Kaskus

News

kalsiddonAvatar border
TS
kalsiddon
Penunjukan Ignasius Jonan Menyalahi Visi dan Misi Jokowi?
Penunjukan Ignasius Jonan Menyalahi Visi dan Misi Jokowi?
Monday, 27 October 2014, 22:08 WIB

Penunjukan Ignasius Jonan Menyalahi Visi dan Misi Jokowi?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penunjukan mantan Direktur Utama PT KAI Ignasius Jonan menjadi Menteri Perhubungan (Menhub) menuai kritik sejumlah kalangan. Keputusan tersebut dinilai tidak sejalan dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo semasa kampanye dulu.

Peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menuturkan, selama mengelola PT KAI, Jonan kerap melakukan kebijakan yang tidak prorakyat kecil. Salah satunya adalah dengan mengusur ribuan pedagang kaki lima yang mencari nafkah di lingkungan stasiun kereta.

"Sementara di satu sisi, Ignasius Jonan justru memberi ruang istimewa kepada para pemodal besar yang menggeluti bisnis ritel untuk membuka usaha mereka di stasiun-stasiun," kecam Palupi saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Senin (27/10).

Menurutnya, rekam jejak Jonan yang dinilai jauh dari prinsip keadilan tersebut bakal menjadi masalah bagi misi Trisakti yang sering didengung-dengungkan Jokowi saat berkampanye dulu. Salah satunya yaitu mewujudkan kedaulatan ekonomi.

"Bagaimana mungkin berdaulat secara ekonomi tanpa keterlibatan rakyat kecil? Saya tak bisa membayangkan jika nantinya ribuan pedagang yang ada di pelabuhan dan terminal-terminal digusur, kemudian digantikan oleh para pemodal besar," ujar Palupi.

Tak hanya Jonan, penunjukan Amran Sulaiman sebagai Menteri Pertanian juga disesalkan Palupi. Pasalnya, rekam jejak Amran sebagai pebisnis yang bergerak di bidang pertanian bakalan berpotensi menimbulkan konflik.

"Ketika yang menjadi menteri pertanian adalah pebisnis yang terkait dengan pengambilan lahan-lahan petani, bagaimana mungkin perspektif kedaulatan ekonomi bisa dijalankan?" kata Palupi mempertanyakan.

http://nasional.republika.co.id/beri...an-misi-jokowi

===========================

Imparsial: 11 Menteri Jokowi Integritasnya Bermasalah
Monday, 27 October 2014, 18:57 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komposisi Kabinet Kerja Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) diragukan dapat mewujudkan visi dan misi pemerintah ke depan. Hal ini dikarenakan tidak sedikit menteri yang ditunjuk memiliki masalah dengan integritas dan kapasitasnya.

Peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menuturkan, meskipun Jokowi telah menyeleksi para pejabat menteri yang direkrutnya lewat KPK dan PPATK, namun ternyata masih ada orang-orang tidak lolos alias punya catatan merah yang tetap dijadikan menteri oleh Jokowi.

"Saya melihat, sedikitnya ada 11 menteri di Kabinet Kerja yang punya masalah dengan integritasnya," kata Palupi di Jakarta, Senin (27/10).

Menurut Palupi, masalah integritas yang dilihat pada sebelas orang tersebut bukan hanya menyangkut masalah korupsi. Melainkan, persoalan moralitas dan keterkaitan mereka dengan mafia.

Kendati demikian, Palupi enggan menjabarkan secara rinci siapa saja kesebelas menteri itu. "Saya berharap Jokowi segera menyadarinya setelah telanjur memilih orang-orang tersebut," ujarnya.

Selain soal integritas, beberapa menteri yang dipilih Jokowi juga dinilai memiliki masalah dengan kapasitasnya. Sebagai contoh, ia menyebut Siti Nurbaya yang ditunjuk menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurut Palupi, latar belakang perempuan yang pernah menduduki posisi kunci di Kementerian Dalam Negeri itu tidak 'nyambung' dengan tugas yang diembannya saat ini.

http://nasional.republika.co.id/beri...nya-bermasalah

===================

Aktifitas pro rakyat yang dilakoni sri palupi

Sri Palupi: Riset dan Pendidikan Sosial Ekonomi
Rabu, 8 Februari 2012 14:14 WIB

HIDUPKATOLIK.com - Rasa gelisah melihat masalah kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan mendorong Sri Palupi melakukan riset. Bagi dia, riset adalah bahasa kebenaran.

Malam itu, Palupi mengenakan kaos hitam lengan pendek yang dipadu dengan jeans warna biru. Wajahnya tampak bersih, dengan ramah menemui HIDUP di kantornya Jl Tebet Timur Dalam VI-C/17, Jakarta Selatan, Senin, 21/11. Di tempat inilah Palupi dan rekan-rekan kerjanya berdiskusi mengenai persoalan hak asasi manusia (HAM). “Di tempat ini kita mengurai yang tersembunyi supaya menjadi tampak,” kata perempuan berusia 45 tahun ini.

Sebelum menjadi direktur eksekutif Ecosoc, Palupi adalah aktivis di Institut Sosial Jakarta (ISJ) selama enam tahun. Berdasarkan pengalamannya di ISJ, ia melihat ada yang lowong, yakni bidang riset. Lalu, ia mendiskuiskan hal ini secara serius bersama Dr B. Herry Priono SJ dan Dr Karlina Supelli. Akhirnya, pada 2003, ia mendirikan “The Institute for Ecosoc Rights”.

Lembaga ini lebih menaruh konsentrasi di bidang riset dan pendidikan, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya kelompok marginal. Pendidikan meliputi pelatihan dasar HAM, analisis APBD, investigasi, dan advokasi.

Mengapa Ecosoc memilih isu ini? “Selama ini orang kalau bicara soal HAM targetnya adalah hak sipil dan politik. Sedangkan hak ekonomi, sosial, dan budaya belum digarap secara optimal,” tukas Palupi.

Bukti hasil riset

Mengenai permasalahan buruh migran, pada 2005, Palupi melakukan riset terkait banyaknya kasus bunuh diri Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Singapura. Dari hasil penelitian Ecosoc, ditemukan bahwa TKI di Singapura tidak diberi hari libur kerja, sementara mereka harus bekerja 16 jam per hari. Selain itu, mereka mengalami kekerasan fisik dan tekanan psikologis. Misalnya, tidak boleh berkomunikasi dengan pihak luar, bekerja hanya di dalam rumah, dan tidak boleh beribadah. Situasi ini dapat mengondisikan seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. “Kalau mau bunuh diri gampang, tinggal lompat saja dari apartemen,” kata Palupi.

Hasil penelitian ini dipublikasikan melalui the Jakarta Post. Ternyata publikasi ini langsung mendapat reaksi dari jurnalis Singapura. Ketika para jurnalis dari negeri Singa itu menghubunginya, Palupi berkata, “Kalau Anda ingin minta penjelasan, silakan undang saya untuk bicara di Singapura.” Akhirnya, Palupi pun diundang. Ia memberikan presentasi di National University of Singapore. Setelah mendengarkan ceramah dari hasil risetnya, seorang warga Singapura, seperti dikutip Palupi, mengungkapkan, “Ternyata masyarakat kita sakit.”

Selain itu, pada 2006, Ecosoc melakukan kajian tentang masalah gizi buruk dan busung lapar yang sering terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Riset tahap pertama berlangsung di empat kabupaten, yakni Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, dan Kota Kupang.

Palupi menemukan bahwa penyebab busung lapar berasal rumah tangga, dipicu oleh kondisi ekonomi, asupan gizi yang tidak sesuai standar, dan minimnya tingkat pengetahuan masyarakat. Selanjutnya, gizi buruk ini lebih disebabkan pergeseran nilai-nilai adat dan praktik hidup yang selalu mengutamakan kebersamaan. Lalu, Palupi mengatakan, penyebab gizi buruk atau busung lapar terjadi pada level kebijakan publik. Hal ini dianggap menarik karena beragam bencana disikapi dengan politik bantuan. Dan ini rentan terhadap korupsi.

Demokrasi uang

Palupi dengan terbuka mengkritik apa yang disebut Presiden SBY sebagai demokrasi, yakni merespons aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat, namun pada praktiknya tunduk pada kepentingan pejabat, pengusaha, dan elit politik. Demokrasi tak lebih sebagai alat untuk menjarah aset ekonomi dan anggaran negara.

Menurutnya, dalam sistem demokrasi seperti ini, pemerintah mudah mengeluarkan ratusan triliun rupiah untuk mensubsidi korporasi dan perbankan yang bangkrut, tetapi merasa terbebani oleh subsidi bagi rakyat kecil meski nilainya jauh lebih kecil daripada subsidi korporasi. Hal ini berdampak kesenjangan sosial di era pemerintahan SBY semakin merisaukan.

Palupi melanjutkan, sistem pemerintahan yang korup dengan kebijakan bias kalangan atas telah melahirkan banyak orang kaya baru di pusat dan daerah. Mereka suka dengan berbagai hal yang berbau luar negeri. Salah satunya tampak dari maraknya bangunan berciri internasional dan hilangnya karakter lokal di berbagai kota di Indonesia.

Contoh nyata, Palupi merujuk pada bangunan kawasan Singapore of Surabaya di Surabaya yang lengkap dengan rumah-rumah banglo berpagar tinggi dengan ikon patung singa putih. Hal serupa pun dapat ditemukan di kota-kota lain. Bangsa sebesar Indonesia malah memilih bermimpi untuk menjadi seperti Singapura. “Mengapa bangsa sebesar Indonesia tidak bermimpi menjadi Indonesia?” tanya Palupi.

Palupi juga melontarkan kritik pada Gereja. Palupi berasumsi, Gereja hanya memfokuskan diri pada ritual keagamaan saja. Sungguh ironis, daerah yang mayoritas Katolik justru tingkat korupsinya melambung tinggi. Palupi mengatakan, doa perlu disertai aksi, yakni keterbukaan mata pada realitas di sekitar kita.

Baginya, persoalan bangsa harus menjadi persoalan Gereja. Duka Indonesia itu adalah duka Gereja. “Kita tidak boleh memenjarakan Tuhan dalam bangunan gereja,” kata mantan Kepala Pusat Studi Wanita Universitas Soegijapranata Semarang ini.

Palupi mengungkapkan, salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah lemahnya solidaritas. Salah satu indikasinya yaitu di saat warga miskin kesulitan memenuhi kebutuhan makan dan tidak sedikit anak yang kehilangan nyawa karena gizi buruk, konsumsi mobil mewah dan penggunaan kartu kredit untuk belanja dan plesiran justru meningkat tajam.

Berharap pada komunitas

Palupi berbagi harapan bahwa masih banyak warga yang terus bekerja menggalang solidaritas dan memperjuangkan agar Indonesia tidak menjadi mitos. Saat ini muncul berbagai inisiatif dalam bentuk komunitas-komunitas lokal untuk membangun kembali solidaritas dan kepercayaan diri sebagai bangsa.

Di kalangan petani, muncul berbagai inisiatif untuk meningkatkan kepercayaan diri petani yang terus mendapatkan tekanan oleh maraknya produk impor. Bahkan ada petani yang meskipun tidak lulus SD memiliki kepercayaan diri untuk melakukan berbagai uji coba, sehingga berhasil mengembangkan benih unggul dari varietas lokal.

Di Papua, di mana banyak SD ditelantarkan, muncul berbagai inisiatif untuk menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar. “Bahkan ada kelompok guru SD yang rela memotong gajinya sendiri untuk membayar guru honorer,” kata Palupi, yang juga inisiator Gerakan Peduli Guru dan Sekolah Dasar di Pedalaman.

Palupi merefleksikan bahwa di tengah raibnya rasa malu di kalangan pejabat dan elit politik, tetap masih ada secercah harapan yang ditularkan warga yang terus bekerja menggalang solidaritas. Inisiatif itu justru datang dari komunitas-komunitas lokal.

A. Benny Sabdo - See more at: http://www.hidupkatolik.com/2012/02/....XHnxJL0F.dpuf

==================================

komentar TS : Terkadang kegagalan untuk menyelesaikan apa yang sudah kita janjikan , bukan dikarenakan kapasitas kita yang tidak mumpuni dalam menunaikan semua janji janji yang telah kita ucapkan , tapi ada faktor eksternal yang membuat kita tidak kuasa untuk menyelesaikan janji janji emoticon-Smilie

0
6.1K
62
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan