- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[RevolusiMental] Diperas atasan Rp 20 M, Brigadir Kumala buang seragam polisi


TS
Ramma64
[RevolusiMental] Diperas atasan Rp 20 M, Brigadir Kumala buang seragam polisi
![[RevolusiMental] Diperas atasan Rp 20 M, Brigadir Kumala buang seragam polisi](https://dl.kaskus.id/cdn.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2014/12/09/470232/250x125/diperas-atasan-rp-20-m-brigadir-kumala-buang-seragam-polisi.jpg)
Quote:
Merdeka.com - Kasus pemerasan dialami oleh anggota Direktorat Narkoba Polda Bengkulu Brigadir Polisi Kumala Tua Aritonang. Diduga pelaku adalah mantan atasannya yang kini menjabat sebagai Kapolres Seluma AKBP Parhorian Lumban Gaol. Korban mengaku sudah merugi Rp 20 miliar.
Terkait itu, Kumala mendatangi Istana Negara berniat temui Presiden Joko Widodo (Jokowi), protes atas masalah yang dialaminya. Sebagai ungkapan kekesalannya, Kumala membuang seragam polisi di depan Istana.
"Kesal, harta ludes Rp 20 miliar. Setiap bulan harus setor Rp 80 sampai Rp 100 juta," kata Kumala di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (9/12).
Dia tidak sendirian. Bersama teman-temannya, Kumala menyampaikan orasinya. "Menanti keadilan. Bintara vs Perwira. Bongkar tuntas kebobrokan, lebih cepat lebih baik," bunyi tulisan di papan yang dibawa Kumala.
Dia menceritakan, pemerasan yang dialaminya bermula dari bisnis joint venture antara istrinya dengan Lumban Gaol. Sang atasan suntik dana awal Rp 30 juta dan bisnis berkembang.
Kemudian Lumban kembali menyuntikkan dana Rp 800 juta untuk menjalankan bisnis properti. Kali ini, istri Kumala mempercayakan kepada saudaranya bernama Tolzi Supriadi. Tapi modal besar tidak menjanjikan keuntungan. Usaha dengan sistem bagi hasil ini merugi.
"Lumban meminta supaya membayar segera, dan meminta saya membayar Rp 80 juta sampai Rp 100 juta dengan bungan 10 sampai 15 persen selama empat tahun. Sudah sejak 2010," lanjut ceritanya.
Kumala mengaku rutin membayar kewajiban hingga utang lunas. Namun, bukannya masalah selesai, Lumban dituding masih meminta setoran cicilan. Jika cicilan berhenti, dia tidak segan mengancam memecat dan memenjarakan Kumala.
Korban lantas melaporkan atasannya tersebut ke Polda Bengkulu, beserta bukti setoran rekening atas nama istri Lumban dan orang asal Surabaya bernama Ngocek Siong. Kasus ini lantas naik ke Bareskrim Mabes Polri.
"Saya meminta agar kelebihan uang dikembalikan dan diberatkan hukum pidana sesuai hukum terakhir di Bareskrim Mabes Polri," pintanya.
Namun di tengah harapannya tersebut, Kumala bingung lantaran berkasnya di-SP3 dilimpahkan kembali ke Polda Bengkulu.
Kumala melaporkan Lumban dengan pencemaran nama baik. Saat ini gelar perkara sidang kode etik Propam Bengkulu masih berlangsung.
"Revolusi mental Jokowi, kasus inilah uji cobanya," pekik Kumala di akhir orasinya sekitar pukul 13.00 WIB.
http://m.merdeka.com/peristiwa/diper...litnews-2.html
Terkait itu, Kumala mendatangi Istana Negara berniat temui Presiden Joko Widodo (Jokowi), protes atas masalah yang dialaminya. Sebagai ungkapan kekesalannya, Kumala membuang seragam polisi di depan Istana.
"Kesal, harta ludes Rp 20 miliar. Setiap bulan harus setor Rp 80 sampai Rp 100 juta," kata Kumala di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (9/12).
Dia tidak sendirian. Bersama teman-temannya, Kumala menyampaikan orasinya. "Menanti keadilan. Bintara vs Perwira. Bongkar tuntas kebobrokan, lebih cepat lebih baik," bunyi tulisan di papan yang dibawa Kumala.
Dia menceritakan, pemerasan yang dialaminya bermula dari bisnis joint venture antara istrinya dengan Lumban Gaol. Sang atasan suntik dana awal Rp 30 juta dan bisnis berkembang.
Kemudian Lumban kembali menyuntikkan dana Rp 800 juta untuk menjalankan bisnis properti. Kali ini, istri Kumala mempercayakan kepada saudaranya bernama Tolzi Supriadi. Tapi modal besar tidak menjanjikan keuntungan. Usaha dengan sistem bagi hasil ini merugi.
"Lumban meminta supaya membayar segera, dan meminta saya membayar Rp 80 juta sampai Rp 100 juta dengan bungan 10 sampai 15 persen selama empat tahun. Sudah sejak 2010," lanjut ceritanya.
Kumala mengaku rutin membayar kewajiban hingga utang lunas. Namun, bukannya masalah selesai, Lumban dituding masih meminta setoran cicilan. Jika cicilan berhenti, dia tidak segan mengancam memecat dan memenjarakan Kumala.
Korban lantas melaporkan atasannya tersebut ke Polda Bengkulu, beserta bukti setoran rekening atas nama istri Lumban dan orang asal Surabaya bernama Ngocek Siong. Kasus ini lantas naik ke Bareskrim Mabes Polri.
"Saya meminta agar kelebihan uang dikembalikan dan diberatkan hukum pidana sesuai hukum terakhir di Bareskrim Mabes Polri," pintanya.
Namun di tengah harapannya tersebut, Kumala bingung lantaran berkasnya di-SP3 dilimpahkan kembali ke Polda Bengkulu.
Kumala melaporkan Lumban dengan pencemaran nama baik. Saat ini gelar perkara sidang kode etik Propam Bengkulu masih berlangsung.
"Revolusi mental Jokowi, kasus inilah uji cobanya," pekik Kumala di akhir orasinya sekitar pukul 13.00 WIB.
http://m.merdeka.com/peristiwa/diper...litnews-2.html
sekedar pedoman
Quote:
Anggota Polri aktif dilarang berbisnis
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan anggota Polri aktif dilarang melakukan bisnis atau usaha lain disamping pekerjaannya.
"Anggota Polri aktif tidak boleh punya bisnis," kata Boy di Jakarta, Kamis.
Boy menjelaskan, anggota Polri aktif dilarang memiliki bisnis atau dengan kata lain namanya dicatut sebagai direksi atau jabatan di suatu usaha.
Sanksinya, menurut dia, bisnis utama tersebut bisa dihilangkan. Selain itu juga akan diterapkan sanksi kode etik profesi kepada yang bersangkutan.
Pernyataan itu menyusul laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap salah satu anggota Polri berpangkat bintara yang bertugas di Polres Raja Ampat, Papua, yang memiliki transaksi rekening dengan jumlah fantastis.
Total transaksi keuangan di rekening Aiptu Labora Sitorus, yang diduga melakukan tindak pencucian uang dari bisnis migas dan kayu ilegal, mencapai hingga Rp1,5 triliun.
Atas tindakan tersebut, Aiptu Labora dikenai sanksi kode etik profesi disamping tindak pidana pencucian uang. Hal itu dibuktikan dari turunnya Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri yang juga melibatkan Direktorat II Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri dalam penyidikan kasus Aiptu Labora.
"Jadi Propam sudah turun, tidak hanya dari Reserse (Bareskrim-red)," katanya.
Meski ada larangan keras mengenai bisnis anggota Polri, Boy menuturkan pihak keluarga anggota kepolisian dipersilahkan membuka usaha tanpa dikenai sanksi khusus.
"Anggota keluarga punya status yang sama seperti masyarakat lain, asal bisnisnya tidak melanggar hukum," katanya.
Aiptu Labora Sitorus diduga melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Kehutanan dan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Perminyakan dan Bahan Bakar. Dia juga terancam pasal pencucian uang dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang.
Saat ini, rekening "gendut" Aiptu Labora telah diblokir guna dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
http://m.antaranews.com/berita/37510...rang-berbisnis



revolusi mentalnya mana nih,
ternyata selain suka malak masyarakat juga suka malak bawahannya,,,



Diubah oleh Ramma64 09-12-2014 14:31
0
18.2K
Kutip
155
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan