- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
MAAF JAKARTA... TANPA BEKASI KALIAN AKAN KIAMAT SAMPAHH!!!!


TS
rainfour
MAAF JAKARTA... TANPA BEKASI KALIAN AKAN KIAMAT SAMPAHH!!!!
[CENTER]

baca-baca yahoo pagi ini gak sengaja ketemu artikel ini
buat seru2an aja penyeimbang berita #bekasidibully

Spoiler for picture:

Spoiler for OPEN:
Ya, Bekasi boleh jadi bulan-bulanan meme sindiran di media sosial. Tapi ketika Bekasi ngambek, Jakarta pun bertekuk lutut.
Itu terjadi dalam krisis lima hari pada Desember 2001. Bekasi meradang karena tuntutan soal perbaikan Tempat Pembuangan Sampah Akhir Bantargebang dianggap sepi oleh pemerintahan Gubernur Sutiyoso.
Kota Bekasi secara sepihak menutup Bantargebang dan Jakarta pun kelimpungan. Kisah krisis sampah yang bikin Jakarta tak bertahan sampai seminggu itu diceritakan secara detail dan kronologis oleh Ali Anwar, jurnalis sekaligus sejarawan Bekasi dalam buku Konflik Sampah Kota.
Berikut ini nukilan buku yang membahas sejarah pembuangan sampah Ibu Kota ke Bantargebang hingga rupa-rupa permainan yang membuat kondisi TPA itu memburuk:
Kiamat kecil Jakarta itu terjadi pada pertengahan Desember 2001. Sampah di seantero Jakarta bertebaran tak terurus bahkan hingga menggunung di beberapa pasar tradisional.
Ke mana truk sampah? Mereka masih terjebak di antrean menuju Stasiun Peralihan Antara (SPA) di Cakung-Cilincing.
Truk sampah mengular sepanjang 1,5 kilometer di (SPA) Cakung-Cilincing, Jakarta Utara itu memacetkan jalan dan menyebarkan aroma yang membongkar perut. “Sudah dari jam sembilan pagi saya antre buat nurunin sampah di sini, tapi sampai siang tidak bergerak,” kata Yono, supir truk sampah dari Suku Dinas Kebersihan Jakarta Utara
Antrean panjang itu karena truk sampah dari Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur juga bongkar muat di sana. Mereka kewalahan mencari tempat membuang sampah di wilayah masing-masing.
Pada 11 Desember 2001 itu adalah hari kedua Kota Bekasi menutup Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Bantargebang. Atas desakan DPRD Kota Bekasi, Wali Kota Nonon Sonthanie menutup Bantargebang yang selama ini jadi tempat berakhirnya sampah dari Jakarta.
Bekasi menutup karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dianggap tak becus dalam mengelola sistem sanitary landfill. Akibatnya, bau menguar, populasi lalat menggila, pencemaran air pun marak. Warga Bantargebang makin banyak yang terkena sakit kulit dan infeksi saluran pernapasan.
Sejak pukul delapan pagi 10 Desember 2001, Bekasi mencegat semua truk sampah Jakarta yang hendak masuk wilayahnya. Stasiun Peralihan Antara pun lumpuh karena truk “kapsul” tak bisa membawa sampah ke Bekasi.
Gubernur Jakarta, Sutiyoso, menggelar rapat darurat pada 11 Desember 2001 di Balai Kota. Semua lurah dan camat diminta datang membahas sampah yang bakalan jadi masalah besar pada hari Idul Fitri 16 Desember 2011.
“Maklum saja, hari ini kami kebingungan,” kata Bang Yos. “Kalau saya memanggil secara mendadak pasti ada urusan yang sangat penting.”
Sementara Bekasi menutup Bantargebang, Sutiyoso minta suku dinas di lima wilayah Jakarta memanfaatkan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) di wilayah masing-masing. Ada juga tujuh lahan kosong yang juga akan dipakai membuang sampah.
Tapi keesokan harinya, TPS di Jakarta sudah kewalahan menampung sampah. Sempat sampah-sampah itu dibakar, tapi belum habis yang lama, truk sudah datang membawa sampah baru.
Mereka akhirnya mencari lahan buat menampung. TPS Kramat Pela di Jakarta Selatan, misalnya, mencari tempat di Jalan Mujaer, Dharmawangsa tapi pemilik lahan menarik bayaran Rp1200 per truk yang terlalu tinggi.
Kelebihan sampah di TPS Kramat Pela akhirnya dialihkan ke lahan yang dikuasai pemulung di Jagakarsa. Pengelola TPS harus membayar Rp250 ribu per bulan ditambah Rp2500 per truk.
Lahan kosong yang dijanjikan Pemerintah Provinsi seperti di Kedaung, Jakarta Barat, juga diprediksi tak bertahan lama. Rawa seluas tiga hektare itu diperkirakan cuma bisa menampung sampah paling lama tiga bulan.
Camat Pasar Minggu ketika itu, Andi Madusila, bahkan meminta warganya mencari lahan kosong buat. Ia minta mereka menggali tanah dan menimbun sendiri sampah lingkungannya. Namun tak mudah cari lahan kosong di tengah kota.
Ada juga upaya diam-diam mencoba membuang sampah ke Kota Tangerang. Triknya, menyewa truk sembako sehingga tak ketahuan muatannya. Namun begitu mendekati TPA Rawa Kucing, mereka dicegat polisi.
Mereka disuruh balik kanan sambil dikawal petugas Dinas Perhubungan Kota Tangerang. “Kami tidak mau menerima tumbal busuk sampah orang lain,” kata Kasubdit Perhubungan Kota Tangerang Daryanto.
Gara-gara tak ada tempat membuang sampah, truk-truk pengangkut diparkir di depan kantor suku dinas kebersihan. Bahkan ada supir yang membawa pulang truk saking kebingungannya. Sampah menumpuk juga mulai terlihat di depan Balai Kota dan Gedung DPRD DKI Jakarta.
Jakarta pun akhirnya bertekuk lutut menghadapi blokade truk sampah yang dibuat Kota Bekasi.
Sutiyoso mengakui ada aparat pemda DKI yang memanipulasi pengelolaan TPA Bantar Gebang. Ketebalan tanah penutup sampah dikurangi dan obat penyemprot pemunah lalat juga dikorting jumlahnya.
“Kita akui saja kekurangan-kekurangan,” kata Sutiyoso. “Kalau saja Bekasi masih mau kompromi, kita bersedia memperbaiki segala kekurangan itu.”
Pemerintah Pusat akhirnya menengahi dan menyurati Bekasi agar membuka lagi Bantargebang. Pada 15 Desember 2001, Bantargebang dibuka lagi dengan syarat Pemprov DKI Jakarta memenuhi syarat-syarat yang diajukan.
Tuntutan yang mesti dipenuhi Jakarta itu adalah membangun Puskesmas rawat inap di Bantargebang. Jakarta juga diminta membereskan sampah di TPA liar sekitar Bantargebang.
Jam pengiriman sampah ke Bekasi yang sebelumnya sembarangan juga harus diatur menjadi malam hari. Dengan begitu, tetesan lindi di jalan yang baunya menyengat hidung tak lagi mengganggu aktivitas warga di siang hari.
Jakarta juga harus perbaikan sarana pengelolaan lindi di Bantargebang, menyemprot cairan pemusnah lalat lebih sering, dan empat kali sehari menguruk sampah dengan tanah merah. Terakhir, pagar TPA yang dijebol pemulung juga dibangun ulang sehimgga sampah tak tercecer keluar.
Itu terjadi dalam krisis lima hari pada Desember 2001. Bekasi meradang karena tuntutan soal perbaikan Tempat Pembuangan Sampah Akhir Bantargebang dianggap sepi oleh pemerintahan Gubernur Sutiyoso.
Kota Bekasi secara sepihak menutup Bantargebang dan Jakarta pun kelimpungan. Kisah krisis sampah yang bikin Jakarta tak bertahan sampai seminggu itu diceritakan secara detail dan kronologis oleh Ali Anwar, jurnalis sekaligus sejarawan Bekasi dalam buku Konflik Sampah Kota.
Berikut ini nukilan buku yang membahas sejarah pembuangan sampah Ibu Kota ke Bantargebang hingga rupa-rupa permainan yang membuat kondisi TPA itu memburuk:
Kiamat kecil Jakarta itu terjadi pada pertengahan Desember 2001. Sampah di seantero Jakarta bertebaran tak terurus bahkan hingga menggunung di beberapa pasar tradisional.
Ke mana truk sampah? Mereka masih terjebak di antrean menuju Stasiun Peralihan Antara (SPA) di Cakung-Cilincing.
Truk sampah mengular sepanjang 1,5 kilometer di (SPA) Cakung-Cilincing, Jakarta Utara itu memacetkan jalan dan menyebarkan aroma yang membongkar perut. “Sudah dari jam sembilan pagi saya antre buat nurunin sampah di sini, tapi sampai siang tidak bergerak,” kata Yono, supir truk sampah dari Suku Dinas Kebersihan Jakarta Utara
Antrean panjang itu karena truk sampah dari Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur juga bongkar muat di sana. Mereka kewalahan mencari tempat membuang sampah di wilayah masing-masing.
Pada 11 Desember 2001 itu adalah hari kedua Kota Bekasi menutup Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Bantargebang. Atas desakan DPRD Kota Bekasi, Wali Kota Nonon Sonthanie menutup Bantargebang yang selama ini jadi tempat berakhirnya sampah dari Jakarta.
Bekasi menutup karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dianggap tak becus dalam mengelola sistem sanitary landfill. Akibatnya, bau menguar, populasi lalat menggila, pencemaran air pun marak. Warga Bantargebang makin banyak yang terkena sakit kulit dan infeksi saluran pernapasan.
Sejak pukul delapan pagi 10 Desember 2001, Bekasi mencegat semua truk sampah Jakarta yang hendak masuk wilayahnya. Stasiun Peralihan Antara pun lumpuh karena truk “kapsul” tak bisa membawa sampah ke Bekasi.
Gubernur Jakarta, Sutiyoso, menggelar rapat darurat pada 11 Desember 2001 di Balai Kota. Semua lurah dan camat diminta datang membahas sampah yang bakalan jadi masalah besar pada hari Idul Fitri 16 Desember 2011.
“Maklum saja, hari ini kami kebingungan,” kata Bang Yos. “Kalau saya memanggil secara mendadak pasti ada urusan yang sangat penting.”
Sementara Bekasi menutup Bantargebang, Sutiyoso minta suku dinas di lima wilayah Jakarta memanfaatkan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) di wilayah masing-masing. Ada juga tujuh lahan kosong yang juga akan dipakai membuang sampah.
Tapi keesokan harinya, TPS di Jakarta sudah kewalahan menampung sampah. Sempat sampah-sampah itu dibakar, tapi belum habis yang lama, truk sudah datang membawa sampah baru.
Mereka akhirnya mencari lahan buat menampung. TPS Kramat Pela di Jakarta Selatan, misalnya, mencari tempat di Jalan Mujaer, Dharmawangsa tapi pemilik lahan menarik bayaran Rp1200 per truk yang terlalu tinggi.
Kelebihan sampah di TPS Kramat Pela akhirnya dialihkan ke lahan yang dikuasai pemulung di Jagakarsa. Pengelola TPS harus membayar Rp250 ribu per bulan ditambah Rp2500 per truk.
Lahan kosong yang dijanjikan Pemerintah Provinsi seperti di Kedaung, Jakarta Barat, juga diprediksi tak bertahan lama. Rawa seluas tiga hektare itu diperkirakan cuma bisa menampung sampah paling lama tiga bulan.
Camat Pasar Minggu ketika itu, Andi Madusila, bahkan meminta warganya mencari lahan kosong buat. Ia minta mereka menggali tanah dan menimbun sendiri sampah lingkungannya. Namun tak mudah cari lahan kosong di tengah kota.
Ada juga upaya diam-diam mencoba membuang sampah ke Kota Tangerang. Triknya, menyewa truk sembako sehingga tak ketahuan muatannya. Namun begitu mendekati TPA Rawa Kucing, mereka dicegat polisi.
Mereka disuruh balik kanan sambil dikawal petugas Dinas Perhubungan Kota Tangerang. “Kami tidak mau menerima tumbal busuk sampah orang lain,” kata Kasubdit Perhubungan Kota Tangerang Daryanto.
Gara-gara tak ada tempat membuang sampah, truk-truk pengangkut diparkir di depan kantor suku dinas kebersihan. Bahkan ada supir yang membawa pulang truk saking kebingungannya. Sampah menumpuk juga mulai terlihat di depan Balai Kota dan Gedung DPRD DKI Jakarta.
Jakarta pun akhirnya bertekuk lutut menghadapi blokade truk sampah yang dibuat Kota Bekasi.
Sutiyoso mengakui ada aparat pemda DKI yang memanipulasi pengelolaan TPA Bantar Gebang. Ketebalan tanah penutup sampah dikurangi dan obat penyemprot pemunah lalat juga dikorting jumlahnya.
“Kita akui saja kekurangan-kekurangan,” kata Sutiyoso. “Kalau saja Bekasi masih mau kompromi, kita bersedia memperbaiki segala kekurangan itu.”
Pemerintah Pusat akhirnya menengahi dan menyurati Bekasi agar membuka lagi Bantargebang. Pada 15 Desember 2001, Bantargebang dibuka lagi dengan syarat Pemprov DKI Jakarta memenuhi syarat-syarat yang diajukan.
Tuntutan yang mesti dipenuhi Jakarta itu adalah membangun Puskesmas rawat inap di Bantargebang. Jakarta juga diminta membereskan sampah di TPA liar sekitar Bantargebang.
Jam pengiriman sampah ke Bekasi yang sebelumnya sembarangan juga harus diatur menjadi malam hari. Dengan begitu, tetesan lindi di jalan yang baunya menyengat hidung tak lagi mengganggu aktivitas warga di siang hari.
Jakarta juga harus perbaikan sarana pengelolaan lindi di Bantargebang, menyemprot cairan pemusnah lalat lebih sering, dan empat kali sehari menguruk sampah dengan tanah merah. Terakhir, pagar TPA yang dijebol pemulung juga dibangun ulang sehimgga sampah tak tercecer keluar.

untuk warga bekasi mari kita jaga daerah tempat kita tinggal
dengan tidak membuang sampah sembarangan, tertib lalu lintas.
sekian trit dari newbie ini kalo ada salah2 mohon maaf jgn
dibully.


Diubah oleh rainfour 23-10-2014 16:39
0
15.5K
Kutip
169
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan