- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kumpulan Cerita Creepy pasta


TS
juandry
Kumpulan Cerita Creepy pasta
Creepypasta ini bisa dikatakan sebagai sebuah cerpen dan bakal lebih panjang daripada urban2 legend . Memang membutuhkan waktu lebih dan kesabaran ekstra untuk membacanya, namun aku berjanji, semuanya worth to read hingga bagian endingnya.
CREEPYPASTA #: A KNOCK ON THE WINDOW
CREEPYPASTA #2: HUNGER
URBAN LEGEND #3: KEYHOLE
CREEPYPASTA #: A KNOCK ON THE WINDOW
Spoiler for Cerita:
“KETUKAN DI JENDELA”
Penulis: Anonymous

Creepypasta yang ditulis oleh penulis anonim ini menceritakan seorang pemuda yang mendengar ketukan di jendelanya terus-menerus di tengah malam. Ketika ia memeriksanya, ia akan menemukan kejutan yang sangat mengerikan.
Aku terbaring di atas ranjang, sendiri, di suatu malam yang gelap dan sunyi. Aku hanya membolak-balikkan badanku di atas kasur, mencoba mencari posisi yang nyaman bagiku untuk tidur. Tubuhku sudah sangat lelah, namun entah mengapa, aku tetap tak bisa tidur. Ada sesuatu tentang malam ini yang membuatku merasa sama sekali tidak nyaman. Aku terus berguling di atas tempat tidur hingga akhirnya menemukan posisi yang cukup enak buatku untuk terlelap.
Aku menutup mataku, namun tak ada perbedaan. Terlalu gelap di dalam kamarku untuk bisa melihat sesuatu. Jadi kupikir butuh waktu bagi mataku untuk terbiasa dengan kegelapan. Aku terbaring di sana, tak bergerak, di tengah malam yang hitam pekat. Tubuhku mulai rileks dan pikiranku kosong, dan aku benar-benar siap untuk istirahat. Namun kesunyian itu seketika musnah dan benakku langsung dibanjiri dengan bayangan menakutkan ketika suara itu terdengar.
Tok ... tok ...
Tak diragukan lagi itu adalah suara sesuatu mengetuk jendela kaca. Tapi tidak, tidak mungkin ada orang yang mengetuk jendela kamarku dari luar! Siapa orang yang hendak membangunkanku malam-malam begini? Berpikirlah dengan logis. Jika seseorang ingin mencuri di rumahku, mengapa ia terlebih dahulu mengetuk jendela? Mereka cukup menyelinap masuk ke dalam rumah dengan sehening mungkin. Mustahil mereka mengetuk!
Tak ada monster di dunia ini. Aku bisa saja menengok ke arah jendela agar membuat hatiku sedikit tenang, namun aku menghadap ke arah yang berlawanan dari jendela Dan jujur, aku takut akan melihat hal yang paling aku takutkan berdiri di luar jendela, memandangiku. Namun, apa itu? Apa mungkin itu hanya burung yang terbang menabrak jendela? Tidak, itu sama sekali tidak realistis. Apakah mungkin ada sekelompok anak yang mengerjaiku malam-malam begini, mengetuk jendela dari luar sambil tertawa terpingkal-pingkal? Mungkin saja. Atau bahkan mungkin ini semua hanya imajinasiku? Mungkin aku mendengar suara angin di luar dan mengasumsikannya sebagai suara ketukan di jendela?
Tok ... tok ....
Tidak, itu jelas bukan imajinasiku! Anak-anak sial itu benar-benar keras kepala. Mereka tidak mau berhenti hingga melihatku bangun karena gusar. Mungkin anak-anak dengan selera humor yang sedikit sakit itu sedang menungguku di luar. Mungkin mereka akan memecahkan kaca jendela dan menyerangku. Tidak! Jangan menjadi paranoid seperti ini! Lagipula, mereka di luar, dan aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku aman. Monster itu tidak ada. Lagipula, aku belum bergerak sama sekali. Mungkin saja anak-anak itu menganggap aku sudah tertidur lelap dan akan meninggalkanku sendiri.
Tok ... tok ....
Tidak! Itu bukan anak-anak! Tidak ada seorang anakpun yang akan menunggu selama ini untuk mendapatkan reaksi dari seorang pria yang tinggal sendirian seperti aku. Mereka pasti akan bosan dan berpindah ke rumah lain untuk diusili. Namun jika bukan mereka, lalu siapa? Mengapa ada seorang pembunuh yang mau mengincarku? Berpikir logislah! Monster itu tidak ada. Jangan menjadi paranoid. Mereka ada di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara jendela yang pecah, aku aman. Namun jika itu bukan sesosok monster atau pembunuh berantai, apa yang menyebabkan suara itu? Mungkin sebaiknya aku berpura-pura tidur dan suara itu akan berhenti dengan sendirinya.
Tok ... tok ....
Oh Tuhan! Aku tak bisa memikirkan suara lain yang lebih kubenci di dunia ini selain suara ketukan di kaca jendela itu! Kumohon pergilah! Biarkan aku sendiri! Sekarang tidak ada harapan. Ia akan masuk ke sini cepat atau lambat dan melakukan hal mengerikan terhadapku. Ambil napas dalam-dalam. Lalu hembuskan pelan-pelan. Aku merasakan detak jantung di dalam dadaku mulai bersantai. Monster itu tidak ada. Ingat, mereka ada di luar. Aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku aman. Ulangi itu! Jangan biarkan ketakutan menguasaimu! Berpura-puralah tidur dan jangan bergerak sedikitpun.
Tok ... tok ....
Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman. Monster itu tidak ada. Berpura-puralah tidur dan berdoalah agar ia segera pergi.
Tok ... tok ....
Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman. Monster itu tidak ada. Monster itu tidak ada! Aku mulai berbisik pada diriku sendiri, “Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman. Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman.”
Tok ... tok ....
AKU TAK SANGGUP LAGI! Aku bisa menjadi gila apabila aku terus mendengar suara ketukan ini. Paling tidak jika aku melihat apa yang menyebabkan suara itu, aku akan menjadi sedikit tenang. Ambil napas dalam-dalam, aku mengulanginya untuk sekali lagi, “Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman.” Aku mengambil beberapa napas dalam lagi, jantungku berdetak amat kencang hingga aku serasa bisa mendengarnya.
Aku perlahan menoleh ke arah jendela.
Jantungku terasa berhenti berdetak dan aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara jeritan. Aku menoleh hanya untuk menemukan sesoeok wajah pucat dengan mata hitam kelam menatapku tajam, seakan menelanjangi jiwaku, sambil tersenyum bengis.
Selama ini makhluk itu sudah berada di ruangan ini, sambil mengetuk-ngetuk kaca jendelaku dari dalam.
Penulis: Anonymous

Creepypasta yang ditulis oleh penulis anonim ini menceritakan seorang pemuda yang mendengar ketukan di jendelanya terus-menerus di tengah malam. Ketika ia memeriksanya, ia akan menemukan kejutan yang sangat mengerikan.
Aku terbaring di atas ranjang, sendiri, di suatu malam yang gelap dan sunyi. Aku hanya membolak-balikkan badanku di atas kasur, mencoba mencari posisi yang nyaman bagiku untuk tidur. Tubuhku sudah sangat lelah, namun entah mengapa, aku tetap tak bisa tidur. Ada sesuatu tentang malam ini yang membuatku merasa sama sekali tidak nyaman. Aku terus berguling di atas tempat tidur hingga akhirnya menemukan posisi yang cukup enak buatku untuk terlelap.
Aku menutup mataku, namun tak ada perbedaan. Terlalu gelap di dalam kamarku untuk bisa melihat sesuatu. Jadi kupikir butuh waktu bagi mataku untuk terbiasa dengan kegelapan. Aku terbaring di sana, tak bergerak, di tengah malam yang hitam pekat. Tubuhku mulai rileks dan pikiranku kosong, dan aku benar-benar siap untuk istirahat. Namun kesunyian itu seketika musnah dan benakku langsung dibanjiri dengan bayangan menakutkan ketika suara itu terdengar.
Tok ... tok ...
Tak diragukan lagi itu adalah suara sesuatu mengetuk jendela kaca. Tapi tidak, tidak mungkin ada orang yang mengetuk jendela kamarku dari luar! Siapa orang yang hendak membangunkanku malam-malam begini? Berpikirlah dengan logis. Jika seseorang ingin mencuri di rumahku, mengapa ia terlebih dahulu mengetuk jendela? Mereka cukup menyelinap masuk ke dalam rumah dengan sehening mungkin. Mustahil mereka mengetuk!
Tak ada monster di dunia ini. Aku bisa saja menengok ke arah jendela agar membuat hatiku sedikit tenang, namun aku menghadap ke arah yang berlawanan dari jendela Dan jujur, aku takut akan melihat hal yang paling aku takutkan berdiri di luar jendela, memandangiku. Namun, apa itu? Apa mungkin itu hanya burung yang terbang menabrak jendela? Tidak, itu sama sekali tidak realistis. Apakah mungkin ada sekelompok anak yang mengerjaiku malam-malam begini, mengetuk jendela dari luar sambil tertawa terpingkal-pingkal? Mungkin saja. Atau bahkan mungkin ini semua hanya imajinasiku? Mungkin aku mendengar suara angin di luar dan mengasumsikannya sebagai suara ketukan di jendela?
Tok ... tok ....
Tidak, itu jelas bukan imajinasiku! Anak-anak sial itu benar-benar keras kepala. Mereka tidak mau berhenti hingga melihatku bangun karena gusar. Mungkin anak-anak dengan selera humor yang sedikit sakit itu sedang menungguku di luar. Mungkin mereka akan memecahkan kaca jendela dan menyerangku. Tidak! Jangan menjadi paranoid seperti ini! Lagipula, mereka di luar, dan aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku aman. Monster itu tidak ada. Lagipula, aku belum bergerak sama sekali. Mungkin saja anak-anak itu menganggap aku sudah tertidur lelap dan akan meninggalkanku sendiri.
Tok ... tok ....
Tidak! Itu bukan anak-anak! Tidak ada seorang anakpun yang akan menunggu selama ini untuk mendapatkan reaksi dari seorang pria yang tinggal sendirian seperti aku. Mereka pasti akan bosan dan berpindah ke rumah lain untuk diusili. Namun jika bukan mereka, lalu siapa? Mengapa ada seorang pembunuh yang mau mengincarku? Berpikir logislah! Monster itu tidak ada. Jangan menjadi paranoid. Mereka ada di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara jendela yang pecah, aku aman. Namun jika itu bukan sesosok monster atau pembunuh berantai, apa yang menyebabkan suara itu? Mungkin sebaiknya aku berpura-pura tidur dan suara itu akan berhenti dengan sendirinya.
Tok ... tok ....
Oh Tuhan! Aku tak bisa memikirkan suara lain yang lebih kubenci di dunia ini selain suara ketukan di kaca jendela itu! Kumohon pergilah! Biarkan aku sendiri! Sekarang tidak ada harapan. Ia akan masuk ke sini cepat atau lambat dan melakukan hal mengerikan terhadapku. Ambil napas dalam-dalam. Lalu hembuskan pelan-pelan. Aku merasakan detak jantung di dalam dadaku mulai bersantai. Monster itu tidak ada. Ingat, mereka ada di luar. Aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku aman. Ulangi itu! Jangan biarkan ketakutan menguasaimu! Berpura-puralah tidur dan jangan bergerak sedikitpun.
Tok ... tok ....
Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman. Monster itu tidak ada. Berpura-puralah tidur dan berdoalah agar ia segera pergi.
Tok ... tok ....
Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman. Monster itu tidak ada. Monster itu tidak ada! Aku mulai berbisik pada diriku sendiri, “Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman. Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman.”
Tok ... tok ....
AKU TAK SANGGUP LAGI! Aku bisa menjadi gila apabila aku terus mendengar suara ketukan ini. Paling tidak jika aku melihat apa yang menyebabkan suara itu, aku akan menjadi sedikit tenang. Ambil napas dalam-dalam, aku mengulanginya untuk sekali lagi, “Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman.” Aku mengambil beberapa napas dalam lagi, jantungku berdetak amat kencang hingga aku serasa bisa mendengarnya.
Aku perlahan menoleh ke arah jendela.
Jantungku terasa berhenti berdetak dan aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara jeritan. Aku menoleh hanya untuk menemukan sesoeok wajah pucat dengan mata hitam kelam menatapku tajam, seakan menelanjangi jiwaku, sambil tersenyum bengis.
Selama ini makhluk itu sudah berada di ruangan ini, sambil mengetuk-ngetuk kaca jendelaku dari dalam.
CREEPYPASTA #2: HUNGER
Spoiler for Cerita:
“RASA LAPAR”
Penulis: William Dalphin

Creepypasta ini bercerita tentang seorang psikiater yang mendapatkan pasien dengan gangguan pola makan. Sang pasien ternyata terjebak di dalam lift di dalam perjalanannya menemui sang psikiater. Apa yang terjadi selanjutnya akan membuat kalian shock. Pribadi, kurasa ini cerita paling menakutkan di list ini.
Sebagai seorang dokter ahli jiwa, aku terikat dengan kerahasiaan antaraa dokter-pasien dan tidak diperkenankan memberitahukan pada siapapun mengenai kondisi pasien2ku. Namun kali ini, aku merasa perlu untuk menceritakannya. Cerita ini, tanpa perlu kuragukan lagi, adalah pengalaman paling menakutkan yang pernah kualami sepanjang praktekku sebagai psikiater.
Kisah ini terjadi tahun 2009 dan jadwalku saat itu sedang longgar. Aku sedang menghabiskan makan siangku kettika aku mendapat telepon dari kolegaku yang membuka praktek di gedung yang sama denganku. Kadang kala kami memang sering mengirimkan pasien satu sama lain apabila salah satu dari kami sedang sibuk.
“Hei, apa kau sedang sibuk? Aku ingin mengirim seseorang kepadamu.” katanya.
“Tidak kok. Bagaimana detail pasiennya?”
“Gangguan pola makan. Ibunya sangat khawatir sehingga mengirimnya kepadaku.”
Gangguan pola makan. Hmm ... itu kasus yang tidak terlalu menyenangkan. Sebenarnya aku pernah memiliki pasien penderita bullimia yang muntah di kantorku selama terapi. Aku melirik jadwalku sejenak. Yah, kurasa aku bisa menerimanya.
“Oke, kirim dia!”
“Thanks. Aku kirim dia sekarang.”
Aku mencoba merapikan mejaku dan menunggunya. Setelah 10 menit menanti, aku mulai tak sabar dan keluar untuk mencarinya. Ketika aku sampai di lorong, kulihat ada kerumunan orang berdiri di depan elevator. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain, seperti mendiskusikan sesuatu.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Lift-nya macet.” jawab salah satu dari mereka.
Sial, pasti dia terjebak di dalamnya.
“Di lantai berapa?”
“Di antara lantai 10 dan 11.”
Yup, pasti ia ada di dalamnya. Kantor rekanku itu berada di lantai 10, sekitar 3 lantai dari sini. Menurut pengalamanku, bisa sejam hingga operator bisa memperbaiki lift ini. Aku harap dia tidak klaustrofobia. Kembali ke kantorku, aku lalu menelepon rekanku.
“Bagaimana?’ jawab kolegaku di dalam telepon.
“Ia terjebak di dalam lift.”
“Benarkah? Gadis yang malang” ia tertawa.
“Siapa namanya?”
“Amelia,” ia mencoba mengingat, “Amelia D-sesuatu ...”
“Oke, thanks. Bagaimana jika kita minum sehabis pulang kerja, lalu kita bisa bertukar opini mengenai kasusnya.”
“Oke, dia itu ...”
“Eits, jangan katakan dulu. Aku ingin membentuk opiniku sendiri tanpa ada pengaruh darimu, oke?”
“Oke.”
Ternyata benar dugaanku, baru sejam kemudian, aku mendengar sorakan dari ujung lorong. Itu tanda lift itu akhirnya bekerja kembali.
Aku harus memastikan ia baik-baik saja. Kemudian aku kembali bergabung dengan kerumunan orang2 di depan lift.
Ada lebih banyak orang ketimbang tadi sehingga aku tak bisa melihat pintu lift dari balik punggung mereka. Namun aku mendengar suara berdenting yang menandakan lift itu berhenti di lantai kami dan suara bergeser ketika lift itu membuka.
“Holy shit!” seseorang langsung berteriak.
Orang-orang mulai menjauh dari depan lift. Aku mencoba maju mendesak tubuh orang2 di depanku karena ingin melihat apa yang ada di dalam lift. Begitu aku mendekat, aku mulai mencium bau ini. Baunya seperti membuka kamar apartemen dan seseorang yang belum mandi selama bertahun-tahun keluar. Bau itu mengalir keluar dari dalam lift dan membanjiri sepanjang lorong. Seorang pemuda berpakaian jas langsung menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan. Akhirnya aku bisa melihat dengan jelas apa yang membuat reaksi orang2 seperti itu.
Wanita di dalam lift itu sama sekali tak seperti yang aku bayangkan. Ia mengalami obesitas yang sangat parah, ia terlihat berbobot sekitar 200 kg. Wajahnya benar2 tambun hingga matanya hampir2 tak terlihat, hanya tampak seperti dua titik hitam di atas pipinya. Ia memiliki rambut cokelat yang keriting.
Mulutnya tertutup oleh sesuatu yang tampak seperti saus barbekyu yang penuh minyak. Bahkan masih ada sisa tulang di sudut mulutnya. Ia menggerakkan tangan gemuknya untuk membersihkan serpihan di bajunya, sisa makanan. Ia terlihat seperti habis dari bufet all-you-can-eat dengan berbagai menu daging. Terpegang erat di salah satu tangannya adalah sebuah tas plastik hitam besar, seperti sebuah plastik sampah. Ketika ia menggerakkannya, apapun yang ia simpan di dalamnya tampak teraduk-aduk. Bau busuk itu rupanya tak keluar dari badan wanita itu, melainkan dari dalam plastik sampah itu.
Wanita itu berjalan keluar dari lift. Mata dan hidungnya penuh dengan air mata dan lendir yang terus mengalir. Aku justru maju ketika orang2 lain mundur karena ketakutan.
“Amelia?” aku bertanya kepadanya.
Ia menatapku dengan matanya yang kecil bak manik2. Pipinya belepotan dengan noda sampah merah yang bercampur dengan air mata. Ia mulai membuka mulutnya dan aku sempat berpikir bahwa ia akan memuntahkan seluruh barbekyu yang ia lahap ke arahku.
“A ... aku tadi lapar ...” ia berkata dengan aksen Selatan yang tergagap.
Pria berpakaian jas tadi bergidik karena bau napas wanita itu dan segera melangkah pergi.
“Tidak apa-apa,” aku mencoba meraihnya untuk menolongnya, “Apa kau ingin membicarakannya di kantorku?”
Melihatku mencoba meraihnya, ia mengenggam lebih erat tas plastik hitam besar dan memeluknya di depan dadanya. Isinya menimbulkan suara yang membuatku muak. Aku bisa merasakan makan siangku tadi naik ke belakang tenggorokanku.
“Apa itu milikmu?’ tanyaku, “Aku takkan mengambilnya.”
Ia mulai menangis. Suara cukup membuatku ngeri, seperti suara babi mengikik. Jujur, aku tak mau menyentuhnya. Aku ingin kembali ke kantor, mengunci pintuku, dan berpura2 tak pernah menerima pasien sepertinya. Bau dan tumpahan apapun yang ada di dalam tasnya bisa mengendap di dalam kantorku selama berminggu-minggu. Namun tetap saja, ia adalah manusia dan ia membutuhkan bantuanku. Aku tak bisa begitu saja memalingkan muka.
“Kantorku tak jauh dari sini. Mengapa kau tak ikut denganku ke sana?” aku mulai berjalan. Di benakku, jika saja ia tak mengikutiku, malah bagus. Ia bisa kembali ke apartemennya yang kemungkinan besar penuh dengan kecoa dan feses dan siapa tahu kotoran2 memuakkan lainnya, dan aku akan mencari pasien lain.
Namun ia mengikutiku, dengan langkah tertatih-tatih. Aku membuka pintu untuknya dan ia masuk dengan lemak pada tubuhnya bergoyang2. Ia masih memegang kantong sampahnya dengan jari belepotan saus barbekyu sambil sesekali bersendawa. Ia kemudian hanya berhenti di tengah ruangan kantorku.
“Lift ... litnya tadi macet ...” ia bergumam.
“Ya, saya tahu. Saya ikut prihatin. Saya harap anda baik-baik saja. Tapi untung saja anda membawa sesuatu untuk dimakan, bukan?”
Ia mulai menangis lagi, sambil meremas kantong sampahnya, yang aku takutkan akan meledak dan menumpahkan seluruh isinya yang entah-hanya-Tuhan-yang–tahu ke atas karpetku. Ia mengangguk ketika wajahnya memerah dan air mata mengalir deras seakan keluar dari tiap pori2 wajahnya.
Aku kemudian mengambilkannya tisu dan ia mengambilnya, tetap sambil mengenggam erat tas sampahnya, seakan takut aku akan mencurinya.
“Apa anda ingin saya untuk memeganginya sebentar?” tanyaku sambil berdoa dalam hati agar ia mengatakan tidak.
Ia menggeleng. Syukurlah.
“Apa yang ada di dalam sana?” aku menunjuk ke kantong plastik besar yang dipegangnya.
Ia gusar dan mendengus, mencoba menyedot kembali semua cairan kembali ke dalam wajahnya. Dengan menggunakan satu tisu, ia menyapu seluruh wajahnya, hingga meratakan noda merah di mulutnya ke penjuru wajahnya.
“Sisa ... sisa makanan ...” ia menjawab dengan terbata-bata. Dadanya tampak naik turun dan ia mulai terisak kembali. Wajahnya kini serupa dengan air mancur. Aku mulai merasa kasihan padanya. Ia tampak sangat menderita.
“Lihat,” kataku, “terjebak di dalam lift sungguh adalah sebuah pengalaman traumatis.”
Isakannya mulai terdengar melengking.
“Jadi kenapa kita tidak tunda saja pertemuan kita sampai Anda merasa tenang.”
Ia berusaha menjawab di tengah isakannya, “An ... Anda ingin bertemu saya?”
“Ya, hanya bukan hari ini. Mengapa Anda tidak pulang dulu saja dan mencoba santai. Saya tidak berpikir Anda dalam mood yang tepat untuk membicarakan semua permasalahan Anda. Namun saya sangat ingin menolong Anda. Jadi, mari kita jadwalkan kembali pertemuan kita untuk minggu ini. Bagaimana menurut Anda?”
Aku berjalan kembali ke mejaku dan mengambil kartu nama. Mulutnya masih gemetar dan tampaknya ia sebentar lagi akan menjadi tumpukan lendir yang menjerit gila-gilaan. Namun ia justru tampak lebih tenang dan mengangguk, kemudian mengambil kartu namaku dengan jari2 yang masih mengenggam tisu2 yang lengket dan basah.
“Te ... terima kasih ...” ia berkata. Aku hampir tak bisa membaca wajahnya. Seluruh mukanya tampak merah, bengkak, dan basah sehingga ia hampir tanpa ekspresi.
“Apa Anda mau saya menemani Anda hingga ke lobi?” tanyaku, “Untuk berjaga-jaga seandainya lift macet lagi. Namun menurut saya, seharusnya lift-nya baik-baik saja sekarang. Anda tak perlu takut.”
Ia menggeleng, “Itu ... sepertinya bukan ide ... yang bagus ...”
“Oke.”
Dan dengan itu, ia berpaling dan keluar dari kantorku dengan langkah lamban dan malas. Bersamanya, tas hitam dengan isinya bergoyang-goyang mengikuti langkahnya, membawa pergi segala aroma busuk, jorok, dan tak mengenakkan dari dalamnya. Aku menghela napas dengan lega ketika ia menutup pintu dan menghilang di baliknya.
Ia tak pernah meneleponku kembali.
Seminggu kemudian, aku sedang minum2 bersama kolegaku di lantai bawah. Kami sedang santai, menikmati beberapa cangkir minuman, dan tiba2 aku teringat padanya.
“Oh, omong2 terima kasih.” kataku.
“Untuk apa?”
“Amelia.”
“Siapa?”
“Amelia. Gangguan pola makan, ingat? Minggu lalu kau mengirimnya kepadaku.”
“Oh ya, aku ingat. Yang terjebak di dalam lift. Bagaimana keadaannya?”
“Ia benar2 seperti kapal menunggu karam. Terisak terus-menerus dan hampir histeris. Aku memintanya menjadwalkan kembali pertemuan kami, namun ia tak pernah menelepon untuk membuat perjanjian.”
“Apa kau sudah berbicara dengan ibunya?”
“Tidak. Aku sama sekali tak mendapatkan informasi sedikitpun darinya. Tapi aku memberikannya kartuku.”
“Bagaimana pendapatmu mengenai dirinya?”
“Ketergantungan pada makanan. Kasus klasik.” jawabku, “Benar2 pemakan lahap. Wajahnya benar2 ...”
“Bukan, bukan ibunya. Maksudku Amelia.”
“Apa?”
“Bagaimana pendapatmu mengenai Amelia?” ulangnya.
“Aku sudah mengatakan padamu apa pendapatku.”
“Amelia, gadis kurus kering berusia 12 tahun itu, kau pikir ia adalah pemakan lahap?”
“Apa, tidak ... itu ...”
Dan tiba2 aku tersadar.
“Apa ibunya bersamanya saat itu?”
“Ya, aku mengirim mereka berdua kepadamu.”
“Dan mereka berdua terjebak di dalam lift bersama-sama?”
Ia menatapku dan mimik wajahnya langsung berubah.
Tak perlu kukatakan lagi, aku tak pernah lagi bertemu lagi dengannya. Amelia D-sesuatu. Atau ibunya, wanita penderita obesitas yang tak bernama yang kutemui di luar lift pada hari itu. Wanita yang beraroma seperti kematian, tertutup oleh yang kupikir saus merah, dan membawa tas sampah berisi sisa-sisa makanan.
Penulis: William Dalphin

Creepypasta ini bercerita tentang seorang psikiater yang mendapatkan pasien dengan gangguan pola makan. Sang pasien ternyata terjebak di dalam lift di dalam perjalanannya menemui sang psikiater. Apa yang terjadi selanjutnya akan membuat kalian shock. Pribadi, kurasa ini cerita paling menakutkan di list ini.
Sebagai seorang dokter ahli jiwa, aku terikat dengan kerahasiaan antaraa dokter-pasien dan tidak diperkenankan memberitahukan pada siapapun mengenai kondisi pasien2ku. Namun kali ini, aku merasa perlu untuk menceritakannya. Cerita ini, tanpa perlu kuragukan lagi, adalah pengalaman paling menakutkan yang pernah kualami sepanjang praktekku sebagai psikiater.
Kisah ini terjadi tahun 2009 dan jadwalku saat itu sedang longgar. Aku sedang menghabiskan makan siangku kettika aku mendapat telepon dari kolegaku yang membuka praktek di gedung yang sama denganku. Kadang kala kami memang sering mengirimkan pasien satu sama lain apabila salah satu dari kami sedang sibuk.
“Hei, apa kau sedang sibuk? Aku ingin mengirim seseorang kepadamu.” katanya.
“Tidak kok. Bagaimana detail pasiennya?”
“Gangguan pola makan. Ibunya sangat khawatir sehingga mengirimnya kepadaku.”
Gangguan pola makan. Hmm ... itu kasus yang tidak terlalu menyenangkan. Sebenarnya aku pernah memiliki pasien penderita bullimia yang muntah di kantorku selama terapi. Aku melirik jadwalku sejenak. Yah, kurasa aku bisa menerimanya.
“Oke, kirim dia!”
“Thanks. Aku kirim dia sekarang.”
Aku mencoba merapikan mejaku dan menunggunya. Setelah 10 menit menanti, aku mulai tak sabar dan keluar untuk mencarinya. Ketika aku sampai di lorong, kulihat ada kerumunan orang berdiri di depan elevator. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain, seperti mendiskusikan sesuatu.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Lift-nya macet.” jawab salah satu dari mereka.
Sial, pasti dia terjebak di dalamnya.
“Di lantai berapa?”
“Di antara lantai 10 dan 11.”
Yup, pasti ia ada di dalamnya. Kantor rekanku itu berada di lantai 10, sekitar 3 lantai dari sini. Menurut pengalamanku, bisa sejam hingga operator bisa memperbaiki lift ini. Aku harap dia tidak klaustrofobia. Kembali ke kantorku, aku lalu menelepon rekanku.
“Bagaimana?’ jawab kolegaku di dalam telepon.
“Ia terjebak di dalam lift.”
“Benarkah? Gadis yang malang” ia tertawa.
“Siapa namanya?”
“Amelia,” ia mencoba mengingat, “Amelia D-sesuatu ...”
“Oke, thanks. Bagaimana jika kita minum sehabis pulang kerja, lalu kita bisa bertukar opini mengenai kasusnya.”
“Oke, dia itu ...”
“Eits, jangan katakan dulu. Aku ingin membentuk opiniku sendiri tanpa ada pengaruh darimu, oke?”
“Oke.”
Ternyata benar dugaanku, baru sejam kemudian, aku mendengar sorakan dari ujung lorong. Itu tanda lift itu akhirnya bekerja kembali.
Aku harus memastikan ia baik-baik saja. Kemudian aku kembali bergabung dengan kerumunan orang2 di depan lift.
Ada lebih banyak orang ketimbang tadi sehingga aku tak bisa melihat pintu lift dari balik punggung mereka. Namun aku mendengar suara berdenting yang menandakan lift itu berhenti di lantai kami dan suara bergeser ketika lift itu membuka.
“Holy shit!” seseorang langsung berteriak.
Orang-orang mulai menjauh dari depan lift. Aku mencoba maju mendesak tubuh orang2 di depanku karena ingin melihat apa yang ada di dalam lift. Begitu aku mendekat, aku mulai mencium bau ini. Baunya seperti membuka kamar apartemen dan seseorang yang belum mandi selama bertahun-tahun keluar. Bau itu mengalir keluar dari dalam lift dan membanjiri sepanjang lorong. Seorang pemuda berpakaian jas langsung menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan. Akhirnya aku bisa melihat dengan jelas apa yang membuat reaksi orang2 seperti itu.
Wanita di dalam lift itu sama sekali tak seperti yang aku bayangkan. Ia mengalami obesitas yang sangat parah, ia terlihat berbobot sekitar 200 kg. Wajahnya benar2 tambun hingga matanya hampir2 tak terlihat, hanya tampak seperti dua titik hitam di atas pipinya. Ia memiliki rambut cokelat yang keriting.
Mulutnya tertutup oleh sesuatu yang tampak seperti saus barbekyu yang penuh minyak. Bahkan masih ada sisa tulang di sudut mulutnya. Ia menggerakkan tangan gemuknya untuk membersihkan serpihan di bajunya, sisa makanan. Ia terlihat seperti habis dari bufet all-you-can-eat dengan berbagai menu daging. Terpegang erat di salah satu tangannya adalah sebuah tas plastik hitam besar, seperti sebuah plastik sampah. Ketika ia menggerakkannya, apapun yang ia simpan di dalamnya tampak teraduk-aduk. Bau busuk itu rupanya tak keluar dari badan wanita itu, melainkan dari dalam plastik sampah itu.
Wanita itu berjalan keluar dari lift. Mata dan hidungnya penuh dengan air mata dan lendir yang terus mengalir. Aku justru maju ketika orang2 lain mundur karena ketakutan.
“Amelia?” aku bertanya kepadanya.
Ia menatapku dengan matanya yang kecil bak manik2. Pipinya belepotan dengan noda sampah merah yang bercampur dengan air mata. Ia mulai membuka mulutnya dan aku sempat berpikir bahwa ia akan memuntahkan seluruh barbekyu yang ia lahap ke arahku.
“A ... aku tadi lapar ...” ia berkata dengan aksen Selatan yang tergagap.
Pria berpakaian jas tadi bergidik karena bau napas wanita itu dan segera melangkah pergi.
“Tidak apa-apa,” aku mencoba meraihnya untuk menolongnya, “Apa kau ingin membicarakannya di kantorku?”
Melihatku mencoba meraihnya, ia mengenggam lebih erat tas plastik hitam besar dan memeluknya di depan dadanya. Isinya menimbulkan suara yang membuatku muak. Aku bisa merasakan makan siangku tadi naik ke belakang tenggorokanku.
“Apa itu milikmu?’ tanyaku, “Aku takkan mengambilnya.”
Ia mulai menangis. Suara cukup membuatku ngeri, seperti suara babi mengikik. Jujur, aku tak mau menyentuhnya. Aku ingin kembali ke kantor, mengunci pintuku, dan berpura2 tak pernah menerima pasien sepertinya. Bau dan tumpahan apapun yang ada di dalam tasnya bisa mengendap di dalam kantorku selama berminggu-minggu. Namun tetap saja, ia adalah manusia dan ia membutuhkan bantuanku. Aku tak bisa begitu saja memalingkan muka.
“Kantorku tak jauh dari sini. Mengapa kau tak ikut denganku ke sana?” aku mulai berjalan. Di benakku, jika saja ia tak mengikutiku, malah bagus. Ia bisa kembali ke apartemennya yang kemungkinan besar penuh dengan kecoa dan feses dan siapa tahu kotoran2 memuakkan lainnya, dan aku akan mencari pasien lain.
Namun ia mengikutiku, dengan langkah tertatih-tatih. Aku membuka pintu untuknya dan ia masuk dengan lemak pada tubuhnya bergoyang2. Ia masih memegang kantong sampahnya dengan jari belepotan saus barbekyu sambil sesekali bersendawa. Ia kemudian hanya berhenti di tengah ruangan kantorku.
“Lift ... litnya tadi macet ...” ia bergumam.
“Ya, saya tahu. Saya ikut prihatin. Saya harap anda baik-baik saja. Tapi untung saja anda membawa sesuatu untuk dimakan, bukan?”
Ia mulai menangis lagi, sambil meremas kantong sampahnya, yang aku takutkan akan meledak dan menumpahkan seluruh isinya yang entah-hanya-Tuhan-yang–tahu ke atas karpetku. Ia mengangguk ketika wajahnya memerah dan air mata mengalir deras seakan keluar dari tiap pori2 wajahnya.
Aku kemudian mengambilkannya tisu dan ia mengambilnya, tetap sambil mengenggam erat tas sampahnya, seakan takut aku akan mencurinya.
“Apa anda ingin saya untuk memeganginya sebentar?” tanyaku sambil berdoa dalam hati agar ia mengatakan tidak.
Ia menggeleng. Syukurlah.
“Apa yang ada di dalam sana?” aku menunjuk ke kantong plastik besar yang dipegangnya.
Ia gusar dan mendengus, mencoba menyedot kembali semua cairan kembali ke dalam wajahnya. Dengan menggunakan satu tisu, ia menyapu seluruh wajahnya, hingga meratakan noda merah di mulutnya ke penjuru wajahnya.
“Sisa ... sisa makanan ...” ia menjawab dengan terbata-bata. Dadanya tampak naik turun dan ia mulai terisak kembali. Wajahnya kini serupa dengan air mancur. Aku mulai merasa kasihan padanya. Ia tampak sangat menderita.
“Lihat,” kataku, “terjebak di dalam lift sungguh adalah sebuah pengalaman traumatis.”
Isakannya mulai terdengar melengking.
“Jadi kenapa kita tidak tunda saja pertemuan kita sampai Anda merasa tenang.”
Ia berusaha menjawab di tengah isakannya, “An ... Anda ingin bertemu saya?”
“Ya, hanya bukan hari ini. Mengapa Anda tidak pulang dulu saja dan mencoba santai. Saya tidak berpikir Anda dalam mood yang tepat untuk membicarakan semua permasalahan Anda. Namun saya sangat ingin menolong Anda. Jadi, mari kita jadwalkan kembali pertemuan kita untuk minggu ini. Bagaimana menurut Anda?”
Aku berjalan kembali ke mejaku dan mengambil kartu nama. Mulutnya masih gemetar dan tampaknya ia sebentar lagi akan menjadi tumpukan lendir yang menjerit gila-gilaan. Namun ia justru tampak lebih tenang dan mengangguk, kemudian mengambil kartu namaku dengan jari2 yang masih mengenggam tisu2 yang lengket dan basah.
“Te ... terima kasih ...” ia berkata. Aku hampir tak bisa membaca wajahnya. Seluruh mukanya tampak merah, bengkak, dan basah sehingga ia hampir tanpa ekspresi.
“Apa Anda mau saya menemani Anda hingga ke lobi?” tanyaku, “Untuk berjaga-jaga seandainya lift macet lagi. Namun menurut saya, seharusnya lift-nya baik-baik saja sekarang. Anda tak perlu takut.”
Ia menggeleng, “Itu ... sepertinya bukan ide ... yang bagus ...”
“Oke.”
Dan dengan itu, ia berpaling dan keluar dari kantorku dengan langkah lamban dan malas. Bersamanya, tas hitam dengan isinya bergoyang-goyang mengikuti langkahnya, membawa pergi segala aroma busuk, jorok, dan tak mengenakkan dari dalamnya. Aku menghela napas dengan lega ketika ia menutup pintu dan menghilang di baliknya.
Ia tak pernah meneleponku kembali.
Seminggu kemudian, aku sedang minum2 bersama kolegaku di lantai bawah. Kami sedang santai, menikmati beberapa cangkir minuman, dan tiba2 aku teringat padanya.
“Oh, omong2 terima kasih.” kataku.
“Untuk apa?”
“Amelia.”
“Siapa?”
“Amelia. Gangguan pola makan, ingat? Minggu lalu kau mengirimnya kepadaku.”
“Oh ya, aku ingat. Yang terjebak di dalam lift. Bagaimana keadaannya?”
“Ia benar2 seperti kapal menunggu karam. Terisak terus-menerus dan hampir histeris. Aku memintanya menjadwalkan kembali pertemuan kami, namun ia tak pernah menelepon untuk membuat perjanjian.”
“Apa kau sudah berbicara dengan ibunya?”
“Tidak. Aku sama sekali tak mendapatkan informasi sedikitpun darinya. Tapi aku memberikannya kartuku.”
“Bagaimana pendapatmu mengenai dirinya?”
“Ketergantungan pada makanan. Kasus klasik.” jawabku, “Benar2 pemakan lahap. Wajahnya benar2 ...”
“Bukan, bukan ibunya. Maksudku Amelia.”
“Apa?”
“Bagaimana pendapatmu mengenai Amelia?” ulangnya.
“Aku sudah mengatakan padamu apa pendapatku.”
“Amelia, gadis kurus kering berusia 12 tahun itu, kau pikir ia adalah pemakan lahap?”
“Apa, tidak ... itu ...”
Dan tiba2 aku tersadar.
“Apa ibunya bersamanya saat itu?”
“Ya, aku mengirim mereka berdua kepadamu.”
“Dan mereka berdua terjebak di dalam lift bersama-sama?”
Ia menatapku dan mimik wajahnya langsung berubah.
Tak perlu kukatakan lagi, aku tak pernah lagi bertemu lagi dengannya. Amelia D-sesuatu. Atau ibunya, wanita penderita obesitas yang tak bernama yang kutemui di luar lift pada hari itu. Wanita yang beraroma seperti kematian, tertutup oleh yang kupikir saus merah, dan membawa tas sampah berisi sisa-sisa makanan.
URBAN LEGEND #3: KEYHOLE
Spoiler for Cerita:
“KEYHOLE”
‘”LUBANG KUNCI”

Seorang pria datang ke sebuah hotel. Ketika check in, sang resepsionis memperingatkannya,
“Tolong jangan masuk ke kamar yang tak ada nomornya.”
Pria itu mengangguk dan segera mencari kamarnya yang bernomor 10. Saat itulah, ia melihat sebuah kamar tanpa nomor yang tadi dikatakan sang resepsionis. Karena penasaran, ia mengintip melalui lubang kunci untuk melihat apa isinya.
Ia hanya melihat seorang wanita tua berwajah pucat sedang duduk di tengah ruangan. Aneh sekali, seakan-akan seluruh kulit tubuh wanita itu berwarna putih, tidak seperti kulit manusia kebanyakan.
Tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan menatapnya.
Karena ketakutan, iapun segera lari ke kamarnya.
Malamnya ia tak bisa tidur. Ia masih penasaran mengapa resepsionis itu memperingatkannya untuk menjauhi kamar itu. Dan mengapa pula kamar itu tidak diberi nomor?
Saking penasarannya, saat itu juga ia bangkit dari tempat tidurnya, mengendap-ngendap di lorong hotel, dan mengintip kamar itu sekali lagi melalui lubang kunci.
Namun yang ia lihat hanyalah warna merah.
Pria itu berpikir, mungkin wanita itu merasa terganggu karena ia tadi mengintipnya dan memutuskan untuk menutup lubang kunci dengan sesuatu yang berwarna merah.
Pria itupun kembali ke kamarnya untuk tidur.
Keesokan harinya saat akan check out, pria itu menanyakan mengapa kamar yang ia lihat kemarin tidak diberi nomor.
Resepsionis itupun bercerita dengan wajah sedih.
“Dahulu ada sepasang suami istri yang menginap di kamar itu. Suatu hari mereka bertengkar dan sang suami membunuh istrinya itu. Sejak kejadian itu, kami tak berani menyewakan kamar itu, jadi kami mencopot nomornya dan membiarkannya kosong.”
Pria itu pergi dan tertawa. Ia sama sekali tak percaya dengan cerita hantu. Yang ia lihat kemarin jelas-jelas manusia dan bukan hantu.
“Oya,” sang respsionis berkata ketika pria itu hampir sampai di ambang pintu.
“Wanita itu tidak seperti manusia kebanyakan. Ia menderita kelainan genetik sehingga seluruh kulit tubuhnya putih.”
Langkah pria itu terhenti.
Sang resepsionis mengakhiri ceritanya.
“Dan matanya merah.”
THE END
‘”LUBANG KUNCI”

Seorang pria datang ke sebuah hotel. Ketika check in, sang resepsionis memperingatkannya,
“Tolong jangan masuk ke kamar yang tak ada nomornya.”
Pria itu mengangguk dan segera mencari kamarnya yang bernomor 10. Saat itulah, ia melihat sebuah kamar tanpa nomor yang tadi dikatakan sang resepsionis. Karena penasaran, ia mengintip melalui lubang kunci untuk melihat apa isinya.
Ia hanya melihat seorang wanita tua berwajah pucat sedang duduk di tengah ruangan. Aneh sekali, seakan-akan seluruh kulit tubuh wanita itu berwarna putih, tidak seperti kulit manusia kebanyakan.
Tiba-tiba saja wanita itu menoleh dan menatapnya.
Karena ketakutan, iapun segera lari ke kamarnya.
Malamnya ia tak bisa tidur. Ia masih penasaran mengapa resepsionis itu memperingatkannya untuk menjauhi kamar itu. Dan mengapa pula kamar itu tidak diberi nomor?
Saking penasarannya, saat itu juga ia bangkit dari tempat tidurnya, mengendap-ngendap di lorong hotel, dan mengintip kamar itu sekali lagi melalui lubang kunci.
Namun yang ia lihat hanyalah warna merah.
Pria itu berpikir, mungkin wanita itu merasa terganggu karena ia tadi mengintipnya dan memutuskan untuk menutup lubang kunci dengan sesuatu yang berwarna merah.
Pria itupun kembali ke kamarnya untuk tidur.
Keesokan harinya saat akan check out, pria itu menanyakan mengapa kamar yang ia lihat kemarin tidak diberi nomor.
Resepsionis itupun bercerita dengan wajah sedih.
“Dahulu ada sepasang suami istri yang menginap di kamar itu. Suatu hari mereka bertengkar dan sang suami membunuh istrinya itu. Sejak kejadian itu, kami tak berani menyewakan kamar itu, jadi kami mencopot nomornya dan membiarkannya kosong.”
Pria itu pergi dan tertawa. Ia sama sekali tak percaya dengan cerita hantu. Yang ia lihat kemarin jelas-jelas manusia dan bukan hantu.
“Oya,” sang respsionis berkata ketika pria itu hampir sampai di ambang pintu.
“Wanita itu tidak seperti manusia kebanyakan. Ia menderita kelainan genetik sehingga seluruh kulit tubuhnya putih.”
Langkah pria itu terhenti.
Sang resepsionis mengakhiri ceritanya.
“Dan matanya merah.”
THE END


andrian990 memberi reputasi
2
24.6K
Kutip
45
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan