- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
GUNUNG PADANG “Dark Sky Region”,
TS
infobenar
GUNUNG PADANG “Dark Sky Region”,
Terlepas dari kontroversi pro dan kontra masalah Situs Megalit Gunung Padang (MGP), banyak wisatawan domestik dengan kantong pas-pasan telah menikmati situs megalit terbesar di Asia Tenggara yang namanya kini sudah tidak asing lagi di tingkat nasional. Sebagian dari mereka mungkin layaknya tidak peduli dengan cerita tentang piramid dan kandungan emas 30 ton di dalamnya. Pokoknya sambil botram bersama keluarga, dari yang masih balita sampai yang sudah sepuh mereka ingin melepas rasa penasarannya mencapai teras lima yang tingginya 200 meter dari pelataran parkir melalui sekitar 700 anak tangga. Usaha yang tidak ringan sebenarnya, butuh perjuangan. Saya yang termasuk senior citizen pernah empat kali naik ke puncaknya, dua kali siang hari dan dua kali malam hari. Waktu yang paling cepat adalah 20 menitan tetapi dengan napas yang ngos-ngosan. Dengan lebih santai masih diperlukan waktu 40 menitan, dan hanya merasakan capai yang biasa-biasa saja.
eagitu sampai di muka gerbang MGP, tawaran pemandu dengan tingkat pengetahuan berbeda akan datang menghampiri. Pada hari Minggu wisatawan bisa mencapai tiga ribuan orang, bahkan pernah tujuh ribuan. Jumlah sebesar ini tentu tidak bisa dikelola dengan manajemen sekadarnya seperti yang terasa sekarang. Bukan hanya dalam masalah retribusi, perpakiran, atau pendistribusian pendapatan bulanan saja, tetapi juga dalam pengaturan arus pengunjung dalam hubungannya dengan daya dukung Gunung Padang itu sendiri.
Umumnya MGP ini akan sudah mulai sepi dari wisatawan dalam rentang waktu antara Ashar dan Magrib.
Apa itu Astrowisata?
Walaupun ada beberapa kelompok yang sengaja datang pada malam hari. Tetapi yang saya maksudkan dengan astrowisata di sini tidak ada hubungannya dengan mereka. Astrowisata (astrotourism) adalah wisata yang berhubungan dengan masalah atau fenomena ke-astronomi-an. Meskipun sains astronomi, di negara berkembang khususnya, dianggap sebagai ilmu yang kering dan oleh pemerintah sering ditempatkan pada prioritas yang rendah, tetapi dapat dipastikan bahwa peminat, pecinta, bahkan pengagum astronomi sangat sangat besar jumlahnya. Walau memang, mencintai astronomi sampai ke tulang sumsum berbeda dengan ketertarikan untuk mempelajari secara professional.
Apa pun, fakta ini harus diapresiasi dengan penyaluran mereka untuk mencintai sains melalui kefantastikan alam semesta dengan segala isinya; berwisata santai sambil belajar sains sampai tingkat mana pun.
Bukan tidak mungkin pemenuhan rasa penasaran ini membuat sebagian dari mereka tertarik untuk mempelajari dengan serius ilmu astronomi itu sendiri atau ilmu eksakta dan ilmu pengetahuan alam lainnya yang kadang sering dianggap sebagai ilmu yang menakutkan.
Sekarang wisatawan menginginkan tidak sekadar keindahan alam, tetapi lebih dari itu; sesuatu yang lain.
Walaupun kegiatan wisata astronomi itu sebenarnya bukan sesuatu yang sama sekali baru. Misalnya kunjungan ke planetarium, atau wisata ilmiah ke Observatorium Bosscha, Lembang. Tetapi, ini berbeda. Walaupun yang jadi obyek adalah sesuatu yang sama yaitu langit.
Di dalam planetarium kita menonton simulasi langit dengan diberi penjelasan. Begitu juga berkunjung ke Observatorium Bosscha. Observatorium Bosscha adalah tempat untuk melakukan penelitian astronomi yang sekarang berada di bawah administrasi Institut Teknologi Bandung. Kegiatan utama di sini sejatinya adalah untuk penelitian bukan untuk wisata. Hanya karena Observatoriu Bosscha ini merupakan satu-satunya observatorium di Indonesia, maka dengan pengaturan ketat, akhirnya Observatorium Bosscha juga menerima kunjungan publik dalam jumlah terbatas agar fungsi utamanya tidak terganggu.
Kenapa mesti MGP?
Astrowisata bisa dimana saja sih, asal memenuhi syarat dasar yang sangat sederhana, yaitu daerah yang terbebas dari polusi cahaya, yang berarti jauh lebih banyak bintang yang nampak di langit daripada dalam kondisi langit pada umumnya.
Namun, bukankah MGP sudah terlanjur beken?
Jadi aji mumpung yang positif, kenapa tidak sekaligus kita rancang kawasan wisata terpadu di sana? Wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, dan lain sebagainya. Menambahkan wisata astronomi di MGP tidak mahal, tetapi membuat MGP menjadi kawasan wisata yang unik. Apalagi kalau MGP kita deklarasikan sebagai “Dark Sky Region”, sebagai DAERAH RESERVASI ASTROWISATA, daerah yang terbebas dari polusi cahaya. Hal ini akan memberi peluang secara resmi MGP menjadi daerah astrowisata pertama di Indonesia! Yang mudah-mudahan bisa ditiru oleh daerah-daerah lainnya yang pada gilirannya, bahjan bisa menciptakan sikap efisien dalam penggunaan cahaya listrik, dan nantinya bisa mengurangi pengeluaran biaya energi yang tidak perlu.
Walau MGP sekarang ini tidak gelap gulita sama sekali, karena di sana sudah terdapat banyak rumah penduduk dan juga adanya kawasan perkebunan teh yang berjarak beberapa kilometer, tapi daerah ini jauh dari kota besar, sehingga sekarang polusi cahayanya masih rendah. Kita hanya perlu melindungi kondisi sekarang ini dan meningkatkan status kegelapannya antara lain dengan mengubah sistem penerangan jalan dan perumahan dengan cara melengkapinya dengan tudung lampu ke arah bawah. Berbeda dengan tempat-tempat yang terletak di belahan Bumi Utara atau Selatan, MGP yang terletak di dekat ekuator memiliki keunggulan komparatif yang signifikan.
Orang yang tinggal di belahan Bumi Utara hanya bisa melihat bintang atau obyek langit lainnya yang terletak dibelahan langit Utara saja. Begitu juga orang yang tinggal di belahan Bumi Selatan hanya bisa melihat benda langit yang terletak di belahan langit Selatan.
Dari MGP kita bisa melihat obyek-obyek langit yang berada di kedua belahan langit; Utara dan Selatan. Banyak obyek penting yang terletak di belahan langit Selatan yang dengan mudah dapat kita amati.
Planet-planet paling baik dilihat dari sini. Dilihat dari belahan bumi sebelah Utara atau Selatan, planet-planet sukar untuk diamati karena mereka tampak di langit rendah sekali, dekat dengan horizon. Tetapi dari sini planet-planet melintas melewati kepala kita. Bisa diamati dengan nyaman.
Pengamatan apa saja yang bisa kita lakukan dalam astrowisata?
Ada dua modus pengamatan langit, yaitu pengamatan dengan mata telanjang dan pengamatan dengan teleskop.
Untuk pengamatan dengan mata telanjang tidak diperlukan modal besar, cukup mata yang masih normal (berkaca mata masih OK) plus jaket penahan dingin dan keingin-tahuan, agar pemandu, yang semi-profesional astronom, bersemangat untuk memandu. Dengan mata telanjang kita bisa menikmati langit keseluruhan dan memberi perhatian khusus kepada obyek-obyek langit terkenal yang tampak pada saat itu.
Untuk menambah menarik, ketahuilah bahwa posisi bintang dari ke hari hari kira-kira satu derajat berubah ke arah Barat, sehingga posisi bintang pada suatu bulan tidak akan sama dengan pada bulan yang lain.
“Kekayaan” Langit Indonesia
Beberapa konstelasi bintang yang menarik bisa disebutkan di sini.
Pada musim kemarau antara Juni dan Agustus kita bisa menyaksikan sebuah konstelasi bintang yang sangat terkenal yang disebut bintang Salib Selatan (Southern Cross), yang oleh orang di sini sering disebut Bintang Pari atau Bintang Layang-layang. Dalam bahasa Jawa sering disebut Gubug Penceng dan dalam bahasa Sunda disebut Saung Genjot atau Bentang Langlayangan. Konstelasi bintang ini sangat penting dalam navigasi karena garis yang menghubungkan bintang di atas dengan yang di bawah menunjukkan arah Selatan.
Di sebelah Selatan dari bintang ini agak ke arah Barat terdapat dua bintang yang terang, Alpha Centauri dan Beta Centauri. Bintang Alpha Centauri adalah bintang yang berjarak paling dekat dari kita, sekitar 4,3 tahun cahaya.
Sementara agak ke atasnya akan tampak bintang Omega Centauri. Bintang ini kalau kita lihat dengan mata telanjang akan terlihat tak ubahnya sebagai bintang terang biasa seperti yang lainnya. Tetapi kalau kita amati melalui teleskop, cukup dengan yang diameter lensanya kira-kira 15 cm, akan tampak pemandangan yang mengejutkan, bintang ini tampak menjadi banyak sekali. Karena Omega Centauri ini bukanlah bintang biasa tetapi sebuah gugus bola (globular cluster), yaitu kumpulan bintang yang terikat oleh gaya gravitasi bersama. Jumlahnya mencapai ratusan ribu bintang.
Untuk melihat obyek-obyek langit ini orang Amerika atau Jepang harus datang ke sini. Bukan tidak mungkin mereka pun akan berkunjung ke MGP. Southern Cross sangat terkenal di sana, dan orang Jepang menyebutnya Minami Juji Sei.
Masih dalam musim kemarau, kita akan menyaksikan pemandangan yang luar biasa menakjubkan ke arah rasi Sagitarius. Dengan mata biasa pun kita akan melihat kerumunan bintang yang tidak terhitung jumlahnya. Itulah arah Pusat Galaksi kita. Banyak contoh beragam cara orang dalam mengungkapkan obyek khusus di langit, seperti untuk Galaksi kita ini. Orang Barat menyebutnya Milky Way, karena di mata mereka Galaksi ini mungkin tampak sebagai susu yang tumpah di jalan, sementara orang Jepang menggambarkannya sebagai Amanogawa (sungai di langit). Etnik Jawa melihatnya sebagai Bima Sakti dan etnik Sunda menyebut Galaksi ini dengan Catang Bobo’ atau Catang yang berarti pohon kayu yang telah lapuk dan penuh lubang.
Tidak jauh dari rasi Sagitarius ini akan terlihat rasi yang sangat terkenal dalam astrologi (agar diketahui, astrologi berbeda dengan astronomi), yaitu rasi Scorpio yang bentuknya memang sangat mirip dengan kalajengking. Di bagian leher rasi ini terdapat bintang yang paling terang yang berwarna merah yang diberi nama Alpha Scorpio atau Antares. Bintang ini sangat istimewa, temperaturnya rendah “hanya” 3.000 K, tetapi diameternya sekitar 2.000 kali diameter Matahari. Karena besarnya yang luar biasa ini, bintang ini diklasifikasi sebagai bintang maharaksasa (supergiant).
Obyek-obyek langit tersebut di atas itu saja mungkin sudah membuat kita yang selama ini tidak pernah perduli dengan “kekayaan” langit kita akan merasa tidak percaya betapa beruntungnya kita tinggal di Nusantara yang kerap dianggap sebagai zamrud khatulistiwa.
Etno-astrowisata
Jangan dulu bertanya kepada anak-anak kita tentang bintang-bintang itu bersama cerita-cerita rakyatnya secara turun temurun, tanyakanlah kepada diri kita sendiri apakah kita sekarang masih mengenal bintang Waluku/Wuluku dan pernah melihatnya, atau masih ingat kapan terakhir kali melihatnya? Sederetan bintang tiga yang tergabung dalam konstelasi Orion (Si Pemburu dalam astrologi Yunani) yang tampak sebagai sabuknya (disebut Orion Belt) oleh orang di Jawa (bahkan mungkin di seluruh Nusantara) di jaman silam digunakan sebagai penunjuk waktu dari tahun pertanian (agricultural year) untuk dimulainya saat bercocok tanam.
Meskipun akhir-akhir ini iklim tidak menunjukkan pola yang sama dibanding masa silam, sampai tingkat tertentu tradisi yang merupakan kearifan lokal ini masih diterapkan di beberapa komunitas di Jawa Barat, antara lain di daerah Baduy, Kampung Naga, Kabuyutan Sirnaresmi dan lain-lain.
Di Baduy oleh penduduk setempat bintang Orion disebut bintang Kidang. Kemunculan bintang Kidang pada senja hari mengisyaratkan saat-saat bercocok tanam akan segera dimulai. Penentuan saat yang tepat dilakukan dengan cara, petani mengarahkan tangan dengan butiran beras di telapak tangannya ke arah bintang Orion pada senja hari. Sedikit demi sedikit tiap harinya arah ketiga bintang ini makin menaik. Kalau butiran padi bergulir jatuh, itulah saatnya padi ditanam, dan keputusan ini diberitakan secara resmi ke seluruh kawasan oleh tetua yang ditunjuk pimpinan kawasan tersebut.
Penggunaan bintang Orion sebagai petunjuk aktifitas pertanian ini, di Baduy diceritakan dalam sebuah pantun dalam bahasa Sunda yang berbunyi seperti ini: “Tanggal Kidang turun kujang, Kidang ngarangsang, ngahuru, Kidang manceuran, ngaseuk, Surup Kidang turun kungkang”, yang dalam Bahasa Indonesia berarti : “Bintang Orion nampak, tebang pohon, Bintang Orion mulai agak jelas, membakar, Bintang Orion semakin jelas, menugal, Bintang Orion lenyap, datanglah walangsangit”.
Untuk menghayati bagaimana komunitas petani di MGP pada jaman silam mengamati langit, beberapa waktu yang lalu saya bersama belasan teman mengunjungi MGP dan menghabiskan malam saat bulan gelap di teras paling atas. Walaupun di kawasan itu dari kejauhan sudah tampak beberapa titik cahaya lampu, tetapi dari teras lima itu langit tampak begitu dekat seolah ada di haribaan kita. Jadi bisa dibayangkan bagaimana suasananya di jaman baheula, di puncak sebuah bukit yang dikelilingi beberapa gunung di kejauhan, tanpa lampu tanpa penerangan apa pun.
Bintang Orion yang dalam etnik Sunda disebut Bentang Wuluku bersinar dengan sangat indahnya, dikawal oleh gugus bintang Pleiades di depannya sedikit ke Utara. Pleiades dalam bahasa Sunda disebut Bentang Ranggeuy atau Bentang Kerti. Dua obyek langit ini tampaknya memiliki tempat penting dalam kehidupan masyarakat jaman dulu di Jawa (bahkan mungkin di seluruh Nusantara).
Bintang Orion, yang oleh etnik Sunda disebut bentang Wuluku difoto dari teras tiga MGP. Di latar depan tampak kekar kolom (collumnar joints) dengan posisi horizontal dan vertikal yang menjadi batas semacam lapangan sekitar seratus meter persegi yang diduga pada jaman silam digunakan untuk upacara ritual. (credit: Chaedar Saleh, menggunakan flash dengan pembukaan diafragma selama 30 detik).
Berdasar cerita turun temurun dari pini sepuh di MGP, ternyata petani di sana pun sejak dulu menggunakan bintang Orion untuk penentuan masa-masa pertanian!
Ini menarik untuk ditelaah lebih jauh dari sudut pandang etnoastronomi, yaitu telaah tentang astronomi dalam budaya suatu etnik jaman baheula. Kalau benar, berarti masyarakat jaman dulu di daerah ini sudah paham tentang fenomena keteraturan dan periodisitas gerak bintang dan obyek-obyek lainnya di langit, dan sekaligus mereka pun piawai dalam memanfaatkan “ilmunya” untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan mereka, sebuah kearifan lokal leluhur kita yang seharusnya kita lestarikan.
Sesungguhnya pemahaman masyarakat jaman silam tentang langit merupakan sesuatu yang membanggakan. Dengan demikian, dalam astrowisata, juga bisa dikembangkan etno-astrowisata.
Siapa yang menerima manfaat dari astrowisata ini?
Masyarakat keseluruhan akan menarik manfaat dari astrowisata ini dari sisi pendidikan umum termasuk kesadaran akan lingkungan dan alam semesta (universe awareness).
Namun di atas itu semua, masyarakat setempat-lah yang paling pantas menikmati manfaat dari program apa pun yang dibuat untuk MGP ini termasuk program astrowisata ini.
Bagaimana agar mereka bisa dilibatkan? Sosialisasi dengan pendekatan yang akrab akan sangat membantu agar mereka tidak hanya menjadi “penonton”, namun juga pelaku aktif. Mereka bahkan bisa mempelajari dan mempraktekkan kembali kearifan lokal yang selama ini ada, dengan sumber pengetahuan yang teruji dan diakui. Tidak lagi sekedar “ceuk kolot baheula” (kata orangtua dahulu).
Mengamati benda-benda langit, pada astrowisata, tentunya membutuhkan masa bermalam, yang kemudian membutuhkan tempat menginap.
Untuk menampung astrowisatawan rasanya kita tidak perlu sengaja membangun hotel besar, apalagi mewah! Sebenarnya keterlibatan penduduk lokal dalam wisata yang sekarang pun sudah sangat kentara, termasuk dalam masalah akomodasi. Mereka terbiasa menyewakan rumah mereka untuk wisatawan dengan bayaran yang pantas. Hanya yang harus disosialisasikan kepada mereka adalah mengenai kondisi minimum untuk keamanan dan kebersihan, terutama kamar tidur, kamar mandi dan toilet. Pokoknya orang nyaman tidur dan mandi.
Mungkin sekarang ini sudah banyak calon investor yang mulai mengintai tanah-tanah penduduk di kawasan itu. Anjurkan penduduk untuk tidak menjualnya. Kalau pun mau bekerjasama dengan investor, tanah itu hendaknya disertakan
sebagai saham dalam bisnis hotel itu. Jadi ketika gurita-gurita hotel itu meraup untung, penduduk pun akan ikut menikmatinya. Bukan hanya memperoleh uang sekali saja dari menjual tanah setelah itu gigit jari.
Tapi alangkah indahnya kalau untuk MGP ini, rakyat setempatlah yang paling banyak menikmati keberadaan dan hasil yang berasal darinya. Kita buat penduduk menjadi pelakunya sedang pemerintah atau siapa pun hanya sebagai fasilitator.http://www.rajabasanews.com/20141122/astrowisata-untuk-situs-megalit-gunung-padang/
eagitu sampai di muka gerbang MGP, tawaran pemandu dengan tingkat pengetahuan berbeda akan datang menghampiri. Pada hari Minggu wisatawan bisa mencapai tiga ribuan orang, bahkan pernah tujuh ribuan. Jumlah sebesar ini tentu tidak bisa dikelola dengan manajemen sekadarnya seperti yang terasa sekarang. Bukan hanya dalam masalah retribusi, perpakiran, atau pendistribusian pendapatan bulanan saja, tetapi juga dalam pengaturan arus pengunjung dalam hubungannya dengan daya dukung Gunung Padang itu sendiri.
Umumnya MGP ini akan sudah mulai sepi dari wisatawan dalam rentang waktu antara Ashar dan Magrib.
Apa itu Astrowisata?
Walaupun ada beberapa kelompok yang sengaja datang pada malam hari. Tetapi yang saya maksudkan dengan astrowisata di sini tidak ada hubungannya dengan mereka. Astrowisata (astrotourism) adalah wisata yang berhubungan dengan masalah atau fenomena ke-astronomi-an. Meskipun sains astronomi, di negara berkembang khususnya, dianggap sebagai ilmu yang kering dan oleh pemerintah sering ditempatkan pada prioritas yang rendah, tetapi dapat dipastikan bahwa peminat, pecinta, bahkan pengagum astronomi sangat sangat besar jumlahnya. Walau memang, mencintai astronomi sampai ke tulang sumsum berbeda dengan ketertarikan untuk mempelajari secara professional.
Apa pun, fakta ini harus diapresiasi dengan penyaluran mereka untuk mencintai sains melalui kefantastikan alam semesta dengan segala isinya; berwisata santai sambil belajar sains sampai tingkat mana pun.
Bukan tidak mungkin pemenuhan rasa penasaran ini membuat sebagian dari mereka tertarik untuk mempelajari dengan serius ilmu astronomi itu sendiri atau ilmu eksakta dan ilmu pengetahuan alam lainnya yang kadang sering dianggap sebagai ilmu yang menakutkan.
Sekarang wisatawan menginginkan tidak sekadar keindahan alam, tetapi lebih dari itu; sesuatu yang lain.
Walaupun kegiatan wisata astronomi itu sebenarnya bukan sesuatu yang sama sekali baru. Misalnya kunjungan ke planetarium, atau wisata ilmiah ke Observatorium Bosscha, Lembang. Tetapi, ini berbeda. Walaupun yang jadi obyek adalah sesuatu yang sama yaitu langit.
Di dalam planetarium kita menonton simulasi langit dengan diberi penjelasan. Begitu juga berkunjung ke Observatorium Bosscha. Observatorium Bosscha adalah tempat untuk melakukan penelitian astronomi yang sekarang berada di bawah administrasi Institut Teknologi Bandung. Kegiatan utama di sini sejatinya adalah untuk penelitian bukan untuk wisata. Hanya karena Observatoriu Bosscha ini merupakan satu-satunya observatorium di Indonesia, maka dengan pengaturan ketat, akhirnya Observatorium Bosscha juga menerima kunjungan publik dalam jumlah terbatas agar fungsi utamanya tidak terganggu.
Kenapa mesti MGP?
Astrowisata bisa dimana saja sih, asal memenuhi syarat dasar yang sangat sederhana, yaitu daerah yang terbebas dari polusi cahaya, yang berarti jauh lebih banyak bintang yang nampak di langit daripada dalam kondisi langit pada umumnya.
Namun, bukankah MGP sudah terlanjur beken?
Jadi aji mumpung yang positif, kenapa tidak sekaligus kita rancang kawasan wisata terpadu di sana? Wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, dan lain sebagainya. Menambahkan wisata astronomi di MGP tidak mahal, tetapi membuat MGP menjadi kawasan wisata yang unik. Apalagi kalau MGP kita deklarasikan sebagai “Dark Sky Region”, sebagai DAERAH RESERVASI ASTROWISATA, daerah yang terbebas dari polusi cahaya. Hal ini akan memberi peluang secara resmi MGP menjadi daerah astrowisata pertama di Indonesia! Yang mudah-mudahan bisa ditiru oleh daerah-daerah lainnya yang pada gilirannya, bahjan bisa menciptakan sikap efisien dalam penggunaan cahaya listrik, dan nantinya bisa mengurangi pengeluaran biaya energi yang tidak perlu.
Walau MGP sekarang ini tidak gelap gulita sama sekali, karena di sana sudah terdapat banyak rumah penduduk dan juga adanya kawasan perkebunan teh yang berjarak beberapa kilometer, tapi daerah ini jauh dari kota besar, sehingga sekarang polusi cahayanya masih rendah. Kita hanya perlu melindungi kondisi sekarang ini dan meningkatkan status kegelapannya antara lain dengan mengubah sistem penerangan jalan dan perumahan dengan cara melengkapinya dengan tudung lampu ke arah bawah. Berbeda dengan tempat-tempat yang terletak di belahan Bumi Utara atau Selatan, MGP yang terletak di dekat ekuator memiliki keunggulan komparatif yang signifikan.
Orang yang tinggal di belahan Bumi Utara hanya bisa melihat bintang atau obyek langit lainnya yang terletak dibelahan langit Utara saja. Begitu juga orang yang tinggal di belahan Bumi Selatan hanya bisa melihat benda langit yang terletak di belahan langit Selatan.
Dari MGP kita bisa melihat obyek-obyek langit yang berada di kedua belahan langit; Utara dan Selatan. Banyak obyek penting yang terletak di belahan langit Selatan yang dengan mudah dapat kita amati.
Planet-planet paling baik dilihat dari sini. Dilihat dari belahan bumi sebelah Utara atau Selatan, planet-planet sukar untuk diamati karena mereka tampak di langit rendah sekali, dekat dengan horizon. Tetapi dari sini planet-planet melintas melewati kepala kita. Bisa diamati dengan nyaman.
Pengamatan apa saja yang bisa kita lakukan dalam astrowisata?
Ada dua modus pengamatan langit, yaitu pengamatan dengan mata telanjang dan pengamatan dengan teleskop.
Untuk pengamatan dengan mata telanjang tidak diperlukan modal besar, cukup mata yang masih normal (berkaca mata masih OK) plus jaket penahan dingin dan keingin-tahuan, agar pemandu, yang semi-profesional astronom, bersemangat untuk memandu. Dengan mata telanjang kita bisa menikmati langit keseluruhan dan memberi perhatian khusus kepada obyek-obyek langit terkenal yang tampak pada saat itu.
Untuk menambah menarik, ketahuilah bahwa posisi bintang dari ke hari hari kira-kira satu derajat berubah ke arah Barat, sehingga posisi bintang pada suatu bulan tidak akan sama dengan pada bulan yang lain.
“Kekayaan” Langit Indonesia
Beberapa konstelasi bintang yang menarik bisa disebutkan di sini.
Pada musim kemarau antara Juni dan Agustus kita bisa menyaksikan sebuah konstelasi bintang yang sangat terkenal yang disebut bintang Salib Selatan (Southern Cross), yang oleh orang di sini sering disebut Bintang Pari atau Bintang Layang-layang. Dalam bahasa Jawa sering disebut Gubug Penceng dan dalam bahasa Sunda disebut Saung Genjot atau Bentang Langlayangan. Konstelasi bintang ini sangat penting dalam navigasi karena garis yang menghubungkan bintang di atas dengan yang di bawah menunjukkan arah Selatan.
Di sebelah Selatan dari bintang ini agak ke arah Barat terdapat dua bintang yang terang, Alpha Centauri dan Beta Centauri. Bintang Alpha Centauri adalah bintang yang berjarak paling dekat dari kita, sekitar 4,3 tahun cahaya.
Sementara agak ke atasnya akan tampak bintang Omega Centauri. Bintang ini kalau kita lihat dengan mata telanjang akan terlihat tak ubahnya sebagai bintang terang biasa seperti yang lainnya. Tetapi kalau kita amati melalui teleskop, cukup dengan yang diameter lensanya kira-kira 15 cm, akan tampak pemandangan yang mengejutkan, bintang ini tampak menjadi banyak sekali. Karena Omega Centauri ini bukanlah bintang biasa tetapi sebuah gugus bola (globular cluster), yaitu kumpulan bintang yang terikat oleh gaya gravitasi bersama. Jumlahnya mencapai ratusan ribu bintang.
Untuk melihat obyek-obyek langit ini orang Amerika atau Jepang harus datang ke sini. Bukan tidak mungkin mereka pun akan berkunjung ke MGP. Southern Cross sangat terkenal di sana, dan orang Jepang menyebutnya Minami Juji Sei.
Masih dalam musim kemarau, kita akan menyaksikan pemandangan yang luar biasa menakjubkan ke arah rasi Sagitarius. Dengan mata biasa pun kita akan melihat kerumunan bintang yang tidak terhitung jumlahnya. Itulah arah Pusat Galaksi kita. Banyak contoh beragam cara orang dalam mengungkapkan obyek khusus di langit, seperti untuk Galaksi kita ini. Orang Barat menyebutnya Milky Way, karena di mata mereka Galaksi ini mungkin tampak sebagai susu yang tumpah di jalan, sementara orang Jepang menggambarkannya sebagai Amanogawa (sungai di langit). Etnik Jawa melihatnya sebagai Bima Sakti dan etnik Sunda menyebut Galaksi ini dengan Catang Bobo’ atau Catang yang berarti pohon kayu yang telah lapuk dan penuh lubang.
Tidak jauh dari rasi Sagitarius ini akan terlihat rasi yang sangat terkenal dalam astrologi (agar diketahui, astrologi berbeda dengan astronomi), yaitu rasi Scorpio yang bentuknya memang sangat mirip dengan kalajengking. Di bagian leher rasi ini terdapat bintang yang paling terang yang berwarna merah yang diberi nama Alpha Scorpio atau Antares. Bintang ini sangat istimewa, temperaturnya rendah “hanya” 3.000 K, tetapi diameternya sekitar 2.000 kali diameter Matahari. Karena besarnya yang luar biasa ini, bintang ini diklasifikasi sebagai bintang maharaksasa (supergiant).
Obyek-obyek langit tersebut di atas itu saja mungkin sudah membuat kita yang selama ini tidak pernah perduli dengan “kekayaan” langit kita akan merasa tidak percaya betapa beruntungnya kita tinggal di Nusantara yang kerap dianggap sebagai zamrud khatulistiwa.
Etno-astrowisata
Jangan dulu bertanya kepada anak-anak kita tentang bintang-bintang itu bersama cerita-cerita rakyatnya secara turun temurun, tanyakanlah kepada diri kita sendiri apakah kita sekarang masih mengenal bintang Waluku/Wuluku dan pernah melihatnya, atau masih ingat kapan terakhir kali melihatnya? Sederetan bintang tiga yang tergabung dalam konstelasi Orion (Si Pemburu dalam astrologi Yunani) yang tampak sebagai sabuknya (disebut Orion Belt) oleh orang di Jawa (bahkan mungkin di seluruh Nusantara) di jaman silam digunakan sebagai penunjuk waktu dari tahun pertanian (agricultural year) untuk dimulainya saat bercocok tanam.
Meskipun akhir-akhir ini iklim tidak menunjukkan pola yang sama dibanding masa silam, sampai tingkat tertentu tradisi yang merupakan kearifan lokal ini masih diterapkan di beberapa komunitas di Jawa Barat, antara lain di daerah Baduy, Kampung Naga, Kabuyutan Sirnaresmi dan lain-lain.
Di Baduy oleh penduduk setempat bintang Orion disebut bintang Kidang. Kemunculan bintang Kidang pada senja hari mengisyaratkan saat-saat bercocok tanam akan segera dimulai. Penentuan saat yang tepat dilakukan dengan cara, petani mengarahkan tangan dengan butiran beras di telapak tangannya ke arah bintang Orion pada senja hari. Sedikit demi sedikit tiap harinya arah ketiga bintang ini makin menaik. Kalau butiran padi bergulir jatuh, itulah saatnya padi ditanam, dan keputusan ini diberitakan secara resmi ke seluruh kawasan oleh tetua yang ditunjuk pimpinan kawasan tersebut.
Penggunaan bintang Orion sebagai petunjuk aktifitas pertanian ini, di Baduy diceritakan dalam sebuah pantun dalam bahasa Sunda yang berbunyi seperti ini: “Tanggal Kidang turun kujang, Kidang ngarangsang, ngahuru, Kidang manceuran, ngaseuk, Surup Kidang turun kungkang”, yang dalam Bahasa Indonesia berarti : “Bintang Orion nampak, tebang pohon, Bintang Orion mulai agak jelas, membakar, Bintang Orion semakin jelas, menugal, Bintang Orion lenyap, datanglah walangsangit”.
Untuk menghayati bagaimana komunitas petani di MGP pada jaman silam mengamati langit, beberapa waktu yang lalu saya bersama belasan teman mengunjungi MGP dan menghabiskan malam saat bulan gelap di teras paling atas. Walaupun di kawasan itu dari kejauhan sudah tampak beberapa titik cahaya lampu, tetapi dari teras lima itu langit tampak begitu dekat seolah ada di haribaan kita. Jadi bisa dibayangkan bagaimana suasananya di jaman baheula, di puncak sebuah bukit yang dikelilingi beberapa gunung di kejauhan, tanpa lampu tanpa penerangan apa pun.
Bintang Orion yang dalam etnik Sunda disebut Bentang Wuluku bersinar dengan sangat indahnya, dikawal oleh gugus bintang Pleiades di depannya sedikit ke Utara. Pleiades dalam bahasa Sunda disebut Bentang Ranggeuy atau Bentang Kerti. Dua obyek langit ini tampaknya memiliki tempat penting dalam kehidupan masyarakat jaman dulu di Jawa (bahkan mungkin di seluruh Nusantara).
Bintang Orion, yang oleh etnik Sunda disebut bentang Wuluku difoto dari teras tiga MGP. Di latar depan tampak kekar kolom (collumnar joints) dengan posisi horizontal dan vertikal yang menjadi batas semacam lapangan sekitar seratus meter persegi yang diduga pada jaman silam digunakan untuk upacara ritual. (credit: Chaedar Saleh, menggunakan flash dengan pembukaan diafragma selama 30 detik).
Berdasar cerita turun temurun dari pini sepuh di MGP, ternyata petani di sana pun sejak dulu menggunakan bintang Orion untuk penentuan masa-masa pertanian!
Ini menarik untuk ditelaah lebih jauh dari sudut pandang etnoastronomi, yaitu telaah tentang astronomi dalam budaya suatu etnik jaman baheula. Kalau benar, berarti masyarakat jaman dulu di daerah ini sudah paham tentang fenomena keteraturan dan periodisitas gerak bintang dan obyek-obyek lainnya di langit, dan sekaligus mereka pun piawai dalam memanfaatkan “ilmunya” untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan mereka, sebuah kearifan lokal leluhur kita yang seharusnya kita lestarikan.
Sesungguhnya pemahaman masyarakat jaman silam tentang langit merupakan sesuatu yang membanggakan. Dengan demikian, dalam astrowisata, juga bisa dikembangkan etno-astrowisata.
Siapa yang menerima manfaat dari astrowisata ini?
Masyarakat keseluruhan akan menarik manfaat dari astrowisata ini dari sisi pendidikan umum termasuk kesadaran akan lingkungan dan alam semesta (universe awareness).
Namun di atas itu semua, masyarakat setempat-lah yang paling pantas menikmati manfaat dari program apa pun yang dibuat untuk MGP ini termasuk program astrowisata ini.
Bagaimana agar mereka bisa dilibatkan? Sosialisasi dengan pendekatan yang akrab akan sangat membantu agar mereka tidak hanya menjadi “penonton”, namun juga pelaku aktif. Mereka bahkan bisa mempelajari dan mempraktekkan kembali kearifan lokal yang selama ini ada, dengan sumber pengetahuan yang teruji dan diakui. Tidak lagi sekedar “ceuk kolot baheula” (kata orangtua dahulu).
Mengamati benda-benda langit, pada astrowisata, tentunya membutuhkan masa bermalam, yang kemudian membutuhkan tempat menginap.
Untuk menampung astrowisatawan rasanya kita tidak perlu sengaja membangun hotel besar, apalagi mewah! Sebenarnya keterlibatan penduduk lokal dalam wisata yang sekarang pun sudah sangat kentara, termasuk dalam masalah akomodasi. Mereka terbiasa menyewakan rumah mereka untuk wisatawan dengan bayaran yang pantas. Hanya yang harus disosialisasikan kepada mereka adalah mengenai kondisi minimum untuk keamanan dan kebersihan, terutama kamar tidur, kamar mandi dan toilet. Pokoknya orang nyaman tidur dan mandi.
Mungkin sekarang ini sudah banyak calon investor yang mulai mengintai tanah-tanah penduduk di kawasan itu. Anjurkan penduduk untuk tidak menjualnya. Kalau pun mau bekerjasama dengan investor, tanah itu hendaknya disertakan
sebagai saham dalam bisnis hotel itu. Jadi ketika gurita-gurita hotel itu meraup untung, penduduk pun akan ikut menikmatinya. Bukan hanya memperoleh uang sekali saja dari menjual tanah setelah itu gigit jari.
Tapi alangkah indahnya kalau untuk MGP ini, rakyat setempatlah yang paling banyak menikmati keberadaan dan hasil yang berasal darinya. Kita buat penduduk menjadi pelakunya sedang pemerintah atau siapa pun hanya sebagai fasilitator.http://www.rajabasanews.com/20141122/astrowisata-untuk-situs-megalit-gunung-padang/
0
3.5K
14
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan