Kaskus

Entertainment

grandong.ngamukAvatar border
TS
grandong.ngamuk
6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut
6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut
6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut
6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut


Membuat dahi berkerut karena anggapan itu cenderung miring, mengagetkan sekaligus mengherankan; mengapa ada anggapan itu, atau apa yang membuat anggapan seperti itu ada?
Semeton Bali yang tinggal di Bali, mungkin tak pernah mendengar langsung. Tetapi yang tinggal atau banyak bergaul dengan orang luar Bali yang tak pernah ke Bali, sesekali pasti pernah mendengar pendapat mereka tentang orang Bali.

Tidak Bisa Bilang T? Jangan Minder, Pertahankan Ciri Khas KeBalianMu

Mengenai orang Bali yang tidak bisa mengucapkan “T” (baca: te) dengan ujung lidah menyentuh pangkal gigi depan, sesungguhnya bukan anggapan, tetapi fakta, mayoritas orang Bali memang demikian. Meskipun begitu, tetap saja mengagetkan ketika baru menyadari untuk pertamakalinya, bahwa itu adalah ‘sesuatu’ bagi mereka.
Pertama memperkenalkan diri di depan kelas Bahasa Inggris, begitu saya menyebutkan daerah asal “Bali”, guru saya bertanya, “benarkah di Bali banyak orang jual patung-patung?” Dengan polos saya bilang “iya”. Seketika itu juga seisi kelas tertawa ger-ger-an.
Parahnya saya tidak ‘ngeh’ mengapa mereka begitu geli, yang ada saya malah ikutan senyum-senyum tak jelas. Sampai guru saya bertanya lagi, “kalau hari Sabtu, penjual patung buka nggak?”
Belum sempat saya menjawab, guru Bahasa Inggris yang botak di bagian belakang itu sudah menyambar lagi dengan mengatakan, “Kalau di sini, toko sepatu Bata hari Sabtu tutup, tapi tukang tahu tempe tetap buka,” tentu dengan pengucapan “t” khas orang Bali. Sudah pasti seisi kelas tertawa lagi sekeras-kerasnya. Mereka yang kantung kemihnya agak ‘nenggel’ mungkin sampai terkencing-kencing saking gelinya.
Sudah seekstrim itu saya baru ngeh. Dan sejak saat itu, saya sudah tidak kaget lagi, bisa dibilang sudah kebal. Bagaimana tidak, mau di ruang kelas, di kantin, di halte bis, di atas angkot, bahkan sampai di tempat kerja, kawan karib hampir selalu meledek dengan meniru-niru logat saya yang waktu itu memang belum fasih mengucapkan huruf “t”, seperti logat mereka.
Yang sedikit agak menjengkelkan, kalau boleh disebut demikian, setelah disana betahun-tahun, bahkan sampai saya pindah ke Tangerang—untuk bekerja—dan sudah fasih mengucapkan huruf T ala orang sana, bisa berbahasa Jawa atau menggunakan logat Jakarta dengan sangat baik, entah mengapa masih saja diledekin oleh teman kerja di sana, seolah-olah pengucapan huruf T saya masih asli Bali.
Sakit hati? Terusterang, waktu itu, IYA.
Tetapi karena sudah agak dewasa (sekitar usia 23-24 tahun), saya mulai sadar dan bertanya pada diri sendiri:
Mengapa saya perlu berusaha keras untuk melafalkan huruf T ala mereka? Bukankah saya memang orang Bali?
Mengapa harus mengubah ciri khas saya sebagi orang Bali? Apakah merasa malu menjadi orang Bali?
Pada dasarnya saya bukan orang yang fanatik mengenai kesukuan dan agama. Sampai saat ini, setelah bertahun-tahun pulang ke Bali, saya masih sering menggunakan bahasa Jawa atau Sunda atau logat Jakarta—terutama ketika berkomunikasi dengan kawan-kawan yang ada di sana. Dan itu, samasekali bukan persoalan; hanya kulit luar; no big deal.
Kalau punya tambahan waktu, saya ingin mengajak semeton Bali, terutama yang banyak bergaul di luar Bali, untuk melihat satu perbandingan yang menurut saya cukup menarik—mungkin ada hal yang bisa dipetik:
Orang India, yang kebetulan pengucapan huruf T-nya mirip dengan kita di Bali, banyak yang bermigrasi ke negara-negara lain. Diantara mereka banyak yang lulusan PhD atau MBA dari 10 Universitas ternama di Dunia (Harvard, Princeton, Stanford, Northwestern, MIT, dan seterusnya). Tak sedikit juga yang menjadi professor/dosen di universitas-universitas tersebut, bahkan ada yang sampai menjadi Dean.
Jika mau mendata mereka satu persatu, kita bisa menemukan minimal satu orang India yang duduk di kursi eksekutif perusahaan-perusahaan yang masuk kelompok ‘Fortune 100” di AS sana. Diantara mereka banyak juga yang menduduki posisi puncak macam Chief Executive Officer (CEO) dan Vice President.
Dan, rata-rata, mereka sudah beranak-pinak di perantuan—yang paling banyak mungkin di Inggris, Canada dan Amerika Serikat.
Apa yang menarik dari mereka? Mayoritas masih mengucapan T dengan logat India kental—mirip cara orang Bali mengucapkan T.
Hubungannya dengan orang Bali? Mungkin tidak ada. Satu hal yang jelas; logat pengucapan T dalam bahasa Inggris yang jauh dari native-nya, samasekali tak menghalangi mereka untuk bersaing di lingkungan global.

Setidak-tidaknya, mungkin kita bisa belajar dari mereka, orang India, yang tak pernah minder menggunakan logat aslinya di kancah global.
Sehingga, menurut saya pribadi, kiranya tak perlu melakukan koreksi apapun terhadap anggapan bahwa “orang Bali tak bisa mengucapkan huruf T”, bagaimanapun juga itu fakta, tak ada yang salah dengan itu, dan bukan sesuatu yang perlu membuat merasa malu apalagi minder. Justru pertahankan, karena itu mungkin menunjukan bahwa kita punya akar yang jelas, tidak mudah tercerabut—oleh karenanya pantas untuk dihargai.
Yang mungkin perlu dikoreksi adalah anggapan-anggapan, persepsi-persepsi, seterotype-stereotype, yang keliru tentang orang Bali. Tentu tidak dalam bentuk ucapan saja, melainkan koreksi dalam bentuk tindakan; buktikan bahwa anggapan-anggapan itu adalah keliru.


1. Orang Bali Itu Santai
Quote:

Quote:

Quote:


2. Orang Bali Penindas Perempuan
Quote:

Quote:


3. Orang Bali Itu Bodoh
Quote:

Quote:


4. Orang Bali Doyan Judi
Quote:

Quote:


5. Orang Bali Doyan Mabuk
Quote:

Quote:


6. Orang Bali Penganut Seks Bebas (Free-sex)

Quote:

Quote:

6 Anggapan Keliru Tentang Orang Bali Yang Bikin Dahi Berkerut
Diubah oleh grandong.ngamuk 26-03-2014 14:36
0
10.8K
18
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan