Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti soal larangan pengalihan logistik di tengah laut (transhipment) dikecam kalangan pengusaha perikanan. Pengusaha menjerit jika diharuskan bongkar muat isi kapal di pelabuhan. Sebab, ongkos operasional bakal membengkak.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN) Eddy Yuwono mengungkap untuk sekali melaut yang memakan waktu kurang lebih 9 bulan, pengusaha harus menggelontorkan uang lebih dari Rp 1 miliar.







"Itu untuk satu kapal pengangkut ikan tuna cost operasionalnya dalam 6-9 bulan di atas Rp 1 miliar. Itu untuk bahan bakar dan makan ABK. Belum termasuk gaji ABK," ungkap Eddy kepada wartawan di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Selasa (2/12).

Satu kapal pengangkut membutuhkan sekitar 1 ton BBM per hari. Perjalanan antara 3 hari hingga satu pekan. Kapal pengangkut sendiri, tambah Eddy, merupakan kapal yang berjenis di atas 200-250 GT. Sedangkan kapal tangkap antara 30-250 GT.

Eddy menilai, jika pengusaha nasional dikenakan larangan transhipment maka proses penangkapan ikan disinyalir tidak akan efisien.

"Kalau kapal semuanya yang melaut kapal tangkap, tangkapan belum maksimal sudah pulang. Lalu berangkat lagi itu berapa BBM yang terbuang," tegasnya.

Jika pengusaha nasional melakukan proses transhipment di atas laut, mereka bisa menghemat biaya operasional hingga 50 persen

"Hematnya sekitar 40-50 persen sekali trip. Ini kan dia enggak pulang, nangkap terus jadi kan lebih banyak hasil yang kita dapat," tuturnya.

Untuk waktu tangkap sendiri, lanjut Eddy, nelayan membutuhkan sekitar 6-9 bulan untuk sekali melaut. Itu agar hasil tangkapnnya maksimal.

"Itu 9 bulanm karena ada kapal pengangkut yang ngambil. Kalau enggak, paling waktu tangkapan mereka hanya 3-4 bulan. Kita tangkap di tengah Samudera Hindia lho. Itu berapa kerugian kita," ucapnya.

Sumber: Merdeka

http://www.suaranews.com/2014/12/semakin-terasa-kebijakan-menteri-susi.html?m=1#ixzz3KwqC6UhZ