Kaskus

Entertainment

xgrandongxAvatar border
TS
xgrandongx
Domba Ketujuh
Kira-kira pukul 08.30, setelah shalat Iedul Adha,
orang-orang berkumpul di halaman masjid yang
lapang. Mereka akan menyaksikan penyembelihan
tujuh ekor domba jantan yang bagus dan seekor
kerbau gemuk yang diserahkan beberapa orang kaya
kepada DKM. Anak-anak yang berpakian bagus-bagus berkumpul di
sekitar halaman. Mereka bermain sesukanya. Tawa
bahagia berderai. Mereka ingin menyaksikan darah
yang mengalir deras dari tenggorokan, kemudian
menyentuh bumi.
Para orang tua juga telah datang. Mereka membawa alat untuk membantu penyembelihan. Mereka telah
siap menyaksikan darah yang akan mengalir dari
tenggorokan kemudian mencium bumi, lalu ada tubuh
yang bergelinjangan sekarat meregang nyawa.
Ibu-ibu dengan masih memakai pakaian lebarannya
juga telah hadir sambil tak henti-hentinya ngobrol soal apa saja. Anak-anak gadis membentuk kelompok
sendiri. Mereka ngobrol soal yang berbeda. Mereka
sudah siap melihat darah yang mengalir deras
mencium bumi.
Sementara yang akan disembelih seperti tidak tahu-
menahu kejadian apa yang akan menimpanya. Kerbau itu tenang-tenang saja memakan rumput hijau yang
diletakkan di atas karung. Dia tidak tahu darahnya
akan dialirkan hari ini, kemudian sekarat, kemudian
dikuliti, kemudian dicincang, kemudian diiris, disate,
disemur, dan apa pun namanya. Dia tidak tahu-
menahu sama sekali. Dia tidak tahu ini adalah hari terakhirnya. Cuma dia mungkin merasa asing karena
ada makhluk lain yang ramai-ramai di sekelilingnya.
Tujuh ekor domba juga sama seperti itu. Mereka
tidak tahu-menahu darahnya akan dialirkan hari ini
ke perut bumi. Mereka hanya memakan rumput liar di
halaman masjid itu. Kadang-kadang berkeliling mengitari pancung, berusaha melepaskan diri dari
tambang pengikat. Tapi tambang itu begitu kuatnya.
Sesekali digoda anak-anak, kemudian domba itu
mundur, ancang-ancang hendak menanduk. Tapi anak-
anak tersebut berhamburan sambil tertawa, meski
sedikit cemas. Matahari bersinar terik. Langit biru cerah tak
terhalang awan sedikit pun. Beberapa ekor burung
melayang rendah di udara. Angin cuma sepoi-sepoi
saja.
Tidak berapa lama kemudian, beberapa orang ahli
penyembelihan mendekati kerbau yang asyik merumput. Dengan hati-hati sekali, mereka mampu
menggulingkan makhluk itu hingga posisinya
memudahkan untuk disembelih. Kerbau itu tak bisa
berkutik karena tambang telah meringkusnya.
Semakin dia bergerak, semakin tambang itu
meringkusnya. Tenaganya sia-sia belaka. Hanya meraung, hendak berdiri. Tapi tak kuasa. Hanya
tanduknya dibanting-bantingkan sekenanya.
Seseorang maju ke depan. Rokok yang sudah hampir
menjadi puntung, dibuangnya. Dia mencabut golok
dari sarungnya menantang cahaya matahari. Mata
golok berkilauan. Dia penjagal. Dengan golok terhunus, dia mendekati makhluk yang sudah tak
berdaya itu. Seorang kiai siap memimpin doa. Si
pemilik kerbau menyaksikan di belakangnya. Orang-
orang yang menyaksikan melingkar agak jauh dari
kerbau tersebut. Pandangan mereka terpusat pada
leher kerbau. Tambang yang meringkus setiap kaki kerbau dipegang kuat-kuat beberapa orang lelaki
muda.
Penyembelihan dimulai setelah doa dibacakan. Golok
itu melukai tenggorokan sang kerbau. Darah mengalir
deras mencium lubang di bawahnya. Dari mulutnya
keluar ngorok bercampur darah. Tubuh itu meregang melepas nyawa. Kakinya kejang-kejang beberapa
lama. Nafas terakhir habis. Kemudian sekarat,
kemudian mati, kemudian dikuliti, kemudian
dicincang, kemudian ditimbang, kemudian dibagikan.
Kepala dan hatinya dipisahkan buat kiai. Pahanya
buat ketua DKM. Pahanya yang satu lagi buat pak kades. Kulitnya buat bedug yang semalam bolong
terus-terusan dipukul. Sisanya dibagikan buat mereka
yang berhak menerima.
Domba-domba jantan itu pun tak jauh berbeda
nasibnya dengan kerbau tersebut. Lehernya dipenggal.
Darah mereka mengalir menciumi bumi. Kemudian dagingnya dibagi-bagikan. Kepalanya buat kiai
kampung tetangga. Buat bapak kepala dusun. Buat
bapak ketua RT, bapak pertahanan sipil, anggota
DKM dan sesepuh kampung. Kakinya jadi rebutan.
Kulitnya dijual kepada tengkulak kulit yang beberapa
hari sebelumnya sudah memesan. Sebagian untuk dimasak waktu itu juga bagi yang bekerja membantu
penyembelihan. Sisanya dibagikan buat mereka yang
membutuhkan.
Matahari semakin meninggi. Siang semakin panas
saja. Penyembelihan terakhir adalah domba ketujuh.
Orang-orang sudah kelelahan. Orang-orang yang menyaksikan tidak sebanyak penyembelihan
sebelumnya. Pak kiai sudah pegal mulutnya
menghembuskan doa-doa. Sang penjagal sudah gonta-
ganti. Darah yang berceceran sudah mengental.
Seseorang menuntun domba itu ke lubang
penyembelihan bekas kawan-kawannya. Domba ketujuh itu tidak berontak sebagaimana domba
sebelumnya. Dia pasrah.
Ketika golok itu akan menggorok lehernya, setelah doa
dibacakan, saat setiap pasang mata terpusat pada
lehaernya, tiba-tiba dengan lantangnya domba
ketujuh itu bicara. “Sebentar, sebentar, sebelum golok ini menggorok
leherku, sebelum darahku jatuh ke tanah, sebelum
nyawa ini melayang, sebelum tubuh ini dikuliti,
izinkan aku bicara dulu.”
Kontan saja sang penyembelih mundur beberapa
langkah menabrak orang-orang yang ada di belakangnya. Orang-orang di belakangnya menabrak
orang-orang di belakangnya pula. Orang-orang
seragam dalam kekagetan. Orang yang memegang tali
pengikat kaki domba itu kabur tunggang-langgang.
Matanya terbelalak. Mulutnya ternganga. Tapi ada
juga yang tetap diam terkena sihir. Tak bergerak seperti patung kedinginan.
Penyembelih itu terkesiap. Goloknya terlepas hampir
mengenai kakinya. Wajahnya kehilangan darah. Dia
hampir saja kabur kalau beberapa orang tidak
menceghnya. Nafasnya sengal-sengal seperti baru saja
dikejar setan. Keringat sebesar biji-biji jagung keluar dari mukanya yang kehitaman.
Beberapa saat mereka adalah patung. Mereka masih
tak percaya akan mata dan pendengarannya masing-
masing.
Kemudian, mereka saling bertanya atas kejadian itu,
dan kemudian saling tidak tahu jawabannya. Di antara mereka ada yang mengusulkan untuk
membatalkan pemyembelihan domba ketujuh.
“Bagaimana kiai, apakah penyembelihan ini akan
dilanjutkan?” tanya seseorang di sampingnya yang
merupakan ketua DKM.
Pertanyaan ketua DKM itu memecah keheningan kiai. Dia mengusap keringat di wajahnya beberapa kali
dengan sorbannya. Mulutnya mengucap istighfar.
Tapi dia belum menjawab pertanyaan itu seolah tidak
tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan. Dia
menghela nafas dalam-dalam.
“Wahai manusia, kenapa kalian keheranan mendengarku bicara? Tidak ada yang luar biasa bagi-
Nya. Aku hanyalah seekor binatang yang sudah tak
berdaya. Tak perlu diherani apalagi ditakuti.
Kejadian ini biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa.
Kalau mau disembelih, sembelihlah aku! Itu lebih baik
bagiku. Tapi sebelum itu, izinkan aku bicara barang sebentar,” kata domba ketujuh dengan suara lantang
dan jelas sehingga setiap telinga dapat
mendengarnya.
“Kalau kamu mau bicara, bicaralah! Kami bangsa
manusia akan memberikan kesempatan bagimu. Kami
siap mendengarnya,” kiai mewakili teman-temannya. Ia mencoba tenang.
“Baik, baik,” kata domba ketujuh, kemudian berhenti
sebentar. Tenggorokannya seperti tersedak. “Tapi
tolong, tambang yang mengikat leherku dilonggarkan
sedikit supaya aku leluasa bicara. Percayalah aku
tidak akan kabur. Aku tidak akan ngamuk. Kematian adalah hal yang biasa saja,” katanya lagi.
Beberapa orang, meski ragu-ragu, segera
melonggarkan tambang pengikat leher domba ketujuh.
Canggungnya sedikit demi sedikit berkurang.
“Begini, bangsa manusia,” kata domba tersebut sambil
tetap dalam posisi untuk disembelih. Sementara tubuh dan keempat kakinya masih diringkus. “Sebelum nafas
terakhirku habis, nyawaku hilang melayang-layang,
darahku mencium bumi, tubuhku dikuliti, dagingku
dicincang diiris-iris kemudian kalian masak dengan
berbagai macam cara dan selera. Aku rela. Aku ikhlas.
Karena itu garis takdir yang dituliskan atas diriku. Tapi sebelum semua itu terjadi, aku punya satu
permohonan.’’
“Kalau boleh tahu, apa permohonan terakhirmu itu?
Kalau kami mampu, kami bisa mengabulkannya,” kata
kiai itu mulai agak akrab. Orang-orang yang
menyaksikan pun keheranannya sedikit mencair. Mereka memasang mata dan telinga masing-masing
seolah tidak ingin terlewatkan satu huruf pun atas
kata-kata domba ketujuh.
“Begini bangsa manusia, sudah kukatakan bahwa aku
ikhlas seikhlas-ikhlasnya jika aku dijadikan qurban.
Aku rela leherku disembelih, darahku mambasahi bumi, tubuhku dikuliti, dagingku dicincang, aku tidak akan
menangis, keluargaku pun tidak akan bersedih karena
itu tidak akan berlaku dalam duniaku. Anak-anakku
pun tidak akan melakukan balas dendam karena kami
tak mengenal itu.”
“Lantas apa maumu?” “Tapi aku dan kawan-kawanku tak rela sama sekali.
Tak rela.”
“Kamu tak mau disembelih?” tanya kiai. “Kalau itu
maumu, kami bisa mempertimbangkannya.”
“Bukan itu permasalahannya.”
“Lantas?” “Kenapa daging kawan-kawanku dan mungkin juga
aku bagian yang banyak hanya dinikmati oleh kiai,
ketua DKM, kepala desa, kepala dusun, pak RT, pak
pertahanan sipil dan sesepuh kampung? Kenapa
mereka yang didahulukan? Mereka itu orang yang
berada. Mampu membeli tanpa dibagi. Mereka sering makan daging. Biarkanlah orang-orang miskin, anak-
anak yatim, orang-orang jompo menikmati daging
lebih banyak setahun sekali. Mereka jarang-jarang
makan daging.”
Kiai itu merah mukanya. Kata-kata itu menohok
mukanya. Ketua DKM tertunduk. Orang-orang yang mendengar itu berbisik-bisik.
“Sebelum kalian menyembelihku, sembelihlah nafsumu!
Sembelihlah hasratmu. Potonglah kerakusanmu!
Sembelihlah keangkuhanmu. Penggaallah
kesombonganmu. Potonglah keserakahanmu!”
Sekarang, orang-orang itu kembali terdiam. Mereka seperti makhluk tanpa suara.
"Kenapa kalian bengong? Sembelihlah aku!
Sembelihlahlah aku! Aku ingin segera menghadap-Nya.
Menyusul teman-temanku"
Semuanya diam.
"Baiklah kalau kalian tidak mau menyebelihku, biarlah aku yang akan menyembelih diriku sendiri, mencincang
sendiri, dan biarlah aku membagikannya ke faqir
miskin, anak yatim, orang-orang jompo. Aku tidak
mau merepotkan kalian...."
0
1.4K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan