Tradisi Menyambut Tahun Baru Islam di Berbagai Daerah tahun ini tepat tanggal 25 Oktober 2014 H / 1 Muharrom 1436 H
Indonesia memang dikenal memiliki ragam budaya yang begitu luas. Bahkan, dalam satu daerah dengan tingkat kecil seperti kecamatan atau kabupaten pun, terkadang memiliki tradisi yang beragam.
Banyak juga dari tradisi-tradisi tersebut yang memiliki kaitan erat dengan mitos atau kepercayaan masyarakat setempat yang sudah turun temurun hingga mengakar dalam paradigma masyarakat. Meski sulit dibuktikan kebenarannya, tetapi banyak masyarakat yang percaya dengan mitos-mitos yang beredar tersebut.
Berikut ragam tradisi tahun baru islam di berbagai daerah di nusantara.
Spoiler for Tahun Baru Islam Di Jawa:
Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun.
Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.
Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).
Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakaral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.
Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah.
Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.
Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.
Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah.
Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.
Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro.
Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.
Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri.
Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.
alah satu tradisi yang terdapat di Makassar misalnya, khususnya dalam penyambutan Bulan Muharram yang merupakan bulan pertama dalam penanggalan kalender Islam. Sebagian masyarakat di Makassar memiliki tradisi yang unik untuk menyambutnya.
Para ibu rumah tangga akan menyerbu toko-toko perlengkapan rumah tangga untuk diborong. Toko-toko perlengkapan itu pun mendadak ramai dikunjungi pada 10 hari pertama di bulan Muharram.
Perlengkapan rumah tangga yang biasanya dibeli oleh para ibu-ibu tersebut kebanyakan merupakan barang-barang yang berfungsi untuk “menampung”. Seperti gelas, mangkok, gayung, baskom, ember, dan lain-lain. Menurut keterangan salah satu ibu rumah tangga bernama Sulaeha melalui LifeViva, kebiasaan ini sudah terjadi selama puluhan tahun dan turun-temurun, termasuk di keluarganya.
Harapan dari tradisi membeli barang-barang yang berfungsi untuk menampung itu adalah agar mendapatkan berkah dan memperoleh rejeki yang lebih banyak di tahun yang baru.
Kesempatan ini tentunya selalu ditunggu oleh para pemilik toko peralatan rumah tangga demi meraup omzet yang berlipat lipat. Pasalnya, setiap satu orang bisa membeli satu jenis barang dalam jumlah lebih dari satu. Misalkan untuk barang-barang kecil seperti gayang, satu orang bisa membeli hingga 5 buah, sementara untuk barang yang lebih besar para konsumen dadakan ini bisa membeli hingga 3 buah.
Memang akan sangat sulit untuk menghilangkan tradisi-tradisi yang beredar di masyarakat. Meskipun tak jarang ada tradisi yang justru cukup menyimpang dari ajaran Islam. Yang bisa kita lakukan dan dimulai dari diri kita dan keluarga adalah lebih berhati-hati dalam menyaring agar tidak menempatkan budaya atau tradisi diatas ketetapan dan aturan Allah Ta’ala yang sudah banyak disampaikan dalam Alquran dan Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam.
Spoiler for Tahun Baru islam di Aceh:
Di kalangan masyarakat aceh dikenal tradisi asan usen. Perayaan asan usen itu dilaksanakan pada tanggal 10 muharram atau perayaan asyura, yang mempringati kematian sahid husein di karbela pada 10 muharram 61 H. pada waktu itu keluarga muslim aceh akan membuat bubur sura, berasal dari bahasa parsi “ syura” yang berarti tanggal 10 muharram. Di aceh bubur itu dikenal dengan nama “khanji acura” yang terdiri dari beras santan, gula irisan kelapa, dan buah buahan seperti, kacang kacangan, papaya, delima pisang , tebu serta umbi umbian.
Makanan itu hanya dimasak untuk acara asan usen, yang di selengarakan di Meunasah. Sisa sisa pandangan yag berkaiatan dengan asan usen tampak pada anggapan bahwa rentang hari pertama hingga hari kesepuluh bulan muharram adalah bulan sial atau bulan celaka. Pada bulan itu tidak boleh melaksanakan atau mengerjakan sawah, mendirikan rumah, mengawinkan anak, dan menghitan. Pada masyrakkat bulan asura tersebut dikenal dengan nama “ Buluein Apuy” atau bulan panas.
Di daerah sumatera barat dan bengkulu, pada tanggal 10 muharram masyarakatnya merayakan “ mengarak tabui” (tzabut) yaitu suatu tiruan jasat husein yang di arak dalam prosesi. Di pesisir timur pidie perayaan Tzabut dilakukan dengan mengarak sebuah keranda secara beramai ramai yang akhirnya di buang kesungai besar atau laut, sekilas perayaan tersebut tidak jauh berbeda dengan melarung jisim yang masih menjadi tradisi masyarakat jawa, bagi penghayat kebuyaan tersebut melarung benda benda milik keluarga yang telah meningal akan membuat arwanya mencapai pelepasan.
Sedang dalam masyarakat muslim jawa “ slametan bubur sura” terdiri dari berbagai kacang kacangan, umbi umbian dan jagung. Adonan tersebut diletakan diatas bubur beras putih. Bubur suran yang ada nampaknya tidak berkaitan secara jelas dengan peringatan 1 muharram atau 1 sura yang merupakan hari besar tahun baru.
Pada bulan sura di masyarakat mensucikan senjata pusaka seperti : keris, tombak, pedang, dan lain sebagainya. Di samping itu pada kalangan kerabat kadilangu di kenal upacara” jamasan” yang tak lain merupakan acara membersikan benda benda pusaka keratin. Dewasa peringatan 1 sura mulai dilakukan dengan berbagai cara oleh masyarakat Indonesia salah satunya dengan menanggap wayang semalaman suntuk sebagai “ tirakatan” . perayaan satu sura dilihat dari sudut pandang agama, merupakan kelanjutan sikretisme yang perna terjadi dalam berbagai unsure budaya.
perayaan Asura ini dilaksanakan pada bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender kamariyah, tepatnya pada tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 10 tersebut orang-orang disibukan dengan membuat bubur asura. Sebelumnya dilakukan dulu acara sumbangan untuk mengumpulkan dana pembuatan bubur asura. Kegiatan pembuatan bubur asura ini dilakukan pihak ibu-ibu. Apabila sudah masak, maka kaum laki-laki dikampung itu besaruan. Setelah terkumpul maka bubur itu dihidangkan dan dibacakan doa selamat oleh orang alim, dan acara pun selesai.
Bubur Asura itu terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan dicampur dengan segala macam sayur-sayuran. Pembuatan bubur ini konon merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dahulu, ketika dalam suasana terkepung dan kekurangan makanan, dikumpulkan segala macam tumbuh-tumbuhan yang tumbuh disekitarnya dan dicampur dengan persedian bahan makanan yang ada menjadi bubur yang bisa dimakan. Ini adalah kisah dari Sayyidina Hasan dan Husin yang menimpa mereka beserta rombongan di karbala.[16] Sehingga orang Banjar mengambil hikmah dari kisah tersebut dengan meniru-niru kegiatan mereka.