Kamis, 11/09/2014 11:06 WIB
Ahok: Dulu Gerindra Tolak RUU Pilkada
Jakarta - Wagub DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) heran dengan perubahan sikap Gerindra mendukung RUU Pilkada. Padahal, dulu Gerindra sangat menentang revisi Undang-undang itu.
Ahok menuturkan kisah penolakan Gerindra saat dia masih menjadi anggota Komisi II DPR dulu. Ahok mengatakan, waktu itu hanya dirinya dari Golkar yang menolak revisi UU Pilkada. Sedangkan Gerindra, kata Ahok, solid menolak revisi UU itu.
"Yang jelas saya 2,5 tahun di komisi II DPR RI. Waktu itu saja saya di partai Golkar, Gerindra semua menentang proposal draft revisi dari Kemendagri. Kita sudah tolak terus dari 2010," kata Ahok kepada wartawan di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2014).
Oleh karenanya Ahok heran sekarang Gerindra berubah sikap. Dia pun memutuskan keluar dari Gerindra, meski sudah dirayu untuk bertahan oleh keponakan Prabowo, Aryo Djojohadikusumo.
"Ya kita sudah komunikasi. Kan Aryo datang kemarin siang, Aryo anak Pak Hashim. Saya sudah sampaikan. Saya membaca dari dia bahwa nggak mungkin lagi. Saya mau komunikasi sama DPP pun, berdebat semeja pun sama mereka, mereka akan ngotot," pungkasnya.
http://news.detik.com/read/2014/09/1...k-ruu-pilkada?
mau ngeles apalagi hok!! fakta gerindra sudah dukung pilkada tak langsung sudah ada sebelum lu di usung jadi cawagub DKI , sekarang lu nambah kebohongan hanya demi cari perhatian sama masyarakat supaya lu dipandang orang yang berani pegang prinsip walau harus mecatin partai yang bawa lu terbang ke puncak jabatan di DKI , miris wa lihat lu hok yang sebegitu rendahnya membohongi rakyat dengan congor tak bertulang lu

#ahoklicikuscipitusbohongius
Quote:
RUU Pilkada: Rakyat Tak Bisa Lagi Pilih Gubernurnya
Tujuannya: agar momen pilkada tidak dijadikan semacam undian berhadiah
Senin, 24 September 2012, 21:27
VIVAnews – Pemerintah dan DPR kini tengah menggodok Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Ada sejumlah poin krusial dalam RUU ini, salah satunya mengembalikan proses pilkada ke tangan DPRD.
Artinya, rakyat tak lagi memilih pemimpin mereka secara langsung seperti pada Pilkada DKI Jakarta 2012 yang baru berlalu. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Pilkada menyambut baik usulan pilkada tak langsung tersebut.
Menurut Gamawan, pilkada melalui perwakilan rakyat di DPRD sudah sesuai dengan UUD 1945. Pilkada tak langsung juga dinilai akan menghemat biaya politik. “Kalau sudah melalui DPRD, biayanya pasti murah karena calon tidak perlu kampanye lagi. Cukup menyampaikan visi dan misi di DPRD,” ujar dia di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin 24 September 2012.
Pilkada tak langsung ini juga sempat dibahas dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 belum lama ini. Khatib Am Syuriah Pengurus Besar NU, Kyai Haji Malik Madani, mengatakan pilkada secara langsung yang diterapkan pemerintah saat ini memicu maraknya praktik politik uang di tengah masyarakat.
Pilkada langsung juga disebut membuat negara mengeluarkan biaya tinggi, baik dari pemerintah maupun para calon yang bertarung. Terakhir, pilkada langsung bahkan dinilai menyebabkan konflik horisontal di antara kelompok pendukung masing-masing calon. Oleh karena itu muncul gagasan untuk mengembalikan proses pilkada ke DPRD seperti pada masa Orde Baru.
Meski menyetujui usul ini, Mendagri berpendapat pilkada tak langsung hanya cocok diterapkan di tingkat provinsi, sementara kepala daerah di tingkat kabupaten/kota sebaiknya tetap dipilih langsung oleh rakyat. “Untuk tingkat provinsi bisa diserahkan kepada DPRD, tapi kabupaten/kota masih tetap pemilihan langsung,” kata Gamawan.
Pemilihan gubernur tak langsung itu didukung oleh Fraksi Demokrat dan Gerindra, sedangkan fraksi-fraksi lainnya cenderung mempertanyakan bahkan menolak opsi tersebut.
Semula, pada pandangan awal fraksi Juni 2012 lalu, Fraksi PDIP, PAN, PPP, PKB, dan Hanura menolak pemilihan gubernur lewat DPRD dan mendukung pilkada langsung seperti yang saat ini telah berjalan. Sementara itu, Fraksi Golkar dan PKS mempertanyakannya dan merasa opsi tersebut perku dikaji ulang.
Ketua DPP Partai Golkar yang juga Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Thohari, menganggap pemilihan lewat DPRD merupakan langkah mundur demokrasi. Alasan efisiensi biaya, menurutnya juga tak relevan. “Sulit untuk menghemat biaya demi menyuarakan suara rakyat,” kata dia beberapa waktu lalu.
Namun berbagai penolakan itu lalu melunak. Saat ini, hampir semua fraksi di DPR RI telah menyetujui usulan agar gubernur cukup dipilih oleh DPRD. DPR RI pun mencanangkan pembahasan RUU Pilkada akan selesai pada Desember 2012. Apabila RUU ini jadi disahkan menjadi UU oleh DPR, maka UU Pilkada yang baru ini akan berlaku 60 hari sejak disahkan.
Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, berpendapat RUU Pilkada tak mengubah esensi demokrasi yang dijalankan di Indonesia sejak era reformasi. “Demokrasi itu ada dua, langsung dan tidak langsung. Gubernur yang dipilih oleh DPRD juga menganut asas demokrasi, hanya tidak dipilih langsung oleh rakyat, namun oleh perwakilan rakyat,” kata dia.
Dilarang ke daerah lain
Selain mengembalikan pemilihan gubernur ke tangan DPRD, RUU Pilkada juga membahas pasal larangan bagi seseorang yang tengah menjabat sebagai pemimpin di suatu daerah untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin di daerah lain.
“Kalau misalnya dia jadi bupati di daerah A, kemudian mau mencalonkan jadi gubernur di daerah B, dia harus mengundurkan diri dulu dari jabatannya di daerah A itu. Jadi, kalah atau menang di daerah B, dia tidak bisa balik menjabat lagi di daerah A,” kata Mendagri Gamawan Fauzi.
Tujuan disisipkannya pasal itu, menurut Gamawan, agar momen pilkada tidak dijadikan semacam undian berhadiah bagi individu maupun partai politik. “Kalau tidak ada pasal itu, pilkada kan menjadi undian berhadiah. Kalau kalah di daerah lain, balik lagi di daerah sebelumnya,” ujar Mendagri.
Gamawan menyatakan, kalau hal itu terjadi akan merugikan pembangunan di daerah, yang pada akhirnya akan menganggu pembangunan secara nasional. Loyalitas seorang kepala daerah kepada daerah yang dipimpinnya, juga jadi diragukan.
Oleh sebab itu, tegas Gamawan, sebelum masa jabatan lima tahun sang kepala daerah habis, maka ia dilarang mencalonkan di daerah lain kecuali bersedia mundur terlebih dahulu. “Intinya, jabatan berlaku lima tahun. Kalau dia mau pindah ke jabatan lain, maka itu hak kami untuk membatasinya,” ujar Mendagri.
Ia menambahkan, tak ada kaitan antara pencantuman larangan bagi itu dalam RUU Pilkada dengan kasus majunya Jokowi di Pilkada DKI Jakarta.
Seperti diketahui, Jokowi yang tercatat sebagai Wali Kota Solo diusung PDIP untuk maju di Pilkada DKI Jakarta 2012 sebelum masa jabatannya di Solo selesai.
Gamawan mengatakan pasal larangan ini telah disisipkan di RUU Pilkada sejak tiga bulan lalu, bukan baru-baru ini. “Pasal itu sudah tiga bulan dibahas di DPR. Tidak ada kasus Jokowi di sini. Kepala daerah yang seperti itu kan banyak, ada Alex Noerdin, dan lainnya,” kata dia.
http://fokus.news.viva.co.id/news/re...ih-gubernurnya
Quote:
Gubernur Berpotensi Masih Dipilih Langsung
Thursday, 14 June 2012 07:00 Hits: 109
JAKARTA-Meski pemerintah mengusulkan gubernur dipilih melalui DPRD dalam RUU Pilkada yang baru, tapi mayoritas fraksi di DPR masih menginginkan pemilihan langsung. Pandangan awal fraksi-fraksi di Komisi II DPR, 6 mendukung pemilihan langsung, 2 tidak langsung dan 2 lagi ragu-ragu.
Hal itu dibenarkan anggota Komisi II DPR, Nurul Arifin, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/6), usai rapat dengan Mendagri. Seperti dirangkum Sekretariat Komisi II DPR menyebutkan, enam Fraksi yang setuju
Pemilihan langsung yaitu Fraksi PDIP, Fraksi PAN, Fraksi PPP, Fraksi Hanura, Fraksi PKB dan juga DPD RI. Sedangkan Fraksi PD dan Fraksi Gerindra tidak setuju. Sementara Fraksi PKS dan Fraksi Golkar masih ragu-ragu.
Fraksi Demokrat setuju pemilihan gubernur melalui DPRD dan wakilnya harus pejabat karier. Fraksi Golkar masih mempertanyakan gubernur dipilih oleh DPRD, tidak setuju wakil gubernur dari jabatan karier, tetapi setuju dengan pelarangan keluarga incumbent maju sebagai calon kepala daerah.
Sedangkan faksi PDIP masih mendukung pemilihan secara langsung, wakil kepala daerah dipilih secara langsung satu paket dengan kepala daerah, sepakat sengketa pilkada dibawa ke MA. Sementara Fraksi PKS nampaknya masih ragu. Menurut PKS pemilihan melalui DPRD perlu dikaji lagi, termasuk jabatan wakil kepala daerah dari jabatan karier. PKS juga menginginkan pemilihan kepala daerah hanya satu putaran.
Fraksi PAN juga mendukung pemilihan langsung, menolak wakil kepala daerah dari pejabat karier dan pengaturan mengenai kampanye terbatas mesti diperkuat. Fraksi PPP setuju pemilihan langsung, syarat calon minimal sarjana strata1, Pilkada tidak satu paket perlu kajian yang mendalam. Menyusul Fraksi PKB setuju pemilihan secara langsung, wakil kepala daerah harus jabatan politik dan dipilih satu paket dengan kepala daerah, bukan karier, mendorong calon independen, mendukung pengaturan keluarga petahana (incumbent) tidak boleh menjadi calon kepala daerah. PKB setuju dengan pilkada serentak, setidaknya di tingkat provinsi.
Fraksi Gerindra setuju pemilihan oleh DPRD, mengusulkan adanya UU wakil kepala daerah dan nyaris menyetujui semua usulan pemerintah: hanya alasannya yang berbeda. Berikutnya Fraksi Hanura setuju pemilihan langsung, menolak wakil kepala daerah dari jabatan karier,menolak Pilkada II putaran, pembatasan dana kampanye dan kampanye terbatas.
Terakhir pandangan DPD RI setuju dengan pemilihan secara langsung,menolak wakil kepala daerah jabatan karier, harus dipilih satu paket dan setuju dengan pemilu serentak di provinsi.
Pandangan Mendagri
Sementara Mendagri Gamawan Fauzi memaparkan sejumlah opsi seputar UU Pilkada. Salah satunya, gubernur dan bupati tidak dipilih satu paket dengan sang wakil dan dipilih oleh DPRD. Opsi pertama, gubernur dan bupati dipilih tidak satu paket dengan wakil gubernur dan wakil bupati. Gubernur dan bupati dipilih DPRD. Sementara wakil gubernur dan wakil bupati ditunjuk oleh gubernur atau bupati terpilih, atau dari PNS yang ditunjuk pusat.
"Ya satu dua fraksi saja (yang protes) tapi itu masih harus didalami. Saya senang sekali tanggapannya bagus sekali soal bagaimana efisiensi, efektivitas, bagaimana perlu didalami efek kalau pemilihan sendiri saja, tanpa wakil. Itu masih diskusi tadi kan minta, tolong DPR yakinkan kami bagaimana kalau wakil kepala daerah PNS kalau PNS, risikonya gimana," kata Mendagri kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/6).
Berdasarkan pengalaman UU Pilkada (dulu UU Pemerintah Daerah), ada Pilkada yang satu paket yakni kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih bersamaan atau juga tidak sepaket. Pemerintah cenderung mengusulkan pemilihan kepala daerah tidak satu paket. "Ini kan tak punya legitimasi kalau melanjutkan dalam konsep kita memang (wakada) tidak akan melanjutkan. Tapi memberikan kesempatan pada wakada untuk melaksanakan pilkada untuk memilih kada yang berhalangan tetap. Ini yang harus dijelaskan lebih detil lagi," ungkap Gamawan.
Pertimbangan pemerintah membuat Pilkada tidak satu paket karena UUD tidak mengatur pemilihan wakada. Yang kedua, tidak semua daerah memerlukan wakada. Namun pemerintah belum sepakat dengan ide pilkada serentak. "Itu bagus, tapi risikonya tetap ada. Kalau serentak tentu dengan gubernur dipilih, itu akan kaji lagi. Kalau serentak, antar pemilihan bupati/walikota saja, atau dengan gubernur. Karena kita mengusulkan gubernur dipilih oleh DPRD. Kalau itu dilakukan serentak, resikonya, baru habis tahun berapa. Karena habis masa jabatannya berbeda-beda," paparnya.
"Sekarang serentak dimungkinkan dalam tiga bulan apabila selisih waktunya tiga bulan. Kalau ini kan selisih waktunya bisa sampai 2,5 tahun. Kalau serentak seluruh Indonesia. Yang kita akomodir dulu serentak kalau jaraknya hanya 3 bulan, seperti-nya ini tidak, ini serentak dalam satu provinsi," lanjutnya.
Lalu bagaimana dengan spekulasi karena pemerintah mengupayakan agar pilkada tidak satu paket untuk memantapkan kekuasaan hingga daerah apalagi sampai wakil kepala daerah dipilih pusat? "Enggak. Selama ini sudah saya katakan, pecah kongsi itu 93 persen lebih. Hanya 6,7 persen yg tetap bersama. Di tengah jalan bisa berebut pengaruh, karena sama-sama mau maju kembali dalam pilkada berikutnya. Nah ini yang dalam pengamatan kami, 93,3 persen pasangan pecah kongsi," kilahnya. (har/dc).
http://www.haluanriaupress.com/index...n-01&Itemid=59