yinluckAvatar border
TS
yinluck
Pilkada via DPRD Hemat Biaya Puluhan Trilunan Rupiah, Cukup untuk Subsidi BBM Murah
Biaya Pilkada Mahal, Faktor Kepala Daerah Korupsi
Kamis, 24 Juli 2014 , 15:02:00 WIB



SEBANYAK 86,22 persen dari 330 kepala daerah di seluruh Indonesia, tersangkut kasus masalah hukum, seperti korupsi. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menduga, salah satu alasan pokok maraknya kepala daerah melakukan praktek korupsi karena untuk menganti biaya pemilihan kepala daerah selain mendapatkan kekuasan dengan cara tidak halal.

Menurut Gamawan, semua ini perlu dilakukan evaluasi. Apa penyebab para pejabat daerah itu menjadi koruptor, sehingga apapun dilakukan untuk memperkaya diri sendiri dengan uang negara. "Ini perlu evaluasi ada apa sebenarnya. Apakah memang karena mahal untuk biaya pilkada, dan didorong oleh itu. Apakah juga karena kekuasaan ini perlu dilakukan riset," kata Gamawan di Jakarta, Kamis (24/7).

Pemerintah berharap cara paling ampuh menekan kepala daerah melakukan praktek korupsi yakni dengan pemberlakukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang saat ini sedang dibahas dan didiskusikan pemerintah dengan DPR. Pemerintah berharap pengesahan RUU Pilkada bisa kelar sebelum terjadi pergantian kabinet baru. "Kita berharap di DPR sekarang selesai," tandas Gamawan.

RUU Pilkada yang belum disahkan ini memiliki beberapa poin penting yang menjadi titik awal bahwa seluruh daerah di Indonesia harus melaksanakan pilkada secara serentak. RUU Pilkada pun nantinya akan mengatur bahwa pesta demokrasi di daerah tidak perlu mengeluarkan biaya anggaran yang banyak. Sehingga kepala daerah yang terpilih tidak didorong melakukan korupsi karena mereka tidak perlu melakukan kampanye yang banyak menghabiskan dana.

"Pilkada serentak ini jatuh tempo 2019, dan 2015 sudah mulai semua nya kita terapkan. Dengan pilkada serentak tentu lebih efisien dan biaya kampanye tidak jor-joran," kata Mendagri.

Sementara Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan, mengatakan, perkembangan terakhir terkait pembahasan RUU Pilkada sudah bakal masuk ke timus (tim perumus) dan timsin (tim sinkronisasi). Pemerintah akan kembali mengikuti sidang DPR setelah selesai reses di rencanakan minggu ke 3 Agustus yang langsung masuk konsinansi. "RUU Pilkada ini masih terdapat sedikit perbedaaan yakni soal sistem pemilihan dan keterpilihan wakil kepala daerah. Tetapi, kita harapkan akhir September ini paling lama selesai, karena sudah 10 kali sidang dalam waktu dua tahun lebih," ujar Djohan.
http://m.jurnas.com/news/144341/Biay...l/Pemilu-2014/

Mendagri Pastikan Anggaran Pilkada Tetap Dari APBD

JAKARTA. Pemerintah memastikan biaya pemilihan umum kepala daerah (pilkada) tetap bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian, tidak ada biaya penyelenggaraan Pilkada yang mengucur dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, pasal 112 Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan biaya pemilihan kepala dan wakil kepala daerah dibebankan kepada APBD. "Jadi tanggungjawab pemerintah daerah," ujar Gamawan akhir pekan lalu.

Dengan demikian, jika biaya penyelenggaraan Pilkada mesti mengucur dari APBN, maka harus merevisi aturan tersebut dan memakan waktu cukup lama. Di sisi lain, kata Gamawan, Pilkada berbeda dengan pemilu legislatif yang dilakukan secara serentak.

Sebab, menurut Gamawan, dalam setahun bisa saja dilakukan sebanyak 50 pilkada, lalu tahun berikutnya 200 pilkada. "Repot juga mengalokasikan dana setiap tahunnya untuk pilkada yang berbeda-beda," kata Gamawan.

Selain itu, kalau mengandalkan APBN juga mesti memikirkan bagaimana mekanisme pencairannya, seperti melalui dana alokasi khusus (DAK) atau bantuan program oleh pemerintah pusat. "Jadi ide biaya pilkada dari APBN tidak mudah dilakukan," terang Gamawan.

Gamawan mengakui memang selama ini beberapa KPUD yang mengeluh kekurangan dana. Tapi, dana yang mengucur dari APBD selama ini masih sesuai dengan standar menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 57 tahun 2009 tentang pedoman pengelolaan dana pilkada.
http://www.anggaran.depkeu.go.id/web...?ContentId=765

Pilkada Habiskan Uang Negara 30 Trilyun, Hanya Memilih Calon Koruptor?
28 May 2013 | 08:01

Menurut jadwal yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung, Pemilihan Walikota-dan Wakil Walikota (Pilwalkot) Bandung dilaksanakannya pencoblosan pada tanggal 23 Juni 2013. Partisipasi masyarakat dalam Pilwalkot Bandung ini ditargetkan diatas 70 persen, berkaca pada persentasi partisipasi masyarakat pada pemilihan Gubernur Jawa Barat yang baru saja berlalu. Pilkada ini bakal menelan uang negara untuk satu putaran sebesar Rp 39 miliar, dan berjaga-jaga seandainya terjadi dua putaran diperlukan Rp 17 miliar.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menelan biaya pemerintah yang sangat besar, tidak sebanding dengan manfaatnya bagi rakyat. Selain dana pemerintah, dana kandidat kepala daerah maupun dana partai akan bertaburan di sana-sini saat syahwat kekuasaan dan politik memuncak. Dana untuk pilkada selalu di atas Rp1 miliar bahkan ada beberapa provinsi yang biaya pilkada bisa mencapai Rp1 triliun. Secara sederhana, dengan rata-rata biaya per Pilwalkot atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Rp. 25 Miliar, dan per Pemilihan Gubernur (Pilgub) 500 Miliar, maka dalam 5 tahun uang negara untuk pilkada di Indonesia minimal Rp. 30 Triliun.

Berdasarkan data hingga Desember 2012, Indonesia terdiri dari 410 kabupaten/kabupaten administrasi dan 98 kota/kota administrasi yang tersebar di 34 provinsi. Praktis, sebanyak 409 kabupaten, 93 kota, dan 34 propinsi harus melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sekali dalam 5 tahun. Secara sederhana, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi 536 Pilkada, atau minimal rata-rata 44 Pilkada per tahun, atau sekiar 1 Pilkada per Minggu.

Dari segi penduduknya, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tetapi kalau dilihat dari segi jumlah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) maka Indonesia nomor satu. Kalau mau dilihat dari jumlah anggaran yang digunakan, maka Pemilu kita juga yang paling mahal. Maka, sepintas, Indonesia adalah negara paling demokratis di dunia. Karena semua berprinsip “dari rakyat untuk rakyat”, Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, Gubernur, walikota, Bupati semua dipilih oleh rakyat. Kalau mau dihitung jumlah frekuensi rakyat ke TPS bisa mencapai 7 kali dalam 5 tahun. Pemilihan Bupati Bupati/Walikota 1 kali, Gubernur 1 kali, DPR/DPD 1 kali, Presiden 1 kali. Dan sering kejadian pemilihan Bupati/walikota dan Gubernur, bisa sampai dua putaran demikian juga dengan Pilpres. Apalagi kalau ditambah Lurah/Kepala Desa dipilih lagi lewat TPS, maka bisa 8 kali, betapa tidak efesiennya sistem pemilu kita. Pelayanan masyarakat praktis mandeg, perekonomian cenderung jalan ditempat. Politisi dan kepala daerah tidak memiliki kesempatan lagi untuk merumuskan hal-hal positif dalam kepemimpinanannya. Seolah demokrasi dan politik adalah segala-galanya.

Di sisi lain, pilkada telah terindikasi sebagai proses kloning korupsi atau kloning kerajaan atau kesukuan di era globalisasi maupun demokratisasi, yang tentu saja menjadi langkah mundur dan menyisakan masalah yang lebih besar di banding pada era sentralisasi dimana Pilkada berlangsung secara perwakilan (oleh DPRD dengan restu Gubernur atau Mendagri). Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa Pilkada merupakan kegiatan yang melelahkan bagi semua pihak, mulai dari bakal calon, Partai, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Tim Sukses, Organisasi-organisasi, maupun masyarakat pemilih itu sendiri. Alih-alih idealisme atau cita-cita menyejahterakan rakyat, pelayanan yang lebih baik, dan segala yang janji-janji surga yang sering digembar-gemborkan, pragmatisme materialistis dan orientasi kekuasaan jauh lebih kuat mendominasi pada semua lini dan aspek. Berputar-putar di sekitar kekuasaan dan materi, imbal jasa, jasa tim sukses, gratifikasi, maoney politik, janji jabatan dan janji proyek jika terpilih. Pamrih. Material atau kekuasaan alias jabatan. Titik.

Ketika seseorang berniat mencalonkan diri jadi kepala daerah, ia harus mendekati Partai Politik. Parpol yang didekati, menurut undang-undang, harus memiliki perolehan suara di atas 15% pada Pemilu semelumnya. Jika tidak, ia harus “melamar” beberapa Parpol lain untuk mencapai kuota minimum itu, atau untuk mendominasi agar pesaing tidak mengkapling. Nah, di sini Parpol menunjukkan daya tawarnya dengan meminta imbalan kekuasaan, fasilitas atau sejumlah besar uang. Maka, anggaran dana pertama calon kepala daerah untuk Parpol yang bersedia dan sudah setuju alias deal. Uang. Suara pemilih ditransaksikan Parpol dengan calon kepala daerah.

Setelah “bayar” atau janji kepada Partai, calon kepala daerah harus berurusan dengan “network” yang bakal ia “minta jasanya”. Network ini juga akan banyak sekali, baik yang faktual, yang mengaku-ngaku mapun yang imajiner alias hanya ada dalam hayalan. Sekumpulan network-network diekstrak untuk mengokupasi posisi-posisi pada “Tim Sukses”, sebab jaringan parpol umumnya tidak lagi ampuh meraih para pemilih. Sebagai pihak-pihak yang dimintai jasa, setiap elemen tim sukses harus diberikan imbal jasa, fasilitas, akomodasi, puluhan mobil dan sepeda motor diberikan calon kepala daerah sebagai penunjang tim suksesnya.

Setelah Parpol dan Tim Sukses “dibayar”, apakah sang calon kepala daerah bisa melenggang ke Kantor KPUD untuk mendaftarkan diri? Belum! Ia perlu diiringi massa pendukung menuju KPU. Apakah massa pengiring datang secara sukarela? Tidak juga. Bahkan para pengerah massa yang disamping mengajak dan membayar massa pengiring, juga mengambil “management fee” layaknya perusahaan outsourching.
Selanjutnya kampanye, dan seterusnya hingga hari-h pelaksanaan Pilkada, calon kepala daerah mesti menghamburkan uang tidak kecil, mengumbar janji imbal balik proyek, imbal balik gratifikasi, janji jabatan, posisi, dan seterusnya. Pada masa kampanye sekarang ini, di tengah kejenuhan atas terlalu seringnya pesta demokrasi dan telah terkikisnya idealisme serta kepercayaan publik terhadap demokrasi maupun calon-calon kepala daerah dan calon legislatif, massa hanya bisa didatangkan dengan uang. Cara lain sudah tidak ampuh, sudah immum.

Lebih parah lagi, kompetisi nominal yang dibayarkan pada massa sudah seperti di rumah lelang. Adu kemampuan membayar. Begitu pula pada saat “serangan fajar”, membayar/menyogok para pemilih, membayar saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), bahkan membayar orang-orang di KPUD, di Panitia Pemungutan Suara kecamatan, desa atau kelurahan hingga di TPS, semuanya terkait langsung dengan uang. Money politics, uang lelah, uang makan, atau uang saku, semuanya bermuara pada kesimpulan : semua lini yang terkait pilkada semata-mata adalah pamrih yang harus dipikul sang calon kepala daerah.

Maka, sangat mudah dipahami, dan sangat masuk akal bilamana “hampir tidak ada kepala daerah yang tidak korupsi, karena dalam pilkada ia menghabiskan, umumnya, puluhan miliar untuk duduk sebagai kepala daerah”. Demokrasi telah dinodai uang dengan cara pamrih-pamrihan. Idealisme tinggal pepesan kosong. Partai Politik hanya menyanikan lagu lama dengan garis perjuangan mulia, padahal hanya mentransaksikan suara pemilih partai saat pemilu dengan para calon kepala daerah, dimana-mana di seluruh nusantara.

Jika pada tahun-tahun terakhir ini kita melihat beberapa politikus maupun kepala daerah diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan ke HOTEL prodeo, harus diakui, perilaku koruptif politisi tidak terlepas dari syahwat politik di legislatif dan kursi kepala daerah yang dinilai sangat menggiurkan. Jika bukan untuk meraih kursi untuk pertama kali, perilaku koruptif bakal terjadi untuk mempertahankannya. Perilaku koruptif beberapa politisi memang cenderung ada sejak dahulu kala. Namun Pilkada (langsung) telah menyuburkannya sedemikian, jauh melampaui volume dan intensitas dimasa orde baru, saat kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dana politik mulai dari puluhan hingga ratusan miliar, yang hanya untuk memilih dua orang kepala dan wakil kepala daerah memang secara ekonomis dan pragmatis sama sekali tidak berpengaruh kepada kesejahteraan rakyat di daerah itu. Hal seperti itu terjadi dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, serta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur di seluruh Indonesia yang berlangsung setiap 5 tahun di masing-masing daerah.

Sementara itu, pergantian kepala dan wakil kepala daerah setiap lima tahun sekali diyakini “nyaris tidak berpengaruh apa-apa” terhadap kesejahteraan rakyat (perekonomian yang bermuara pada pendidikan, kesehatan, hidup yang layak), dalam hal ini Jokowi-Ahok adalah pengecualian. Pilkada saat ini, cenderung telah menjadi perhelatan para elit dan para pendukungnya, dan bukan lagi menjadi pesta demokrasi rakyat.

Tampaknya, seluruh elit bangsa ini dari tingkat pusat sampai daerah, mulai dari politisi sampai akademisi, mulai dari aktivis sampai pejabat negara di lembaga tinggi dan tertinggi negara harus memikirkan kembali bentuk otonomi daerah yang sesuai buat negara besar tercinta ini. Bentuk otonomi daerah yang terlalu kebablasan seyogianya disederhanakan saja hingga tingkat provinsi. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi hiruk pikuk demokrasi pilkada yang tidak menyentuh substansi permasalahan kesejahteraan stake-holder utama bangsa yakni rakyat. Energi untuk berdemokrasi dalam Pilkada menguras biaya, tenaga dan pemikiran yang luar biasa, sementara kenaikan taraf hidup rakyat berjalan di tempat.
http://politik.kompasiana.com/2013/0...or-563870.html


Mendagri: Ada Hubungan Antara Pilkada Langsung dengan Korupsi
Jika tidak diperbaiki, ia khawatir kondisi ini akan terus berulang.
Kamis, 25 September 2014, 22:36

VIVAnews - Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi turut menanggapi penangkapan pejabat gubernur oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan malam ini, Kamis 25 September 2014.

Menurut Gamawan bahwa maraknya pejabat kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi adalah kenyataan yang memprihatinkan.

Selain itu, Gamawan mencermati bahwa fenomena ini merupakan salah satu bukti pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya tidak efektif menjamin menghasilkan pemimpin yang berkualitas bagi masyarakat.

"Kasus yang saya teliti di 58 daerah terbukti ada hubungannya antara pilkada langsung dengan korupsi," ujar Gamawan di sela rapat pengesahan RUU Pilkada di Gedung DPR RI, Jakarta.

Jika tidak diperbaiki, ia melanjutkan, dikhawatirkan kondisi semacam ini akan terus berulang.

Untuk itu, menurut Gamawan, apabila pilkada langsung ini tetap dipertahankan sebagai proses demokrasi masyarakat daerah memilih pemimpinnya, harus ada sejumlah perbaikan. Terutama, dari mahalnya ongkos penyelenggaraan pilkada.

Ia mencermati, proses pilkada langsung mulai dari pencalonan sampai kampanye membutuhkan biaya yang jelas tidak sedikit. Antara lain, berupa belanja keperluan partai hingga pengerahan massa.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, Kamis 25 September 2014, menyatakan bahwa penyidik turut mengamankan sejumlah uang sebagai barang bukti operasi tangkap tangan pada malam ini.

"Total yang diamankan ada sembilan orang," ujar Johan dalam jumpa pers di Jakarta.

Ia mengaku bahwa ada pejabat gubernur di antara sembilan orang yang diamankan penyidik dalam penangkapan di sebuah kompleks perumahan Citragrand Cibubur di Jakarta pada sekitar pukul 19.30 WIB tadi. Ada pun delapan orang lainnya disebut merupakan pengusaha, sopir, ajudan, dan keluarga gubernur.
http://nasional.news.viva.co.id/news...dengan-korupsi

----------------------------

PDIP dan Jokowi seharusnya berterima kasih kepada KMP yang menjadikan biaya Pilkada sangat murah, dan tak membebani lagi APBN dan APBD sehingga duitnya bisa dihemat hingga puluhan triliun setiap tahunnya. Dana penghematan itu, bisa membantu rezim Jokowi untuk tetap mempertahankan subsidi BBM seperti saat ini karena ada penghematan akibat Pilkada via DPRD itu mulai tahun depan. Sehingga, nama baik dan pencitraan Jokowi tidak perlu anjolg akibat diprotes rakyat kalau BBM naik. Juga untuk PDIP, kesan partai pembela 'wong cilik' akan tetap diyakini rakyat karena berhasil konsisten untuk selalu menolak untuk menaikkan harga BBM yang sangat membebani rakyat itu. Nama baik Jokowi dan PDIP perlu dipertahankan, jangan sampai menyiksa rakyat dengan kenaikan BBM, kalau mau yerpilih kembali di 2019 ...


emoticon-Kiss
Diubah oleh yinluck 28-09-2014 10:16
0
3K
38
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan