- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
RUU Pilkada, dari Koalisi Merah Putih untuk Rakyat Indonesia


TS
rudiaspariaka
RUU Pilkada, dari Koalisi Merah Putih untuk Rakyat Indonesia
Politik adalah seni segala kemungkinan. Itulah adagium atau pepatah yang sangat populer di Indonesia. Bahkan bukan sekadar menjadi adagium, ”seni segala kemungkinan” itu telah menjelma sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan.
Saat ini pun politik juga banyak disebut sebagai ’’art possible’’ (seni kemungkinan; artinya sesuatu yang tidak mungkin dapat diubah menjadi mungkin atau sebaliknya sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi menjadi tidak mungkin). Biasanyang terlibat dalam politik ini disebut ’’seniman politik’’ atau politisi. Seni sendiri secara etimologi berasal dari kata ‘’art’ (bahasa Inggris) dan ‘’artes’’ (bahasa Yunani) yang menunjukkan arti kemahiran yang diperoleh seseorang dari bakat dan pengalamannya. Oleh karena itu, seni berpolitik juga berbeda setiap individu (Sahid Gatara, 2009: 26).
jika politik dapat diartikan sebagai seni, digunakan politisi untuk memikat sehingga memperoleh suatu tujuan. Bukti-bukti konkret dapat ditampilkan. Sang lawan secara mendadak bisa berubah menjadi perkawanan. Kompetisi politik justru dapat menghasilkan koalisi untuk merengkuh kekuasaan. Tiada sahabat dan seteru abadi dalam domain politik semacam ini. Yang ada kepentingan yang abadi. Bagi politisi sejati, kepentingan untuk menyuarakan kebenaran inilah yang sejatinya dia lakukan.
Dinamika politik belakangan ini menunjukkan perubahan yang drastis. Padahal Jokowi belum dilantik, dan Parlemen pun bekerja di injury time. Namun waktu yang tersisa ini dimanfaatkan betul oleh Parlemen. Saat ini parlemen sedang ngebut untuk menyelesaikan RUU Pilkada. Dinamika itu terlihat dengan perubahan sikap Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mendukung Pilkada tidak langsung.
Adanya usulan pengembalian proses pemilihan kepada daerah dikembalikan ke DPRD adalah untuk menghilangkan praktik korupsi. Pengawasan terhadap kepala daerah hasil pemilihan DPRD yang terlibat praktik korupsi justru lebih mudah. Semangat inilah yang ditangkap oleh PAN dan PKS.
Untuk penggambaran sederhana dalam Pengawasan yang dimaksud, Kalau satu kabupaten anggota DPRD ada 30 orang, akan lebih mudah mengawasinya. Kalau pimpinan partainya disuap, lebih mudah menangkapnya. Daripada menangkap orang-orang kecil yang terima uang Rp20.000-Rp100.000.
Praktik politik uang dalam Pilkada selain korupsi juga membuat pembodohan untuk rakyat. Begitu banyak uang diberikan di serangan fajar, pengawasannya dan penindakannya susah. Jadi Pilkada langsung memang banyak menghambur-hamburkan uang. Rakyat benar-benar berpesta. Pilkada tidak langsung untuk adalah efisiensi biaya. Dibandingkan dengan pilkada langsung seperti saat ini, biaya terlalu besar dikeluarkan negara. Selain itu hanya calon berduit saja, yang bisa ikut Pilkada. Jadilah ongkos politik itu sebagai mahar calon kepala daerah kepada partai pengusung. Biaya yang besar tadi jadi membuka peluang praktik korupsi.
Apalagi kalau prinsip dagang yang dipakai, setelah terpilih, yang terpikir adalah bagaimana mengembalikan modal kampanye dulu. Disini juga menumbuh suburkan adanya Bandar politik. Ada orang-orang yang mengaku dekat dengan Pimpinan partai dan bersedia untuk mengendorse (mendukung). Kalau terpilih dukungan pun berlanjut menjadi arena bancakan bagi-bagi proyek. Rakyat lagi yang disengsarakan. Data menunjukkan sebanyak 330 kepala daerah hasil pemilihan langsung yang terjerat korupsi, dan tak sempat membangun daerahnya.
Pilkada langsung juga menimbulkan konflik berkepanjangan. Karena sudah habis-habisan mengeluarkan dana, maka calon yang bersangkutan berprinsip, Tiji Tibe, Mati siji mati kabeh (mati satu mati semua). Lebih baik hancur semua daripada harus kalah. Siap menang tapi tidak siap kalah inilah yang menimbulkan konflik. Apalagi sebenarnya yang bersaing didaerah itu bukan siapa-siapa, terkadang masih ada hubungan darah. Tapi, karena persaingan PIlkada, akhirnya persaudaraan pun terputus dan lukanya sulit disembuhkan.
Kalau sudah konflik, maka berlanjut ke sidang-sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Maka hari-hari MK akan disibukkan dengan mengurus perkara sengketa Pilkada daripada mengurus perkara perselisihan konstitusi yang menjadi tugas utamanya. Akibatnya Negara juga dirugikan, karena potensinya habis untuk mengurus suatu daerah. Apalagi daerah itu hanya daerah tingkat 2, yang sebenarnya bisa diselesaikan oleh Bupati setempat.
Selain itu, Pilkada langsung akan melemahkan partai politik sebagai pilar demokrasi. Dengan pilkada dialihkan ke DPRD yang justru akan membawa demokrasi semakin sehat. Partai politik semakin didorong bertanggungjawab kepada rakyat. Jadi pilkada oleh DPRD justru akan semakin menguatkan civil society. Masyarakat pun bisa menilai kualitas parpol atapun gabungan parpol dalam memilih kepala daerah. Sehingga, parpol melalui kadernya di DPRD akan memilih calon kepala daerah yang handal. Jika tidak, masyarakat akan menghukum parpol yang bersangkutan dalam Pemilu yang akan datang.
Pilkada oleh DPRD tetap memposisikan KPU dan Bawaslu sesuai fungsinya sebagai penyelenggara dan pengawas. Jika terjadi penyuapan atau tindak kriminal lainnya, calon dapat didiskualifikasi. KPU dan Bawaslu bisa bekerjasama dengan KPK, PPATK maupun lembaga lain. Logikanya, mengawasi anggota DPRD tak lebih 50 orang di tingkat kabupaten atau kota dan 100 orang di tingkat provinsi jauh lebih mudah daripada mengawasi puluhan juta pemilih yang bisa menerima jual beli suara.
Sumber Terkait:
http://www.solopos.com/2014/09/09/ru...es-2014-534434
http://news.bisnis.com/read/20140909...tidak-langsung
http://nasional.kompas.com/read/2014...ada.Lewat.DPRD
Saat ini pun politik juga banyak disebut sebagai ’’art possible’’ (seni kemungkinan; artinya sesuatu yang tidak mungkin dapat diubah menjadi mungkin atau sebaliknya sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi menjadi tidak mungkin). Biasanyang terlibat dalam politik ini disebut ’’seniman politik’’ atau politisi. Seni sendiri secara etimologi berasal dari kata ‘’art’ (bahasa Inggris) dan ‘’artes’’ (bahasa Yunani) yang menunjukkan arti kemahiran yang diperoleh seseorang dari bakat dan pengalamannya. Oleh karena itu, seni berpolitik juga berbeda setiap individu (Sahid Gatara, 2009: 26).
jika politik dapat diartikan sebagai seni, digunakan politisi untuk memikat sehingga memperoleh suatu tujuan. Bukti-bukti konkret dapat ditampilkan. Sang lawan secara mendadak bisa berubah menjadi perkawanan. Kompetisi politik justru dapat menghasilkan koalisi untuk merengkuh kekuasaan. Tiada sahabat dan seteru abadi dalam domain politik semacam ini. Yang ada kepentingan yang abadi. Bagi politisi sejati, kepentingan untuk menyuarakan kebenaran inilah yang sejatinya dia lakukan.
Dinamika politik belakangan ini menunjukkan perubahan yang drastis. Padahal Jokowi belum dilantik, dan Parlemen pun bekerja di injury time. Namun waktu yang tersisa ini dimanfaatkan betul oleh Parlemen. Saat ini parlemen sedang ngebut untuk menyelesaikan RUU Pilkada. Dinamika itu terlihat dengan perubahan sikap Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mendukung Pilkada tidak langsung.
Adanya usulan pengembalian proses pemilihan kepada daerah dikembalikan ke DPRD adalah untuk menghilangkan praktik korupsi. Pengawasan terhadap kepala daerah hasil pemilihan DPRD yang terlibat praktik korupsi justru lebih mudah. Semangat inilah yang ditangkap oleh PAN dan PKS.
Untuk penggambaran sederhana dalam Pengawasan yang dimaksud, Kalau satu kabupaten anggota DPRD ada 30 orang, akan lebih mudah mengawasinya. Kalau pimpinan partainya disuap, lebih mudah menangkapnya. Daripada menangkap orang-orang kecil yang terima uang Rp20.000-Rp100.000.
Praktik politik uang dalam Pilkada selain korupsi juga membuat pembodohan untuk rakyat. Begitu banyak uang diberikan di serangan fajar, pengawasannya dan penindakannya susah. Jadi Pilkada langsung memang banyak menghambur-hamburkan uang. Rakyat benar-benar berpesta. Pilkada tidak langsung untuk adalah efisiensi biaya. Dibandingkan dengan pilkada langsung seperti saat ini, biaya terlalu besar dikeluarkan negara. Selain itu hanya calon berduit saja, yang bisa ikut Pilkada. Jadilah ongkos politik itu sebagai mahar calon kepala daerah kepada partai pengusung. Biaya yang besar tadi jadi membuka peluang praktik korupsi.
Apalagi kalau prinsip dagang yang dipakai, setelah terpilih, yang terpikir adalah bagaimana mengembalikan modal kampanye dulu. Disini juga menumbuh suburkan adanya Bandar politik. Ada orang-orang yang mengaku dekat dengan Pimpinan partai dan bersedia untuk mengendorse (mendukung). Kalau terpilih dukungan pun berlanjut menjadi arena bancakan bagi-bagi proyek. Rakyat lagi yang disengsarakan. Data menunjukkan sebanyak 330 kepala daerah hasil pemilihan langsung yang terjerat korupsi, dan tak sempat membangun daerahnya.
Pilkada langsung juga menimbulkan konflik berkepanjangan. Karena sudah habis-habisan mengeluarkan dana, maka calon yang bersangkutan berprinsip, Tiji Tibe, Mati siji mati kabeh (mati satu mati semua). Lebih baik hancur semua daripada harus kalah. Siap menang tapi tidak siap kalah inilah yang menimbulkan konflik. Apalagi sebenarnya yang bersaing didaerah itu bukan siapa-siapa, terkadang masih ada hubungan darah. Tapi, karena persaingan PIlkada, akhirnya persaudaraan pun terputus dan lukanya sulit disembuhkan.
Kalau sudah konflik, maka berlanjut ke sidang-sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Maka hari-hari MK akan disibukkan dengan mengurus perkara sengketa Pilkada daripada mengurus perkara perselisihan konstitusi yang menjadi tugas utamanya. Akibatnya Negara juga dirugikan, karena potensinya habis untuk mengurus suatu daerah. Apalagi daerah itu hanya daerah tingkat 2, yang sebenarnya bisa diselesaikan oleh Bupati setempat.
Selain itu, Pilkada langsung akan melemahkan partai politik sebagai pilar demokrasi. Dengan pilkada dialihkan ke DPRD yang justru akan membawa demokrasi semakin sehat. Partai politik semakin didorong bertanggungjawab kepada rakyat. Jadi pilkada oleh DPRD justru akan semakin menguatkan civil society. Masyarakat pun bisa menilai kualitas parpol atapun gabungan parpol dalam memilih kepala daerah. Sehingga, parpol melalui kadernya di DPRD akan memilih calon kepala daerah yang handal. Jika tidak, masyarakat akan menghukum parpol yang bersangkutan dalam Pemilu yang akan datang.
Pilkada oleh DPRD tetap memposisikan KPU dan Bawaslu sesuai fungsinya sebagai penyelenggara dan pengawas. Jika terjadi penyuapan atau tindak kriminal lainnya, calon dapat didiskualifikasi. KPU dan Bawaslu bisa bekerjasama dengan KPK, PPATK maupun lembaga lain. Logikanya, mengawasi anggota DPRD tak lebih 50 orang di tingkat kabupaten atau kota dan 100 orang di tingkat provinsi jauh lebih mudah daripada mengawasi puluhan juta pemilih yang bisa menerima jual beli suara.
Sumber Terkait:
http://www.solopos.com/2014/09/09/ru...es-2014-534434
http://news.bisnis.com/read/20140909...tidak-langsung
http://nasional.kompas.com/read/2014...ada.Lewat.DPRD
0
2K
35


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan