- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
cekungan BANDUNG dari sisi keilmuan dan legenda


TS
suciders
cekungan BANDUNG dari sisi keilmuan dan legenda

Bertepatan dengan hari ulang tahun Bandung tanggal 25 September 2014 yang ke 204 ane persembahkan thread ini semoga agan2 dapat menikmati..
Mungkin banyak yang bertanya mengapa udara di Bandung sejuk (bukan karena mojang Bandung yang kece2 gan

Bandung bila dilihat dari citra satelit berbentuk seperti mangkok yang dikelilingi gunung. itulah yang menyebabkan udara di bandung bagi ane pribadi adalah udara yang paling sejuk yang ada di Indonesia bahkan mungkin di Dunia.


Cekungan Bandung sendiri bisa disebut kaldera tua (kawah besar yang diameternya lebih dari 10 km) hasil letusan gunung api purba (Gunung Sunda). Gunung yang mengelilingi Cekungan Bandung adalah anak dari Gunung Sunda, bisa diartikan Gunung-gunung tersebut adalah kaki Gunung dari Gunung Sunda.

http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmant.../09/Slide2.jpg
Berikut adalah cekungan Bandung bila dilihat dari sisi keilmuan:
Quote:
Kawasan Bandung dan sekitarnya bisa diibaratkan mangkuk bentukan bumi ratusan ribu tahun lalu. Bentangan alam itu biasa disebut Cekungan Bandung. Cekungan Bandung berbentuk elips dengan arah timur tenggara-barat laut, dimulai dari Nagreg di sebelah timur sampai ke Padalarang di sebelah barat. Jarak horizontal cekungan sekitar 60 kilometer. Adapun jarak utara-selatan sekitar 40 kilometer. Cekungan itu kian nyata jika dikaitkan dengan kurungan gunung di sekitarnya.
Geolog dari Pusat Survei Geologi, Sutikno Bronto dan Udi Hartono, dalam tulisannya, Potensi Sumber Daya Geologi di Daerah Cekungan Bandung dan Sekitarnya (2006), menyebutkan, Cekungan Bandung dikelilingi oleh jajaran kerucut gunung api berumur kuarter. Hanya bagian barat Cekungan Bandung yang dibatasi batuan berumur tersier dan batu gamping.
Penelitian sebelumnya menunjukkan pengendapan dalam Cekungan Bandung dimulai 126.000 tahun lalu, berupa batuan gunung api dan sedimen danau. Di antara tanah purba dan batuan sedimen terbawah Cekungan Bandung itu ada banyak lapisan abu gunung api sebagai penanda adanya kegiatan gunung api yang mengawali pembentukan Danau Bandung. Adanya aliran air Sungai Citarum yang terbendung akibat lontaran batuan Gunung Sunda disebut-sebut ikut mengisi cekungan raksasa itu.
Geolog dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Yulianto, mengatakan, terjadinya danau yang merendam Kota Bandung itu melalui beberapa tahap dan terakhir terbentuk sekitar 20.000 tahun lalu.
Konon, raibnya danau itu disebabkan kebocoran. Namun, ada yang berargumen itu diakibatkan pendangkalan karena adanya material yang terbawa ke danau dan mengendap.
Menurut Eko Yulianto, endapan danau purba itu pula yang menyebabkan kawasan Cekungan Bandung bertanah lunak.
Sutikno Bronto dan Udi Hartono mencurigai Cekungan Bandung sebagai sistem kaldera gunung api jamak. Terdapat pola menyerupai busur mulai dari Cianjur-Jatiluhur di sebelah barat laut, Subang di bagian utara dan timur laut, serta Gunung Tampomas-Majalengka di sebelah timur laut. Pola kelurusan ini dikenal sebagai patahan Bandung Raya yang terbentuk dari gabungan Patahan Cimandiri, Karawang, Subang, dan Baribis. Di selatan sistem patahan itu terdapat patahan lain seperti Padalarang, Lembang, Tampomas, dan Kuningan-Cilacap.
Pola cembung itu menunjukkan adanya gaya yang bersumber dari satu tempat lalu menyebar. Salah satu dugaannya ialah keberadaan gaya vertikal dari bawah Cekungan Bandung dan sekitarnya. Gaya tegak lurus itu diduga berasal dari batuan dasar yang kemungkinan berbentuk benua kecil di bawah Bandung. Perkiraan lainnya ialah magma yang membeku atau justru sedang membangun tenaga.(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api)
Geolog dari Pusat Survei Geologi, Sutikno Bronto dan Udi Hartono, dalam tulisannya, Potensi Sumber Daya Geologi di Daerah Cekungan Bandung dan Sekitarnya (2006), menyebutkan, Cekungan Bandung dikelilingi oleh jajaran kerucut gunung api berumur kuarter. Hanya bagian barat Cekungan Bandung yang dibatasi batuan berumur tersier dan batu gamping.
Penelitian sebelumnya menunjukkan pengendapan dalam Cekungan Bandung dimulai 126.000 tahun lalu, berupa batuan gunung api dan sedimen danau. Di antara tanah purba dan batuan sedimen terbawah Cekungan Bandung itu ada banyak lapisan abu gunung api sebagai penanda adanya kegiatan gunung api yang mengawali pembentukan Danau Bandung. Adanya aliran air Sungai Citarum yang terbendung akibat lontaran batuan Gunung Sunda disebut-sebut ikut mengisi cekungan raksasa itu.
Geolog dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Yulianto, mengatakan, terjadinya danau yang merendam Kota Bandung itu melalui beberapa tahap dan terakhir terbentuk sekitar 20.000 tahun lalu.
Konon, raibnya danau itu disebabkan kebocoran. Namun, ada yang berargumen itu diakibatkan pendangkalan karena adanya material yang terbawa ke danau dan mengendap.
Menurut Eko Yulianto, endapan danau purba itu pula yang menyebabkan kawasan Cekungan Bandung bertanah lunak.
Sutikno Bronto dan Udi Hartono mencurigai Cekungan Bandung sebagai sistem kaldera gunung api jamak. Terdapat pola menyerupai busur mulai dari Cianjur-Jatiluhur di sebelah barat laut, Subang di bagian utara dan timur laut, serta Gunung Tampomas-Majalengka di sebelah timur laut. Pola kelurusan ini dikenal sebagai patahan Bandung Raya yang terbentuk dari gabungan Patahan Cimandiri, Karawang, Subang, dan Baribis. Di selatan sistem patahan itu terdapat patahan lain seperti Padalarang, Lembang, Tampomas, dan Kuningan-Cilacap.
Pola cembung itu menunjukkan adanya gaya yang bersumber dari satu tempat lalu menyebar. Salah satu dugaannya ialah keberadaan gaya vertikal dari bawah Cekungan Bandung dan sekitarnya. Gaya tegak lurus itu diduga berasal dari batuan dasar yang kemungkinan berbentuk benua kecil di bawah Bandung. Perkiraan lainnya ialah magma yang membeku atau justru sedang membangun tenaga.(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api)
Selain itu ada juga cerita rakyat yang menceritakan tentang bagaimana morfologi Bandung terbentuk:
Quote:
Dalam cerita rakyat itu, tokoh Dayang Sumbi lahir dari wanita bersahabaja yang diidentikan dengan seekor babi betina yang hidup di hutan Priangan. Kisahnya berawal ketika seorang Raja yang sedang berburu di hutan. Tanpa memperhatikan lagi etika sebagai penguasa, ia kencing di sembarang tempat. Air seninya ditampung di dalam batok kelapa.
Kebetulan, hari itu udara terasa sangat panas. Untuk menghilangkan dahaga, seekor babi betina keluar dari tempat tinggalnya mencari air. Ia merasa beruntung karena di tengah perjalanan menemukan air yang berada di batok kelapa. Tanpa berpikir panjang lagi, air tersebut diminum sehingga dahaganya terpuaskan.
Peristiwa yang berlangsung singkat itu ternyata berbuntut panjang. Babi betina berbadan gemuk dengan kulit putih itu mendadak mengalami perubahan. Ia bunting. Setelah sembilan bulan, lahir bayi perempuan yang mungil dan cantik yang diberi nama Dayang Sumbi. Sadar bahwa bayi itu memiliki hubungan dengan Raja, maka ia memembawanya ke istana dan menyerahkannya kepada Raja. Ia diasuh para dayang bersama putra-putri Raja yang lainnya.
Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Namun karena kecantikannya melebihi putri-putri Raja yang lainnya, maka ia menjadi sumber iri dan fitnah. Dayang Sumbi kemudian diusir. Ia meninggalkan istana tanpa tujuan yang jelas dengan ditemani Si Tumang, seekor anjing yang berkulit hitam dan sekaligus menjadi pengawalnya.
Sepanjang hari itu, desa-desa yang menjadi perkampungan penduduk dilewati sudah. Sepanjang jalan yang dilalui, penduduknya menyaksikan kepergiannya dengan perasaan haru. Apalagi kaum wanitanya. Namun tidak seorang pun yang berani menolong.
Ketika kampung terakhir dilewati, di depannya menghadang hutan lebat. Hatinya berusaha ditegar-tegarkan, walau hanya berdua dengan Si Tumang. Mahluk yang dilambangkan sebagai anjing itu sebenarnya merupakan manusia biasa yang bertugas menghamba kepada tuannya. Ia biasa hidup dengan menjilat-jilat agar bisa memperoleh belas kasih dari majikannya. Wajahnya buruk dan kulitnya hitam. Raja sengaja menugaskan Si Tumang agar anaknya tidak jatuh cinta.
Dan ketika keduanya tiba di suatu lembah yang subur, Dayang Sumbi memilihnya sebagai tempat berteduh. Lembah itu dikelilingi hutan lebat yang menghijau. Dari jauh, sayup-sayup terdengar gemerecik air sungai yang bening. Dayang Sumbi memutuskan mendirikan tempat istirahat berupa gubuk. Ia menempati lantai atas, sementara Si Tumang menjaganya di bawah gubuk.
Di tempat inilah Dayang Sumbi menghabiskan waktunya sepanjang hari dengan menenun, sebuah ketrampilan yang diperolehnya selama berada di istana. Namun karena kegiatan ini pula hubungan kedua insan tersebut berubah. Keduanya tidak lagi menjalani hidup yang sebatas antara putri Raja dengan pengawalnya yang berwajah buruk.
****
Kisah kedua insan itu berawal ketika suatu hari, Dayang Sumbi kelelahan setelah menenun. Perasaannya jenuh. Dalam sekapan udara yang sejuk dan dan angin gunung bertiup sepoi-sepoi, ia tertidur. Namun tanpa terasa, alat tenun yang ada di genggaman tangannya terlepas dan jatuh. Ketika terjaga, ia merasa segan memungutnya. Perasaannya masih dikuasai kantuk yang belum hilang.
Dalam keadaan setengah sadar, ia bergumam seolah pada dirinya sendiri. Katanya, “Siapa saja yang membantu memungut alat tenuh tersebut, jika wanita akan dijadikan saudara dan jika laki-laki akan dijadikan suami.”
Ucapan itu didengar oleh Si Tumang. Ia segera mengambil alat tenun tersebut dan kemudian menyerahkan pada majikannya. Dayang Sumbi terkejut bukan main. Tetapi bagaimanapun ia sudah terlanjur berjanji dan janji adalah utang yang harus dibayar. Putri Raja yang terbuang itu akhirnya menerima kehadiran Si Tumang bukan lagi sebagai pengawal. Sejak itu, keduanya hidup bersama.
Dari hubungan kedua insan itu kemudian lahir bayi laki-laki. Berbeda dengan Si Tumang yang menjadi ayahnya, wajah bayi itu nampak tampan. Kulitnya putih dan hidungnya mancung, mirip dengan ibunya. Bayi itu diberi nama Sangkuriang. Selama bertahun-tahun, ia tumbuh dalam suasana penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sangkuriang menjadi seorang remaja yang gagah dan tampan. Ia memiliki keahlian berburu karena sejak kecil sering dibawa Si Tumang ke hutan. Sehingga di tangannya, tidak ada binatang buruan yang bisa lepas dari bidikan panahnya.
Namun suatu hari, ayah dan anaknya itu kesulitan menemukan binatang buruannya. Padahal sebelum berangkat, ibunya berpesan minta dibawakan hati kijang hasil buruannya. Sangkuriang merasa cemas mengingat matahari sudah lama bergeser dari puncaknya. Di benak hatinya terbayang, betapa ibunya akan kecewa jika ia pulang dengan tangan hampa.
Karena tidak ingin mengecewakan ibunya, entah setan apa yang tiba-tiba saja menguasai dirinya. Sangkuriang dalam sekejap merentangkan busurnya. Seketika itu juga anak panahnya melesat kemudian menancap di dada Si Tumang yang berdiri beberapa puluh langkah di depannya. Si Tumang menggelepar-gelepar meregang nyawa. Darahnya mengalir membasahi sekujur tubuhnya. Namun saat meregang nyawa, mulutnya komat-kamit. Suaranya terputus-putus karena menahan rasa sakit, entah apa yang diucapkan. Si Tumang meninggal ditangan darah dagingnya sendiri. Tanpa merasa iba sedikuit pun, Sangkuriang membelah dada korbannya. Diambilnya jantung Si Tumang lalu diserahkan pada ibunya yang sejak lama menantikan kedatangannya.
Sore itu, ibu dan anaknya makan bersama. Namun selama itu, ibunya tak habis pikir mengapa Si Tumang tidak pulang bersama anaknya. Dan setiap kali ibunya bertanya tentang keberadaan suaminya, Sangkuriang selalu berusaha menyembunyikan nasib malang yang dialami Si Tumang. Karena pertanyaan itu disampaikan berulang-ulang, Sangkuriang akhirnya berterus terang.
Seketika itu juga ibunya marah besar. Ia mengambil sendok sayur lalu memukulkan ke kepala anaknya sehingga berdarah-darah. Sejak itu, Sangkuriang diusir. Namun sebelum berpisah, ibunya melepas cincin dari jari manisnya dan menyerahkan pada Sangkuriang. “Kelak jika kamu temukan wanita yang jari manisnya cocok dengan cincin ini, jadikanlah dia istrimu,” katanya.
****
Bertahun-tahun lamanya Sangkuriang terpisah dengan ibunya. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya seraya berguru berbagai ilmu. Akan tetapi ibarat pepatah “sejauh-jauhnya terbang bangau akhirnya kembali juga ke sarangnya”, Sangkuriang berhasil bertemu kembali dengan wanita yang melahirkannya. Namun keduanya tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki hubungan sedarah. Sangkuriang sudah menjadi laki-laki yang gagah dan tampan. Badannya kekar, dadanya bidang. Akan halnya Dayang Sumbi tetap muda dan cantik. Kedua insan itu sama-sama jatuh cinta dalam pandangan pertama sehingga dalam waktu singkat sudah merencanakan menikah.
Tetapi penyesalan akibat keputusan itu datangnya sudah terlambat. Setelah melihat ciri fisik bekas pukulan di kepala Sangkuriang, Dayang Sumbi baru menyadari bahwa pemuda tampan yang berdiri di depannya adalah anaknya kandungnya. Dia merupakan darah dagingnya sendiri yang dilahirkan dari rahimnya lebih dari seperempat abad lalu. Selain itu, ia menggunakan cincin pemberiannya saat Sangkuriang diusir karena sudah membunuh ayah kandungnya.
Dayang Sumbi berusaha membatalkan perkimpoiannya yang sudah diambang pintu. Untuk itu, ia mengajukan “mas kimpoi” agar dibuatkan danau dan perahunya dalam semalam sehingga keduanya bisa berlayar melaksanakan bulan madu.
Bukan Sangkuriang jika tidak menyanggupinya. Dengan kesaktiannya yang didapat selama berkelana, ia mengerahkan jin dan mahluk halus lainnya membendung Sungai Citarum. Sebagian membuat perahu, sehingga setelah lewat tengah malam pekerjaannya hampir selesai.
Melihat kenyataan itu, kini Dayang Sumbi yang gelisah. Dengan segenap kesaktiannya, ia memohon kepada dewata agar perkimpoiannya tidak dikabulkan. Adalah terkutuk hidupnya jika sampai terjadi seorang ibu harus menjadi istri anak kandungnya sendiri.
Dayang Sumbi memohon petunjuk. Dari atas sebuah puncak gunung Puncaklarang, ia bangkit dan kemudian berlari seraya mengkibar-kibarkan kain selendangnya yang berwarna putih. Pantulan sinar kain itu terlihat menyerupai fajar sehingga membangunkan hewan penghuni seisi hutan. Ayam-ayam jantan berkokok saling bersahutan. Sementara burung-burung bernyanyi gembira menyambut datangnya pagi.
Fajar “tipuan” itu membuat Sangkuriang kecewa bercampur marah. Ia tidak bisa lagi membendung amarahnya. Perahunya yang hampir selesai kemudian ditendang hingga terlempar jauh dan kemudian jatuh terbalik. Untuk melapiaskan dendamnya, ia mengejar Dayang Sumbi. Ibu yang bernasib malang itu ternyata lebih memilih “berputih tulang daripada berputih mata”. Ia menerjunkan diri dari atas bukit dan kemudian jatuh di atas lunas perahu yang terbalik sehingga tercipta lubang sangat besar menembus kulit bumi.
Kelak perahu yang dibuat Sangkuriang tersebut berubah menjadi gunung. Karena bentuknya terbalik, gunung itu dinamakan Gunung Tangkubanperahu. Dalam bahasa Sunda, “tangkub” berasal dari kata “nangkub” yang artinya terbalik. Kawah Ratu yang terdapat di puncaknya berasal dari lubang tempat Dayang Sumbi menerjunkan diri. Ketika hal itu terjadi, selendangnya lepas terbawa angin dan jatuh di suatu tempat. Lokasinya kini terletak pada aliran Sungai Cikapundung yang berada dalam lingkungan Taman Hutan Raya (THR) Ir H Djuanda di daerah Dago Pakar.
Berada pada sebuah tebing curam yang terletak di antara Curug Lalay dan Cikidang, selendang Dayang Sumbi ditemukan petugas THR Ir Djuanda pada akhir tahun 2010. Akan tetapi bentuknya sudah berubah menjadi lava pahoehoe (baca paho-e ho-e) yang unik. Warnanya hitam gelap bermotifkan lipatan-lipatan mirip anyaman-anyaman pada kain, sehingga menyerupai batik yang berada di atas permukaan batu.
Kebetulan, hari itu udara terasa sangat panas. Untuk menghilangkan dahaga, seekor babi betina keluar dari tempat tinggalnya mencari air. Ia merasa beruntung karena di tengah perjalanan menemukan air yang berada di batok kelapa. Tanpa berpikir panjang lagi, air tersebut diminum sehingga dahaganya terpuaskan.
Peristiwa yang berlangsung singkat itu ternyata berbuntut panjang. Babi betina berbadan gemuk dengan kulit putih itu mendadak mengalami perubahan. Ia bunting. Setelah sembilan bulan, lahir bayi perempuan yang mungil dan cantik yang diberi nama Dayang Sumbi. Sadar bahwa bayi itu memiliki hubungan dengan Raja, maka ia memembawanya ke istana dan menyerahkannya kepada Raja. Ia diasuh para dayang bersama putra-putri Raja yang lainnya.
Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Namun karena kecantikannya melebihi putri-putri Raja yang lainnya, maka ia menjadi sumber iri dan fitnah. Dayang Sumbi kemudian diusir. Ia meninggalkan istana tanpa tujuan yang jelas dengan ditemani Si Tumang, seekor anjing yang berkulit hitam dan sekaligus menjadi pengawalnya.
Sepanjang hari itu, desa-desa yang menjadi perkampungan penduduk dilewati sudah. Sepanjang jalan yang dilalui, penduduknya menyaksikan kepergiannya dengan perasaan haru. Apalagi kaum wanitanya. Namun tidak seorang pun yang berani menolong.
Ketika kampung terakhir dilewati, di depannya menghadang hutan lebat. Hatinya berusaha ditegar-tegarkan, walau hanya berdua dengan Si Tumang. Mahluk yang dilambangkan sebagai anjing itu sebenarnya merupakan manusia biasa yang bertugas menghamba kepada tuannya. Ia biasa hidup dengan menjilat-jilat agar bisa memperoleh belas kasih dari majikannya. Wajahnya buruk dan kulitnya hitam. Raja sengaja menugaskan Si Tumang agar anaknya tidak jatuh cinta.
Dan ketika keduanya tiba di suatu lembah yang subur, Dayang Sumbi memilihnya sebagai tempat berteduh. Lembah itu dikelilingi hutan lebat yang menghijau. Dari jauh, sayup-sayup terdengar gemerecik air sungai yang bening. Dayang Sumbi memutuskan mendirikan tempat istirahat berupa gubuk. Ia menempati lantai atas, sementara Si Tumang menjaganya di bawah gubuk.
Di tempat inilah Dayang Sumbi menghabiskan waktunya sepanjang hari dengan menenun, sebuah ketrampilan yang diperolehnya selama berada di istana. Namun karena kegiatan ini pula hubungan kedua insan tersebut berubah. Keduanya tidak lagi menjalani hidup yang sebatas antara putri Raja dengan pengawalnya yang berwajah buruk.
****
Kisah kedua insan itu berawal ketika suatu hari, Dayang Sumbi kelelahan setelah menenun. Perasaannya jenuh. Dalam sekapan udara yang sejuk dan dan angin gunung bertiup sepoi-sepoi, ia tertidur. Namun tanpa terasa, alat tenun yang ada di genggaman tangannya terlepas dan jatuh. Ketika terjaga, ia merasa segan memungutnya. Perasaannya masih dikuasai kantuk yang belum hilang.
Dalam keadaan setengah sadar, ia bergumam seolah pada dirinya sendiri. Katanya, “Siapa saja yang membantu memungut alat tenuh tersebut, jika wanita akan dijadikan saudara dan jika laki-laki akan dijadikan suami.”
Ucapan itu didengar oleh Si Tumang. Ia segera mengambil alat tenun tersebut dan kemudian menyerahkan pada majikannya. Dayang Sumbi terkejut bukan main. Tetapi bagaimanapun ia sudah terlanjur berjanji dan janji adalah utang yang harus dibayar. Putri Raja yang terbuang itu akhirnya menerima kehadiran Si Tumang bukan lagi sebagai pengawal. Sejak itu, keduanya hidup bersama.
Dari hubungan kedua insan itu kemudian lahir bayi laki-laki. Berbeda dengan Si Tumang yang menjadi ayahnya, wajah bayi itu nampak tampan. Kulitnya putih dan hidungnya mancung, mirip dengan ibunya. Bayi itu diberi nama Sangkuriang. Selama bertahun-tahun, ia tumbuh dalam suasana penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sangkuriang menjadi seorang remaja yang gagah dan tampan. Ia memiliki keahlian berburu karena sejak kecil sering dibawa Si Tumang ke hutan. Sehingga di tangannya, tidak ada binatang buruan yang bisa lepas dari bidikan panahnya.
Namun suatu hari, ayah dan anaknya itu kesulitan menemukan binatang buruannya. Padahal sebelum berangkat, ibunya berpesan minta dibawakan hati kijang hasil buruannya. Sangkuriang merasa cemas mengingat matahari sudah lama bergeser dari puncaknya. Di benak hatinya terbayang, betapa ibunya akan kecewa jika ia pulang dengan tangan hampa.
Karena tidak ingin mengecewakan ibunya, entah setan apa yang tiba-tiba saja menguasai dirinya. Sangkuriang dalam sekejap merentangkan busurnya. Seketika itu juga anak panahnya melesat kemudian menancap di dada Si Tumang yang berdiri beberapa puluh langkah di depannya. Si Tumang menggelepar-gelepar meregang nyawa. Darahnya mengalir membasahi sekujur tubuhnya. Namun saat meregang nyawa, mulutnya komat-kamit. Suaranya terputus-putus karena menahan rasa sakit, entah apa yang diucapkan. Si Tumang meninggal ditangan darah dagingnya sendiri. Tanpa merasa iba sedikuit pun, Sangkuriang membelah dada korbannya. Diambilnya jantung Si Tumang lalu diserahkan pada ibunya yang sejak lama menantikan kedatangannya.
Sore itu, ibu dan anaknya makan bersama. Namun selama itu, ibunya tak habis pikir mengapa Si Tumang tidak pulang bersama anaknya. Dan setiap kali ibunya bertanya tentang keberadaan suaminya, Sangkuriang selalu berusaha menyembunyikan nasib malang yang dialami Si Tumang. Karena pertanyaan itu disampaikan berulang-ulang, Sangkuriang akhirnya berterus terang.
Seketika itu juga ibunya marah besar. Ia mengambil sendok sayur lalu memukulkan ke kepala anaknya sehingga berdarah-darah. Sejak itu, Sangkuriang diusir. Namun sebelum berpisah, ibunya melepas cincin dari jari manisnya dan menyerahkan pada Sangkuriang. “Kelak jika kamu temukan wanita yang jari manisnya cocok dengan cincin ini, jadikanlah dia istrimu,” katanya.
****
Bertahun-tahun lamanya Sangkuriang terpisah dengan ibunya. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya seraya berguru berbagai ilmu. Akan tetapi ibarat pepatah “sejauh-jauhnya terbang bangau akhirnya kembali juga ke sarangnya”, Sangkuriang berhasil bertemu kembali dengan wanita yang melahirkannya. Namun keduanya tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki hubungan sedarah. Sangkuriang sudah menjadi laki-laki yang gagah dan tampan. Badannya kekar, dadanya bidang. Akan halnya Dayang Sumbi tetap muda dan cantik. Kedua insan itu sama-sama jatuh cinta dalam pandangan pertama sehingga dalam waktu singkat sudah merencanakan menikah.
Tetapi penyesalan akibat keputusan itu datangnya sudah terlambat. Setelah melihat ciri fisik bekas pukulan di kepala Sangkuriang, Dayang Sumbi baru menyadari bahwa pemuda tampan yang berdiri di depannya adalah anaknya kandungnya. Dia merupakan darah dagingnya sendiri yang dilahirkan dari rahimnya lebih dari seperempat abad lalu. Selain itu, ia menggunakan cincin pemberiannya saat Sangkuriang diusir karena sudah membunuh ayah kandungnya.
Dayang Sumbi berusaha membatalkan perkimpoiannya yang sudah diambang pintu. Untuk itu, ia mengajukan “mas kimpoi” agar dibuatkan danau dan perahunya dalam semalam sehingga keduanya bisa berlayar melaksanakan bulan madu.
Bukan Sangkuriang jika tidak menyanggupinya. Dengan kesaktiannya yang didapat selama berkelana, ia mengerahkan jin dan mahluk halus lainnya membendung Sungai Citarum. Sebagian membuat perahu, sehingga setelah lewat tengah malam pekerjaannya hampir selesai.
Melihat kenyataan itu, kini Dayang Sumbi yang gelisah. Dengan segenap kesaktiannya, ia memohon kepada dewata agar perkimpoiannya tidak dikabulkan. Adalah terkutuk hidupnya jika sampai terjadi seorang ibu harus menjadi istri anak kandungnya sendiri.
Dayang Sumbi memohon petunjuk. Dari atas sebuah puncak gunung Puncaklarang, ia bangkit dan kemudian berlari seraya mengkibar-kibarkan kain selendangnya yang berwarna putih. Pantulan sinar kain itu terlihat menyerupai fajar sehingga membangunkan hewan penghuni seisi hutan. Ayam-ayam jantan berkokok saling bersahutan. Sementara burung-burung bernyanyi gembira menyambut datangnya pagi.
Fajar “tipuan” itu membuat Sangkuriang kecewa bercampur marah. Ia tidak bisa lagi membendung amarahnya. Perahunya yang hampir selesai kemudian ditendang hingga terlempar jauh dan kemudian jatuh terbalik. Untuk melapiaskan dendamnya, ia mengejar Dayang Sumbi. Ibu yang bernasib malang itu ternyata lebih memilih “berputih tulang daripada berputih mata”. Ia menerjunkan diri dari atas bukit dan kemudian jatuh di atas lunas perahu yang terbalik sehingga tercipta lubang sangat besar menembus kulit bumi.
Kelak perahu yang dibuat Sangkuriang tersebut berubah menjadi gunung. Karena bentuknya terbalik, gunung itu dinamakan Gunung Tangkubanperahu. Dalam bahasa Sunda, “tangkub” berasal dari kata “nangkub” yang artinya terbalik. Kawah Ratu yang terdapat di puncaknya berasal dari lubang tempat Dayang Sumbi menerjunkan diri. Ketika hal itu terjadi, selendangnya lepas terbawa angin dan jatuh di suatu tempat. Lokasinya kini terletak pada aliran Sungai Cikapundung yang berada dalam lingkungan Taman Hutan Raya (THR) Ir H Djuanda di daerah Dago Pakar.
Berada pada sebuah tebing curam yang terletak di antara Curug Lalay dan Cikidang, selendang Dayang Sumbi ditemukan petugas THR Ir Djuanda pada akhir tahun 2010. Akan tetapi bentuknya sudah berubah menjadi lava pahoehoe (baca paho-e ho-e) yang unik. Warnanya hitam gelap bermotifkan lipatan-lipatan mirip anyaman-anyaman pada kain, sehingga menyerupai batik yang berada di atas permukaan batu.


Selamat Ulang Tahun Bandung, kota kelahiranku..
sumber
Quote:
Quote:
Diubah oleh suciders 27-09-2014 11:37


nona212 memberi reputasi
1
11.3K
Kutip
40
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan