Quote:
Jakarta, Aktual.co — Enam dari 53 perusahaan publik penyandang utang luar negeri (ULN), berpotensi insolvent (nilai utang jauh melampaui aset). Angka itu diperoleh BI dari uji stres ketahanan perusahaan jika nilai tukar Rupiah melemah hingga Rp16.000 perUSD.
Dokumen Kajian Stabilitas Keuangan yang diterbitkan BI di Jakarta, pada Minggu (14/12/2014) ini menyingkap sepanjang semester I - 2014, total ULN Indonesia naik 10,4% mencapai 248,8 miliar USD, dibanding semester I - 2013. Tercatat, ULN swasta naik signifikan melebihi ULN pemerintah. ULN swasta semester I – 2014 itu naik 14,4% menjadi US$ 153,2 miliar.
"Sebanyak 80% dari utang luar negeri swasta adalah dari lembaga non bank. Bagi korporasi, utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan kedua terbesar setelah kredit domestik," tulis dokumen itu.
Hasil Assesmen mitigasi risiko pada 2.164 korporasi swasta penyandang ULN periode 2008-2013 menunjukan dampak pelemahan nilai tukar mengandung risiko lebih besar atas perusahaan yang memiliki ULN nonafiliasi, berjangka pendek, dan berorientasi domestik. Dampak itu jauh berbeda atas perusahaan penyandang ULN afiliasi yang berjangka panjang dan berorientasi ekspor, karena tidak menyebabkan insolvent. Apalagi default (gagal bayar).
Berdasarkan integrated stress test atas kemungkinan default oleh 271 perusahaan penyandang ULN yang disimulasikan oleh BI dengan beberapa skenario risiko pelemahan nilai tukar terhadap kredit perbankan, menunjukkan dampak itu relatif bersifat minimal.
Kendati begitu BI mengingatkan, ULN swasta menjadi salah satu sumber kerentanan ekonomi domestik. Karena begitu nilai tukar rupiah melemah atas USD, niscaya ULN pun membengkak. Krisis keuangan 1997-1998, menurut BI memberi pelajaran bahwa pelonjakan ULN swasta salah satu penyebab tekanan pada mata uang. Sehingga memperburuk stabilitas keuangan maupun perekonomian nasional.
Nilai tukar rupiah yang terus melemah, menjadi sinyal yang wajib diperhatikan berbagai perusahaan. Terutama perusahaan penyandang ULN nonafiliasi, berjangka pendek, dan berorientasi domestik.
Direktur Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan Bank Sentral terus mewaspadai setiap perkembangan ULN swasta. "Kami terus mengingatkan agar korporasi hati-hati dengan utang luar negeri. Jika rupiah melemah, nominal utangnya tentu akan bertambah," katanya.
Untuk menekan risiko pelemahan kurs, Peter menyarankan perusahaan sebaiknya melakukan lindung nilai (hedging) segera. "Ini khususnya untuk perusahaan non bank," ujarnya.
Dalam dokumen Kajian itu, BI tidak mengungkapkan siapa saja perusahaan penyandang ULN itu. Apakah perusahaan swasta murni, atau BUMN. Di sisi lain, dari uji stres itu, berarti BI sesungguhnya telah mengasumsikan nilai tukar rupiah bisa jatuh melemah hingga Rp16.000 per USD.
Asumsi BI yang disiratkan BI itu wajib diamati mengingat potensi krisis di Indonesia bisa terjadi akibat kisruh politik di parlemen belum kunjung teratasi. Apalagi ketidakserasian kabinet Presiden Jokowi dengan parlemen, niscaya bisa berimplikasi ekonomi luas.
Potensi buruk itu pun masih dibarengi oleh faktor fundamental, seperti defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan. Pembengkakan nilai defisit yang mungkin hanya bisa diatasi dengan mobilisasi utang luar negeri besar besaran. Padahal kepercayaan investor menjadi taruhan. (dhia prekasha yoedha)
sumur
komeng: memang masih sebatas asumsi dari BI. Tapi, jika tidak ada kebijakan fundamental yang segera dilakukan pemerintah, asumsi itu bakal menjadi kenyataan. berhubung ane gak paham ekonomi makro/mikro, silahkan buat panasbung/panastak yang ngerti untuk berdebat....