- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
5 alasan kenapa banyak Manajer IT di Indonesia yang perlu ‘diganti’


TS
xehis77
5 alasan kenapa banyak Manajer IT di Indonesia yang perlu ‘diganti’
malam semuanya ... barusan nemu artikel yang menurut saya sangat2 menarik... so ane share deh..
semoga gak repost

** sekedar tambahan untuk yang belum tau apa itu scrum ?? **
Scrum adalah sebuah kerangka kerja sederhana dimana orang-orang yang akan bekerja dapat menyelesaikan masalah-masalah kompleks dan dapat mengembangkan produk dengan nilai setinggi mungkin secara produktif dan kreatif.
so mari kita mulai membahas 5 Alasan Kenapa banyak manajer IT indonesia yang perlu di ganti
Bukankah tugasnya manajer adalah memberikan instruksi kepada bawahannya? Instruksi tidak menghasilkan engagement, instruksi akan menghasilkan submission. Orang-orang yang tunduk pada perintah tidak akan menjadi orang-orang yang kreatif dan bisa berpikir out-of-the-box tetapi cenderung pasif dan bloon.
kita semua setuju kan orang yg pasif yang selalu menunggu intruksi dan bila ini dijadikan kebudayaan didalam organisasi kita, dapat kita bayangkan organisasi tersebut tidak akan maju.
Oleh karena itu dalam training Scrum yang saya jalankan di Indonesia saya selalu saja menemukan orang-orang yang mempertanyakan pertanyaan dengan template seperti berikut:
Boleh tidak kita melakukan … dalam Scrum? Apakah salah bila kita melakukan … dalam Scrum?
orang-orang yang lebih sering mempertanyakan “boleh atau tidak” daripada “membawa nilai untuk perusahaan atau tidak”. Ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, kita tidak bisa merubah masa lalu akibat sistem pendidikan ataupun model kepemimpinan tetapi kita bisa merubah cara kita memimpin organisasi kita mulai hari ini.
Untuk menghasilkan orang-orang yang kreatif dan engaged, manajer harus mulai mengalihkan fokusnya ke visi daripada ditel pelaksanaan pekerjaan dan memberi ruang ambiguitas agar orang-orang yang bekerja bisa leluasa berkreasi.
Manajer memegang peranan penting dan harus tahu apa tujuan (goal) dari organisasi dan proyek yang ia pegang agar orang-orang di dalam organisasinya dapat menjadi lebih engaged karena orang-orang yang engaged akan menjadi orang-orang yang kreatif.
Kebanyakan orang Indonesia lebih berorientasi pada hasil, bukan proses.
Ketika tren pekerjaan di belahan dunia lain sedang bergerak ke arah Scrum Master yang lebih berorientasi pada proses, perusahaan-perusahaan di Indonesia terlalu lama tidur terlelap dan lebih memilih manajer proyek yang berorientasi pada hasil.
Manajer yang baik akan lebih berorientasi pada proses dan perkembangan (progress) dan bukan hanya hasil, karena manusia adalah mahluk yang berkembang melalui tahapan dan proses. Manajer yang baik akan sabar dalam menunggu perkembangan di dalam organisasi yang ia pimpin.
Salah satu bentuk ketidak-sabaran para manajer yang sering saya lihat adalah menunggu perkembangan kedewasaan dari tim Scrumnya. Berkaitan dengan poin sebelumnya, ketika manajer berpindah haluan dari memberi instruksi secara rinci menuju ke penyebaran visi, apakah timnya akan langsung memahami cara kerja baru ini? Kemungkinan besar tidak.
Dalam sebuah meeting dengan para pimpinan perusahaan, saya pernah memberi tahu mereka bahwa sebagai pemimpin mereka harus melindungi anggota timnya dan sabar menunggu kultur kerja Scrum melekat dalam tim dan proses maturity team karena perubahan dan manfaat yang didapatkan dari Scrum tidak akan terjadi dalam semalam. Namun responnya cukup mengecewakan, mereka mengatakan kepada saya: “Tapi bagaimana dong Pak, pimpinan sudah memberikan deadline dan tekanan kepada kami”. Kultur otoriter model top-down tanpa peduli dengan proses dan mengharapkan sesuatu yang instan sudah terlalu kental dan melekat dalam perusahaan tersebut sampai seorang middle-level manager pun takut untuk berbuat hal yang benar untuk orang-orang di dalam organisasinya. Ia bukannya menggunakan otoritas yang ia miliki untuk melindungi timnya namun justru meneruskan tekanan dan sifat otoriter tersebut ke bawah lagi. Dan setelah saya gali lebih dalam, ternyata turnover di perusahaan tersebut tergolong sangat tinggi. Orang-orang di dalam organisasi tersebut berisi para penakut yang merasa tidak bahagia bekerja disitu. Dan kalaupun mereka masih bertahan disitu, alasannya adalah UANG tetapi mereka tidak engaged sama sekali dengan perusahaan.
Manajer-manajer di Indonesia hampir selalu fokus pada deadline dan hasil, seolah-olah manusia hanyalah resource. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa budaya continuous learning adalah sesuatu yang sangat eksklusif dan tidak ada harganya di Indonesia. Continuous learning merupakan investasi jangka waktu panjang yang akan menghasilkan orang-orang yang kreatif dan tidak pernah puas dengan state of the art. Orang-orang seperti itu menjadikan organisasi sebagai knowledge organisation.
Manajer terlalu terbosesi untuk mengukur orang-orangnya yang sebenarnya tidak bisa diukur sama sekali dengan satuan apapun karena manusia bukanlah mesin yang bisa diprediksi dan bisa diukur, manusia adalah ciptaan Tuhan yang unik yang tidak bisa distandarisasikan lewat metrik apapun juga. Ketika sebuah metrik digunakan sebagai acuan, orang-orang yang mengerjakan pekerjaan tersebut hanya akan berperilaku sesuai dengan target yang sudah ditetapkan dan mengesampingkan hal-hal lainnya yang mungkin lebih penting dalam proses pengerjaan pekerjaan, seperti kreatifitas, kolaborasi dan excellence. Itu adalah sifat alami manusia.
If you give a manager a numerical target, he’ll make it, even if he has to destroy the company in the process. — W. Edwards Deming.
Metrik yang sering digunakan oleh manajer adalah berapa banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan, yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi di era internet ini. Ketika manajer menggunakan on-scope dan on-time sebagai metrik produktifitas tim, apakah mereka akan mendapatkannya dari orang-orang yang mengerjakannya? Kemungkinan mereka akan mendapatkannya. Tetapi mereka juga akan mendapatkan banyak hal lainnya yang dapat menghancurkan perusahaan.
1. Defect atau fitur yang ternyata tidak sesuai yang diharapkan
2.Software developer yang harus banyak lembur untuk mencapai target tersebut — lembur sendiri adalah salah satu faktor penyebab low engagement dan high turnover di industri teknologi informasi di Indonesia
3.Karena sering lembur, banyak software developer yang membenci pekerjaannya (low morale)
4.Respek yang rendah dari orang-orang yang bekerja dengan dia
5.Software developer yang mengembangkan fitur sesuai dengan instruksi saja, tidak kreatif dan tidak berkolaborasi dengan pengguna untuk meningkatkan value dari produk
6.Selain hanya bekerja sesuai instruksi, kode yang ditulis oleh programmer kotor dan sulit untuk dimaintain karena mereka harus kejar tayang
7.Software developer individualis, egois dan tidak berkolaborasi dengan fungsi lainnya seperti business analyst, tester, programmer lainnya di dalam organisasi untuk mengembangkan sebuah fitur. “Itu kan bukan pekerjaan gw, itu kan pekerjaan tester, itu kan pekerjaan business analyst”. “Aduh gw masih banyak proyek lain yang menunggu dan sudah ada deadline lagi nih, nanti dulu deh”.
Software developer tidak berkolaborasi dan bekerja terkotak-kotak hanya karena kolaborasi tidak masuk dalam Key Performance Indicator (KPI) mereka. KPI ini telah berhasil menghasilkan orang-orang yang jago untuk memanipulasi metrik, enggan untuk berkolaborasi, menunggu perintah, takut untuk gagal, takut untuk berpikir out-of-the-box karena bila idenya gagal mereka akan disalahkan dan kesalahan mereka akan berdampak pada performance appraisal di akhir tahun.
Ketika orang-orang di dalam organisasi mendapatkan dukungan untuk berkolaborasi, merasa aman (untuk gagal) dan dapat membawa seluruh dirinya apa adanya, mereka bersama dapat menciptakan banyak hal kreatif.
Daripada mengukur orang-orang di dalam organisasi, seharusnya manajer-manajer di Indonesia mulai fokus untuk memberikan coaching seperti yang dilakukan oleh Scrum Master dan bekerja sama dengan Human Resource Department (HRD) untuk membuang metrik dan KPI yang tidak bermanfaat agar timnya dapat merasa aman (untuk gagal) karena inovasi berasal dari beberapa kegagalan.
Sebagaimana saya paparkan di poin sebelumnya, di industri teknologi informasi di Indonesia, metrik yang sering digunakan oleh para manajer adalah time vs scope dan pertanyaan yang sering ditanyakan oleh para manajer kepada software developer adalah: “butuh berapa hari untuk mengerjakan fitur ini?”. Namun sering kali estimasi yang diberikan oleh software developer dijadikan kontrak oleh para manajer. Beberapa hari kemudian manajer tersebut akan kembali menagih janji (estimasi) dari software developer.
Lalu apa akibatnya dari meminta kepastian dari jenis pekerjaan yang memiliki banyak kepastian? Akhirnya sering kali kita menemukan software developer memberikan buffer di atas estimasi yang mereka berikan kepada manajernya, agar mereka aman. Dan tidak jarang manajer memberikan buffer lagi di atas estimasi yang diberikan oleh software developer kepada pengguna. Akhirnya terjadi buffer yang berjenjang.
Daripada sibuk mengharapkan kepastian dari sesuatu yang pada dasarnya memiliki banyak ketidak-pastian dan pada akhirnya justru mendapatkan ketidak-transparansian, manajer sebaiknya mengakui adanya ketidak-pastian tersebut di dunia software development dan mulai fokus pada peningkatan transparansi informasi agar setiap pihak dapat berkolaborasi. Manajer IT di Indonesia seharusnya fokus pada Continuous Delivery guna membantu timnya untuk dapat memperpendek Cycle Time dari keseluruhan alur proses sebagaimana yang dilakukan oleh Scrum Master.
Dalam dunia kedokteran, semua keputusan yang dibuat tidak boleh didasari oleh asumsi. Semua keputusan yang dibuat harus berdasarkan fakta di lapangan dan hasil penelitian yang dapat dipertanggung-jawabkan. Keputusan yang dibuat tidak boleh berdasarkan anekdot yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Untuk industri yang memiliki banyak ketidak-pastian, metode evidence based management yang lebih menekankan empirisme lebih tepat guna daripada metode prediktif seperti Waterfall. Berkaitan dengan poin sebelumnya, banyak manajer di Indonesia yang masih menggunakan metrik yang tidak tepat dalam membuat keputusan. Tidak jarang juga, manajer yang tidak tahu metrik evidence based management apa yang harus digunakan, cenderung menggunakan political will yang ia miliki dan gut feeling dalam membuat keputusan.
Manajer harus belajar untuk melepaskan otoritas yang ia miliki kepada orang-orang yang berada dibawahnya agar ia bisa mendapatkan engagement dari timnya. Manajer harus belajar untuk mulai melibatkan timnya dan melepaskan kekuatan politik dalam pembuatan keputusan-keputusan sulit karena orang-orang lebih berkomitmen terhadap keputusan dimana ia juga turut memiliki kontribusi.
Bila software developer (hampir) selalu di-judge tidak memiliki performa yang baik dan dapat diganti bila mereka tidak memenuhi metrik on-time dan on-scope yang telah ditetapkan oleh manajemen, maka manajer seharusnya juga bisa di-judge tidak memiliki performa yang baik dan dapat diganti apabila organisasi yang mereka pimpin memiliki low employee engagement karena itu adalah ruang lingkup pekerjaan mereka.
Bila anda adalah seorang software developer yang memiliki manajer yang anda rasa perlu di-upgrade namun pada saat yang bersamaan anda merasa bahwa diri anda adalah seorang kecil yang tidak akan didengar dan anda menganggap tulisan ini dapat membantu manajer anda untuk menjadi manajer yang lebih baik, silahkan kirimkan tulisan saya ini ke mailing list kantor anda, retweet, share di social media, dipublikasikan kembali di blog anda, dsb dan berdoa agar semakin banyak manajer (IT) di Indonesia yang terbangun dari tidurnya yang lelap dan tersadar kalau cara mereka mengelola organisasi sudah ketinggalan jaman dan perlu di-upgrade.
emoga semakin banyak juga manajer-manajer di Indonesia yang mau membuka diri terhadap pola pikir baru dan meng-upgrade diri mereka agar menjadi relevan terhadap dunia yang sudah berubah cepat dalam dua dekade terakhir. Namun bila anda telah berdoa, berusaha semaksimal mungkin namun manajer anda masih juga tidak mau belajar, silahkan ganti saja manajer anda dengan yang baru, karena saya selalu ingat nasihat seorang mentor saya:
If you can’t change you manager, change your manager.
quote yang bagus dari artikel ini ..
karna ini artikel lumayan panjang.. untuk yang mau baca selengkap2nya silahkan ke sumber nya dibawah ini
SUMBER : [url]https://S E N S O Rmodern-management/5-alasan-kenapa-banyak-manajer-it-di-indonesia-yang-perlu-diganti-642925afbc58[/url]
buka sumber nya agar bisa baca secara keseluruhan
kalau bermanfaat di
or 
semoga gak repost

5 alasan kenapa banyak Manajer IT di Indonesia yang perlu ‘diganti’

** sekedar tambahan untuk yang belum tau apa itu scrum ?? **
Scrum adalah sebuah kerangka kerja sederhana dimana orang-orang yang akan bekerja dapat menyelesaikan masalah-masalah kompleks dan dapat mengembangkan produk dengan nilai setinggi mungkin secara produktif dan kreatif.
so mari kita mulai membahas 5 Alasan Kenapa banyak manajer IT indonesia yang perlu di ganti

Spoiler for 1. Manajer di Indonesia lebih suka memberikan instruksi daripada tujuan (goal):
Bukankah tugasnya manajer adalah memberikan instruksi kepada bawahannya? Instruksi tidak menghasilkan engagement, instruksi akan menghasilkan submission. Orang-orang yang tunduk pada perintah tidak akan menjadi orang-orang yang kreatif dan bisa berpikir out-of-the-box tetapi cenderung pasif dan bloon.
kita semua setuju kan orang yg pasif yang selalu menunggu intruksi dan bila ini dijadikan kebudayaan didalam organisasi kita, dapat kita bayangkan organisasi tersebut tidak akan maju.
Oleh karena itu dalam training Scrum yang saya jalankan di Indonesia saya selalu saja menemukan orang-orang yang mempertanyakan pertanyaan dengan template seperti berikut:
Boleh tidak kita melakukan … dalam Scrum? Apakah salah bila kita melakukan … dalam Scrum?
orang-orang yang lebih sering mempertanyakan “boleh atau tidak” daripada “membawa nilai untuk perusahaan atau tidak”. Ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, kita tidak bisa merubah masa lalu akibat sistem pendidikan ataupun model kepemimpinan tetapi kita bisa merubah cara kita memimpin organisasi kita mulai hari ini.
Untuk menghasilkan orang-orang yang kreatif dan engaged, manajer harus mulai mengalihkan fokusnya ke visi daripada ditel pelaksanaan pekerjaan dan memberi ruang ambiguitas agar orang-orang yang bekerja bisa leluasa berkreasi.
Manajer memegang peranan penting dan harus tahu apa tujuan (goal) dari organisasi dan proyek yang ia pegang agar orang-orang di dalam organisasinya dapat menjadi lebih engaged karena orang-orang yang engaged akan menjadi orang-orang yang kreatif.
Spoiler for 2. Manajer di Indonesia sering kali tidak menghargai proses:
Kebanyakan orang Indonesia lebih berorientasi pada hasil, bukan proses.
Ketika tren pekerjaan di belahan dunia lain sedang bergerak ke arah Scrum Master yang lebih berorientasi pada proses, perusahaan-perusahaan di Indonesia terlalu lama tidur terlelap dan lebih memilih manajer proyek yang berorientasi pada hasil.
Manajer yang baik akan lebih berorientasi pada proses dan perkembangan (progress) dan bukan hanya hasil, karena manusia adalah mahluk yang berkembang melalui tahapan dan proses. Manajer yang baik akan sabar dalam menunggu perkembangan di dalam organisasi yang ia pimpin.
Salah satu bentuk ketidak-sabaran para manajer yang sering saya lihat adalah menunggu perkembangan kedewasaan dari tim Scrumnya. Berkaitan dengan poin sebelumnya, ketika manajer berpindah haluan dari memberi instruksi secara rinci menuju ke penyebaran visi, apakah timnya akan langsung memahami cara kerja baru ini? Kemungkinan besar tidak.
Dalam sebuah meeting dengan para pimpinan perusahaan, saya pernah memberi tahu mereka bahwa sebagai pemimpin mereka harus melindungi anggota timnya dan sabar menunggu kultur kerja Scrum melekat dalam tim dan proses maturity team karena perubahan dan manfaat yang didapatkan dari Scrum tidak akan terjadi dalam semalam. Namun responnya cukup mengecewakan, mereka mengatakan kepada saya: “Tapi bagaimana dong Pak, pimpinan sudah memberikan deadline dan tekanan kepada kami”. Kultur otoriter model top-down tanpa peduli dengan proses dan mengharapkan sesuatu yang instan sudah terlalu kental dan melekat dalam perusahaan tersebut sampai seorang middle-level manager pun takut untuk berbuat hal yang benar untuk orang-orang di dalam organisasinya. Ia bukannya menggunakan otoritas yang ia miliki untuk melindungi timnya namun justru meneruskan tekanan dan sifat otoriter tersebut ke bawah lagi. Dan setelah saya gali lebih dalam, ternyata turnover di perusahaan tersebut tergolong sangat tinggi. Orang-orang di dalam organisasi tersebut berisi para penakut yang merasa tidak bahagia bekerja disitu. Dan kalaupun mereka masih bertahan disitu, alasannya adalah UANG tetapi mereka tidak engaged sama sekali dengan perusahaan.
Manajer-manajer di Indonesia hampir selalu fokus pada deadline dan hasil, seolah-olah manusia hanyalah resource. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa budaya continuous learning adalah sesuatu yang sangat eksklusif dan tidak ada harganya di Indonesia. Continuous learning merupakan investasi jangka waktu panjang yang akan menghasilkan orang-orang yang kreatif dan tidak pernah puas dengan state of the art. Orang-orang seperti itu menjadikan organisasi sebagai knowledge organisation.
Spoiler for 3. Manajer di Indonesia belum membuat lingkungan kerja sebagai tempat yang aman untuk gagal:
Manajer terlalu terbosesi untuk mengukur orang-orangnya yang sebenarnya tidak bisa diukur sama sekali dengan satuan apapun karena manusia bukanlah mesin yang bisa diprediksi dan bisa diukur, manusia adalah ciptaan Tuhan yang unik yang tidak bisa distandarisasikan lewat metrik apapun juga. Ketika sebuah metrik digunakan sebagai acuan, orang-orang yang mengerjakan pekerjaan tersebut hanya akan berperilaku sesuai dengan target yang sudah ditetapkan dan mengesampingkan hal-hal lainnya yang mungkin lebih penting dalam proses pengerjaan pekerjaan, seperti kreatifitas, kolaborasi dan excellence. Itu adalah sifat alami manusia.
If you give a manager a numerical target, he’ll make it, even if he has to destroy the company in the process. — W. Edwards Deming.
Metrik yang sering digunakan oleh manajer adalah berapa banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan, yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi di era internet ini. Ketika manajer menggunakan on-scope dan on-time sebagai metrik produktifitas tim, apakah mereka akan mendapatkannya dari orang-orang yang mengerjakannya? Kemungkinan mereka akan mendapatkannya. Tetapi mereka juga akan mendapatkan banyak hal lainnya yang dapat menghancurkan perusahaan.
1. Defect atau fitur yang ternyata tidak sesuai yang diharapkan
2.Software developer yang harus banyak lembur untuk mencapai target tersebut — lembur sendiri adalah salah satu faktor penyebab low engagement dan high turnover di industri teknologi informasi di Indonesia
3.Karena sering lembur, banyak software developer yang membenci pekerjaannya (low morale)
4.Respek yang rendah dari orang-orang yang bekerja dengan dia
5.Software developer yang mengembangkan fitur sesuai dengan instruksi saja, tidak kreatif dan tidak berkolaborasi dengan pengguna untuk meningkatkan value dari produk
6.Selain hanya bekerja sesuai instruksi, kode yang ditulis oleh programmer kotor dan sulit untuk dimaintain karena mereka harus kejar tayang
7.Software developer individualis, egois dan tidak berkolaborasi dengan fungsi lainnya seperti business analyst, tester, programmer lainnya di dalam organisasi untuk mengembangkan sebuah fitur. “Itu kan bukan pekerjaan gw, itu kan pekerjaan tester, itu kan pekerjaan business analyst”. “Aduh gw masih banyak proyek lain yang menunggu dan sudah ada deadline lagi nih, nanti dulu deh”.
Software developer tidak berkolaborasi dan bekerja terkotak-kotak hanya karena kolaborasi tidak masuk dalam Key Performance Indicator (KPI) mereka. KPI ini telah berhasil menghasilkan orang-orang yang jago untuk memanipulasi metrik, enggan untuk berkolaborasi, menunggu perintah, takut untuk gagal, takut untuk berpikir out-of-the-box karena bila idenya gagal mereka akan disalahkan dan kesalahan mereka akan berdampak pada performance appraisal di akhir tahun.
Ketika orang-orang di dalam organisasi mendapatkan dukungan untuk berkolaborasi, merasa aman (untuk gagal) dan dapat membawa seluruh dirinya apa adanya, mereka bersama dapat menciptakan banyak hal kreatif.
Daripada mengukur orang-orang di dalam organisasi, seharusnya manajer-manajer di Indonesia mulai fokus untuk memberikan coaching seperti yang dilakukan oleh Scrum Master dan bekerja sama dengan Human Resource Department (HRD) untuk membuang metrik dan KPI yang tidak bermanfaat agar timnya dapat merasa aman (untuk gagal) karena inovasi berasal dari beberapa kegagalan.
Spoiler for 4. Manajer menginginkan kepastian di dunia yang penuh dengan ketidakpastian:
Sebagaimana saya paparkan di poin sebelumnya, di industri teknologi informasi di Indonesia, metrik yang sering digunakan oleh para manajer adalah time vs scope dan pertanyaan yang sering ditanyakan oleh para manajer kepada software developer adalah: “butuh berapa hari untuk mengerjakan fitur ini?”. Namun sering kali estimasi yang diberikan oleh software developer dijadikan kontrak oleh para manajer. Beberapa hari kemudian manajer tersebut akan kembali menagih janji (estimasi) dari software developer.
Lalu apa akibatnya dari meminta kepastian dari jenis pekerjaan yang memiliki banyak kepastian? Akhirnya sering kali kita menemukan software developer memberikan buffer di atas estimasi yang mereka berikan kepada manajernya, agar mereka aman. Dan tidak jarang manajer memberikan buffer lagi di atas estimasi yang diberikan oleh software developer kepada pengguna. Akhirnya terjadi buffer yang berjenjang.
Daripada sibuk mengharapkan kepastian dari sesuatu yang pada dasarnya memiliki banyak ketidak-pastian dan pada akhirnya justru mendapatkan ketidak-transparansian, manajer sebaiknya mengakui adanya ketidak-pastian tersebut di dunia software development dan mulai fokus pada peningkatan transparansi informasi agar setiap pihak dapat berkolaborasi. Manajer IT di Indonesia seharusnya fokus pada Continuous Delivery guna membantu timnya untuk dapat memperpendek Cycle Time dari keseluruhan alur proses sebagaimana yang dilakukan oleh Scrum Master.
Spoiler for 5. Manajer masih suka menggunakan kekuatan politik dalam membuat keputusan:
Dalam dunia kedokteran, semua keputusan yang dibuat tidak boleh didasari oleh asumsi. Semua keputusan yang dibuat harus berdasarkan fakta di lapangan dan hasil penelitian yang dapat dipertanggung-jawabkan. Keputusan yang dibuat tidak boleh berdasarkan anekdot yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.
Untuk industri yang memiliki banyak ketidak-pastian, metode evidence based management yang lebih menekankan empirisme lebih tepat guna daripada metode prediktif seperti Waterfall. Berkaitan dengan poin sebelumnya, banyak manajer di Indonesia yang masih menggunakan metrik yang tidak tepat dalam membuat keputusan. Tidak jarang juga, manajer yang tidak tahu metrik evidence based management apa yang harus digunakan, cenderung menggunakan political will yang ia miliki dan gut feeling dalam membuat keputusan.
Manajer harus belajar untuk melepaskan otoritas yang ia miliki kepada orang-orang yang berada dibawahnya agar ia bisa mendapatkan engagement dari timnya. Manajer harus belajar untuk mulai melibatkan timnya dan melepaskan kekuatan politik dalam pembuatan keputusan-keputusan sulit karena orang-orang lebih berkomitmen terhadap keputusan dimana ia juga turut memiliki kontribusi.
Bila software developer (hampir) selalu di-judge tidak memiliki performa yang baik dan dapat diganti bila mereka tidak memenuhi metrik on-time dan on-scope yang telah ditetapkan oleh manajemen, maka manajer seharusnya juga bisa di-judge tidak memiliki performa yang baik dan dapat diganti apabila organisasi yang mereka pimpin memiliki low employee engagement karena itu adalah ruang lingkup pekerjaan mereka.
Bila anda adalah seorang software developer yang memiliki manajer yang anda rasa perlu di-upgrade namun pada saat yang bersamaan anda merasa bahwa diri anda adalah seorang kecil yang tidak akan didengar dan anda menganggap tulisan ini dapat membantu manajer anda untuk menjadi manajer yang lebih baik, silahkan kirimkan tulisan saya ini ke mailing list kantor anda, retweet, share di social media, dipublikasikan kembali di blog anda, dsb dan berdoa agar semakin banyak manajer (IT) di Indonesia yang terbangun dari tidurnya yang lelap dan tersadar kalau cara mereka mengelola organisasi sudah ketinggalan jaman dan perlu di-upgrade.
emoga semakin banyak juga manajer-manajer di Indonesia yang mau membuka diri terhadap pola pikir baru dan meng-upgrade diri mereka agar menjadi relevan terhadap dunia yang sudah berubah cepat dalam dua dekade terakhir. Namun bila anda telah berdoa, berusaha semaksimal mungkin namun manajer anda masih juga tidak mau belajar, silahkan ganti saja manajer anda dengan yang baru, karena saya selalu ingat nasihat seorang mentor saya:
If you can’t change you manager, change your manager.
quote yang bagus dari artikel ini ..
Quote:
People Don’t Leave Companies, They Leave Bad Managers.
Quote:
Orang-orang tidak menjadi bahagia karena mereka sukses, namun mereka akan sukses karena mereka merasa bahagia.
Quote:
If you give a manager a numerical target, he’ll make it, even if he has to destroy the company in the process. — W. Edwards Deming.
Quote:
Ketika orang-orang di dalam organisasi mendapatkan dukungan untuk berkolaborasi, merasa aman (untuk gagal) dan dapat membawa seluruh dirinya apa adanya, mereka bersama dapat menciptakan banyak hal kreatif.
Quote:
If you can’t change you manager, change your manager.
karna ini artikel lumayan panjang.. untuk yang mau baca selengkap2nya silahkan ke sumber nya dibawah ini
SUMBER : [url]https://S E N S O Rmodern-management/5-alasan-kenapa-banyak-manajer-it-di-indonesia-yang-perlu-diganti-642925afbc58[/url]
buka sumber nya agar bisa baca secara keseluruhan

kalau bermanfaat di


Diubah oleh xehis77 26-09-2014 13:53
0
81.7K
Kutip
727
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan