- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mari #BaliTolakAbrasi!


TS
B6902CCI
Mari #BaliTolakAbrasi!
Abrasi di Bali kini semakin parah. Garis pantai yang semakin mundur, air laut yang semakin tinggi menjadikan area di bali kini semakin sempit.




Faktanya adalah
Quote:
Quote:
Air Laut Bali Naik Empat Meter Per Tahun
Quote:

Spoiler for :
Quote:
Data mencengangkan dilansir Sekretariat Kerja Penyelamatan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bali. Penelitian mereka menyatakan permukaan laut Bali naik setinggi 4 meter tiap tahun.
Koordinator SKPPLH Bali, Mangku Karmaya, mengatakan, kenaikan air laut yang cukup tinggi itu menyebabkan abrasi di pantai Bali mencapai 40 persen.
"Sebanyak 40 persen dari seluruh panjang pantai di Bali saat ini mengalami abrasi. Itu terjadi lantaran naiknya permukaan air laut setinggi 4 meter per tahun," kata Mangku, di Denpasar, Bali, Minggu, 26 Juni 2011.
Kerusakan parah akibat abrasi terjadi di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Mulai dari Pantai Canggu, Seminyak, Kuta dan Nusa Dua. Selain itu, kejadian serupa menimpa pantai lainnya di lima kabupaten, kecuali pantai di Kabupaten Bangli.
"Panjang garis pantai di Bali 437,70 kilometer. Berarti sekitar 181,70 kilometer pantai mengalami abrasi. Sisanya sebanyak 60 persen, setelah dilakukan penelitian, sangat potensial mengalami nasib serupa yaitu, digerus abrasi dalam waktu dekat ini," paparnya.
Kondisi terparah dialami pantai di Kota Denpasar. Ibukota Provinsi Bali yang memiliki panjang pantai 9 kilometer itu secara keseluruhan sudah tergerus abrasi.
Upaya penyelamatan yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar dengan membangun pemecah gelombang di beberapa lokasi, menurut Mangku justru menimbulkan masalah baru. Pemecah gelombang justru akan memperparah pengikisan struktur tanah di pantai yang berada di sekitar areal pemecah gelombang berada.
Kondisi abrasi terparah di Kota Denpasar terjadi di Pantai Sanur. Rusaknya garis pantai di Sanur berpotensi terjadinya tsunami yang dahsyat. Diperkirakan aliran air laut saat terjadinya tsunami akan masuk ke darat hingga jarak 8 km dengan ketinggian air 6 meter. “Kalau itu terjadi, seluruh wilayah Kota Denpasar akan tenggelam dan akan menimbulkan banyak korban jiwa yang luar biasa, selain kerugian material lainnya,” ujarnya.
SKKPLH Bali, kata Mangku, sudah berupaya maksimal menyajikan data yang valid dan akurat berdasarkan pengamatan dan penelitian yang mendalam agar semua pihak mulai dari pemerintah hingga masyarakat umum ikut bekerja menyelamatkan pantai di Bali.
"Kami berharap pemerintah pusat dan provinsi juga memperhatikan pantai-pantai di Bali, khususnya di Kota Denpasar, Bali bagian barat dan utara. Pemerintah provinsi juga diharapkan segera membentuk tim terpadu untuk dapat menanggulangi abrasi tersebut," ucapnya.
Ia menyontohkan beberapa pantai di Pulau Dewata, seperti Pantai Candikusuma, Cupel, dan Perancak di Kabupaten Jembrana mengalami abrasi 20 meter per tahun. Di Buleleng, lebih dari 40 km pantai yang sudah terkena abrasi. Fakta serupa terjadi di Karangasem. "Jika tak diambil tindakan segera, tak menutup kemungkinan seluruh pantai di Bali hancur. Kalau sudah begitu, ancaman tenggelamnya Pulau Bali sudah di depan mata," ingat Mangku.sumber
Koordinator SKPPLH Bali, Mangku Karmaya, mengatakan, kenaikan air laut yang cukup tinggi itu menyebabkan abrasi di pantai Bali mencapai 40 persen.
"Sebanyak 40 persen dari seluruh panjang pantai di Bali saat ini mengalami abrasi. Itu terjadi lantaran naiknya permukaan air laut setinggi 4 meter per tahun," kata Mangku, di Denpasar, Bali, Minggu, 26 Juni 2011.
Kerusakan parah akibat abrasi terjadi di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Mulai dari Pantai Canggu, Seminyak, Kuta dan Nusa Dua. Selain itu, kejadian serupa menimpa pantai lainnya di lima kabupaten, kecuali pantai di Kabupaten Bangli.
"Panjang garis pantai di Bali 437,70 kilometer. Berarti sekitar 181,70 kilometer pantai mengalami abrasi. Sisanya sebanyak 60 persen, setelah dilakukan penelitian, sangat potensial mengalami nasib serupa yaitu, digerus abrasi dalam waktu dekat ini," paparnya.
Kondisi terparah dialami pantai di Kota Denpasar. Ibukota Provinsi Bali yang memiliki panjang pantai 9 kilometer itu secara keseluruhan sudah tergerus abrasi.
Upaya penyelamatan yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar dengan membangun pemecah gelombang di beberapa lokasi, menurut Mangku justru menimbulkan masalah baru. Pemecah gelombang justru akan memperparah pengikisan struktur tanah di pantai yang berada di sekitar areal pemecah gelombang berada.
Kondisi abrasi terparah di Kota Denpasar terjadi di Pantai Sanur. Rusaknya garis pantai di Sanur berpotensi terjadinya tsunami yang dahsyat. Diperkirakan aliran air laut saat terjadinya tsunami akan masuk ke darat hingga jarak 8 km dengan ketinggian air 6 meter. “Kalau itu terjadi, seluruh wilayah Kota Denpasar akan tenggelam dan akan menimbulkan banyak korban jiwa yang luar biasa, selain kerugian material lainnya,” ujarnya.
SKKPLH Bali, kata Mangku, sudah berupaya maksimal menyajikan data yang valid dan akurat berdasarkan pengamatan dan penelitian yang mendalam agar semua pihak mulai dari pemerintah hingga masyarakat umum ikut bekerja menyelamatkan pantai di Bali.
"Kami berharap pemerintah pusat dan provinsi juga memperhatikan pantai-pantai di Bali, khususnya di Kota Denpasar, Bali bagian barat dan utara. Pemerintah provinsi juga diharapkan segera membentuk tim terpadu untuk dapat menanggulangi abrasi tersebut," ucapnya.
Ia menyontohkan beberapa pantai di Pulau Dewata, seperti Pantai Candikusuma, Cupel, dan Perancak di Kabupaten Jembrana mengalami abrasi 20 meter per tahun. Di Buleleng, lebih dari 40 km pantai yang sudah terkena abrasi. Fakta serupa terjadi di Karangasem. "Jika tak diambil tindakan segera, tak menutup kemungkinan seluruh pantai di Bali hancur. Kalau sudah begitu, ancaman tenggelamnya Pulau Bali sudah di depan mata," ingat Mangku.sumber
Quote:
Quote:
Garis Pantai Bali Abrasi Sepanjang 88,3 Kilometer
Quote:

Quote:
Spoiler for :
Tercatat dari 437,70 kilometer garis pantai Pulau Bali, sepanjang 88,3 kilometer mengalami abrasi, demikian diungkap Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, I Nyoman Astawa Riadi, dalam sebuah diskusi di Denpasar, pada Kamis (9/1) lalu.
Astawa mengatakan, berdasarkan hasil pemantauan satelit di 2009, pada awalnya panjang garis pantai di Bali yang mengalami abrasi mencapai 181,7 kilometer, tetapi hingga saat ini 93,35 kilometer telah berhasil ditanggulangi dengan membangun tanggul pemecah gelombang.
Ia menambahkan pantai-pantai yang mengalami abrasi cukup parah adalah pantai wilayah Bali selatan. Astawa mengakui penanganan abrasi belum bisa dilakukan secara maksimal karena keterbatasan dana
“Penanganan pantai ini memerlukan dana yang cukup besar, makanya kita pilih pantai-pantai yang abrasinya cukup tinggi. Ke depan ini sedang diteliti oleh Kementerian PU untuk menahan, jadi sebelum gelombang itu ke daratan kita tahan perkecil tenaganya di dalam,” ujarnya.
Astawa menyebutkan abrasi yang terjadi di pantai-pantai di Bali selama ini terjadi karena faktor alam dan pembangunan di sepanjang sepadan pantai.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengakui pembangunan hotel di pinggir pantai juga turut menyumbang terhadap terjadinya abrasi.
“Banyak investor yang tertarik membangun khususnya di sektor pariwisata di sepanjang pantai. Hotel atau pengusaha yang menengah ke bawah cenderung membangun atau memperbaiki menangkal abrasi sesuai dengan kemampuanya, sehingga tanpa disadari sebetulnya mereka memindahkan masalah. Masalah di depanya terselesaikan kemudian menimbulkan masalah di tetangganya,” ujarnya.
Manajer kelautan Conservation International (CI) wilayah Bali, Made Iwan Dewantama mengatakan, parahnya abrasi pantai di Bali salah satunya akibat banyaknya pelanggaran pembangunan di wilayah sempadan pantai di Bali.
“Yang salah apa? Artinya tidak ada pengaturan, kan sederhananya begitu, sehingga abrasi terjadi di mana-mana. Karena banyak pelanggaran pembangunan di wilayah pantai, yang melanggar sempadan pantai, sehingga untuk menangani itu harus ditegakkan, pertama tata ruangnya harus dibangun, di mana boleh dibangun, di mana kawasan lindung, dimana kawasan suci,” ujarnya.
Iwan berharap pemerintah Provinsi Bali segera mengesahkan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah pesisir. Dengan adanya rencana tata ruang wilayah pesisir maka dapat dibuat zonasi sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, sehingga pembangunan di wilayah pesisir tidak lagi rancu.
(Gloria Samantha. Sumber: VOA Indonesia)sumber
Astawa mengatakan, berdasarkan hasil pemantauan satelit di 2009, pada awalnya panjang garis pantai di Bali yang mengalami abrasi mencapai 181,7 kilometer, tetapi hingga saat ini 93,35 kilometer telah berhasil ditanggulangi dengan membangun tanggul pemecah gelombang.
Ia menambahkan pantai-pantai yang mengalami abrasi cukup parah adalah pantai wilayah Bali selatan. Astawa mengakui penanganan abrasi belum bisa dilakukan secara maksimal karena keterbatasan dana
“Penanganan pantai ini memerlukan dana yang cukup besar, makanya kita pilih pantai-pantai yang abrasinya cukup tinggi. Ke depan ini sedang diteliti oleh Kementerian PU untuk menahan, jadi sebelum gelombang itu ke daratan kita tahan perkecil tenaganya di dalam,” ujarnya.
Astawa menyebutkan abrasi yang terjadi di pantai-pantai di Bali selama ini terjadi karena faktor alam dan pembangunan di sepanjang sepadan pantai.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengakui pembangunan hotel di pinggir pantai juga turut menyumbang terhadap terjadinya abrasi.
“Banyak investor yang tertarik membangun khususnya di sektor pariwisata di sepanjang pantai. Hotel atau pengusaha yang menengah ke bawah cenderung membangun atau memperbaiki menangkal abrasi sesuai dengan kemampuanya, sehingga tanpa disadari sebetulnya mereka memindahkan masalah. Masalah di depanya terselesaikan kemudian menimbulkan masalah di tetangganya,” ujarnya.
Manajer kelautan Conservation International (CI) wilayah Bali, Made Iwan Dewantama mengatakan, parahnya abrasi pantai di Bali salah satunya akibat banyaknya pelanggaran pembangunan di wilayah sempadan pantai di Bali.
“Yang salah apa? Artinya tidak ada pengaturan, kan sederhananya begitu, sehingga abrasi terjadi di mana-mana. Karena banyak pelanggaran pembangunan di wilayah pantai, yang melanggar sempadan pantai, sehingga untuk menangani itu harus ditegakkan, pertama tata ruangnya harus dibangun, di mana boleh dibangun, di mana kawasan lindung, dimana kawasan suci,” ujarnya.
Iwan berharap pemerintah Provinsi Bali segera mengesahkan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah pesisir. Dengan adanya rencana tata ruang wilayah pesisir maka dapat dibuat zonasi sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, sehingga pembangunan di wilayah pesisir tidak lagi rancu.
(Gloria Samantha. Sumber: VOA Indonesia)sumber
Quote:
Quote:
40 Persen Pantai di Bali Terkena Abrasi
Quote:

Quote:
Spoiler for :
[DENPASAR] Selain karena faktor alam, abrasi pantai yang makin parah di Bali juga karena kurangnya perhatian terhadap lingkungan. Kegiatan eksplorasi sumber daya alam secara membabi-buta dan ada kecenderungan pembangunan dilakukan tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan membuat abrasi pantai semakin parah,
“Kalau melihat abrasi yang terjadi sekarang, hampir 40 persen pantai yang membentang di sepanjang pesisir daerah pariwisata ini mengalami abrasi yang cukup parah,” ujar Ketua Sekretariat Kerja Penyelamat dan Pelestarian Lingkungan Hidup (SKPPLH) Bali, Made Mangku mengatakan hal itu, Senin (27/6).
Menurut Made Mangku, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh timnya beberapa waktu lalu, pengikisan pantai oleh gelombang dan arus laut ini hampir menyebar di seluruh wilayah Bali yang memiliki pantai sepanjang 460 km. "Tingkat abrasi pantai di Bali masuk kategori parah. Abrasi terparah terjadi di sepanjang pantai Sanur dan Padanggalak, Denpasar Timur. Di Denpasar hampir semua pantainya digerus abrasi yang parah," katanya.
Menurut Mangku, abrasi pantai di Denpasar seperti di Pantai Padanggalak mencapai empat meter per tahun. Melihat fakta itu, sangat diperlukan keseriusan pemerintah dalam penanganannya, sehingga laju abrasi itu bisa diminimalisasi serendah mungkin. ''Makin parahnya abrasi di Bali juga dipicu oleh adanya penambangan pasir besar-besaran di seputaran dasar aliran sungai pegunungan yang menuju pantai untuk material bangunan. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan arus pasir di pantai,'' katanya.
Selain Denpasar, katanya, tingkat abrasi yang cukup parah juga terjadi di Badung. Abrasi menyasar Pantai Canggu, Kuta dan Seminyak. Sedangkan untuk Tabanan, titik abrasi yang relatif parah terjadi di wilayah Kerambitan, Negara terjadi di Pantai Cupel, Buleleng terjadi di Pantai Gerokgak, Pemuteran, Kampung Tinggi, ke timur Ponjok Batu dan Penimbang. Untuk Karangasem, abrasi terparah terjadi di wilayah Tianyar dan untuk Klungkung terjadi di pantai seputaran Goa Lawah serta Pantai Lebih, Gianyar. [137]sumber
“Kalau melihat abrasi yang terjadi sekarang, hampir 40 persen pantai yang membentang di sepanjang pesisir daerah pariwisata ini mengalami abrasi yang cukup parah,” ujar Ketua Sekretariat Kerja Penyelamat dan Pelestarian Lingkungan Hidup (SKPPLH) Bali, Made Mangku mengatakan hal itu, Senin (27/6).
Menurut Made Mangku, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh timnya beberapa waktu lalu, pengikisan pantai oleh gelombang dan arus laut ini hampir menyebar di seluruh wilayah Bali yang memiliki pantai sepanjang 460 km. "Tingkat abrasi pantai di Bali masuk kategori parah. Abrasi terparah terjadi di sepanjang pantai Sanur dan Padanggalak, Denpasar Timur. Di Denpasar hampir semua pantainya digerus abrasi yang parah," katanya.
Menurut Mangku, abrasi pantai di Denpasar seperti di Pantai Padanggalak mencapai empat meter per tahun. Melihat fakta itu, sangat diperlukan keseriusan pemerintah dalam penanganannya, sehingga laju abrasi itu bisa diminimalisasi serendah mungkin. ''Makin parahnya abrasi di Bali juga dipicu oleh adanya penambangan pasir besar-besaran di seputaran dasar aliran sungai pegunungan yang menuju pantai untuk material bangunan. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan arus pasir di pantai,'' katanya.
Selain Denpasar, katanya, tingkat abrasi yang cukup parah juga terjadi di Badung. Abrasi menyasar Pantai Canggu, Kuta dan Seminyak. Sedangkan untuk Tabanan, titik abrasi yang relatif parah terjadi di wilayah Kerambitan, Negara terjadi di Pantai Cupel, Buleleng terjadi di Pantai Gerokgak, Pemuteran, Kampung Tinggi, ke timur Ponjok Batu dan Penimbang. Untuk Karangasem, abrasi terparah terjadi di wilayah Tianyar dan untuk Klungkung terjadi di pantai seputaran Goa Lawah serta Pantai Lebih, Gianyar. [137]sumber
Jika tidak melakukan apa-apa maka bali tetap akan tenggelam karena abrasi karena air laut naik 4 meter setiap tahun. Pemerintah pun dinilai harus melakukan sesuatu karena Bali dianggap sesuatu yang vital untuk Indonesia. Revitalisasi beberapa pesisir pun perlu dilakukan untuk mencegah abrasi yang semakin parah ini
Quote:
Quote:

Quote:
Spoiler for :
Ketua LSM Gerakan Sosial Solidaritas (Gasos) Bali Lanang Sudira mengharapkan agar pemerintah konsisten melakukan reklamasi di seluruh pantai yang abrasi di wilayah Bali.
"Pemerintah harus konsisten melakukan reklamasi pantai yang mengalami abrasi, sehingga sarana pendukung sektor pariwisata tersebut tetap menjadi daya tarik wisatawan," ujar Lanang.
Lanang mengakui abrasi memang tidak bisa dihindari, karena bagian dari pengaruh alam akibat pemanasan global. Namun demikian, tindakan reklamasi harus dilakukan. "Pemanasan global akan mempengaruhi semua kehidupan yang ada di bumi, baik lingkungan maupun manusianya itu sendiri. Hal itu semua juga akibat prilaku manusia yang tidak menyadari lingkungan," jelasnya.
Dalam acara yang dipandu Gusti Ngurah Harta itu, Lanang berharap pemerintah pusat agar meningkatkan anggaran untuk reklamasi pantai-pantai di Bali. Mengingat dalam sektor pariwisata, pantai juga menjadi bagian pendukung pariwisata di Pulau Bali.
"Kami berharap pemerintah menganggarkan dana dalam reklamasi pantai yang saat ini mengalami abrasi. Sebab fungsi pantai tidak saja untuk wisatawan, tapi juga dimanfaatkan oleh para nelayan," pintanya.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali Nyoman Astawa Riadi menyatakan abrasi pantai di Pulau Dewata secara bertahap dilakukan reklamasi untuk mengembalikan lahan tersebut. "Berdasarkan data tahun 2009 abrasi pantai mencapai 181,7 kilometer. Namun sampai saat ini sudah ditangani mencapai 93,35 kilometer," ungkapnya.
Astawa Riadi mengaku penanganan abrasi tersebut dilakukan secara bertahap mengingat keterbatasan sumber dana. Oleh karena itu, maka dilakukan secara skala prioritas dalam upaya menekan terjadinya abrasi tersebut. "Kami melakukan secara skala prioritas untuk melakukan reklamasi Pantai di Bali. Hal tersebut berdasarkan kajian dan pertimbangan matang," tegas pria asal Kesian, Kabupaten Gianyar itu.
Astawa Riadi mengakui pada 2013 reklamasi pantai sebagian besar dilakukan di bagian wilayah selatan, karena kondisi pantai di daerah tersebut kerusakan bibir pantai tergolong cukup parah.[URL="http://nasional.inilah..com/read/detail/2063409/abrasi-pemerintah-diminta-reklamasi-pantai-bali#.VB1j0ZSSyZU"]Sumber[/URL]
"Pemerintah harus konsisten melakukan reklamasi pantai yang mengalami abrasi, sehingga sarana pendukung sektor pariwisata tersebut tetap menjadi daya tarik wisatawan," ujar Lanang.
Lanang mengakui abrasi memang tidak bisa dihindari, karena bagian dari pengaruh alam akibat pemanasan global. Namun demikian, tindakan reklamasi harus dilakukan. "Pemanasan global akan mempengaruhi semua kehidupan yang ada di bumi, baik lingkungan maupun manusianya itu sendiri. Hal itu semua juga akibat prilaku manusia yang tidak menyadari lingkungan," jelasnya.
Dalam acara yang dipandu Gusti Ngurah Harta itu, Lanang berharap pemerintah pusat agar meningkatkan anggaran untuk reklamasi pantai-pantai di Bali. Mengingat dalam sektor pariwisata, pantai juga menjadi bagian pendukung pariwisata di Pulau Bali.
"Kami berharap pemerintah menganggarkan dana dalam reklamasi pantai yang saat ini mengalami abrasi. Sebab fungsi pantai tidak saja untuk wisatawan, tapi juga dimanfaatkan oleh para nelayan," pintanya.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali Nyoman Astawa Riadi menyatakan abrasi pantai di Pulau Dewata secara bertahap dilakukan reklamasi untuk mengembalikan lahan tersebut. "Berdasarkan data tahun 2009 abrasi pantai mencapai 181,7 kilometer. Namun sampai saat ini sudah ditangani mencapai 93,35 kilometer," ungkapnya.
Astawa Riadi mengaku penanganan abrasi tersebut dilakukan secara bertahap mengingat keterbatasan sumber dana. Oleh karena itu, maka dilakukan secara skala prioritas dalam upaya menekan terjadinya abrasi tersebut. "Kami melakukan secara skala prioritas untuk melakukan reklamasi Pantai di Bali. Hal tersebut berdasarkan kajian dan pertimbangan matang," tegas pria asal Kesian, Kabupaten Gianyar itu.
Astawa Riadi mengakui pada 2013 reklamasi pantai sebagian besar dilakukan di bagian wilayah selatan, karena kondisi pantai di daerah tersebut kerusakan bibir pantai tergolong cukup parah.[URL="http://nasional.inilah..com/read/detail/2063409/abrasi-pemerintah-diminta-reklamasi-pantai-bali#.VB1j0ZSSyZU"]Sumber[/URL]
Mpu Jaya Perma salah satu tokoh Bali pun mengajak gerakan #BaliTolakAbrasi, bukan #BaliTolakReklamasi karena banyak reklamasi yang ternyata baik untuk rakyat bali dan peningkatan pariwisatanya. Tapi Mpu Jaya Perm mengajak untuk menolak abrasi
Spoiler for Sumber:
Mpu Jaya Prema
PADA saat gencar-gencarnya ada slogan “Bali Tolak Reklamasi” seperti sekarang ini, ternyata pantai di Bali mengalami kritis yang luar biasa. Sebagian besar pantai di Bali, baik di ujung barat, selatan maupun timur mengalami abrasi yang demikian parah. Jika ini dibiarkan maka Pulau Bali akan terus mengecil dan ini sangat mencemaskan baik dari sisi skala (kenyataan yang bisa dilihat) maupun dari sisi niskala (tingkat kesucian secara religi). Seharusnya bukan “Bali Tolak Reklamasi” yang dikumandangkan, tetapi “Bali Tolak Abrasi”.
Bagi warga Bali yang beragama Hindu, laut adalah tempat suci untuk melebur segala kekotoran. Setiap air di daratan, apakah itu dari gunung atau dari danau, apakah air itu kotor atau bersih, sesampai di laut dilebur oleh Dewa Baruna menjadi suci. Karena itu upacara melasti, baik dalam kaitan dengan Hari Raya Nyepi maupun pada saat piodalan di pura yang besar, dilakukan di laut dan pantai yang landai adalah sarana untuk ritual. Bukan saja dalam kaitan dengan Dewa Yadnya, juga dalam kaitan dengan Manusa Yadnya, seperti melukat dan mebayuh, banyak pantai dijadikan sarana memuja ke laut.
Begitu pula Pitra Yadnya, laut menjadi bagian yang tak terpisahkan dan pantai menjadi tempat untuk ritual seperti nganyud maupun yadnya nyegara gunung. Jadi, pantai di Bali haruslah diselamatkan dari abrasi. Penyelamatan pantai dari rongrongan abrasi ini bukan semata-mata untuk kepentingan nelayan, apalagi cuma untuk kepentingan pariwisata. Ini untuk kepentingan umat termasuk yang tinggal di gunung-gunung.
Tetapi apa yang terjadi saat ini? Pantai mengalami abrasi dan sepertinya luput dari pegiat lingkungan. Di Kabupaten Tabanan, pantai yang panjangnya 37 km kini tinggal 10 km yang masih tergolong asri. Setiap tahun abrasi itu meluas dan Pemkab Tabanan disebut-sebut tak punya dana untuk menyelamatkan pantai itu.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tabanan, Gusti Ngurah Anom Antara, menyebutkan kerusakan pantai ini terjadi di kawasan Pantai Kedungu, Pantai Nyanyi, Pantai Yeh Gangga dan Pantai Kelating. Pantai-pantai ini adalah tempat melasti untuk umat Hindu di Kecamatan Kediri dan Kerambitan. Di Kecamatan Selemadeg pun kerusakan pantai cukup memprihatinkan. Dari Pantai Soka sampai Pantai Selabih (perbatasan dengan Kabupaten Jembrana) bahkan ada dua gempuran, abrasi karena terjangan ombak laut yang ganas dan erosi karena tanah yang rentan longsor dari darat.
Di Kabupaten Jembrana pun abrasi pantai tak bisa dianggap enteng. Lihat Pantai Medewi sampai Pantai Prancak, sudah banyak tanah penduduk yang diterjang ombak dan lahan pertanian pun jadi mengecil. Jangankan untuk melasti, untuk menyandarkan jukung nelayan saja sulit.
Di kawasan selatan Bali, dari Pantai Padang Galak ke timur sampai ujung Karangasem, abrasi demikian memporak-porandakan pantai. Berkali-kali tempat melasti di Padang Galak harus dipindahkan. Masih syukur Kodya Denpasar punya dana untuk memasang penghalang di laut, tentu bersama masyarakat pengelola wisata di kawasan Sanur dan Padang Galak sehingga abrasi bisa sedikit dijinakkan. Tetapi lihat di sekitar Pantai Lebih. Kini warung-warung pinggir pantai sudah diungsikan ke daratan yang aman di dalam dan balai tempat memuja di saat ritual melasti juga sudah digusur ke dalam. Belum ada upaya untuk memasang tanggul pengaman ombak di pantai seperti di kawasan Sanur. Yang sangat memprihatinkan juga tentulah kawasan wisata Desa Candi Dasa sudah lama tergerus abrasi, meski pun pantai di sana jarang dipakai melasti.
Jika tanggul pengaman ombak di pantai terlalu mahal, semestinya langkah pengamanan abrasi ada pada reklamasi, meski pun reklamasi juga diamankan dengan cara pembuatan tanggul lebih dulu, tapi lebih murah biayanya. Itu yang dilakukan di luar Bali. Jadi reklamasi bukanlah sesuatu yang ditolak mentah-mentah jika dimaksudkan untuk menahan abrasi yang artinya melestarikan pantai.
Nah, sekarang seperti ada penolakan reklamasi di seluruh Bali dengan gencarnya kampanye “Bali Tolak Reklamasi”, baik lewat baliho, spanduk maupun di media sosial. Padahal yang dimaksudkan dengan penolakan itu adalah “menolak reklamasi di Teluk Benoa”. Kasus Teluk Benoa ini memang jadi berita hangat yang dipelihara terus-menerus. Di situ disebut-sebut akan ada reklamasi dan disebut-sebut pula untuk kepentingan investor. Sejauh mana hal ini benar, apakah reklamasi atau revitalisasi (penyelamatan alam kembali), apakah benar juga untuk investor, seharusnya tidak merembet ke bagian lain kawasan Bali. Sebut saja penolakan itu sebagai “Tolak Reklamasi Teluk Benoa” atau sejenis, bukan “Bali Tolak Reklamasi”. Pantai di Bali membutuhkan reklamasi di tempat-tempat yang memungkinkan untuk itu dan reklamasi ini bukan untuk kepentingan investor, tetapi kepentingan umat Hindu yang mayoritas di Bali. Janganlah karena menolak reklamasi di Teluk Benoa menjadi gerakan menolak reklamasi di seluruh pantai Bali. Ini akan membuat pemerintah gamang untuk bertindak. Kalau pemerintah gamang jangankan penduduk. Akibatnya pantai tambah hancur dan ritual melasti makin kesulitan mendapat tempat.
Bahaya lain dari gerakan “Bali Tolak Reklamasi” yang seharusnya terbatas pada “Tolak Reklamasi Teluk Benoa” adalah pembangunan Bandara Internasional di Bali Utara. Sudah ditetapkan bandara ini akan dibangun di Pantai Kubu Tambahan dengan mereklamasi 600 hektar laut. Jalan ini ditempuh agar sawah petani dan kawasan pemukiman tidak digusur. Di banyak negara sudah lazim ada bandara yang menjorok ke laut dan sesungguhnya Bandara Ngurah Rai pun hasil dari sebagian reklamasi. Nah, apakah bandara Bali Utara itu akan ditolak juga karena lahannya dari reklamasi? Kalau juga ditolak berarti menolak pemerataan pembangunan di Bali.
Jadi, mari ganti slogan “Bali Tolak Reklamasi” dengan “Bali Tolak Abrasi” demi ketentraman umat Hindu di Bali. Akan halnya penolakan reklamasi di Teluk Benoa biarlah itu menjadi kasus khusus untuk kawasan setempat saja. (*)Sumber
PADA saat gencar-gencarnya ada slogan “Bali Tolak Reklamasi” seperti sekarang ini, ternyata pantai di Bali mengalami kritis yang luar biasa. Sebagian besar pantai di Bali, baik di ujung barat, selatan maupun timur mengalami abrasi yang demikian parah. Jika ini dibiarkan maka Pulau Bali akan terus mengecil dan ini sangat mencemaskan baik dari sisi skala (kenyataan yang bisa dilihat) maupun dari sisi niskala (tingkat kesucian secara religi). Seharusnya bukan “Bali Tolak Reklamasi” yang dikumandangkan, tetapi “Bali Tolak Abrasi”.
Bagi warga Bali yang beragama Hindu, laut adalah tempat suci untuk melebur segala kekotoran. Setiap air di daratan, apakah itu dari gunung atau dari danau, apakah air itu kotor atau bersih, sesampai di laut dilebur oleh Dewa Baruna menjadi suci. Karena itu upacara melasti, baik dalam kaitan dengan Hari Raya Nyepi maupun pada saat piodalan di pura yang besar, dilakukan di laut dan pantai yang landai adalah sarana untuk ritual. Bukan saja dalam kaitan dengan Dewa Yadnya, juga dalam kaitan dengan Manusa Yadnya, seperti melukat dan mebayuh, banyak pantai dijadikan sarana memuja ke laut.
Begitu pula Pitra Yadnya, laut menjadi bagian yang tak terpisahkan dan pantai menjadi tempat untuk ritual seperti nganyud maupun yadnya nyegara gunung. Jadi, pantai di Bali haruslah diselamatkan dari abrasi. Penyelamatan pantai dari rongrongan abrasi ini bukan semata-mata untuk kepentingan nelayan, apalagi cuma untuk kepentingan pariwisata. Ini untuk kepentingan umat termasuk yang tinggal di gunung-gunung.
Tetapi apa yang terjadi saat ini? Pantai mengalami abrasi dan sepertinya luput dari pegiat lingkungan. Di Kabupaten Tabanan, pantai yang panjangnya 37 km kini tinggal 10 km yang masih tergolong asri. Setiap tahun abrasi itu meluas dan Pemkab Tabanan disebut-sebut tak punya dana untuk menyelamatkan pantai itu.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tabanan, Gusti Ngurah Anom Antara, menyebutkan kerusakan pantai ini terjadi di kawasan Pantai Kedungu, Pantai Nyanyi, Pantai Yeh Gangga dan Pantai Kelating. Pantai-pantai ini adalah tempat melasti untuk umat Hindu di Kecamatan Kediri dan Kerambitan. Di Kecamatan Selemadeg pun kerusakan pantai cukup memprihatinkan. Dari Pantai Soka sampai Pantai Selabih (perbatasan dengan Kabupaten Jembrana) bahkan ada dua gempuran, abrasi karena terjangan ombak laut yang ganas dan erosi karena tanah yang rentan longsor dari darat.
Di Kabupaten Jembrana pun abrasi pantai tak bisa dianggap enteng. Lihat Pantai Medewi sampai Pantai Prancak, sudah banyak tanah penduduk yang diterjang ombak dan lahan pertanian pun jadi mengecil. Jangankan untuk melasti, untuk menyandarkan jukung nelayan saja sulit.
Di kawasan selatan Bali, dari Pantai Padang Galak ke timur sampai ujung Karangasem, abrasi demikian memporak-porandakan pantai. Berkali-kali tempat melasti di Padang Galak harus dipindahkan. Masih syukur Kodya Denpasar punya dana untuk memasang penghalang di laut, tentu bersama masyarakat pengelola wisata di kawasan Sanur dan Padang Galak sehingga abrasi bisa sedikit dijinakkan. Tetapi lihat di sekitar Pantai Lebih. Kini warung-warung pinggir pantai sudah diungsikan ke daratan yang aman di dalam dan balai tempat memuja di saat ritual melasti juga sudah digusur ke dalam. Belum ada upaya untuk memasang tanggul pengaman ombak di pantai seperti di kawasan Sanur. Yang sangat memprihatinkan juga tentulah kawasan wisata Desa Candi Dasa sudah lama tergerus abrasi, meski pun pantai di sana jarang dipakai melasti.
Jika tanggul pengaman ombak di pantai terlalu mahal, semestinya langkah pengamanan abrasi ada pada reklamasi, meski pun reklamasi juga diamankan dengan cara pembuatan tanggul lebih dulu, tapi lebih murah biayanya. Itu yang dilakukan di luar Bali. Jadi reklamasi bukanlah sesuatu yang ditolak mentah-mentah jika dimaksudkan untuk menahan abrasi yang artinya melestarikan pantai.
Nah, sekarang seperti ada penolakan reklamasi di seluruh Bali dengan gencarnya kampanye “Bali Tolak Reklamasi”, baik lewat baliho, spanduk maupun di media sosial. Padahal yang dimaksudkan dengan penolakan itu adalah “menolak reklamasi di Teluk Benoa”. Kasus Teluk Benoa ini memang jadi berita hangat yang dipelihara terus-menerus. Di situ disebut-sebut akan ada reklamasi dan disebut-sebut pula untuk kepentingan investor. Sejauh mana hal ini benar, apakah reklamasi atau revitalisasi (penyelamatan alam kembali), apakah benar juga untuk investor, seharusnya tidak merembet ke bagian lain kawasan Bali. Sebut saja penolakan itu sebagai “Tolak Reklamasi Teluk Benoa” atau sejenis, bukan “Bali Tolak Reklamasi”. Pantai di Bali membutuhkan reklamasi di tempat-tempat yang memungkinkan untuk itu dan reklamasi ini bukan untuk kepentingan investor, tetapi kepentingan umat Hindu yang mayoritas di Bali. Janganlah karena menolak reklamasi di Teluk Benoa menjadi gerakan menolak reklamasi di seluruh pantai Bali. Ini akan membuat pemerintah gamang untuk bertindak. Kalau pemerintah gamang jangankan penduduk. Akibatnya pantai tambah hancur dan ritual melasti makin kesulitan mendapat tempat.
Bahaya lain dari gerakan “Bali Tolak Reklamasi” yang seharusnya terbatas pada “Tolak Reklamasi Teluk Benoa” adalah pembangunan Bandara Internasional di Bali Utara. Sudah ditetapkan bandara ini akan dibangun di Pantai Kubu Tambahan dengan mereklamasi 600 hektar laut. Jalan ini ditempuh agar sawah petani dan kawasan pemukiman tidak digusur. Di banyak negara sudah lazim ada bandara yang menjorok ke laut dan sesungguhnya Bandara Ngurah Rai pun hasil dari sebagian reklamasi. Nah, apakah bandara Bali Utara itu akan ditolak juga karena lahannya dari reklamasi? Kalau juga ditolak berarti menolak pemerataan pembangunan di Bali.
Jadi, mari ganti slogan “Bali Tolak Reklamasi” dengan “Bali Tolak Abrasi” demi ketentraman umat Hindu di Bali. Akan halnya penolakan reklamasi di Teluk Benoa biarlah itu menjadi kasus khusus untuk kawasan setempat saja. (*)Sumber
0
2.9K
Kutip
15
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan