presalesAvatar border
TS
presales
Nasi Kering seharga Enam Ribu

Di sebuah pojok kota, aku mendatangi penjual intip (nasi kering) yang sudah renta

"Intip menika reginipun pinten, mbah?" (berapa harga intip ini, bu?) , tanyaku
"Enem ewu, ndara." (Enam ribu, tuan)

"Kulo, tumbas setunggal mawon nggih, pareng mbah?" (saya beli satu saja, boleh kan?)

Si embah sepuh itu terkekeh sebelum kemudian menjawab,
"lho, ... lha nggih pikantuk to, ndara... lha wong nyuwun mawon, kulo paringke, menapa malih yen ndara tumbas... nggih alhamdulillah."
(lho, ya tentu saja boleh tuan,.. kalaupun misalnya ndara memintapun saya berikan kok, apalagi sampai dibeli... ya alhamdulillah)

Entah bagaimana mulanya, jawaban si mbah putri itu tiba-tiba membikinku 'mbrabak' (air mata mengambang), tercekat.
Lantas sayapun membeli satu bungkus intip goreng manis jualan simbah, dan saya keluarkan selembar uang limapuluhan ribu rupiah.

Si mbah itu memandang uang limapuluhan itu, sejenak kemudian ganti memandangku lebih dari tiga detik, sebelum akhirnya berkata lirih, "artha alit kemawon wonten, ndara?" (uang kecil saja.. ada, tuan?).
Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa ia belum punya kembalian sebanyak itu.

Sayapun tersenyum mengangguk. Saya keluarkan selember uang lima ribuan dan selembar dua ribuan.
Diterimanya uang tujuh ribu itu, kemudian dia mengambil uang selembar ribuan sebagai kembalian, dan disorongke ke saya sambil berkata, "...maturnuwun engast, ndara." (terima kasih banyak, tuan).

Saya mengangguk, "sami-sami, mbah.." (terima kasih kembali, mbah)

Kemudian saya lihat si mbah memasukkan uang dari saya ke dompet plastik warna cokelat, yang gigi resluitingnya pun tampak rompal di beberapa bagian.
Selanjutnya, sayapun mengangsurkan lembaran limapuluh ribu yg tadi tidak jadi saya bayarkan kepada si mbah.

"... mbah, artha menika penjenengan lebetaken pindah dateng dompet mriku." (mbah, uang ini sekalian saja masukkan ke dompet itu)

"lho, wau rak sampun mbayar to ndara" (lhah, khan sudah dibayar, tuan)

sambil tertawa sayapun menjawab, "..pancinipun sampun mbayar wau, ning artha menika kagem panjenengan kemawon, mbah"
(memang sudah saya bayar tadi, tapi uang ini diterima saja buat si mbah)

si mbah kemudian terlihat terkekeh-kekeh gembira

"matur nuwun ndara, matur nuwun... rejekiiii..!" katanya
(terima kasih tuan, terima kasih... duh, rejekii!"

Tiba-tiba, tidak begitu lama kemudian, dia berteriak sambil melambai ke arah seorang perempuan muda lain, yang duduk tak jauh darinya, sesama penjual intip goreng,

" Jaaaahh.... Jaaaahh.... mrenea Jah" (Jaaah... Jaaahh... kesinilah kau Jah)

Yang dipanggilpun bangkit dari duduknya, meninggalkan sejenak barang dagangannya dan mendekat, lantas bertanya,

"ana apa mbah, kok celuk-celuk?" (ada apa mbah, kok manggil-manggil)

dengan riang simbah berkata sambil menyodorkan selembar lima ribuan yang diambilnya dari dompet plastik tadi, ke perempuan muda yang mungkin namanya adalah 'Ijah'.

"iki lho ndhuk... tak wenehi bagian... rejekimu. .. aku entuk rejeki saka ndara iki..." kata simbah tua sambil menunjuk ke diriku
(ini lho, .. aku bagi buat kamu, ...ini rejeki... aku barusan dapat rejeki juga dari tuan ini)

-mak tratap, deeghh-- (jantungku seolah berhenti)

melihat adegan sejenak itu, saya menunduk.. kembali tak terasa air mata mengambang di pelupuk. Saya sampai tak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan perempan yang dipanggil 'Jah' itu saat ikut mengucapkan terima kasih pada saya.

Betapa alangkah luhurnya budi pekerti perempuan tua itu, si mbah itu... budi pekerti yang diwariskan para leluhur kita..

"alangkah luhur..." bisikku dalam hati dan tenggorakan yang tercekat.

Sungguh, jarang kutemui orang yang sanggup berbagi secara spontan sebagai tanda syukur atas apa yang baru saja dia terima..... jarang.


@Timur Sinar Suprabana
*with edited*


sumber: http://goo.gl/dVX1wH
0
8.7K
115
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan