- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Datuak Batuah si Haji Merah


TS
sanikobert
Datuak Batuah si Haji Merah

Ahmad Khatib Datuk Batuah (lahir di Koto Laweh, Padangpanjang, Sumatera Barat, tahun 1895 – meninggal di Koto Laweh, Padang Panjang, tahun 1949 pada umur 54 tahun)
Spoiler for Riwayat:
Haji Ahmad Khatib alias Haji Datuk Batuah. Ia lahir tahun 1895, di Koto Laweh, Padang Panjang. Ayahnya, Syekh Gunung Rajo, adalah seorang pemimpin Tarekat Syattariyah. Datuk Batuah sempat mengenyam pendidikan dasar di sekolah Belanda. Setelah tamat, ia menuntut ilmu di Tanah Mekah selama 6 tahun, yakni dari tahun 1909 hingga 1915. Di sana ia berguru pada Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Teman seperguruannya antara lain KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Ashari (pendiri Nahdlatul Ulama).
Saat itu, di Sumatera Barat, sudah berdiri perguruan Islam bernama “Sumatra Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh kaum modernis Islam, yang berusaha melakukan pembaruan Islam melalui pendidikan. Salah satu gurunya bernama Haji Rasul—ayah dari Buya Hamka.
Begitu pulang dari Mekah, Datuk Batuah langsung bergabung dengan Sumatera Thawalib. Awalnya, ia menjadi murid Haji Rasul. Dia dianggap murid paling cerdas dan dinamis. Karena itu, ia pun diangkat menjadi Asisten pengajar oleh Haji Rasul. Namun, karena pengaruh teori-teori radikal, Datuk Batuah sering berseberangan pendapat dengan Haji Rasul. Haji Rasul sendiri sangat otokratis dan konservatif. Ia menentang ide-ide radikal yang digandrungi oleh muridnya. Audrey Kahin, dalam bukunya “Dari Pemberontakan ke Integrasi”, mencatat bahwa beberapa guru di Sumatera Thawalib tidak melarang murid-muridnya mempelajari teori-teori radikal, termasuk marxisme.
Haji Datuk Batuah menikah dengan Saadiah. Hasil pernikahannya dikaruniai tiga anak. Salah seorang anaknya diberinama: LENIN. Lalu, Datuk Batuah menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Zainab. Ia dikaruniai seorang putri bernama KARTINI.
Spoiler for Rumah kediaman:

Spoiler for Awal Mula Perjuangan:
Pada tahun 1920-an, ketika benih marxisme mulai masuk ke Indonesia, yang menyebarkannya ke bumi—rakyat—adalah para Haji. Mereka mengibarkan panji-panji “Islam Komunis”. Keberadaan Haji Datuk Batuah ( nama asli Ahmad Chatib ) pada masa itu sangat mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Persoalannya adalah Datuk Batuah yang haji itu adalah murid ulama ternama Haji Rasul alias Inyiak Dotor, ayahanda ulama legendaris Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Beliau sendiri sampai awal tahun 1923 berprofesi sebagai guru dan menjadi pengurus Thawalib Padangpanjang, Batusangkar dan Bukittinggi.
Dalam sejarah, nama Datuk Batuah bukanlah nama yang bagus dikalangan pergerakan Islam, hingga kini. Sejarah mencatat Haji Datuk Batuah membawa dan, menyebarkan paham komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat dengan Inyiak Dotor sebagai “pilar” utamanya. Haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya.
Kiprah politik Dt. Batuah tak lepas dari fenomena kelahiran Sarikat Islam Merah (SI Merah) di Jawa yang membuat Tjokroaminoto dkk. berenggang haluan politik dengan Semaun dkk. pada awal 1920, yang tampaknya cepat menjalar ke Minangkabau. Namun, dalam bukunya, Sedjarah PKI (1957:10), Djamaluddin Tamim menulis: “Malah di Padang Pandjang, sebuah kota ketjil di Sumatera Tengah tempat berkumpul dan pusatnja pesarntren Agama/Mahasiswa Ilmu Gaib dari seluruh Sumatera, sudah sedjak awal tahun 1920 disanapun sudah mulai menjebut2 tentang Sosialisme-Komunisme Sarikat Merah, walaupun pada permulaannja makanja Padang Pandjang menjadi pusat kaum merah, menjadi kota merah di Sumatera, hanjalah mendirikan BOPET MERAH sebagai tjabangnja Koperasi kaum Merah disana, jakni lima enam bulan sebelumnja lahir PKI di Semarang tahun 1920″.
Di Jawa, penggerak utamanya bernama Haji Misbach. Ia adalah seorang mubaligh didikan pesantren. Selain itu, Misbach sudah menunaikan ibadah Haji di Tanah Mekah. Dan, jangan salah, dia bisa berbahasa Arab.
Pada tahun 1920-an, Haji Datuk Batuah ditugasi oleh Haji Rasul untuk untuk meninjau Thawalib School di Aceh yang pernah dirintis oleh A.R. Sutan Mansur. Namun, siapa sangka, di perjalanan inilah Ia bertemu dengan Natar Zainuddin, seorang propagandis serikat buruh kereta api Vereeniging van Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP). Natar Zainuddin lahir di Padang tahun 1890. Pada tahun 1920, pernah menghadiri kongres Vereeniging van Spoor en Tramwegs Personeel (VSTP) di Semarang. Selama kongres itu ia bertemu dengan tokoh-tokoh komunis dari ISDV, diantaranya Bersgma dan Baars. Selama aktif di VSTP, Natar Zainuddin slelau mendapat gemblengan dari Semaun, Dharsono, dan Haji Misbach.Tiga tahun ia bekerja sebagai kondektur,
Spoiler for Bersama Teman Teman:

Spoiler for SI:

Sejak saat itu, terjadi interaksi kuat di antaranya, dan rupanya Haji Dt. Batuah tertarik dengan cerita-cerita Natar Zainuddin tentang komunisme dan perlawananya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Datuk Batuah dan Natar Zainuddin langsung berkawan akrab. Pada tahun 1923, keduanya berangkat ke Jawa. Entah sengaja atau tidak, keberangkatan mereka bertepatan dengan Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI)/Sarekat Rakyat (SR) di Bandung, Jawa Barat. Datuk Batuah dan Natar Zainuddin jadi peserta di kongres itu. Saat itu, seorang Haji dari Surakarta, yaitu Haji Misbach, tampil berpidato di Kongres.
“Saya bukan Haji, tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa, yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Mekah dan Medinah,” begitulah Misbach memperkenalkan dirinya. Namun, begitu Misbach masuk ke inti pidatonya, Datuk Batuah langsung terperangah.
Menurut Misbach, ada kesesuaian antara ajaran Al-Quran dan Komunisme. Antara lain, Al-Quran mengajarkan bahwa setiap muslim harus mengakui hak azasi manusia. Tetapi hal itu juga menjadi prinsip dalam program komunis. Selain itu, kata Misbach, Tuhan memerintahkan untuk melawan segala bentuk penghisapan dan penindasan. Hal itu juga menjadi jiwanya kaum komunis. Lebih penting lagi, komunisme tidak mentolerir diskriminasi pangkat dan ras. Ajaran Karl Marx ini juga mengutuk klas-klas di dalam masyarakat. Slogannya: Sama rasa, Sama rata!
“Siapa yang tidak bisa menerima prinsip-prinsip komunisme berarti dia belum benar-benar muslim,” kata Misbach di akhir pidatonya.
Spoiler for Diksi Haji Misbach vs Soekarno:
Lama berbicara soal kesamaan komunisme dan islam, Misbach berganti topik. Ia mulai menyerang HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam dan sekaligus bekas teman seperjuangannya semasa masih di SI. Misbach menganggap SI di bawah pimpinan Tjokro telah memecah-belah gerakan rakyat dengan memberlakukan disiplin partai. Ia mengisahkan sebuah pertemuannya dengan Tjokro di atas kereta api, dimana pemimpin SI itu mengaku bahwa ide “disiplin partai” muncul atas kehendaknya.
Suara-suara teriakan peserta kongres pun terdengar keras. “Tjokro mau jadi raja! Uang SI kemana piginya (perginya)!” teriak seorang peserta kongres yang marah.
Bukan itu saja, Misbach juga menuding CSI, organisasi yang dibidani oleh Tjokro, telah bersekongkol dengan Muhammadiyah. Misbach menganggap organisasi yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan itu sebagai perkumpulan kapitalis, yang ketundukannya memang kepada kapital.
Di tengah-tengah Misbach mengeritik Tjokro dan SI, tiba-tiba seorang pemuda berusia belasan tahun naik ke podium. Pemuda itu adalah Soekarno, seorang murid Tjokroaminoto, yang kelak menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno meminta agar Haji Misbach segera meminta maaf kepada Tjokro karena telah melancarkan serangan bersifat pribadi kepada gurunya tersebut. Tjokro sendiri tidak hadir dalam kongres tersebut, tapi diwakilkan kepada Soekarno.
“Apakah tindakan seperti ini sesuai kesucian seorang ksatriya?” tanya Soekarno kepada Haji Misbach. Misbcah mengatakan bahwa ia bermaksud menyerang atau melukai hati Tjokroaminoto, tapi sekedar menjelaskan sikap pemimpin CSI itu kepada umum. Misbach kemudian meminta maaf kepada kongres.
Dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Soekarno: penyambung lidah rakyat Indonesia, Soekarno mengaku bahwa saat itu dia sudah berbeda pandangan politik dengan gurunya itu, namun ia tetap menjaga hubungan baik. “Orang Asia tidak menemui kesukaran untuk membedakan ideologi dengan peri-kemanusiaan.”
Spoiler for Pergerakan:
Pidato Misbach sangat membekas dalam pikiran Datuk Batuah. Begitu pulang ke Sumatera Barat, ia segera menyebarkan pandangan “Islam Komunis” ala Misbach itu kepada murid-muridnya di Perguruan Thawalib dan melalui koran “Pemandangan Islam”. Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani. Salah satu pendiri perguruan ini, yaitu Zainuddin Labai, adalah pengagum berat bapak gerakan nasionalis Turki, Mustafa Kama (Kamal Attaturk). Ia menerjemahkan biografi Kamal dan mengajarkannya di sekolah Diniyyah. Meski berfikiran radikal, Zainuddin menentang muridnya menyerap ide-ide sekuler dan komunis, yang saat itu sedang digandrungi.
Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155). Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis. Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin (sebagian mengatakan Natar Zaenuddin) mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Haji Datuk Batuah segera berpropaganda soal islam dan komunisme di perguruan islam itu. Kebetulan, di dalam perguruan Thawalib itu sudah ada seorang komunis, yaitu Djamaluddin Tamin, yang kelak menjadi ketua Sarekat Rakyat dan pendukung Tan Malaka.
Zainuddin Labai bekerjasama dengan Haji Datuk Batuah mendirikan koran “Pemandangan Islam”, yang mengulas banyak soal keislaman, komunisme, dan perjuangan anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme. Melalui media massa – Pemandangan Islam dan Djago Djago – Datuk Batuah memaklumkan diri sebagai “orang komunis”.
Datuk Batuah menerbitkan harian “Pemandangan Islam” dan dan Nazar Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago” (Djago-Djago bukan berkonotasi fisik atau kuat-hebat, jagoan - namun lebih berkonotasi “pengingat” untuk tidak terhanyut dengan keadaan yang ada, tidak pasrah dan seterusnya). Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis. Padahal, kontribusi pencerahan yang dirintis oleh Datuk Batuah dengan Pemandangan Islam dan Djago Djago sungguh sangat luar biasa. Konon, pada masa ini, ada tiga media massa paling berpengaruh di Hindia Belanda, dua diantaranya terdapat di Minangkabau …… Pemandangan Islam dan Djago Djago. Bahkan, Ruth Mc Vey dalam bukunya The Rise of Indonesian Communism dan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak mengatakan bahwa Datuk Batuah dan Haji Misbach (yang ini tokoh Islam “kiri” Surakarta), sangat dihormati oleh kolonial Belanda bukan karena mereka “penjilat” akan tetapi idealisme mereka yang sangat tinggi untuk mencerahkan lingkungan masyarakat dan bangsanya.
Ia aktif mengampanyekan ideologi perjuangan SI Merah alias Sarekat Rajat melalui ceramah-ceramah maupun media cetak seperti Pemandanga Islam, Djago! Djago!, dan Doenia Achirat. Muhammad Ilham dalam blognya (http://ilhamfadli.blogspot.nl) menulis: “Keberhasilan Dt. Batuah menyebarkan ‘Faham Kuminih’ di kalangan pelajar Sumatera Thawalib menyebabkan timbulnya perpecahan di kalangan guru dan murid” dan mendorong Buya Hamka mundur sebagai pengajar di sekolah itu.
Meskipun sebagian besar guru-guru Thawalib adalah pedagang, tetapi mereka juga menentang penghisapan atau eksploitasi terhadap orang lain. Sebagai pedagang Islam, mereka mengharamkan praktek riba. Selain itu, islam juga melarang keras umatnya memupuk kekayaan.
Kesesuaian-kesesuaian inilah yang menjadi lahan subur propaganda marxisme di kalangan islam. PKI Sumatera Barat sendiri, pada tahun 1920-an, sangat membela pedagang kecil. PKI mengemukakan sikap: “Sekalipun mereka berdagang, tetapi mereka bukan kapitalis. Mereka juga korban kapitalisme. Mereka bukan mencari kaya dan jadi gemuk dan bermalas-malasan, melainkan mencari sepiring nasi. Dan mereka digencet oleh pengusaha-pengusaha kapitalis yang telah mengambil seluruh kehidupan mereka.” (Ruth McVey dan Harry J Benda, Key Documents, 1960)
Spoiler for Djago Djago:


Pada tanggal 20 November 1923, berdirilah PKI seksi Padang Panjang dengan susunan pengurus: Haji Dt. Batuah (Ketua), Djamaluddin Tamim (sekretaris dan bendahara), Natar Zainuddin (anggota), dan Dt. Machudum Sati (anggota).
Sejak itu, Datuk Batuah menjelma menjadi “propagandis komunis”. Banyak pedagang terseret dalam propaganda “Islam Komunis”. Maklum, Islam mengharamkan praktek “Riba” dan melarang umatnya menumpuk harta. Ini selaras dengan propaganda Marxisme menentang kapitalisme.
Propaganda “Islam Komunis” sangat membumi. Rakyat pun berbondong-bondong menjadi anggoat PKI. PKI Padang Panjang punya pusat propaganda bernama: International Debating Club (IDC). Namun, rupanya, Belanda sangat khawatir dengan hal itu. Maklum, PKI adalah organisasi paling radikal dan paling keras menentang kolonialisme Belanda. Sebelum pemberontakan 1927 di Sumatera, ada tiga titik kegiatan politik paling radikal dan paling keras melawan Belanda di sana, yaitu: Padang Panjang, Silungkang, dan Padang. Ketiga daerah itu tidak lepas dari pengaruh Haji-haji merah yang beraliran komunis, seperti Haji Datuk Batuah, Natar Zainuddin, dan Djamaluddin Tamin. Uniknya, di Sumatera Barat, berbagai pemikiran dan tradisi saling berkontradiksi dan saling melengkapi untuk menjadi senjata anti-kolonialisme.
Spoiler for Pemandangan Islam:



Membesarnya pengaruh komunis di Padang Panjang, membuat pemerintah Hindia Belanda gusar. Untuk mencegah semakin membesar dan bertambahnya jumlah pengikut Haji Dt. Batuah, pemerintah Hindia Belanda melakukan penggeldehan terhadap kantor IDC. Kejadian yang sama juga menimpa pimpinan PKI di Padang, seperti Magas, A. Wahab, Kaharoeddin, Djalaludin, dan lainnya.
Akhirnya, baru 2 bulan beraktivitas di Padang Panjang, Belanda menggeledah IDC. Natar Zainuddin dan Datuk Batuah ditangkap. Sehari kemudian, para aktivis PKI Padang Panjang dan anggota Redaksi Djago-Djago juga mulai ditangkapi oleh Belanda. Sebulan kemudian, Djamaluddin Tamin juga ditangkap. Segera setelah itu pusat propaganda komunis berpindah ke Padang ( Schreike, 1960: 60). Pucuk kepemimpinan PKI Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said Ali.
Spoiler for Pasca Penangkapan:
Dalam salah satu berita yang berjudul “Awas! Awas! Awas! yang diturunkan Djago! Djago! tanggal 23 November 1923 ditulis SBS bahwa pada hari minggu tanggal 11 November 1923 pukul 16.50 terjadi penangkapan terhadap kedua pimpinan IDC. Pada sore itu, aktivis IDC membantu Natar untuk melipat-lipat Djago! Djago! Sedang asyik bekerja, menurut SBS datang 11 orang polisi bersenjata, Asisten Residen, dan Hoofd Jaksa. Yang awal ditangkap adalah Natar, setelah itu Haji Dt, Batuah. Setelah kedua petinggi IDC itu ditangap, polisi selanjutnya menggeledah rumah Natar, kantor IDC, kantor Pemadangan Islam, rumah Djamaludin Tamin.
Tidak hanya itu, keesokan harinya tanggal 12 November 1923 selusinan polisi menangkap S. Machudum Sati, Ib Rahim pelajar asal Lubuk Lintah, Doeradj seorang guru agama, Rajo nan Kayo, Bagindo Tan Ameh di Koto Laweh Padang Panjang. Pada hari yang sama juga terjadi penangkapan terhadap pemimpin redaksi Djago! Djago! Arif Fadillah.
Menanggapi peristiwa penangkapan yang melanda tokoh-tokoh IDC Padang Panjang H. M. Noer Ibrahim yang merupakan salah seorang redaktur di Pemandangan Islam menurunkan tulisan dengan judul “KEBINGUNGAN”. Satu hal yang menarik dari tulisan redaktiur Pemandnagan Islam ini adalah kebingungannya terhadap penjangaan ketat dari polisi terhadap Koto Laweh.
“Tetapi sungguhpun begitu, kita menaruh heran juga! Apakah sebabnya Koto Lawas dan Padang Panjang dijagai betul oleh serdadu? Tidakkah Ongkos saja pada pemerintah? Padahal pemerintah selalu mengatakan untuk berhemat!”
Sejak peristiwa penangkapan terhadap tokoh IDC, tokoh PKI Padang Panjang, sempat membuat Djago! Djago! redup. Terbitan ke-7 mereka baru bisa dihadirkan pada tanggal 13 Maret 1924 dengan pemimpin redaksi H.S.S Perpatih. Namun ada hal yang cukup menarik dari terbitan ke-7 Djago! Djago!, yakni memuat telegram tertanggal 23 November 1923. Arif Fadillah sebagai pimpinan IDC dan Djamaludin Tamin sebagai Sekretaris mengirim berita telegram kepada Procureur General Weiltevreden agar Natar Zainuddin, Haji Dt Batuah, dan enam orang lainnya dikeluarkan dari penjara Padang Panjang, karena alasan penahanan masih kabur, dan tidak jelas.
Datuk Batuah dan Natar Zaimuddin dibuang ke Timor (NTT). Natar Zainuddin dibuang ke Kafannanoe (Kefamenanu), sedangkan Datuk Batuah dibuang ke Kalabai (Kalabahi, Alor). Namun, meski di pembuangan, Datuk Batuah tetap aktif berjuang. Bersama dengan Christian Pandie, aktivis Timor, mendirikan organisasi bernama Partai Serikat Timor. Tak lama kemudian, partai ini berganti nama menjadi Partai Serikat Rakyat. Azasnya tetap: Komunisme! Sayang, ketika meletus pemberontakan PKI tahun 1926, aktivis Partai Sarekat Rakyat turut ditumpas Belanda.
Berita penangkapan datuak Batuah pun menyebar dan sampai ke Haji Rasul. Meskipun Dt. Batuah pernah menentang pendapatnya, mendengar berita penangkapan itu, wajah Haji Rasul pun muram. Ia berujar kepada puteranya, tak lain adalah Buya Hamka “Sudah tertangkap Haji Dt. Batuah.. Sayang dia seorang alim besar, terbenam saja ilmunya. Waang ( kamu ) jangan masuk komunis pula”.
Penasehat pemerintan Belanda ketika itu, R.Kern, membuat pernyataan menggemparkan: “Walaupun asisten residen Whitlau sudah mengemukakan bahwa pergerakan perlawanan akan padam setelah tertangkapnya Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, setelah enam bulan pasca penangkapan itu orang komunis malah makin banyak dari yang sudah-sudah.”
bersambung Page2
Diubah oleh sanikobert 19-11-2014 22:13


rajendra18 memberi reputasi
1
7.2K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan