- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ketua Fraksi Demokrat salahkan Koalisi Jokowi


TS
raimine
Ketua Fraksi Demokrat salahkan Koalisi Jokowi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR Nurhayati Ali Assegaf menyalahkan fraksi partai lain yang tidak mengikuti sikapnya meninggalkan sidang paripurna alias walk out saat proses pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah di DPR Kamis (25/9/2014) lalu.
Menurutnya, jika fraksi-fraksi partai lain pendukung pilkada langsung mengikuti Demokrat maka mekanisme pilkada tidak langsung tidak memenuhi kuota di dalam voting. Karenanya, tidak pantas apabila Demokrat disalahkan akibat lolosnya mekanisme pilkada tidak langsung.
"Kalau mereka ikut walk out bersama kami, itu pilkada via DPRD itu tidak akan kuorum dan tidak akan terjadi. Kenapa sekarang Demokrat yang tidak ikut memilih disalahkan," kata Nurhayati kepada wartawan di kantor DPP Demokrat, Senin (29/9/2014).
Seharusnya, lanjut Nurhayati, fraksi partai lain yang sependapat dengan 10 perbaikan dalam RUU Pilkada usulan Demokrat dapat mengikuti langkah meninggalkan ruang sidang.
"Masyarakat harus tahu yang sebenarnya, apa yang terjadi. Kalau ada fraksi yang setuju penuh dengan syarat Demokrat kenapa tidak ikut walk out bersama kami. Seperti yang sebelumnya kalau memang tidak setuju kan walk out bersama-sama kami kalau memang menyetujui opsi kami," katanya.
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan RUU Pilkada melalui mekanisme voting. Hasilnya, pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD.
berita yang lain:
JAKARTA, SOROTnews.com - Ketua DPP Partai Demokrat, Didik Mukrianto menyalahkan koalisi PDIP, PKB dan Hanura yang tidak ikut walk out bersama Fraksi Partai Demokrat (FPD) dalam pengambilan keputusan UU Pilkada. Jika PDIP dan koalisinya ikut serta walk out bersama Partai Demokrat maka akan ada 287 suara yang kompak menolak pilkada melalui DPRD.
“Kalau FPDIP dan koalisinya kompak dengan FPD maka yang akan terjadi adalah hantaman keras tepat di ulu hati Koalisi Merah Putih yg membuat legitimasi politik mereka tersungkur, sekalian dengan gagasan pilkada via DPR. Juga akan terjadi kemenangan gagasan pilkada langsung dengan sejumlah perubahan sistemik untuk menyempurnakannya,” tegas Didik pada wartawan di Jakarta, Senin (29/9/2014).
Namun faktanya menurut Didik yang justru terjadi PDIP dan sekutunya memilih tinggal dan mengikuti voting. Padahal mereka tahu kalah jumlah dan karena itu pasti kalah suara. Padahal, sebelumnya dalam pembahasan UU MD3, F-PDIP dengan rasional dan dingin mereka memutuskan walkout karena tahu pasti kalah suara. Lebih baik mundur dari medan pertempuran yang tak mungkin dimenangkan. Lebih baik pergi ke Mahkamah Konstitusi untuk menggugatnya. Dan itulah yang mereka lakukan.
“Sebagai pelaku, setiap politisi anggota legislatif tahu persis, finalitas dari setiap pasal dalam setiap UU yang mereka buat tidak ditentukan oleh palu mereka sendiri. Tapi oleh palu para hakim di Mahkamah Konstitusi. Tidak begitu kejadiannya dengan UU Pilkada. FPDIP dan sekutunya memilih voting dan kalah,” imbuhnya.
Tapi kekalahan itu menurut Didik bukan satu-satunya akibat yang harus mereka terima.Dengan mengikuti voting, maka menurut Politisi Muda PD ini artinya mereka setuju untuk menyerahkan penentuan nasib pilkada langsung pada mekanisme demokratik pengambilan keputusan di DPR. Konsekuensinya, F-PDIP dan sekutunya kehilangan dasar etis untuk menggugat ke MK. Sudah voting, kalah, seharusnya legawa menerima.
“Maka, kendati menjadi trending topic dunia, kendati penyanyi Glen Fredly mengaku sukses mengajak siswa SMAN 3 Bandung menolak UU Pilkada, kendati Lin Che Wei menyebut SBY gembong G-25S-FPD untuk memiripkannya dgn G-30S-PKI, sebuah kenyataan sederhana perlu diterima oleh mereka yang lebih tenang dan rendah hati: nasib pilkada langsung sangat tergantung pada SBY dan PD,” tegasnya.
Sebab, menurutnya hanya FPD, yang memilih walkout, yang menolak menyerahkan penentuan nasib pilkada langsung kepada voting di DPR. Demokrat menjadi satu-satunya partai yang masih memiliki dasar etis untuk menggunakan legal standingnya menggugat UU Pilkada ke MK. “PDIP dan seluruh sekutunya sama sekali tidak punya legal standing untuk itu,” tegasnya.
Sementara itu Wapres Terpilih Jusuf Kalla mengatakan disela-sela perayaan hari jadi DPD RI, bahwa niat SBY untuk menggugat UU Pilkada tidak bisa dilakukan. Sebagai presiden, SBY tidak memiliki legal standing untuk melakukan itu. “Pak SBY, karena legal standngnya tidak ada. Dia kan presiden bagaimana bisa menolak?,” tegas pria yang kerap disapa JK itu lagi.
Anggota FPG, Nusron Wahid menyatakan hal senada. SBY menurutnya tidak punya legal standing untuk menggugat UU Pilkada.Tanpa legal standing yang tegas sebagai pihak yang dirugikan hak konstitusinya, maka permohonan gugatan sudah pasti akan MK tolak. Pihak yang dianggap memiliki legal standing adalah yang hak konstitusinya dirugikan oleh sebuah UU.
Di dalam konteks menggugat UU Pilkada ke MK, maka menurutnya urusan legal standing SBY menjadi penting. Bila SBY mengajukan sebagai Ketum DPP Partai Demokrat, maka Partai Demokrat juga tidak punya legal standing karena ikut dalam rapat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan pengesahan UU Pilkada, meski berakhir walkout. "Mau sebagai pemerintah? Lha pemerintah kan juga terlibat dalam pembahasan di DPR," sambung Nusron.
Sebelumnya Presiden yang juga merupakan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, mengaku kecewa atas hasil sidang paripurna DPR yang memutuskan pilkada tidak langsung atau melalui DPRD. SBY memastikan Demokrat akan menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat. "Partai Demokrat akan mengajukan gugatan hukum ke MK terhadap UU Pilkada ini," ujar SBY melalui Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, kepada wartawan seharis setelah pengambilan keputusan DPR.
Alasan pengajuan gugatan tersebut, menurut Julian, tak lain karena SBY menilai UU Pilkada mengabaikan kedaulatan rakyat. "Pak SBY dengan Partai Demokrat telah berjuang dengan mengajukan opsi untuk mempertahankan pilkada langsung dengan perbaikan, namun tidak diakomidir dalam opsi voting dan tidak didukung bahkan ditolak oleh fraksi parpol lain," kata dia.
Pengamat Politik dari UI, Muhammad Budyatna menilai SBY mencla mencle sehingga membuat pusing kader-kadernya. SBY di akhir masa tugasnya seharusnya bisa memberikan citra tegas dan tidak selalu berubah-ubah seperti 10 tahun masa pemerintahannya. Rakyat menurutnya sudah tahu SBY seperti apa dan tidak lagi percaya bahwa SBY punya ketegasan dalam sikap.
“SBY 10 tahun memerintah saya kira rakyat sudah tahu wataknya. Jadi tidak perlu lagi di akhir masa tugasnya dia seolah-olah tampil sebagai pihak yang pro rakyat.Rakyat tahu bahwa dia yang mengajukan UU itu, yah tegaskan saja sikapnya berikan penjelasan yang logis. Rakyat juga tahu bahwa tidak mungkin FPD mengambil langkah tanpa perintah SBY.Kalau memang SBY tidak didengarkan maka saya rasa itu tanda-tanda SBY akan segera ditinggalkan kader-kadernyanya pasca dia lengser dari Presiden,” imbuhnya.
Sebagai seorang yang akan segera melepaskan jabatannya, SBY diingatkan untuk memberikan contoh baik ke penerusnya Jokowi. Jika SBY tidak tegas, maka dirinya khawatir, Jokowi pun akan mengambil sikap tidak tegas itu dari SBY.”Kalau SBY mencla mencle saja boleh 10 tahun, nanti Jokowi berpikir, masak saya tidak boleh.Ini kan tidak baik.Jadi lebih baik SBY tegas saja,”tandasnya.
Seperti diberitakan, dalam pengambilan voting pengesahan RUU Pilkada, sebanyak 135 anggota yang hadir memilih pilkada langsung oleh rakyat. Terdiri dari Fraksi Partai Golkar 11 orang, Fraksi PDI Perjuangan 88 orang, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa 20 orang, dan Fraksi Hanura 10 orang. Ada enam orang anggota dari Fraksi Demokrat yang tidak ikut aksi walk out, dan mendukung pilkada langsung. Sementara 226 anggota dewan yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih secara solid mendukung pelaksanaan pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.(SON/mnb)
jadi jelas menurut si ketua FD ini, kalo kalian memang sepakat dengan kami seharusnya kalian ikut walk out. jadi sidang tidak mencapai kuorum, sehingga sidang bisa batal. ikut voting disaat yakin kalah dan bukannya ikut walk out, itu sama dengan pura2 gak mau tapi mau.
Menurutnya, jika fraksi-fraksi partai lain pendukung pilkada langsung mengikuti Demokrat maka mekanisme pilkada tidak langsung tidak memenuhi kuota di dalam voting. Karenanya, tidak pantas apabila Demokrat disalahkan akibat lolosnya mekanisme pilkada tidak langsung.
"Kalau mereka ikut walk out bersama kami, itu pilkada via DPRD itu tidak akan kuorum dan tidak akan terjadi. Kenapa sekarang Demokrat yang tidak ikut memilih disalahkan," kata Nurhayati kepada wartawan di kantor DPP Demokrat, Senin (29/9/2014).
Seharusnya, lanjut Nurhayati, fraksi partai lain yang sependapat dengan 10 perbaikan dalam RUU Pilkada usulan Demokrat dapat mengikuti langkah meninggalkan ruang sidang.
"Masyarakat harus tahu yang sebenarnya, apa yang terjadi. Kalau ada fraksi yang setuju penuh dengan syarat Demokrat kenapa tidak ikut walk out bersama kami. Seperti yang sebelumnya kalau memang tidak setuju kan walk out bersama-sama kami kalau memang menyetujui opsi kami," katanya.
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan RUU Pilkada melalui mekanisme voting. Hasilnya, pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD.
berita yang lain:
JAKARTA, SOROTnews.com - Ketua DPP Partai Demokrat, Didik Mukrianto menyalahkan koalisi PDIP, PKB dan Hanura yang tidak ikut walk out bersama Fraksi Partai Demokrat (FPD) dalam pengambilan keputusan UU Pilkada. Jika PDIP dan koalisinya ikut serta walk out bersama Partai Demokrat maka akan ada 287 suara yang kompak menolak pilkada melalui DPRD.
“Kalau FPDIP dan koalisinya kompak dengan FPD maka yang akan terjadi adalah hantaman keras tepat di ulu hati Koalisi Merah Putih yg membuat legitimasi politik mereka tersungkur, sekalian dengan gagasan pilkada via DPR. Juga akan terjadi kemenangan gagasan pilkada langsung dengan sejumlah perubahan sistemik untuk menyempurnakannya,” tegas Didik pada wartawan di Jakarta, Senin (29/9/2014).
Namun faktanya menurut Didik yang justru terjadi PDIP dan sekutunya memilih tinggal dan mengikuti voting. Padahal mereka tahu kalah jumlah dan karena itu pasti kalah suara. Padahal, sebelumnya dalam pembahasan UU MD3, F-PDIP dengan rasional dan dingin mereka memutuskan walkout karena tahu pasti kalah suara. Lebih baik mundur dari medan pertempuran yang tak mungkin dimenangkan. Lebih baik pergi ke Mahkamah Konstitusi untuk menggugatnya. Dan itulah yang mereka lakukan.
“Sebagai pelaku, setiap politisi anggota legislatif tahu persis, finalitas dari setiap pasal dalam setiap UU yang mereka buat tidak ditentukan oleh palu mereka sendiri. Tapi oleh palu para hakim di Mahkamah Konstitusi. Tidak begitu kejadiannya dengan UU Pilkada. FPDIP dan sekutunya memilih voting dan kalah,” imbuhnya.
Tapi kekalahan itu menurut Didik bukan satu-satunya akibat yang harus mereka terima.Dengan mengikuti voting, maka menurut Politisi Muda PD ini artinya mereka setuju untuk menyerahkan penentuan nasib pilkada langsung pada mekanisme demokratik pengambilan keputusan di DPR. Konsekuensinya, F-PDIP dan sekutunya kehilangan dasar etis untuk menggugat ke MK. Sudah voting, kalah, seharusnya legawa menerima.
“Maka, kendati menjadi trending topic dunia, kendati penyanyi Glen Fredly mengaku sukses mengajak siswa SMAN 3 Bandung menolak UU Pilkada, kendati Lin Che Wei menyebut SBY gembong G-25S-FPD untuk memiripkannya dgn G-30S-PKI, sebuah kenyataan sederhana perlu diterima oleh mereka yang lebih tenang dan rendah hati: nasib pilkada langsung sangat tergantung pada SBY dan PD,” tegasnya.
Sebab, menurutnya hanya FPD, yang memilih walkout, yang menolak menyerahkan penentuan nasib pilkada langsung kepada voting di DPR. Demokrat menjadi satu-satunya partai yang masih memiliki dasar etis untuk menggunakan legal standingnya menggugat UU Pilkada ke MK. “PDIP dan seluruh sekutunya sama sekali tidak punya legal standing untuk itu,” tegasnya.
Sementara itu Wapres Terpilih Jusuf Kalla mengatakan disela-sela perayaan hari jadi DPD RI, bahwa niat SBY untuk menggugat UU Pilkada tidak bisa dilakukan. Sebagai presiden, SBY tidak memiliki legal standing untuk melakukan itu. “Pak SBY, karena legal standngnya tidak ada. Dia kan presiden bagaimana bisa menolak?,” tegas pria yang kerap disapa JK itu lagi.
Anggota FPG, Nusron Wahid menyatakan hal senada. SBY menurutnya tidak punya legal standing untuk menggugat UU Pilkada.Tanpa legal standing yang tegas sebagai pihak yang dirugikan hak konstitusinya, maka permohonan gugatan sudah pasti akan MK tolak. Pihak yang dianggap memiliki legal standing adalah yang hak konstitusinya dirugikan oleh sebuah UU.
Di dalam konteks menggugat UU Pilkada ke MK, maka menurutnya urusan legal standing SBY menjadi penting. Bila SBY mengajukan sebagai Ketum DPP Partai Demokrat, maka Partai Demokrat juga tidak punya legal standing karena ikut dalam rapat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan pengesahan UU Pilkada, meski berakhir walkout. "Mau sebagai pemerintah? Lha pemerintah kan juga terlibat dalam pembahasan di DPR," sambung Nusron.
Sebelumnya Presiden yang juga merupakan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, mengaku kecewa atas hasil sidang paripurna DPR yang memutuskan pilkada tidak langsung atau melalui DPRD. SBY memastikan Demokrat akan menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat. "Partai Demokrat akan mengajukan gugatan hukum ke MK terhadap UU Pilkada ini," ujar SBY melalui Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, kepada wartawan seharis setelah pengambilan keputusan DPR.
Alasan pengajuan gugatan tersebut, menurut Julian, tak lain karena SBY menilai UU Pilkada mengabaikan kedaulatan rakyat. "Pak SBY dengan Partai Demokrat telah berjuang dengan mengajukan opsi untuk mempertahankan pilkada langsung dengan perbaikan, namun tidak diakomidir dalam opsi voting dan tidak didukung bahkan ditolak oleh fraksi parpol lain," kata dia.
Pengamat Politik dari UI, Muhammad Budyatna menilai SBY mencla mencle sehingga membuat pusing kader-kadernya. SBY di akhir masa tugasnya seharusnya bisa memberikan citra tegas dan tidak selalu berubah-ubah seperti 10 tahun masa pemerintahannya. Rakyat menurutnya sudah tahu SBY seperti apa dan tidak lagi percaya bahwa SBY punya ketegasan dalam sikap.
“SBY 10 tahun memerintah saya kira rakyat sudah tahu wataknya. Jadi tidak perlu lagi di akhir masa tugasnya dia seolah-olah tampil sebagai pihak yang pro rakyat.Rakyat tahu bahwa dia yang mengajukan UU itu, yah tegaskan saja sikapnya berikan penjelasan yang logis. Rakyat juga tahu bahwa tidak mungkin FPD mengambil langkah tanpa perintah SBY.Kalau memang SBY tidak didengarkan maka saya rasa itu tanda-tanda SBY akan segera ditinggalkan kader-kadernyanya pasca dia lengser dari Presiden,” imbuhnya.
Sebagai seorang yang akan segera melepaskan jabatannya, SBY diingatkan untuk memberikan contoh baik ke penerusnya Jokowi. Jika SBY tidak tegas, maka dirinya khawatir, Jokowi pun akan mengambil sikap tidak tegas itu dari SBY.”Kalau SBY mencla mencle saja boleh 10 tahun, nanti Jokowi berpikir, masak saya tidak boleh.Ini kan tidak baik.Jadi lebih baik SBY tegas saja,”tandasnya.
Seperti diberitakan, dalam pengambilan voting pengesahan RUU Pilkada, sebanyak 135 anggota yang hadir memilih pilkada langsung oleh rakyat. Terdiri dari Fraksi Partai Golkar 11 orang, Fraksi PDI Perjuangan 88 orang, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa 20 orang, dan Fraksi Hanura 10 orang. Ada enam orang anggota dari Fraksi Demokrat yang tidak ikut aksi walk out, dan mendukung pilkada langsung. Sementara 226 anggota dewan yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih secara solid mendukung pelaksanaan pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.(SON/mnb)
jadi jelas menurut si ketua FD ini, kalo kalian memang sepakat dengan kami seharusnya kalian ikut walk out. jadi sidang tidak mencapai kuorum, sehingga sidang bisa batal. ikut voting disaat yakin kalah dan bukannya ikut walk out, itu sama dengan pura2 gak mau tapi mau.
0
3K
53


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan