Pemilihan kepala suku ato kepala adat di negeri kita pada dasarnya selalu dilakukan dengan musyawarah, barulah di zaman kolonial terjadi pemilihan kepala desa yg dilakukan secara langsung oleh rakyat. Jadi Pilkada oleh rakyat sebenarnya produk penjajahan yg telah merusak nilai2 luhur bangsa.

Jika bangsa ini mau kembali menengok dan memahami nilai2 musyawarah maka bisa melahirkan kebersamaan, terhindarnya perpecahan antar masyarakat yg tdk jarang menimbulkan korban jiwa akibat bentrok fisik akibat fanatisme sempit beda pilihan, berlakunya adu argumentasi yg sehat - bukan adu oto, tidak ada hukum rimba siapa yg kuat (punya uang) maka ia yg akan memang, dan dijamin tdk akan mengecewakan apabila melibatkan orang2 yang memiliki beberapa kualifikasi sbb:

1) Harus cerdas,
2) Amanah,
3) toleran,
4) berpengalaman
5) dan bahkan dipastikan orang yg diyakini ketakwaannya. dsb.

Dgn demikian dgn konsep musyawarah bisa dipastikan dimana satu suara bernilai setara dgn suara yg lainnya.

Kini bandingkan dgn pemilihan langsung yg dilakukan serentak oleh sembarang rakyat dgn sistem one man one vote, tentu bisa terjadi 'satu orang yg tidak mempunya lima hal di atas' suaranya sama saja dengan 'orang yang mempunyai kualifikasi di atas: kecerdasana/akal, toleran, berpengalaman, care, dan bahkan takwa.'