Kaskus

Entertainment

berantasrasuahAvatar border
TS
berantasrasuah
Kerakusan Materi Telah Menjadi Tuhan Atas Hidup Rachmat Yasin & Para Koruptor Lain
Kerakusan Materi Telah Menjadi Tuhan Atas Hidup Rachmat Yasin & Para Koruptor Lain


Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng te-ra-khir penegakan hukum kembali membuat koruptor pusing dan tak berhenti menyesali perbuatannya. Budi Susanto, Dirut PT CMMA, yang terlibat kasus pengadaan simulator SIM divonis 14 tahun penjara dan denda Rp 500 juta di tingkat kasasi, Senin (13/10/2014). MA juga menambah biaya uang pengganti kepada rekanan eks Kakorlantas Mabes Polri, Irjen Djoko Susilo ini menjadi Rp 88,4 miliar. Para hakim MA yang membuat koruptor keder itu adalah Hakim Agung Artidjo Alkotsar, dibantu Hakim Agung MS Lumme, dan M Askin. Seperti diketahui Budi Susanto sebelumnya di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta divonis selama 8 tahun penjara. Di tingkat banding, hukuman Budi dikuatkan.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian mengajukan banding ke MA dan akhirnya hukuman buat Budi Santoso bertambah enam tahun menjadi 14 tahun. Adapun yang menjadi pertimbangan hakim MA antara lain Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta (PN Tipikor Jakarta) dan Pengadilan Tinggi Jakarta kurang dalam pertimbangan hukumnya. Seperti yang ditentukan dalam pasal 197 ayat 1 huruf F KUHAP, Kurang mempertimbangkan hal-hal memberatkan. Budi Susanto divonis bersalah di PN Tipikor Jakarta pada 16 Januari 2014 dengan hukuman 8 tahun penjara dan membayar ganti rugi sebesar Rp 17,1 miliar. Di tingkat banding putusan ini dikuatkan.

Namun, di tingkat kasasi, MA mengabulkan upaya kasasi yang diajukan Jaksa KPK. Budi juga ditambah hukuman membayar uang ganti rugi dari Rp 17,1 miliar menjadi Rp 88,4 miliar di tingkat kasasi. MA memang tak bulat dalam mengambil keputusan. Hakim anggota M Askin, menyatakan beda pendapat dalam sidang tersebut. Dalam dissenting opinion-nya, M Askin lebih setuju hukuman Budi Susanto sesuai putusan PN Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Budi Susanto memang bukan satu-satunya koruptor yang menelan pil pahit setelah jaksa KPK melakukan upaya hukum banding.

Sebelumnya ada Angelina Sondakh, politisi Partai Demokrat, yang dikuatkan menjadi 12 tahun dari semula 4 tahun 6 bulan. Selain hukuman penjara 12 tahun, Angelina Sondakh alias Angie juga oleh MA diwajibkan membayar uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar Amerika Serikat subsider 5 tahun penjara. Lagi-lagi yang membuat para koruptor ini menelan pil pahit adalah trio hakim MA, yaitu Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Mohammad Askin. Hakim Agung Artidjo selama ini memang dikenal dengan putusan-putusan yang memberatkan para terdakwa dibandingkan dengan putusan di pengadilan tingkat pertama ataupun banding. Ia juga pernah memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari 5 tahun menjadi 10 tahun.

Artidjo juga memperberat hukuman Gayus Halomoan P Tambunan dari 10 tahun menjadi 12 tahun, membatalkan vonis bebas Bupati Subang (nonaktif) Eep Hidayat dan Bupati Sragen Untung Sarono Wiyono, serta memperberat hukuman bagi Muhammad Nazaruddin dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. Koruptor lain yang juga merasakan hal yang sama adalah mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Ia semula dihukum 16 tahun penjara, namun di MA ia divonis 18 tahun penjara. MA bahkan mencabut hak politik Luthfi. Kita tentu saja mengapresiasi putusan MA yang memberatkan para koruptor. Kita berharap hakim MA benar-benar menjadi benteng terakhir penegakan hukum.

Mengembalikan Hakikat Hukum

MA harus mengembalikan hakikat hukum dan marwah hukum yang harus menjadi panglima bagi semua orang. Ada adagium hukum yang menyebutkan, equality before the law, artinya bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum. Kita sangat-sangat yakin tegasnya putusan hukum menjadi salah satu alat penjera bagi para pelaku kejahatan korupsi. Sudah bukan saatnya lagi bagi para hakim memandang kejahatan serius (korupsi) seperti perkara biasa. Kita semua sudah muak dengan prilaku para pesohor yang masih bisa tertawa lepas di depan kamera televisi, meski menyandang status koruptor. Semua itu terjadi karena bunyi palu pengadil di lembaga peradilan kita masih tetap bernada minor. Kita berharap ketukan palu para pengadil seragam, setidaknya mendekati seperti ketukan Artidjo Alkostar yang tegas.

Apa yang baru saja dilakukan MA dalam memosisikan seorang koruptor jelas merupakan langkah maksimal yang patut dipuji, bahkan harus dihargai. Putusan itu laksana penyejuk bagi ruang pengadilan yang justru kerap disesaki dengan vonis-vonis ringan bagi terdakwa kasus rasywah. Putusan MA dalam kasus Luthfi, di sisi lain, juga kembali membersitkan harapan publik akan pemberantasan korupsi yang lebih keras, tegas, dan tanpa kompromi. Rakyat tentu berharap keberanian hakim MA tersebut bisa menjadi perangsang bagi penegak hukum lain untuk berupaya lebih keras menyeret perampok uang negara ke ruang pengadilan dan menghukumnya dengan hukuman maksimal. Namun, harus kita ingatkan, definisi tentang hukuman yang memberikan efek jera bagi koruptor mestinya tidak hanya dimengerti hakim-hakim di level MA. Mindset yang sama seharusnya juga dipunyai seluruh hakim di pengadilan tingkat apa pun, bahkan oleh semua penegak hukum di negeri ini.

Saat ini, kita melihat kondisi yang menunjukkan sebenarnya bangsa ini sedang sakit yang luar biasa. Ada sesuatu yang hilang dari nilai-nilai sesungguhnya dari bangsa ini. Kerakusan materi telah menjadi Tuhan atas hidup mereka. Pola hidup mewah menjerumuskan pejabat di negeri ini ke kubangan kotor bernama korupsi. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali menjadikan korupsi menjadi musuh bersama layaknya kasus-kasus terorisme yang pernah marak di negeri ini. Kita harus belajar dari pemerintah Tiongkok yang begitu tegas dalam persoalan korupsi. Di sana, hukuman mati menjadi salah satu efek jera yang luar biasa, yang mungkin saja bisa diterapkan di negeri khatulistiwa ini.

Kita lihat misalnya ketika mendapat kabar penangkapan Bupati Bogor Rachmat Yasin dengan dugaan telah memanfaatkan kekuasaannya berkongkalikong bersama pengusaha swasta sehingga bisa menyulap lahan ribuan hektare untuk kepentingan pihak swasta. Soalnya, berbagai kalangan sempat memberikan acungan jempol ketika orang nomor satu di Kabupaten Bogor itu merobohkan vila-vila di kawasan Puncak karena menyalahi tata ruang. Kebijakan itu mencerminkan sikap tegas sekaligus keberanian karena hampir sebagian besar bangunan-bangunan megah di kawasan wisata berudara sejuk itu dimiliki oleh orang-orang kaya Jakarta, termasuk, pejabat tentunya. Keputusan untuk menertibkan bangunan vila di Puncak memang bagai kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan yang lebih besar, yakni memulihkan ekosistem di kawasan itu.

Namun, kebijakannya itu nyata-nyata tidak sama dengan perilakunya yang begitu rapi disembunyikan dari rakyat yang dipimpinnya. Topeng yang dipakai menampilkan sosok pejabat yang mengutamakan kepentingan yang lebih besar, seperti memperluas wilayah resapan air dengan merubuhkan vila-vila. Wajahnya yang sebenarnya justru bagai dua kutub yang berbeda, yakni memanfaatkan kewenangan untuk mempermulus targetnya mengincar lahan luas untuk proyek komersil. Kewenangan yang ada dalam genggaman mereka juga ada aset yang berpotensi untuk dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri, kerabat maupun kelompoknya. Kekuasaan para penyelenggara negara menjadi objek transaksional yang begitu menggiurkan bagi kepala daerah yang bertabiat rakus dan tak lagi mendengar suara nuraninya. Selain faktor kepribadian yang sukar untuk diperbaiki dalam tempo cepat, ada pula faktor eksternal sehingga begitu sering terdengar pejabat negara dan daerah harus berhadapan dengan lembaga penegak hukum karena dicurigai sudah menerima upeti atau melakukan korupsi.

Sumber
0
2.5K
20
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan