Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

appledietAvatar border
TS
applediet
Beda nya 2 orang keturunan Tionghoa ini gan........
Ahok Melejit, Tomy Winata Tiarap
OPINI KOMPASIANA

Sama-sama berdarah keturunan, sama-sama cerdas, sama-sama pemberani, sama-sama berdarah dingin tak takut orang. Bedanya, Tomy Winata bermain cantik di Swasta, sedangkan Ahok bermain lincah di ruang lingkup birokrasi pemerintahan.

Siapa yang tak kenal Tomy Winata, Taipan yang paling disegani di negeri ini. Bahkan seorang Gus Dur pun ketika masih menjabat sebagai Presiden RI pernah memerintahkan untuk menangkap Tomy Winata, akan tetapi keinginannya itu tak pernah tercapai sampai hari ini. Betapa saktinya TW ini.

Pembaca masih ingat kasus “Ada Tomy di Tenabang”? Perseteruan antara TW dengan majalah Tempo lantaran tulisan wartawan Tempo yang mengupas tuntas secara gamblang dan terperinci aksi-aksi keterlibatan TW terkait kepentingan gurita bisnisnya di Tanah Abang, sehingga membuat TW berang. Tomy Winata murka dituding sebagai “Pemulung Besar” di Tanah Abang.

Kantor Tempo pun diserbu ribuan preman Flores dari seantero Jabotabek yang dibayar Tomy Winata pada tahun 2003 lalu (penulis juga pada saat itu ikut kelompoknya Yoseph Mbira dari Kelapa Gading). Tomy Winata memang lebih percaya Preman orang Flores daripada Preman orang Ambon di Jakarta ini, karena nyali mereka paling tinggi dan tak banyak bicara ketika ekseskusi.

Salah satu eksekutor sekaligus tangan kanannya Tomy Winata memukul Bambang Harymurti, Pemred Majalah Tempo, dengan kotak Tissue di meja kantornya sampai keningnya berdarah. Sang eksekutor itu lalu membentak Bambang Harymurti suruh lapor saja Polisi kalau bisa. Jangankan lu, lampu neon di ruangannya Kapolri saja gua yang beli.

TW akhirnya memenangkan kasus itu di Pengadilan dalam perseteruannya dengan Majalah Tempo itu. Sosok dan kiprahnya pun semakin disegani dan ditakuti. Hanya karena beberapa lembar halaman tulisan tentang “Ada Tomy di Tenabang” Majalah Tempo akhirnya harus merogoh kantong membayar ganti rugi sebesar 500 juta Rupiah kepada TW, plus bogem mentah yang dihadiahkan Yoseph Mbira di rahangnya Pamred Majalah Tempo, Bambang Harymurti, sehingga kaca matanya terpental.

Akibatnya, sampai detik ini nyali Tempo pun ciut. Sampai hari ini Tempo sudah tak berani lagi memuat reportase pemberitaan yang miring tentang sepak terjang Tomy Winata dalam berbagai gurita bisnisnya yang melilit negeri ini di segala bidang.

Itu baru sebagian contoh kecil sepak terjang TW, masih banyak rekam jejak TW di negeri ini, salah satu contohnya si Ariel itu. Play Boy cap kodok yang nahas itu terpaksa harus menelan akar kepahitan mendekam di hotel prodeo merasakan dinginnya jeruji besi, akibat terlalu berani meniduri wanita misteriusnya TW.

Pengusaha sekaliber James Riadi, Taipan Lippo Group, saja pernah dibentak TW lantaran masalah hutang piutang Al Azhar rekanannya TW dengan Lippo, sehingga dengan terpaksa hutang piutang berjumlah miliaran rupiah itu, mau tak mau, diputihkan James Riadi daripada urusannya jadi panjang.

TW memang dianggap sebagai Polisinya para Pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa di negeri ini. Ketika ada masalah krusial yang tak mampu mereka tangani, mereka akan mengadu ke TW untuk minta bantuan. Tapi paradigma ini tak berlaku bagi Ahok. Sekalipun mengalir darah Tionghoa ditubuhnya, nasionalismenya Ahok sangat tinggi melebihi para pecundang pribumi.

Kiprah Ahok di rimba belantara Jakarta ini memang luar biasa. Siapapun yang tak satu visi dan misi, ditindak tegas dan dihantam kata-kata berbisa yang sangat menyengat dan mematikan sehingga membuat para rivalnya meratap penuh kertak gigi.

Orang ini tak takut mati. Kecintaannya untuk merubah Jakarta menjadi lebih baik dari sebelumnya memang susah dibendung. Siapapun akan ditabrak dan dilibas, sekalipun dilaporkan ke Polda Metro Jaya, sekalipun dilaporkan ke Komnas HAM, sekalipun disomasi, sekalipun diminta memeriksakan kesehatan jiwanya, Ahok tetap kepala batu mewujudkan impiannya menuju Jakarta baru.

Justru sepak terjang para rivalnya itu semakin mengibarkan nama Ahok, seorang mantan Bupati Belitung keturunan Tionghoa yang menggegerkan Ibukota negara ini dengan sepak terjangnya yang dasyat bagaikan tsunami puting beliung memporak-porandakan kesewenang-wenangan para kaum munafiqun di Jakarta ini.

Beda TW, ya beda Ahok. Ahok tak segan-segan bertindak frontal, tak gentar mengeluarkan kata-kata sadis yang menghujam ulu hati sehingga membuat para rivalnya itu satu per satu tumbang terkaing-kaing rata dengan tanah dan tak mampu bangkit lagi.

Di mata Ahok, para penguasa di Tanah Abang adalah momoknya sarang Aliens, tempat berkumpulnya manusia jadi-jadian dari planet antah berantah, lalu muncul sosok pahlawan kesiangan si Haji Lulung itu bagaikan makhluk dari planet Neptunus yang merasa jumawa karena merasa dirinya itu jagoan Tanah Abang.

Sekalipun menghadapi seorang jago kandang seperti si Haji Lulung itu, Ahok sedikitpun tak pernah gentar. Ia justru menanggapi pendekar jago kandang itu dengan darah dingin karena Ahok paham betul mana ada Pendekar yang cuma jago kandang bisa menang melawan negara. Sikap Ahok Ini membuat si Haji Lulung itu meradang dan terbakar emosinya sampai ke ubun-ubun.

Ini karakter baja Ahok, bukan karena dibelakangnya ada Prabowo yang sudah siap sedia pasang badan, bukan karena dibelakangnya ada Kopassus yang siap menghabisi para penguasa Tanah Abang dengan AK-47 bilamana coba-coba bermain anarkis sehingga merusak sendi-sendi sistem pemerintahan, tapi memang Ahok orangnya ya begitu itu, tak mau tahu “menginjak batang lehernya” para golongan kaum munafiqun pemegang kunci kerajaan Sorga yang semena-mena di Jakarta ini.

Nyalinya Ahok sudah teruji. Sekuat beton. Sekeras baja. Karakternya tahan banting berhadapan dengan orang-orang culas berhati srigala yang sok kritis harus begini dan harus begitu. Para golongan munafiqun di Jakarta ini punya kebiasaan busuk melontarkan kritik membabi buta, akan tetapi ketika disentil Ahok sedikit saja, lantas tersinggung dan menabuh genderang perang bertalu-talu.

Kiprah Ahok di Jakarta ini bikin orang-orang culas bermental keparat ketar-ketir khawatir kena libas. Sekali Ahok menyerah berhadapan dengan orang sakit jiwa macam si Haji Lulung itu, bakal akan muncul lagi manusia-manusia frustasi Pemburu Ahok (Ahok Bounty Hunter) lainnya yang membuat Jakarta ini panas membara dengan perang mulut dan limbah opini.

Ahok ya tetap Ahok. Pejabat bernyali yang tak mempan intimidasi dan perang urat saraf murahan. Jarang-jarang ada Pejabat di negeri ini seperti Ahok yang sebegitu hebohnya digunjingkan hari lepas hari, tak peduli apakah gunjingan-gunjingan itu bernada menghujat ataukah gunjingan-gunjingan itu bernada memuji.

Beda dengan TW yang seringkali menerapkan strategi pencitraan tiarap dibalik layar dengan mengerahkan para eksekutornya yang bermain licik dilapangan ketika ada kasus yang menimpa dirinya, Ahok ini lebih frontal. Yang sembarangan ikut mau-maunya di Jakarta ini akan “ditikam” Ahok dengan kata-kata tajam bagaikan pisau belati yang menusuk jantung sampai tembus ke punggung, tanpa pandang bulu siapapun dalangnya yang coba-coba memainkan sandiwara hypocrisy dari balik layar.

Sekalipun kantornya diseruduk orang-orang bayarannya si jago kandang Haji Lulung itu, akan tetapi Ahok ini tak takut mati. Ahok paham betul bahwa para makhluk jadi-jadian itu adalah sekumpulan banci kaleng pengecut yang bernyali kerdil dan menang gertak saja. Ahok pun lalu mengisi peluru sampai penuh dan menginstruksikan Damkar DKI menyiapkan bensin untuk membantai para preman kumal itu jika menyentuh dirinya.

Sejatinya Institusi Kepolisian harusnya malu, tak perlu menunggu Ahok turun gunung dulu menghajar si Haji Lulung itu, baru Polri menerjunkan Petugas Pemburu Preman merazia para preman compang-camping yang luntang lantung di Tanah Abang. Memang susah tipikal Institusi yang sudah lama dipasung Rezim Orba. Jadinya ya begitu itu, selalu muncul belakangan.

TW maupun si Haji Lulung ini adalah tipikal “Anak Harto”, bagian dari kelompok “cognoscenti”, yaitu orang-orang yang mondar mandir di pusat-pusat kekuasaan ibukota. Tipikal “anak Harto” yang begini ini cepat berganti rupa bagaikan bunglon, dan cepat menyabet kesempatan, seperti yang dijabarkan oleh Budiarto Shambazy di kolom politik koran Kompas.

Ahok tak akan mungkin jadi seorang Pejabat negara yang tangguh kalau jalannya terus lurus tanpa berliku. Sehebat apapun TW yang kesannya tiarap saat ini, aku lebih menaruh apresiasi yang tinggi terhadap sepak terjang sosok seorang Ahok di dunia persilatan rimba belantara ibukota Metropolitan ini. Karena Ahok maju tak gentar membela yang teraniaya, bukan maju tak gentar membela yang bayar.

Ada yang berani bantah?
0
11.9K
70
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan