi itupun dengan bahasa yang masih ada dalam batas kesopanan. Lihat bagaimana Moyes diserang oleh fans Liverpool dengan kalimat satire:"Moyes is a football genius".

Kanonisasi dan Standarisasi Budaya Suporter

Inggris memang terkenal dengan kulturnya yang konservatif, menjunjung tinggi sopan santun, dan cenderung dituntut untuk mengendalikan emosinya agar tampak lebih berbudaya dan beradab. Tentu saja ada, akan selalu ada, penyimpangan. Tapi istilah "gentleman", yang lahir dari Inggris, adalah konsep khas Inggris yang menjadi standar bagaimana menjadi manusia yang berbudaya, terhormat, dan penuh kesantunan.

Italia tentu saja berbeda. Dan itu hal yang biasa saja. Pada dasarnya setiap bangsa, setiap masyarakat, setiap "unit" kebudayaan, punya tata-caranya sendiri, punya peradatannya sendiri. Ekspresi kebudayaan bisa dan wajar jika berbeda-beda.

Menjadi persoalan ketika jenis kebudayaan tertentu dijadikan standar bagi yang lainnya. Persoalan akan menjadi lebih rumit ketika standarisasi itu dibakukan melalui aturan main (rules of the game) yang akan dan bisa memaksa orang-orang dari kebudayaan yang berbeda untuk bersikap dan bertingkah yang sama, bahkan walau pun itu tidak senafas dengan kebudayaan mereka sendiri.

Inilah yang dimaksud dengan "kanonisasi": membuat standarisasi berdasarkan satu jenis ekspresi kebudayaan tertentu dan mengabaikan atau meremehkan ekspresi kebudayaan yang lain.

Sepakbola sesungguhnya akan menjadi menjemukan jika setiap tribun di semua stadion tampil dalam wujudnya yang seragam, menampilkan ekspresi yang homogen, dan memperlihatkan cara menyikapi dan menikmati pertandingan dengan standar berperilaku yang sama.

Setelah cara mengelola klub makin lama makin distandarisasi oleh apa yang disebut sebagai "industri sepakbola", semogalah tribun stadion bisa diselamatkan dari wabah homogenisasi cara berekspresi.

====

*ditulis oleh @aqfiazfan dari @panditfootball
0
4.9K
14
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan