- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
5 Bule yang Berprofesi Tak Lazim di Indonesia
TS
physicisshit
5 Bule yang Berprofesi Tak Lazim di Indonesia
WELCOME TO MY THREAD
Thanks buat agan-agan #HT 2
Indonesia dikenal kaya akan keindahan alam dan budaya. Tak heran jika selama ini banyak dilirik para wisatawan mancanegara bahkan tak sedikit dari para warga asing yang ingin mengadu nasib bahkan menetap lama di Indonesia.
Namun, kelima ekspatriat (bule) di bawah ini mempunyai cara yang unik cenderung tidak lazim yang mereka lakukan selama berada di Indonesia. Alasan mereka untuk tinggal di Indonesia karena untuk mencari uang serta mengais rejeki bahkan beberapa diantaranya karena mengaku cinta pada tanah air.
Jika dirunut dari asal mereka, Indonesia tidak lebih maju dari negaranya. Namun, menariknya kelima ekspatriat ini rela memilih pekerjaan yang tidak lazim bagi seorang warga asing. Kegigihan dan perjuangan kelima pria ini patut dicontoh
Quote:
1.Sergei Litvinov, Penjual Es Jus di Solo
Pria asal rusia harus bertahan hidup dengan mencari uang sebagai pedagang es jus di salah satu sudut Kota Solo. Sergei bukan pria asing biasa yang datang ke Indonesia. Ia merupakan pemain sepakbola profesional yang bergabung di PSLS Lhokseumawe dan berlaga di kompetisi Indonesia Premier League sejak 2013. Sialnya selama membela PSLS mulai dari Maret hingga Desember 2013, ia belum menerima gaji. Sebelumnya, Sergei pernah memperkuat tim Solo FC do Indonesia Premier League pada tahun 2011.
Piutang Sergei pada PSLS Lhokseumawe mencapai Rp 124 juta. Tak ada kejelasan kapan kesebelasan itu akan membayarnya. Tanpa gaji, Sergei kesulitan makan, dan tidak bisa pulang ke kampung halamannya karena terpentok biaya bahkan kini ia juga pusing karena sang istri meminta cerai.
Kini Sergei kembali ke kota Solo dan tak lagi merumput. Selain tak punya pekerjaan, Sergei juga tak membawa uang sebab gajinya selama membela PSLS belum juga cair. Untuk bertahan hidup, Sergei melakukan pekerjaan serabutan termasuk berjualan jus di kedai jus. Selain itu, ia ikut membuat kanopi untuk rumah di kawasan Banyuanyar.
Ia mengaku membutuhkan uang sebesar Rp20 juta untuk bisa pulang ke Rusia. Selama ini mengaku kesulitan mengumpulkan uang karena digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari.
2. Fabrizio Urzo, Pedagang Gorengan di Surabaya
Gorengan sudah menjadi makanan ringan yang tak asing bagi lidah orang Indonesia, namun ada yang berbeda dengan gorengan yang berada di Jalan Manyar, Kertoarjo, Surabaya. Gorengan yang biasa dijual oleh orang pribumi kini diracik oleh pria asal Italia bernama Fabrizio Urzo.
Demi mengais rejeki di negara orang, Fabrizio memilih menjual gorengan di pinggir jalan utama di Kota Kertoardjo ini karena di wilayah tersebut ramai dilewati kendaraan melintas.
Pria asal Italia ini sudah 10 tahun tinggal di Indonesia. Siapa sangka dulunya ia bekerja sebagai General Manager salah satu restoran Italia di jalan Imam Bonjol, Surabaya. Namun sejak awal 2014, dirinya memutuskan berhenti bekerja meski posisi pekerjaannya sudah tinggi, ia lebih memilih berwirausaha sendiri dengan berdagang gorengan.
Gorengan yang ia jual bermacam-macam dan terhitung harganya cukup terjangkau. Terbukti, gorengan milik Fabrizio selalu ramai dikunjungi para pembeli. Selain membeli gorengan, pembeli juga dapat menikmati kopi robusta yang bisa dipesan selagi menunggu gorengan matang. Maklum, gorengan bikinan Fabrizio cepat sekali habis. Meski memiliki riwayat sebagai bos restoran, Fabrizio tidak merasa malu jika sekarang profesinya adalah seorang pedagang gorengan.
3. Glen, Penjual Burger dan Donat di Purwokerto
Burger dan Donat dikenal sebagai makanan ringan khas orang barat, namuna, bagaimana jadinya jika yang berjualan burger dan donat di pasar tradisional benar-benar orang barat? Hal itu yang terjadi di Purwokerto, Jawa Tengah.
Demi memenuhi biaya berobat istrinya, Purwita yang terserang penyakit kanker serviks, pria asal Amerika Serikat ini rela berjualan burger dan donat bikinan sendiri yang berlokasi di pinggir pasar. Hal ini juga sebagai wujud cinta kasihnya terhadap istri yang dicintainya.
Glen tinggal di Kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto, Kabupaten Banyumas, harus berjualan burger dan kue donat setiap hari. Glen memang harus bekerja keras membantu istrinya berjualan burger dan donat demi mengumpulkan uang untuk berobat.
Sejak istrinya divonis mengidap kanker serviks, Glen bertambah giat dan semangat untuk berjualan. Sebelumnya Glen bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu lembaga pendidikan swasta. Namun kini dia harus bekerja sebagai pedagang burger dan donat.
Glen juga dibantu salah satu anaknya, Jasmine. Glen dan Purwita berjualan burger dan donat sejak pukul 16.00-20.00 WIB. Untuk burger mereka menjualnya mulai harga Rp7.500-Rp10 ribu. Sedangkan untuk donat mereka menjualnya dengan harga Rp2.500-Rp3.500.
Yang unik, Glen berjualan burger dan donat ini sambil memasang papan bertuliskan 'Jual Burger dan Donat, Mohon Doakan Istriku yang Sakit'.
4. Andre Graff, Penggali Sumur di Sumba Barat
Pria bernama Andre Graff, seorang warga Prancis, memilih meninggalkan segala kemapanan hidup di negerinya untuk mengembara dan menetap di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Ini demi menjalani kehidupan sebagai tukang penggali sumur bagi warga yang hidupnya terdera kekeringan berkepanjangan.
Pria yang akrab disapa Andre ‘Sumur’ ini menjadi salah satu ‘pahlawan’ bagi warga di tempat tinggalnya, Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur karena perjuangannya mengadakan sumur gali bagi warga Sumba dan Sabu Raijua.
Keputusan pergi dari Prancis dan akhirnya tinggal di bawah langit Sumba Barat, menurut Graff, memiliki rentetan kisah sejarah tersendiri.
Graff berlatar belakang seorang pilot balon udara. Selama puluhan tahun ia juga memimpin perusahaan balon udara di Perancis untuk pariwisata. Dia suka menerbangkan balon udara melewati Pegunungan Alpen.
Graff dan beberapa temannya memilih berlibur ke Bali. Setiba di Pulau Dewata dan melewatkan hari-hari dalam atmosfir budaya serta alam lingkungan yang eksotis, mereka menyewa sebuah kapal dan melakukan perjalanan wisata hingga ke kepulauan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kepulauan Riung, Sabu Raijua, Sumba, dan Lembata, menjadi persinggahan wisata Andre dan teman-temannya.
Tertarik dengan kehidupan penduduk lokal, Andre langsung memutuskan tinggal sejenak untuk mengabadikan aktivitas keseharian warga dalam menjalankan roda kehidupan menggunakan kamera. Namun sejak Juni 2005, ketika dia singgah di Sabu Raijua dan menetap di kampung adat Ledetadu. Ia melihat bahwa warga di kampung tersebut kesulitan air bersih. Setiap hari mereka harus berjalan 2 kilometer untuk mengambil air sumur di dataran rendah. Ia pun merasa prihatin, lalu bertemu dengan Pastor Frans Lakner, SJ yang sudah 40 tahun mengabdi di Sabu. Dia mengajari saya bagaimana mencari air tanah, menggali sumur, dan membuat gorong-gorong dari beton agar air tak terkontaminasi lumpur. Gorong-gorong itu bertahan sampai bertahun-tahun kemudian.
Berkat air sumur, warga bisa menanam sayur, jagung, buah, dan umbi-umbian di sekitar rumah. Mereka bisa menjual hasil kebunnya ke pasar untuk membeli beras dan kebutuhan lain. Akhir 2007, ia memutuskan pindah ke Lamboya, Sumba Barat, setelah warga Sabu Raijua bisa membuat sumur sendiri. Ia tinggal dengan Rato (Kepala Suku) Kampung Waru Wora, Desa Patijala Bawa, Lamboya. Di sini, ia membentuk kelompok pemuda beranggota sembilan orang untuk membuat gorong-gorong yang disebut GGWW (Gorong-gorong Waru Wora).
Selain pembuatan sumur, Andre juga berkeinginan membuat filtrasi air di Lamboya, agar masyarakat bisa langsung menikmati air sumur tanpa memasaknya lebih dulu. Selain hemat waktu, adanya filtrasi juga mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan karena masyarakat tidak terlalu banyak masak menggunakan kayu bakar.
Andre berharap pemerintah memiliki kepedulian terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan terhadap masyarakat, agar selanjutnya bisa saling berkolaborasi ketika melakukan program kegiatan. Salut!
5. Gavin Birch, Pemungut Sampah di Lombok
Sama halnya dengan Andre Graff, hal luar biasa juga dilakukan oleh Gavin Birch, pria asal Perth, Australia. Selama 24 tahun, dia bekerja membersihkan sampah di Pantai Senggigi, Lombok Barat tanpa pamrih.
Bahkan, lelaki berusia lebih dari 70 tahun ini telah berganti nama menjadi Khusen Abdullah. Kini ia dikenal sebagai turis pemulung di daerah Senggigi.
Meski warga Lombok menyebut dirinya sebagai bule gila karena pekerjaannya yang bergumul dengan sampah, tapi Khusen tidak peduli dengan penilaian orang. Yang jelas, dia yakin dengan perjuangannya untuk mengajak orang hidup bersih.
Khusen pertama kali menginjakkan kakinya di Pulau Lombok pada tahun 1986 sebagai turis. Niatnya untuk berlibur dan menikmati keindahan alam di Lombok berujung kekecewaan karena yang dilihatnya bukan pantai biru nan indah, namun tumpukan sampah. Bahkan di Pantai Ampenan, yang menyimpan potensi wisata, penuh dengan kotoran manusia.
Namun, Khusen tak langsung beranjak dan pergi menjauh. Dia mengaku yakin pantai yang disinggahinya saat itu akan berubah menjadi indah jika masyarakat peduli kebersihan. Sejak itu lah Khusein bergerak sendiri, memungut sampah di sekitar pantai dan mengumpulkannya. Tindakannya menarik perhatian.
Berpredikat sebagai 'turis gila' atau 'pemulung' tidak membuat Khusen menjadi rendah diri. Meski, di negeri asalnya dia adalah pengusaha rumah makan di Perth dan Dampier Broome, Australia. Saat itu Khusein juga memiliki rumah singgah di Bali yang dibeli atas nama istri pertamanya, yang asli Jakarta.
Khusen tak sekedar memungut sampah. Dia mengolahnya. Khusen memiliki teknik tersendiri untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Sedangkan limbah plastik yang dikumpulkan dihancurkan dengan mesin penghancur yang dibelinya dengan dana sendiri.
Program lingkungan bersih yang diterapkannya di Indonesia merupakan program yang diadopsi dari gerakan bersih di Australia yang dikenal sebagai 'Keep Australia Beautiful'. Tahun 1996 melalui Yayasan Sosial Cinta Lingkungan, Khusein menerapkan programnya di Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat.
Kini di usia senjanya Khusein dibantu oleh seorang pemuda bernama Edi Bakin yang mulai bergerak di kampung-kampung untuk mengangkuti sampah dari perkampungan. Kini sepanjang pantai yang berada disekitar tempat tinggal Khusein di Senggigi tampak bersih dari sampah, baik dedaunan apalagi sampah plastik.
Pria asal rusia harus bertahan hidup dengan mencari uang sebagai pedagang es jus di salah satu sudut Kota Solo. Sergei bukan pria asing biasa yang datang ke Indonesia. Ia merupakan pemain sepakbola profesional yang bergabung di PSLS Lhokseumawe dan berlaga di kompetisi Indonesia Premier League sejak 2013. Sialnya selama membela PSLS mulai dari Maret hingga Desember 2013, ia belum menerima gaji. Sebelumnya, Sergei pernah memperkuat tim Solo FC do Indonesia Premier League pada tahun 2011.
Piutang Sergei pada PSLS Lhokseumawe mencapai Rp 124 juta. Tak ada kejelasan kapan kesebelasan itu akan membayarnya. Tanpa gaji, Sergei kesulitan makan, dan tidak bisa pulang ke kampung halamannya karena terpentok biaya bahkan kini ia juga pusing karena sang istri meminta cerai.
Kini Sergei kembali ke kota Solo dan tak lagi merumput. Selain tak punya pekerjaan, Sergei juga tak membawa uang sebab gajinya selama membela PSLS belum juga cair. Untuk bertahan hidup, Sergei melakukan pekerjaan serabutan termasuk berjualan jus di kedai jus. Selain itu, ia ikut membuat kanopi untuk rumah di kawasan Banyuanyar.
Ia mengaku membutuhkan uang sebesar Rp20 juta untuk bisa pulang ke Rusia. Selama ini mengaku kesulitan mengumpulkan uang karena digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari.
2. Fabrizio Urzo, Pedagang Gorengan di Surabaya
Gorengan sudah menjadi makanan ringan yang tak asing bagi lidah orang Indonesia, namun ada yang berbeda dengan gorengan yang berada di Jalan Manyar, Kertoarjo, Surabaya. Gorengan yang biasa dijual oleh orang pribumi kini diracik oleh pria asal Italia bernama Fabrizio Urzo.
Demi mengais rejeki di negara orang, Fabrizio memilih menjual gorengan di pinggir jalan utama di Kota Kertoardjo ini karena di wilayah tersebut ramai dilewati kendaraan melintas.
Pria asal Italia ini sudah 10 tahun tinggal di Indonesia. Siapa sangka dulunya ia bekerja sebagai General Manager salah satu restoran Italia di jalan Imam Bonjol, Surabaya. Namun sejak awal 2014, dirinya memutuskan berhenti bekerja meski posisi pekerjaannya sudah tinggi, ia lebih memilih berwirausaha sendiri dengan berdagang gorengan.
Gorengan yang ia jual bermacam-macam dan terhitung harganya cukup terjangkau. Terbukti, gorengan milik Fabrizio selalu ramai dikunjungi para pembeli. Selain membeli gorengan, pembeli juga dapat menikmati kopi robusta yang bisa dipesan selagi menunggu gorengan matang. Maklum, gorengan bikinan Fabrizio cepat sekali habis. Meski memiliki riwayat sebagai bos restoran, Fabrizio tidak merasa malu jika sekarang profesinya adalah seorang pedagang gorengan.
3. Glen, Penjual Burger dan Donat di Purwokerto
Burger dan Donat dikenal sebagai makanan ringan khas orang barat, namuna, bagaimana jadinya jika yang berjualan burger dan donat di pasar tradisional benar-benar orang barat? Hal itu yang terjadi di Purwokerto, Jawa Tengah.
Demi memenuhi biaya berobat istrinya, Purwita yang terserang penyakit kanker serviks, pria asal Amerika Serikat ini rela berjualan burger dan donat bikinan sendiri yang berlokasi di pinggir pasar. Hal ini juga sebagai wujud cinta kasihnya terhadap istri yang dicintainya.
Glen tinggal di Kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto, Kabupaten Banyumas, harus berjualan burger dan kue donat setiap hari. Glen memang harus bekerja keras membantu istrinya berjualan burger dan donat demi mengumpulkan uang untuk berobat.
Sejak istrinya divonis mengidap kanker serviks, Glen bertambah giat dan semangat untuk berjualan. Sebelumnya Glen bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu lembaga pendidikan swasta. Namun kini dia harus bekerja sebagai pedagang burger dan donat.
Glen juga dibantu salah satu anaknya, Jasmine. Glen dan Purwita berjualan burger dan donat sejak pukul 16.00-20.00 WIB. Untuk burger mereka menjualnya mulai harga Rp7.500-Rp10 ribu. Sedangkan untuk donat mereka menjualnya dengan harga Rp2.500-Rp3.500.
Yang unik, Glen berjualan burger dan donat ini sambil memasang papan bertuliskan 'Jual Burger dan Donat, Mohon Doakan Istriku yang Sakit'.
4. Andre Graff, Penggali Sumur di Sumba Barat
Pria bernama Andre Graff, seorang warga Prancis, memilih meninggalkan segala kemapanan hidup di negerinya untuk mengembara dan menetap di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Ini demi menjalani kehidupan sebagai tukang penggali sumur bagi warga yang hidupnya terdera kekeringan berkepanjangan.
Pria yang akrab disapa Andre ‘Sumur’ ini menjadi salah satu ‘pahlawan’ bagi warga di tempat tinggalnya, Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur karena perjuangannya mengadakan sumur gali bagi warga Sumba dan Sabu Raijua.
Keputusan pergi dari Prancis dan akhirnya tinggal di bawah langit Sumba Barat, menurut Graff, memiliki rentetan kisah sejarah tersendiri.
Graff berlatar belakang seorang pilot balon udara. Selama puluhan tahun ia juga memimpin perusahaan balon udara di Perancis untuk pariwisata. Dia suka menerbangkan balon udara melewati Pegunungan Alpen.
Graff dan beberapa temannya memilih berlibur ke Bali. Setiba di Pulau Dewata dan melewatkan hari-hari dalam atmosfir budaya serta alam lingkungan yang eksotis, mereka menyewa sebuah kapal dan melakukan perjalanan wisata hingga ke kepulauan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kepulauan Riung, Sabu Raijua, Sumba, dan Lembata, menjadi persinggahan wisata Andre dan teman-temannya.
Tertarik dengan kehidupan penduduk lokal, Andre langsung memutuskan tinggal sejenak untuk mengabadikan aktivitas keseharian warga dalam menjalankan roda kehidupan menggunakan kamera. Namun sejak Juni 2005, ketika dia singgah di Sabu Raijua dan menetap di kampung adat Ledetadu. Ia melihat bahwa warga di kampung tersebut kesulitan air bersih. Setiap hari mereka harus berjalan 2 kilometer untuk mengambil air sumur di dataran rendah. Ia pun merasa prihatin, lalu bertemu dengan Pastor Frans Lakner, SJ yang sudah 40 tahun mengabdi di Sabu. Dia mengajari saya bagaimana mencari air tanah, menggali sumur, dan membuat gorong-gorong dari beton agar air tak terkontaminasi lumpur. Gorong-gorong itu bertahan sampai bertahun-tahun kemudian.
Berkat air sumur, warga bisa menanam sayur, jagung, buah, dan umbi-umbian di sekitar rumah. Mereka bisa menjual hasil kebunnya ke pasar untuk membeli beras dan kebutuhan lain. Akhir 2007, ia memutuskan pindah ke Lamboya, Sumba Barat, setelah warga Sabu Raijua bisa membuat sumur sendiri. Ia tinggal dengan Rato (Kepala Suku) Kampung Waru Wora, Desa Patijala Bawa, Lamboya. Di sini, ia membentuk kelompok pemuda beranggota sembilan orang untuk membuat gorong-gorong yang disebut GGWW (Gorong-gorong Waru Wora).
Selain pembuatan sumur, Andre juga berkeinginan membuat filtrasi air di Lamboya, agar masyarakat bisa langsung menikmati air sumur tanpa memasaknya lebih dulu. Selain hemat waktu, adanya filtrasi juga mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan karena masyarakat tidak terlalu banyak masak menggunakan kayu bakar.
Andre berharap pemerintah memiliki kepedulian terhadap langkah-langkah yang telah dilakukan terhadap masyarakat, agar selanjutnya bisa saling berkolaborasi ketika melakukan program kegiatan. Salut!
5. Gavin Birch, Pemungut Sampah di Lombok
Sama halnya dengan Andre Graff, hal luar biasa juga dilakukan oleh Gavin Birch, pria asal Perth, Australia. Selama 24 tahun, dia bekerja membersihkan sampah di Pantai Senggigi, Lombok Barat tanpa pamrih.
Bahkan, lelaki berusia lebih dari 70 tahun ini telah berganti nama menjadi Khusen Abdullah. Kini ia dikenal sebagai turis pemulung di daerah Senggigi.
Meski warga Lombok menyebut dirinya sebagai bule gila karena pekerjaannya yang bergumul dengan sampah, tapi Khusen tidak peduli dengan penilaian orang. Yang jelas, dia yakin dengan perjuangannya untuk mengajak orang hidup bersih.
Khusen pertama kali menginjakkan kakinya di Pulau Lombok pada tahun 1986 sebagai turis. Niatnya untuk berlibur dan menikmati keindahan alam di Lombok berujung kekecewaan karena yang dilihatnya bukan pantai biru nan indah, namun tumpukan sampah. Bahkan di Pantai Ampenan, yang menyimpan potensi wisata, penuh dengan kotoran manusia.
Namun, Khusen tak langsung beranjak dan pergi menjauh. Dia mengaku yakin pantai yang disinggahinya saat itu akan berubah menjadi indah jika masyarakat peduli kebersihan. Sejak itu lah Khusein bergerak sendiri, memungut sampah di sekitar pantai dan mengumpulkannya. Tindakannya menarik perhatian.
Berpredikat sebagai 'turis gila' atau 'pemulung' tidak membuat Khusen menjadi rendah diri. Meski, di negeri asalnya dia adalah pengusaha rumah makan di Perth dan Dampier Broome, Australia. Saat itu Khusein juga memiliki rumah singgah di Bali yang dibeli atas nama istri pertamanya, yang asli Jakarta.
Khusen tak sekedar memungut sampah. Dia mengolahnya. Khusen memiliki teknik tersendiri untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Sedangkan limbah plastik yang dikumpulkan dihancurkan dengan mesin penghancur yang dibelinya dengan dana sendiri.
Program lingkungan bersih yang diterapkannya di Indonesia merupakan program yang diadopsi dari gerakan bersih di Australia yang dikenal sebagai 'Keep Australia Beautiful'. Tahun 1996 melalui Yayasan Sosial Cinta Lingkungan, Khusein menerapkan programnya di Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat.
Kini di usia senjanya Khusein dibantu oleh seorang pemuda bernama Edi Bakin yang mulai bergerak di kampung-kampung untuk mengangkuti sampah dari perkampungan. Kini sepanjang pantai yang berada disekitar tempat tinggal Khusein di Senggigi tampak bersih dari sampah, baik dedaunan apalagi sampah plastik.
Testimoni dari agan berikut
Quote:
Quote:
Original Posted By bloodycomrade►yang gorengan fabrizio ane pernah beli gan... seriusan,enak gorengannya... murah lg,paling mahal cuma 3000
Quote:
Original Posted By bloodycomrade►
enak gan kopinya,cuman 7 rb tapi rasanya ga kalah sama kopi harga 70 rb
enak gan kopinya,cuman 7 rb tapi rasanya ga kalah sama kopi harga 70 rb
Quote:
Original Posted By mitrasport888►Nice thread.
Izin menyimak aja yah gan.
Thanks.
Ane prnah coba psang goreng nya di bule italy surabaya tuh gan .
Mantap
Izin menyimak aja yah gan.
Thanks.
Ane prnah coba psang goreng nya di bule italy surabaya tuh gan .
Mantap
Quote:
Original Posted By semarphone►Andre sumur
Gw pernah kerjasama sama doi dl pas di ntt, bule gila tuh orang, badan cungkring tenaga herkules
Kl sm yg di lombok cmn sebatas kenal aja, beberapa kali ketemu kalo pas gw singgah di lombok dl pas ngunjungin Istri.
Sekarang pada terkenal di kaskus yah
Ps : ada yg tau pasnya yg jual gorengan dimana kaga gan, ane nyari2 kaga pernah nemu
Gw pernah kerjasama sama doi dl pas di ntt, bule gila tuh orang, badan cungkring tenaga herkules
Kl sm yg di lombok cmn sebatas kenal aja, beberapa kali ketemu kalo pas gw singgah di lombok dl pas ngunjungin Istri.
Sekarang pada terkenal di kaskus yah
Ps : ada yg tau pasnya yg jual gorengan dimana kaga gan, ane nyari2 kaga pernah nemu
Quote:
Original Posted By r35gtr►kebetulan ane tinggal di purwokerto, dan emang bener ada bule yg jual burger.. pertama ane denger emang agak aneh juga sih, kalo ga salah dia jualan di pasar manis, purwokerto (ada yg bilang dia pindah ke deket stasiun).. Walopun ane belum pernah beli burgernya, tapi menurut temen2 ane yg udah pernah beli rasanya emang enak kok
Quote:
Original Posted By ivan_snada►Gorengan Fabrizio yang enak banget itu. Ngantrinya gan, kalo ga ngopi dah ngantuk
Tanggapan dari beberapa agan-agan
Quote:
Quote:
Original Posted By anajidan►jadi malu sbg warga indo, warga luar aja peduli sangat sama air bersih, ini malah parlemen berebut kursi, kerja belum becus aja perebutan kursi, Zzzzzzz....
inspiratif gan,
inspiratif gan,
Quote:
Original Posted By sevensummit►luar biasa, apalagi yang nomor 4 dan 5
kalau orang luar negeri saja bisa cinta sama lingkungan dan peduli terhadap masyarakat indonesia kenapa kita sebagai warga negara indonesia asli malah saling menindas dan menghancurkan negeri kita sendiri dengan ketidakpedulian, perusakan lingkungan??
kalau orang luar negeri saja bisa cinta sama lingkungan dan peduli terhadap masyarakat indonesia kenapa kita sebagai warga negara indonesia asli malah saling menindas dan menghancurkan negeri kita sendiri dengan ketidakpedulian, perusakan lingkungan??
Quote:
Original Posted By Geryruslandi►miris gan,, negara tercinta kita ini,, tanah kelahiran kita ini, tempat berteduh kita ini, sedikit masyarakat yang peduli dengan lingkungan, malah masyarakat negara yang lain yang bergerak untuk memperbaiki lingkungan alam.. apa gak malu ya masyarakat kita ini???
Buat yang di Surabaya dan pengen nyoba gorengannya om Fabrizio
Quote:
Quote:
Original Posted By agancase►
yg gorengan dibule disurabay dijalan kertajaya gan kalo dari ITS setelah lampu merah pertamax dan dia sebelah kanan jalan gan disana juga yg jual roti goreng dll soalnya ane pernah beli gorengannya
yg gorengan dibule disurabay dijalan kertajaya gan kalo dari ITS setelah lampu merah pertamax dan dia sebelah kanan jalan gan disana juga yg jual roti goreng dll soalnya ane pernah beli gorengannya
Quote:
Original Posted By chwggm►Mau nambahin. Utk gorengannya fabrizio tepatnya di sebrang kfc manyar kertoarjo. Pas puter balikan ke-2 kl dr samsat manyar.
Quote:
Original Posted By SapiCapjay►Detail lokasi Fabrizio Gorengan dan kopinya
Lokasi TKP :
di Manyar kertoarjo carilah KFC.
Letak penjual gorengan dan kopi, pas di sebrang jalan sebrang KFC
enak gorengannya
berdasarkan pengalaman harga 1000 , 2000
tahu isi, pisang goreng nya enak @ 1000
ada juga jajan pasar seperti lapis
layanan dari om fabrizio bule sangatlah raamah
Lokasi TKP :
di Manyar kertoarjo carilah KFC.
Letak penjual gorengan dan kopi, pas di sebrang jalan sebrang KFC
enak gorengannya
berdasarkan pengalaman harga 1000 , 2000
tahu isi, pisang goreng nya enak @ 1000
ada juga jajan pasar seperti lapis
layanan dari om fabrizio bule sangatlah raamah
Tambahan dari agan zieshock
Quote:
Quote:
Original Posted By zieshock►Dari Amsterdam Kelola Kedai Kopi Emperan Kota Garut
Profil inspiratif, Kamis (02/10-2014), Garut News mengangkat sosok lelaki berusia 39 tahun asal Kota Amsterdam Belanda.
Sejak Januari 2014 mengelola “Kedai Kopi Stephan” pada emperan Kota Garut, Jawa Barat, tepatnya di pinggiran Jalan A.Yani.
Stephan Rosenmuller, ayah tiga anak beristrikan penduduk Garut, dan kini berdomisili di Samarang tersebut, mengaku “tak merasa turun gengsi” mengelola kedai kopi di pinggiran jalan. Yang penting berpenghasilan tak di bawah “Upah Minimum Kabupaten” (UMK).
Lantaran pula membuka kedai kopi di pinggiran jalan, siapapun dipastikan tak segan menyinggahinya, minum kopi sambil lesehan di pinggiran jalan.
Daripada “kafe” hanya orang tertentu menyinggahinya, kilah Rosenmuller kepada Garut News, Senin (01/10-2014) malam.
Dia mengaku sengaja berjualan kopi, tetapi bukan sembarang kopi, sebab kopi yang diseduhnya bukan berasal dari kopi bungkus instan.
Melainkan kopi yang diolahnya sendiri, sejak berupa biji kopi, ungkapnya.
Bahkan sejak membuka usahanya hingga enam bulan kemudian, bekerja sendirian menyeduh, sekaligus menyuguhkan kopi pada setiap konsumen yang berdatangan ke kedainya.
Namun kini, ditangani dua karyawannya, “saya hanya mengecek ke kedai,” ujar Stephan.
Dikemukakan, sengaja membuka kedai kopi, lantaran jika menjual gehu atawa gorengan dinilainya sudah banyak para pedagangnya.
“Saya tak mau menyaingi masyarakat berdagang, sehingga sengaja memilih bidang usaha yang tak digarap orang lain,” ungkapnya pula.
Kedai dibuka setiap hari sejak pukul 17.00 hingga pukul 24.00 WIB, namun setiap Sabtu atawa malam minggu tak berjualan.
Sebab, meski banyak orang tetapi umumnya mereka hanya berjalan-jalan, selain itu memberi peluang pada dua karyawannya agar bisa beristirahat atawa berlibur, katanya.
Dikatakan juga, saat musim ramai pembeli omset penghasilannya bisa mencapai sedikitnya Rp200 juta per bulan.
Tetapi pada saat “halodo” sekarang atawa musim kemarau ini, omset penjualan tak seramai bulan-bulan lalu, mungkin suasananya juga sehabis Lebaran Idul Fitri.
Kini rata-rata omset penjualannya Rp400 ribu per hari.
Sedangkan harga beragam jenis segelas kopi, mulai bernilai Rp5 ribu hingga belasan ribu ripiah.
Dia mengaku pula, hingga kini masih menggemari jenis satwa reftil.
Sumber: Dimari Gan!
*******
Profil inspiratif, Kamis (02/10-2014), Garut News mengangkat sosok lelaki berusia 39 tahun asal Kota Amsterdam Belanda.
Sejak Januari 2014 mengelola “Kedai Kopi Stephan” pada emperan Kota Garut, Jawa Barat, tepatnya di pinggiran Jalan A.Yani.
Stephan Rosenmuller, ayah tiga anak beristrikan penduduk Garut, dan kini berdomisili di Samarang tersebut, mengaku “tak merasa turun gengsi” mengelola kedai kopi di pinggiran jalan. Yang penting berpenghasilan tak di bawah “Upah Minimum Kabupaten” (UMK).
Lantaran pula membuka kedai kopi di pinggiran jalan, siapapun dipastikan tak segan menyinggahinya, minum kopi sambil lesehan di pinggiran jalan.
Daripada “kafe” hanya orang tertentu menyinggahinya, kilah Rosenmuller kepada Garut News, Senin (01/10-2014) malam.
Dia mengaku sengaja berjualan kopi, tetapi bukan sembarang kopi, sebab kopi yang diseduhnya bukan berasal dari kopi bungkus instan.
Melainkan kopi yang diolahnya sendiri, sejak berupa biji kopi, ungkapnya.
Bahkan sejak membuka usahanya hingga enam bulan kemudian, bekerja sendirian menyeduh, sekaligus menyuguhkan kopi pada setiap konsumen yang berdatangan ke kedainya.
Namun kini, ditangani dua karyawannya, “saya hanya mengecek ke kedai,” ujar Stephan.
Dikemukakan, sengaja membuka kedai kopi, lantaran jika menjual gehu atawa gorengan dinilainya sudah banyak para pedagangnya.
“Saya tak mau menyaingi masyarakat berdagang, sehingga sengaja memilih bidang usaha yang tak digarap orang lain,” ungkapnya pula.
Kedai dibuka setiap hari sejak pukul 17.00 hingga pukul 24.00 WIB, namun setiap Sabtu atawa malam minggu tak berjualan.
Sebab, meski banyak orang tetapi umumnya mereka hanya berjalan-jalan, selain itu memberi peluang pada dua karyawannya agar bisa beristirahat atawa berlibur, katanya.
Dikatakan juga, saat musim ramai pembeli omset penghasilannya bisa mencapai sedikitnya Rp200 juta per bulan.
Tetapi pada saat “halodo” sekarang atawa musim kemarau ini, omset penjualan tak seramai bulan-bulan lalu, mungkin suasananya juga sehabis Lebaran Idul Fitri.
Kini rata-rata omset penjualannya Rp400 ribu per hari.
Sedangkan harga beragam jenis segelas kopi, mulai bernilai Rp5 ribu hingga belasan ribu ripiah.
Dia mengaku pula, hingga kini masih menggemari jenis satwa reftil.
Sumber: Dimari Gan!
Spoiler for Pict:
Spoiler for Pict:
Spoiler for Pict:
Spoiler for Video:
*******
Eh, ada muridnya Mr. Stephan gan !
Quote:
Quote:
Original Posted By isra2811►wahhhh gak nyangka anee mr stephan dlu dia guru inggris ane di sekolah waktu SMP dan emg waktu dulu suka reptil dan jual beli reptil juga, gak nyangka sekarang dengan jualan kopi omsetnya bisa sampe segituuuu, sukses selalu mr.stephan
Quote:
TS SANGAT MENGHARAPKAN CENDOL
Quote:
TS SANGAT MENOLAK BATA
Quote:
DI RATE JUGA BOLEH GAN
Quote:
Kunjungi thread ane yang lain ya
Quote:
Bedanya Orang Kepo dengan Orang yang Beneran Perhatian #HT 1
10 Kebiasaan yang Harus Agan Hentikan Sebelum Menginjak Usia 30-an
13 Foto Mengejutkan dari Seleb Indonesia Sebelum Terkenal HOT
Bedanya Modus dengan Tulus
11 Situs di Internet yang Bakalan Mengembalikan Mood Agan
9 Cara Anti Mainstream Untuk Resign dari KantorMau Lupain Mantan ? Makan di Sini Aja Gan !
Cara Menggambar Lingkaran Sempurna dengan Tangan [Video]
10 Kebiasaan yang Harus Agan Hentikan Sebelum Menginjak Usia 30-an
13 Foto Mengejutkan dari Seleb Indonesia Sebelum Terkenal HOT
Bedanya Modus dengan Tulus
11 Situs di Internet yang Bakalan Mengembalikan Mood Agan
9 Cara Anti Mainstream Untuk Resign dari KantorMau Lupain Mantan ? Makan di Sini Aja Gan !
Cara Menggambar Lingkaran Sempurna dengan Tangan [Video]
Diubah oleh physicisshit 01-11-2014 05:05
0
255.9K
Kutip
2.3K
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan