- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Berantem di K*kus, Simbah Meregang Nyawa


TS
DPRD
Berantem di K*kus, Simbah Meregang Nyawa
GARIS kematian seseorang memang sudah ditentukan di luh mahfudz. Tapi matinya Mbah Iromejo, 65, dari Jember (Jatim) ini mengenaskan. Dia tewa di dekat kakus, gara-gara berantem dengan sesama kakek tetangganya, Mijo, 65. “Dia mau jatuh, saya rangkul, kok malah tersinggung,” kata si buruh tani.
Dikotomi sipil dan militer sudah hilang, sejak tumbangnya Orde Baru. Tapi dikotomi priyayi dan buruh, di pedesaan masih kental sekali. Meski tak ada aturan tertulisnya, si buruh kasar harus sangat menghormati priyayi di kampung di mana ia tinggal. Maka jangan heran, masih banyak orang di kampung menyebut orang yang dihormati dengan sebutan “den” atau raden, meski yang bersangkutan bukan trah kraton dan juga tidak pernah mengurus gelar “raden” di kantor Tepas, Kraton Yogya atau Sala.
Mbah Iromejo warga desa Kelurahan Kranjingan, Kecamatan Sumbersari, Jember, merupakan golongan priyayi yang sangat disegani warga. Meski dia tidak punya prestasi menonjol, khususnya bermanfaat bagi penduduk, Mbah Iromejo sangat dielu-elukan warga. Bila ada orang punya gawe misalnya, dia diminta memberi sambutan. Ketika duduk bersama bancakan, posisinya tentu lebih di atas. Nanti berkatnya juga tak dibawa sendiri, ada yang membawakannya sampai tiba di rumah.
Di kampung yang sama ada juga buruh tani yang sudah tua, namanya Wakidi. Dia memang pekerja keras, yang mencari makan hanya mengandalkan tenaganya. Selain buruh nyangkul dan tandur, Wakidi sering pula dimintai tolong orang untuk memetik kelapa, atau bantu-bantu masak air manakala ada orang hajatan. Cuma karena sudah tua, kini dia tak berani lagi panjat pohon kelapa.
Mbah Iromejo dengan Wakidi, karena satu kampung, sudah barang tentu kenal baik. Bahkan Iromejo sering sekali memafaatkan tenaga Wakidi untuk bantu-bantu. Maka meski Mbah Iromejo tak pernah minta, Wakidi sering memanggil namanya Den Iromejo. Dan di sinilah dikotomi priyayi dan buruh itu terasa. Bila ada kerja bakti di kampung, Wakidi selalu tampil di depan, sebaliknya Mbah Iromejo tak pernah datang. Pak Lurah sendiri merasa sungkan untuk menyuruh Mbah Iro.
Ironisnya mbah Iro, meski priyayi dia tak punya WC sendiri di rumah. Seperti warga yang lain, dia setiap BAB (Buang Air Besar) mengandalkan kakus umum di pinggir kali Sumbersalak yang melintasi desanya. Mungkin dia mau tiru-tiru merakyat sebagaimana Presiden Jokowi. Tapi karena status priyayinya tersebut, dia sering dibebaskan dari antrian. Minimal, warga mendulukan Mbah Iromejo ketimbang dirinya.
Beberapa malam lalu, kembali Mbah Iro ke pinggir kali Sumbersalak untuk BAB. Baru saja selesai, sudah hendak masuk si Wakidi si buruh tani. Entah kenapa, mungkin karena sudah tua, saat keluar dari kakus Mbah Iro hampir jatuh. Secara reflek Wakidi merangkul untuk menyelamatkannya, jangan sampai jatuh. “Ngatos-atos Mbah…..” kata Wakidi.
Mungkin karena merasa dirinya priyayi kajen keringan (sangat dihormati), tiba-tiba dirangkul lelaki buruh, harga dirinya tereduksi. Langsung saja tubuh Wakidi ditolaknya. Gantian Wakidi yang jengkel, mau ditolongi kok tidak mau. Makanya dia gantian mendong Mbah Iromejo. Karena dorongannya terlalu kuat, akhirnya Mbah Iromejo terjengkang masuk kali, byurrr. Paling apes, kepalanya membentur batu. Langsung simbah priyayi itu tewas di tempat.
Meski tak sengaja mencelakakan Mbah Iro, tak urung Wakidi jadi urusan Polres Jember. Dalam pemeriksaan dia mengakui, sama sekali tak ada niatan untuk mencelakakan Mbah Iromejo. Maksudnya mau menolong, tapi dia menolak dengan cara kasar. “Lajeng kula jorogake, lha kok nyemplung lepen (lalu saya dorong, eh kok masuk kali),” ujarnya penuh penyesalan.
Lain kali kalau ndorong sambil bilang: nuwun sewu Mbah! (Gunarso TS)
berduka
berdamai lah jangan sampe kejadian seperti simbah terulang.
turut berduka buat yang ditinggalkan

0
1.5K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan