(jalan cerita) Perjuangan Pasien Peserta KJS, Ditolak RS Hingga Berujung Kematian
TS
ovonelpotpal
(jalan cerita) Perjuangan Pasien Peserta KJS, Ditolak RS Hingga Berujung Kematian
Quote:
Perjuangan Pasien Peserta KJS, Ditolak Rumah Sakit Hingga Berujung Kematian
TRIBUNnews.com 17 jam yang lalu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menerima fasilitas bantuan dari pemerintah khususnya kesehatan semestinya menjadi idaman dan membuat nyaman rakyatnya, tetapi yang terjadi pada Nurhayati, pasien peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) justru sebaliknya. Ia harus rela melepas kepergian putra keduanya untuk selama-lamanya Abbiyasa Rizal Ahnaf (2) karena ditolak banyak rumah sakit di Jakarta dengan alasan klasik, kamar penuh, peralatan tidak lengkap juga lamban dalam memberikan rujukan.
Bagi mereka para pasien peserta KJS, BPJS atau yang lainnya kenyamanan dan pelayanan yang baik di bidang kesehatan menjadi idaman. Namun, usai banyak kasus muncul dan terakhir kasus balita Abbi, pemegang fasilitas kesehatan pemerintah tersebut justru harus menempuh perjuangan dan bahkan berujung kematian.
Kisah yang dialami Nurhayati bermula saat anaknya Abbi sakit diare pada pertengahan November lalu. Diare itu tidak kunjung sembuh meski sudah diberi obat sementara oleh sang nenek. Abbi justru sering muntah-muntah dan akhirnya kehabisan cairan.
Keluarga pun selanjutnya memutuskan untuk membawa Abbi ke rumah sakit, tepatnya RS Pasar Rebo, Jakarta Timur. Di rumah sakit ini Nurhayati melapor bahwa dirinya peserta KJS. Usai itu rumah sakit pun berkilah kalau kamar kelas tiga, tempat perawatan peserta KJS penuh dan hanya tersisa kelas dua.
Dengan sangat terpaksa Nurhayati pun harus merogoh kocek lebih dalam demi sang anak. Ia dan suaminya pun memutuskan untuk merawat terlebih dahulu balita Abbi di kamar kelas dua dengan catatan jika kamar kelas tiga sudah kosong langsung dipindah.
"Di RS Pasar Rebo kita putuskan untuk dirawat di kelas dua dulu tapi dia minta DP Rp 2,6 juta karena kita pakai KJS, kita bayar separuh dulu ke bagian pendaftaran kasih Rp 800 ribu, dengan catatan kalau ada kamar kelas 3 kosong langsung pindah," ujar Nurhayati saat berbincang dengan Tribunnews.com, Sabtu(29/11/2014).
Ketika dirawat di RS Pasar Rebo, balita Abbi didiagnosa mengalami penyumbatan di saluran pencernaan. Hasil laboratorium pun menunjukkan leukositnya rendah dan harus segera dilakukan pembedahan untuk melihat apa sebenarnya yang menyumbat usus balita Abbi tersebut.
"Enggak sampai semalam di ruang perawatan jam 21.00 dapat kamar kelas 3, lalu anak saya hari Rabu diambil darah dan perutnya kembung, kurang cairan. Kata dokter ini harus rontgen setelah USG, setelah rontgen baru terdiagnosa penyumbatan di usus karena sapai saluran pipis takut kena ginjal maka dirujuk ke dokter urologi lalu dipasang alat bantu di saluran pipis," ujarnya.
Tidak sampai disitu derita wanita yang juga guru taman kanak-kanak ini. dokter di RS Pasar Rebo menyarankan untuk segera dilakukan operasi. Namun, terkendala masalah karena di rumah sakit tersebut peralatan tidak lengkap.
"Ruang picu dapat tapi satu masalahnya enggak punya ventilator ada tapi cuma satu dan dipakai. Dokter bilang enggak berani dibedah kalau tidak ada ventilator. Dokter pun merujuk ke RS Haji Pondok Gede, sementara anak saya masih di RS Pasar Rebo," kata Nurhayati.
Mendapatkan rujukan tersebut pergilah sang suami Nurhayati ke RS Haji Pondok Gede, namun disana ia lagi-lagi harus mendapatkan penolakan dari rumah sakit karena alasan kamar penuh. Suami Nurhayati tidak menyerah begitu saja, ia pergi ke RSCM dan RSPAD akan tetapi hasilnya sama saja. Dua rumah sakit itu menolak dengan dalih kamar penuh dan tidak memiliki fasilitas ruang picu.
Mendapatkan kabar tidak menyenangkan tersebut ayahanda dari balita Abbi lalu pergi ke RS Thamrin, Salemba. Di rumah sakit swasta ini mau menerima dan peralatan lengkap namun si pasien diwajibkan menyetor terlebih dahulu uang sebesar Rp 30 Juta.
Nurhayati dan suami pun pusing bukan kepalang. Mereka berdua lalu berusaha keras memutar otak. Sang suami mendadak memiliki ide untuk meminta donasi dan sumbangan melalui 'broadcast message' dan sosial media, lalu didapatlah dana sebesar 15 Juta.
"Suami ditanya punya dana berapa, bilang cuma punya uang Rp 5 juta. Lalu suami bilang minta waktu dan dikasih waktu dua hari untuk mengumpulkan uang Rp 30 Juta. Suami lalu bikin 'broadcast message'dan didapat donasi sebesar Rp 15 Juta. Langsung bilang ke rumah sakit bahwa kami hanya punya uang Rp 20 juta, kami bayarkan dulu nanti sisanya," ujar Nurhayati.
Saat hendak memindahkan anaknya dari RS Pasar Rebo ke RS Thamrin Salemba, tiba-tiba saja bagian BPJS Kesehatan di RS pasar Rebo mengabarkan bahwa balita Abbi akan diupayakan pindah ke RS Tarakan. "Saya bilang kapan, ini harus cepat, mereka bilang secepatnya, lalu keesokan harinya anak saya langsung dibawa ke RS Tarakan," ujarnya.
Di RS Tarakan dokter langsung membentuk tim dan segera melakukan operasi di saluran pencernaan Abbi. Sebelumnya para dokter meminta perjanjian dan kesediaan untuk melakukan pembedahan dengan segala risiko yang akan muncul nantinya pascaoperasi.
Kabar bahagia pun didapat oleh Nurhayati dan suaminya, balita Abbi selesai dioperasi dan sudah siuman. Abbi pun sudah bisa mengenali ayahnya, ibunya dan neneknya.
Selesai operasi Abbi langsung dibawa ke ruang picu dan tim dokter meminta segera lakukan transfusi darah karena Abbi banyak kehabisan darah usai operasi. Sampai disini kondisi Abbi masih baik.
Namun keesokan harinya sang ibu Nurhayati mulai melihat keanehan, Abbi tubuhnya terlihat lebih gemuk akan tetapi kondisinya tidak wajar. "Kata dokter kekurangan protein habis transfusi darah," ujar Nurhayati.
Tim dokter pun mendadak memanggil Nurhayati dan suami, mereka mengatakan bahwa kondisi balita Abbi tidak stabil. Nafasnya tersengal-sengal dan lambat. Lalu diputuskanlah oleh tim dokter untuk memasang alat bantu pernafasan, tapi tidak kunjung membaik bahkan detak jantung balita Abbi sempat hilang.
"Sempat berhenti jantungnya dipompa ditekan-tekan itu Jumat subuh sekitar pukul 05.00 WIB lalu jam 06.45 wib dokter memanggil saya dan mengabarkan bahwa anaknya sudah tiada," lirih Nurhayati.
Kendati demikian Nurhayati enggan berprasangka buruk terhadap tim dokter dan tidak akan melakukan langkah hukum sehubungan dengan penanganan medis yang dilakukan.Ia dan suami ikhlas dan pasrah serta berharap kejadian yang ia alami tidak terulang kembali kepada pasien peserta KJS, BPJS atau yang lainnya.
MERDEKA.COM. Edi Karno (29) ayah dari Abbiyasa Rizal Ahnaf (2) yang menderita Ilius obstruksi atau penyumbatan pencernaan menuturkan kisah seputar pelayanan BPJS. Bayi Abbi wafat usai operasi bedah.
Dirinya mengatakan bahwa sekitar 40 rumah sakit yang didatanginya untuk mengurus penanganan Abbi menggunakan BPJS kelas 3, rata-rata bermasalah dalan penyediaan alat Pediatric Intensive Care Unit (PICU).
Selain itu, rata-rata rumah sakit tersebut mengatakan bahwa ruang pelayanan bagi peserta BPJS kelas 3 sudah penuh, sehingga dirinya tetap harus membayar jika ingin dilayani di pelayanan BPJS kelas 2.
"Akhirnya di RS Pasar Rebo, saya dapat ruang perawatan kelas 3. Namun setelah diperiksa segala macam dan diagnosanya keluar, saya disuruh cari RS lagi untuk penindakan bedah. Cari yang punya ruang PICU nya itu yang sulit. Di Jakarta, Bekasi, Depok, sudah saya cari sampai sekitar 40 RS, tapi kebanyakan mereka bilang penuh atau nggak punya alat PICU nya," kata Edi saat ditemui di kediaman duka, Jalan SMPN 160, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur pada Sabtu (29/11).
Edi mengungkapkan ada sejumlah RS swasta yang sebenarnya bekerjasama dengan program BPJS, jika dilihat dari spanduk kerjasama di RS nya, namun ternyata pihak RS meminta DP sekitar Rp 30 juta sebelum menangani Abbi.
Akhirnya Edi mendapat info dari RSUD Tarakan dengan pelayanan BPJS nya, dan memindahkan almarhum anaknya tersebut kesana. Akhirnya Abbi langsung mendapat penanganan dibRSUD Tarakan, dan dilakukan operasi bedah pada hari Rabu (27/11).
Namun Edi pun kembali menuturkan bahwa dari segi penanganan, ada hal yang disayangkannya dari penanganan di RSUD Pasar Rebo dan RSUD Tarakan, yang menurutnya sama sekali tidak profesional dan terkesan sembarangan dalam menangani pasien peserta BPJS.
"Jangan mentang-mentang yang bayar pemerintah, penanganannya jadi kayak asal-asalan. Di Pasar Rebo dan Tarakan itu, anak saya ditusuk jarum untuk infus aja lebih dari 5 kali karena uratnya nggak kena. Maunya saya, kalau untuk BPJS itu susternya jangan yang masih magang dong. Anak saya kan bukan kelinci percobaan. Mana ada orangtua yang tega lihat anaknya sampai digituin," kata Edi menuturkan.
Edi berharap bahwa kasus serupa yang dialaminya tidak terulang. Dirinya berharap bahwa BPJS itu sendiri memang benar-benar berguna bagi masyarakat kecil, bukan hanya sebagai program kosong saja yang realisasinya tidak bisa dirasakan langsung oleh rakyat kecil.
"Saya sih berharapnya nggak ada lagi rakyat kecil disembarangin saat menggunakan BPJS. Fasilitas pendukung seperti alat NICU atau PICU saya tahu memang masih jarang. Tapi apa gunanya BPJS itu kalau alat-alat atau bahkan tenaga medisnya nggak siap menangani pasien. Banyaknya jumlah pasien yang tidak dibarengi dengan ketersediaan fasilitas penunjang itu adalah masalah sebenarnya. Bayangkan aja sampai saya harus keliling ke 40 RS buat cari yang punya alat itu," pungkas Edi.
Informasi yang diterima merdeka.com terdapat 22 rumah sakit yang menolak Abbiyasa yang membutuhkan fasilitas PICU (pediatric intensive care unit) dan dokter spesialis bedah anak. Berikut ini adalah rumah sakit yang menolak menangani Abbiyasa:
1. RSCM - penuh
2. RSPAD - tidak punya Ruang Picu, tetapi dokter ada
3. RS Haji - Ruang dan dokter ada tp ventilator untuk pasca operasi enggak ada. Jadi dokter enggak berani bedah.
4. RS Polri - penuh
5. RS Harapan bunda - enggak terima pasien BPJS. Dp awal Rp 15-20 juta
6. RSIA Harapan Kita - penuh
7. RS Fatmawati - penuh
8. RS Persahabatan - penuh
9. RS Bunda aliya - enggak punya dokter spesialis 10. RS Tarakan - penuh
11. RS UKI - Enggak punya fasilitas NICU
12. RS Cikini - penuh
13. Carolus - penuh
14. RS Pelni - penuh
15. RS Islam Jakarta - penuh
16. RSPP - enggak terima BPJS
17. RS Bunda Margonda - enggak terima BPJS
18. Rs Permata - enggak ada fasilitas dan dokter
19. Rs Mitra - enggak ada fasilitas dan dokter
20. RS Premier Jatinegara - enggak terima BPJS
21. RS BUNDA Menteng - penuh
22. RS Thamrin - Dp Rp 30 juta https://id.berita.yahoo.com/orangtua...092905217.html
Menurut ane sering sesama rumah sakit atau pasien sama dokternya komunikasinya jelek. Ajak diskusi dokternya. Anak saya rencananya apa, klo sampai gak dapat ICU harus apa. Berapa lama maks nyari waktu ICu nya. Dll. Biar sama2 Mikir.
UDAH TAU PASIENNYA BPJS/KJS, BUTUH PERAWATAN ICU, KENAPA DI LIST NYA MASIH CARI RS SWASTA YG GAK TERIMA BPJS SAMA RS YG kelasnya sama/lebih bawah (tidak punya ICU/SPESIALIS.
Itu yg nyariin pasien apa rs nya??
ANE salut sama RS tarakan, diberita sebelumnya ditulis RS TARAKAN penuh. Tapi dia tetap mau operasi, kali ruang operasinya ada.
Memang resikonya tinggi, buktinya meninggal. Apa keluarga mengajukan ke hukum, si RS tarakan ini, gak juga kan. Sampai di sana mesti udh udah jelek. Lg klo si keluarga bohong, mereke juga aman, ada surat tandatangan, klo udh mengerti dijelasin resikonya.
Tp sebagai keluarga pasien. Mereka juga salah. Ngapain si nenek ngobatin.Obat apa yg dikasih si nenek itu, sampai saluran cernanya menyumbat kaya gitu. Mencret berhenti, tp usus kesumbat. Bodohnya. Msh 2 tahun lho.
Klo sampai ruangan penuh, ICU penuh, siapa yg mau di salahin.
Satu lg. Meskipun khawatir, tp jgn sampai marah2 atau bentak pelayan medisnya.
Di berita, kan sempat dikomplain, disuntik gak bisa2. Perawat/dokter senior pun belum tentu bisa pasang infus anak2. Apalg kalo udah syok, itu kulit harus diiris, nyari pembuluh darahnya. Apalg ditulis rs tarakan penuh, kemungkinan pasien rame, siapa yg ada mau senior atau junior disuruh pasang infus, apa mau kelamaan gak dipasang. Lihat sikon nya juga donk.
Klo sampai situ marah2, apalg nada mau nuntut, nanti kerjanya makin gak beres. Malas/takut nangani, krn takut dituntut, mending rujuk. Kritik mereka gak apa2. Kirim surat/email.ke humasnya, utk perbaikan.
Satu lg, Wartawan nya juga bodoh.
Bilang RS nolak.
Klo ruangan penuh, rs sakit gak boleh nolak. Akhirnya dimondokin takut dibilang nolak, gak diapa2in. Dirujuk lg. Rs lain penuh jg, krn tkt dibilang nolak dimondokin. Gitu aja terus. Cuman dipindah2in.
Bilang aja rs penuh/tidak ada ruangan. Jgn nolak, krn artinya bisa banyak. Gak terima bpjs bs dibilang nolak juga
Diubah oleh ovonelpotpal 30-11-2014 07:47
tien212700 memberi reputasi
1
4.2K
Kutip
20
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru