- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Pendar Lilin


TS
allergic.sperm
Pendar Lilin
Quote:
Prologue
“Harusnya aku sadar betul dengan perbuatanku selama ini, namun kata maafku kali ini tak berarti lagi bagimu. Apa harus kupaksa pahit itu tertelan dirongga tenggorkanku ini? baiklah akan ku bayar semua deritamu dengan rasa sakit ini. Aku sayang kamu sampai kapanpun.” Ucapnya penuh sesal.
10 Tahun Yang Lalu.
Seorang pemuda datang ke ibu kota untuk mencari sesuap nasi dengan bermodalkan keyakinan ia pun melangkah maju tanpa mengenal takut, pemuda itu berparas tampan, kulitnya putih dan dengan senyumnya yang menawan ia bisa membuat org lain tertarik padanya, tingkah lakunya apa adanya dan dia juga orang yg tulus, hal itu terlihat dari tindak tanduk dan ucapannya.
Riko Ardirasafka nama pemuda tersebut, pemuda 21 tahun itu merantau untuk mengadu nasib di kota, dimana dia berjuang untuk kehidupan dan masa depanya, dan ketika kisah itu dimulai disanalah dia bertemu dengan cintanya, wanita yang bisa memikat hatinya, wajahnya bak batu pualam, putih mulus dan manis, dengan rambut panjang yang tergerai dipunggungnya menjadikanya terlihat sempurna, langkahnya yang gemulai dengan tubuh yg semampai menambah aura kecantikannya. senyum dibibir tipisnya yang manis dan dari seluruh kelebihannya membuat sang Riko jatuh hati, mereka saling mencintai satu sama lain seperti rama mencintai sinta, seperti juliet yang mencintai romeo. Berbagi layaknya adam dan hawa, saling mendukung dan mengisi, seperti dua sisi mata uang yang selalu berdampingan, dan mereka bahagia untuk itu.
Hingga pada akhirnya disuatu titik terdapat rasa yang begitu sulit dipahami, begitu sulit diungkapkan dan dari setiap langkah deritanya akan terlahir kisah antara sekumpulan anak manusia yang saling berbagi penderitaan yang sangat dalam. Cinta dan Kasih hanya sebagai pemanis buatan diantara gelas-gelas yang berisi racun mematikan.
***
Akulah lelaki busuk yang akan menulis di setiap halaman kisah ini, aku Jaka Leksmana akan membawakan kisah kotor ini. aku Jaka panggil saja aku Jaka. Pemuda hina dari pulau yang semakin padat akan nafas perjuangan manusia. Aku yang akan menulis semuanya, tentang kisah 3 orang anak manusia dan manusia lain disekelilingnya, tentang cerita keajaiban cinta dan liku-liku kehidupan, ini tentang mereka berdua, tentang aku dan tentang kisah yang ingin ku tulis disini.
***
5 Tahun Lalu.
Entahlah bagaimana caraku untuk memberikan maaf. Mungkin tak akan bisa aku terima begitu saja setelah 5 tahun terlewati. Pengharapan yang berujung pada kesia-siaan. Tak ada yang lebih pahit dari itu semua. Mencintai bukan berarti memiliki, terdengar klise tapi mungkin aku tak kan pernah menerima begitu saja, buatku itu mustahil, lebih mustahil dari pada pemikiran orang 3 dekade yang lalu bahwa manusia bisa berjalan di bulan.
Bagiku, mencintai adalah tentang bagaimana memberi setulus hati, menerima dengan lapang dada dan membuat pengharapan bersama. Tentang bagaimana kita akan menjadi bukan bagaimana kita saat ini. Tak berlebih jika pada akhirnya aku mengharap untuk bisa bersama melewati musim berganti tanpa berjuta alasan di baliknya.
Aku mempercayai takdir, tapi bukan berarti aku harus menyerah kepadanya. Siapa yang harus di salahkan jika aku menjadi pesakitan saat ini. Seseorang yang terasing, terbuang dan tercampakkan. Mungkin ini adalah sebagian dari ujian-Nya untuk melihat seberapa tinggi tingkatku.
Rupanya aku terhanyut dalam lamunanku, dan potongan-potongan gambar 5 tahun terakhir kembali memasuki pikiranku. Hingga aku tersentak saat ponsel ku berdering dari balik ruangan. Kudengarkan tiap dering hingga panggilan terputus dengan sendirinya.
“Malas” gumanku, “Paling juga kolega-kolegaku menelfon di pagi hari seperti ini”.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di ruangan ini, kulihat sesaat bayangan ku memantul di cermin wastafel. Rahangku masih seperti semula tajam dan tegas, hanya pipiku yang sedikit tirus dan beberapa bulu jambang yang membedakannya. Rambut hitamku yang ikal terlihat acak-acakan saat ini. Beberapa jarum suntik yang telah ku gunakan masih tergeletak di depan cermin dan beberapa linting putung ganja pun belum sempat aku buang. Kutengadahkan tanganku di bawah air yang mengalir dari kran, dingin merasuk di sela-sela jemariku. Aku mulai membasuh mukaku saat telefon dari seberang ruangan kembali berdering. “Siapa orang ini?” Ucapku dalam hati. Segera aku matikan kran di wastafel dan aku beranjak ke ruang sebelah.
“Jaka?!! Dimana kamu?” Teriak seseorang di ujung telefon dalam nada tenor yang amat sangat ku kenal.
“Saya masih di rumah!” Sahutku.
“Gimana kamu?? Weekly report penjualan dari sales- sales kamu belum kamu kirim? Sementara saya harus rapat dengan direksi jam 2, kamu tahu sekarang sudah jam berapa? Kamu kenapa? lagi ada masalah???!!” Kata Pak Chris tanpa jeda, seakan tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan.
“Ehmmmmm, tidak juga sebenarnya pak. memang report dari sales-sales saya saja yang telat, jadinya saya agak telat ngasih laporannya ke Bapak” Aku sedikit membela diri.
“Ya sudah, kamu sekarang saya tunggu di kantor.” Ucap pak kris ketus.
“Baik pak, saya segera kesana.” Jawabku sembari menutup telfon.
Aku Jaka, Jaka Lesmana aku bekerja dalam sebuah perusahaan otomotif. Ini merupakan tahun ke empatku bekerja disana sebagai pegawai setelah sebelumnya aku hanyalah seorang freelancer. Karirku boleh dikatakan brillian, Aku ingat betul bagaimana pertama kali aku disana sebagai seorang kaum urban dari daerah yang berbekal ijazah SMA memulai karir. 1 tahun aku menjabat sebagai sales marketing lalu aku di tarik ke kantor untuk menjadi supervisor marketing. Banyak teman-temanku yang memang mengakui kalau otakku lumayan brilian sebenarnya, tapi sikap tempramen ku lah yang bisa menghancurkan semuanya, begitulah yang sering kudengar dari sahabat-sahabatku.
Kumatikan rokok yang baru setengah terbakar, lalu mulai kuaduk-aduk lemari pakaian untuk mencari baju yang hendak ku pakai. Kebiasaan burukku, tak pernah meletakkan segala sesuatu dengan terorganisir. Bagiku spontatinas itu jauh lebih simple, tak perlu membuang-buang banyak waktu hanya untuk mempersiapkan sesuatu. Akhirmya ku temukan baju yang aku inginkan, kemeja lengan panjang warna hitam yang merupakan seragam harianku. Segera ku raih dan kutarik dari dalam lemari pakaianku. Selipat kertas terjatuh bersamanya..
“Jaka, maaf aku harus pergi—” Begitulah bunyinya.
"Sial Kamu lagi rupanya, panjang umur kamu ya?" kuambil dan kusimpan lagi kertas kenangan itu. "Kenapa kamu begitu susah pergi" Ucapku membatin.
Kulirik arlojiku yang menunjukkan pukul 10 saat itu, aku lantas bergegas mengambil tas kerja dan kunci motor yang tergeletak di samping nya lalu ku kunci pintu kostanku dan ku letakkan di tempat biasanya.
“Baru keluar? Gua pikir lu udah pergi dari tadi pagi” sapa mas Aryo tetangga kostku yang sedang di teras saat itu.
“Iye mas, biasa kesiangan gua” sahutku
Lalu kunyalakan motor buntut ku dan mulai kustarter. Satu kali, Dua kali, tiga kali tidak ada respon.
“Sial, ngadat lagi rupanya” gumanku dalam hati
“Braaaakkkkkkk!”
“Ngape lu ka?” Tanya mas Aryo sambil memperhatikan motorku yang sudah roboh di pelataran parkir.
“Biasa, motor gak guna mas, gua tendang aja. Abisan kesel gua." Sautku menggerutu.
“Jangan gitu lah ka, kan ga harus lu tendang juga. Kalo kaya gini caranya mah sama aja lu makin rusakin” nasihat mas Aryo yang sudah hafal betul terhadap sikap temperament ku.
“Ya udah mas ntar coba lo cek dah” sahutku sambil melemparkan kunci motor ke arahnya. “ntar lo kabari gua aja mas”
“Ya udah ka—” jawabnya.
Bagiku mas Aryo sudah seperti kakak kandung sendiri, orang yang paling tahu mengenai kisahku orang yang mengetahui segala sifat burukku. orang yang ikut menjamin saat si sundal tinggal bersama dengan ku dulu.
“Ya udah mas, gue cabut dulu ya..”
Segera kuteruskan berjalan menyusuri gang sesak di depan kostan ku, melihat anak anak kecil yang bermain di kubangan air hujan, tertawa, bercanda, bermain air, mengisyaratkan tak ada beban dalam hidupnya. Melihat bahwa setiap kehidupan adalah keajaiban sehingga mereka tetap bisa tertawa atasnya. Larut dalam kehidupan yang mengalir seperti air dan membiarkan membawanya. Entahlah, apakah saat aku kecil dulu juga seperti itu? Aku rasa tidak. Aku selalu disuguhi pemandangan mengerikan ketika seusia mereka. Melihat ayah dan ibu ku bertengkar, melihat ayahku memukul ibu, mendengarkan ibuku yang selalu berteriak memarahi ayah, hingga pada akhirnya harus menyaksikan mereka berdua berpisah.
“Taksi…..” Teriakku.
“TB Simatupang ya pak.” Kataku setelah menutup pintu.
Selalu dan seperti ini Jakarta tiap hari. Bunyi klakson yang bersahut-sahutan menambah tensi darah meninggi 2 bar. Semuanya seakan berlomba untuk menjadi yang tercepat untuk mencapai tujuan mereka, menembus kepadatan lalu lintas yang tak mengenal waktu. Kota yang terlihat megah dari luar namun memberikan elegi di dalamnya.
“kriiiiinggg…..” Bunyi ponselku bedering.
Sejenak kulihat identitas pemanggilnya. Chrisoper Tambunan atasanku di kantor, lelaki mungil 165 cm dengan pemikiran yang luar biasa dashyat. Suaranya yang bernada bariton siap menyerang siapa saja yang berani menyagkal argumennya serta sorot matanya yang menghakimi semakin sembuat siapa saja yang sedang berhadapan dengannya menjadi seseorang yang bersalah.
Aku Jaka Leksmana.


anasabila memberi reputasi
1
5.9K
77


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan