- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Catatan Perjalanan OANC
Semoga Inilah Catatan Penanggangun Kemarin


TS
insanpenyendiri
Semoga Inilah Catatan Penanggangun Kemarin
Quote:
Gelap malam. Rintik turun. Suara binatang malam tak lagi terdengar. Pada akhir pekan sekarang ini, geliat kehidupan hanya terisi oleh riuh suara serombongan orang.
Kaki gunung di pelosok desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto ini, memang begitu sepi. Sudah tidak ada lagi rumah penduduk di sini. Yang ada hanya dua warung yang letaknya juga berjauhan. Dan satu bangunan lagi adalah pos pendakian.
"Sudah tidak ada lagi rumah, Mas. Desa adanya di bawah sana," kata petugas pos hari kemarin.
Lusinan pemuda-pemudi yang menghidupkan suasana sekarang, adalah rombongan pendaki yang baru turun. Sebagian dari mereka terlihat berkerumun di depan pos pendakian. Sebagian lagi duduk berderet di dalam warung yang ada di sebelah pos.
Ibu pemilik warung, sedari tadi sibuk di dapur. Ia hanya akan keluar kalau mengantarkan pesanan atau dipanggil orang yang mau bayar. Aku duduk di pinggir bale warung sambil mereguk teh hangat. Di dekatku ada tiga temanku.
Yang sudah duduk di atas bale dengan posisi yang nyaman itu, adalah temanku yang namanya Bangkit. Bangkit ini orang Jakarta yang sedang meninggalkan rumah. Sejak 9 Agustus 2 minggu lalu, ia sudah banyak menghabiskan waktu di jalan bersama sepedanya.
"Pingin tau seperti apa," itu alasannya saat kutanya mengapa ia sampai mau touring sepeda menyusuri Jawa. Lelaki 21 tahun ini masih tampak kalem seperti hari kemarin kali pertama aku mengenalnya. Sekarang ia kelihatan santai menyandarkan punggungnya. Kakinya diluruskan ke depan dengan tatapan datar.
Di sebelah kiriku ada Frita. Kulit jidatnya terlihat gosong dan barusan ia mengeluh perih. Ah, tampaknya matahari telanjang di pendakian siang tadi rampung sudah memanggang kulitnya.
Teman kami satu lagi, Waji, duduk di sebelah kiri Frita. Waji masih saja beraksi menggodai makhluk halus. Gadis manis berjilbab rombongan PMI itu, rupanya model makhluk halus yang disukai Waji. Duduk di sebelah Waji, gadis itu terlihat kikuk. Tapi Waji masabodoh. Tetap saja ia menggelontorkan pertanyaan-pertanyaan "aneh" demi yang namanya pendekatan.
Sementara, di belakang hutan di balik gelap sana berdiri satu gunung yang baru saja kami daki. Penanggungan.
Gunung Penanggungan ini relatif tidak berat. Untuk menggapai puncaknya bisa ditempuh dalam waktu satu hari saja. Malah jika badan masih bugar, bisa juga langsung turun lagi.
Jarakknya dari pos pendakian mungkin tidak sampai lima kilometer. Dengan ketinggian yang juga tidak seberapa, 1600 mdpl, menjadikan ketinggian Gunung Penanggungan tidak sampai setengahnya Gunung Semeru.
Meski begitu, bentuk gunung ini mirip dengan Semeru kalau dilihat dari kejauhun. Mungkin karena itulah di kalangan pendaki ada beredar julukan untuk Penanggungan. Penanggungan acapkali disebut: Anaknya Gunung Semeru. Atau ada juga orang yang menyebut: Adiknya Semeru.
Namun terlepas dari hitung-hitungan tingginya yang rendah dan jaraknya yang pendek, penjabaran yang terdapat dalam teks lontar Tantu Panggelaran justru mengatakan nilai keagungan pada Penanggungan. Tulisan itu mengemukakan bahwa sejatinya, Penanggungan adalah ujung Puncak Semeru.
Di teks Tantu Panggelaran tersebut diguratkan: pada mulanya, Jawadwipa (Pulau Jawa) adalah pulau yang labil. Konon Pulau Jawa begitu mudah berguncang. Untuk menjadikannya stabil, maka bertindaklah para dewa.
Dewa-dewa lalu beraksi mengangkat gunung mahabesar yang ada di India. Mereka menggotong gunung tersebut di langit. Lalu dijatuhkannya di atas tanah Jawa. Dan setelah berdiri, gunung tersebut akhirnya berhasil memaku Jawa. Pulau Jawa menjadi kokoh.
Sekarang ini, kita mengenal gunung tersebut dengan nama Semeru.
Namun, rupanya pekerjaan para dewa belum selesai sampai di situ. Disebutkan masalah baru yang kemudian muncul. Beban yang diakibatkan Gunung Semeru malah membuat Pulau Jawa menjadi miring ke sebelah timur karena bobot Semeru yang teramat berat. Akhirnya, dewa-dewa memotong puncak Gunung Semeru. Dan potongannya puncaknya tersebut dilempar ke arah utara dan menjadi Gunung Penanggungan.
Maka jika mengacu pada cerita Tantu Panggelaran ini, tersimpullah bahwasanya Penanggungan adalah Puncaknya Semeru.
Kini malam semakin malam. Rintik menjadi hujan yang deras. Cuaca ini bertolak belakang dengan malam kemarin saat kami memulai pendakian.
Waktu itu, bintang-bintang menghiasi langit. Jalan berbatu membawa kaki hingga ke pintu hutan.
Saat sampai pintu hutan, di sebuah pertigaan, kami berhenti untuk memilih jalan. Kami meraba-raba sekitar. Sejak meninggalkan pos yang padahal masih dekat, Ini adalah proses memilih jalan yang kesekian kalinya. Di antara kami memang belum ada yang pernah ke gunung ini.
Headlamp bergerak menyorot-nyorot ke segala arah. Lalu terpaku pada satu pohon yang menjulang. Di batangnya terlihat plang kecil tertempel, “PUNCAK” Tanda panahnya menunjuk ke kanan.
Jalanan mulai mendaki dan kami beriringan satu-satu.
Pukul sepuluh, setelah dua jam lebih kami mendaki santai, di tengah hutan ini kami berhenti lagi. Berpencaranlah kami mencari dudukan yang pas untuk pantat masing-masing. Dan duduklah kami sekenanya. Melawan kebisuan, ponsel pinkku kusuruh memutar lagu.
Beberapa pendaki melewati kami. Mungkin mereka adalah yang tadi sudah kami lewati. Atau yang sudah melewati kami lalu kami lewati dan mereka melewati kami lagi. Yah, begitulah adanya. Karena malam ini, rombongan pendaki memang dua gambreng banyaknya.
“Mari, Mas” katanya melewati kami.
“Nutrisari” kataku yang dilewatinya.
Di jalur yang sempit ini, ternyata duduk istirahat adalah aplikasi ketidakadilan. Aku, memang enak. Tapi pendaki belakang yang mau menyalip, jadinya kesusahan. Posisiku ini menghalangi mereka, memakan jalannya, dan membuatnya jadi berjalan miring-miring laksana kepiting yang tapi bukan.
“Sret!” dia terpeleset.
Aku langsung membantunya lewat kata, “hati-hati, Nutrisari”
Ia diam saja.
Istirahat kami selesai. Kami berdiri bangkit. Lalu Bangkit, Frita, dan Waji, berjalan lagi di depanku.
Lama-lama kami berjalan semakin ke atas, kakiku melangkahnya semakin lama. Terjalnya jalan terasa semakin terjal. Dan miringnya tanah bertambah miring. Sementara pijakan kaki adalah bebatuan lepas sekepalan tangan yang kalau salah injak bisa bikin badan jatuh ke depan yang namanya tersungkur. Kalau ke belakang, namanya terjengkang. Nah, kalau kedua kaki melebar ke samping, namanya mengangkang, yang kalau ditambahkan tangan ke belakang, namanya jadi kayang.
Tapi tak perlulah sampai kayang segala untuk mencapai pelataran yang disebut Puncak Bayangan itu. Berjalan saja, akhirnya Puncak Bayangan itu kami capai dengan capai pada pukul sebelasan.
Langit bersih. Pandangan ke sekeliling begitu bebas. Lampu-lampu Kecamatan Trawas menitik-nitik di kejauhan di bawah sana. Di arah belakang, puncak Penanggungan terlihat seperti misteri. Sosoknya menghitam dibatasi garis punggungannya sendiri.
Kami bergegas membongkar tas di tengah keramaian pendaki yang sudah tiba duluan. Karena kami membawa tenda, makanya kami mulai mendirikan tenda. Dua tenda kami pasang. Yang satu ukuran tiga orang, dan satunya lagi tenda egois.
Tenda kami ini, tidak usahlah dicari berdirinya di mana. Kamu bisa kewalahan kalau nekat mencarinya. Bagai mencari kebencian di tengah tumpukan cinta.
Betul deh. Soalnya, orang dan tenda memang sedang minta ampun banyaknya. Puncak Bayangan ini begitu kepenuhan. Mirip-mirip pasar malam.
Tenda-tenda berapatan nyaris bersentuhan. Canda tawa orang-orang terdengar melabrak sunyi. Api unggun yang dibuat besar-besar itu pun mendamprat dingin.
Di dalam tenda yang ukuran tiga orang, Waji sudah telentang duluan. Di tenda egois, Frita juga sudah bersembunyi. Bangkit sempat menemaniku masak nasi sebelum akhirnya dia pun merangkak ke sebelah Waji.
Terduduk di muka tenda, sebelum tidur, aku merasakan kasihan pada tendaku ini. Tenda ini tidak mau kuajak tidur. Ia malah terus berdiri dan terjaga hingga pagi bahkan siang. Dan akhirnya kutemanilah dia hingga pagi.
Aku masih melek pas orang-orang mulai naik. Langkahnya terdengar berderap-derap di depan tenda. Entah mereka ini rombongan ke berapa yang dini hari ini pergi menuju puncak.
Aku penasaran dan keluar tenda. Terlihat banyak orang mulai meninggalkan tendanya. Sementara di kejauhan di atas sana, di tengah-tengah jalur arah ke puncak, senter-senter pendaki terlihat beriringan. Cahaya senter itu menjadi garis, dan seolah membelah Penanggungan menjadi dua.
Aku masuk tenda lagi dan mencoba tidur. Dan gagal. Dan matahari terbit. Dan petesan jedar-jedar. Uwow sekali.
Bangunlah Waji melihat pagi. Bangkit juga ikutan bangkit. Frita kemudian menyusul keluar dari tendanya. Aku masih belum tidur.
(mudah-mudahan bersambung dan poto menyusul) *Pissmeeen
Kaki gunung di pelosok desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto ini, memang begitu sepi. Sudah tidak ada lagi rumah penduduk di sini. Yang ada hanya dua warung yang letaknya juga berjauhan. Dan satu bangunan lagi adalah pos pendakian.
"Sudah tidak ada lagi rumah, Mas. Desa adanya di bawah sana," kata petugas pos hari kemarin.
Lusinan pemuda-pemudi yang menghidupkan suasana sekarang, adalah rombongan pendaki yang baru turun. Sebagian dari mereka terlihat berkerumun di depan pos pendakian. Sebagian lagi duduk berderet di dalam warung yang ada di sebelah pos.
Ibu pemilik warung, sedari tadi sibuk di dapur. Ia hanya akan keluar kalau mengantarkan pesanan atau dipanggil orang yang mau bayar. Aku duduk di pinggir bale warung sambil mereguk teh hangat. Di dekatku ada tiga temanku.
Yang sudah duduk di atas bale dengan posisi yang nyaman itu, adalah temanku yang namanya Bangkit. Bangkit ini orang Jakarta yang sedang meninggalkan rumah. Sejak 9 Agustus 2 minggu lalu, ia sudah banyak menghabiskan waktu di jalan bersama sepedanya.
"Pingin tau seperti apa," itu alasannya saat kutanya mengapa ia sampai mau touring sepeda menyusuri Jawa. Lelaki 21 tahun ini masih tampak kalem seperti hari kemarin kali pertama aku mengenalnya. Sekarang ia kelihatan santai menyandarkan punggungnya. Kakinya diluruskan ke depan dengan tatapan datar.
Di sebelah kiriku ada Frita. Kulit jidatnya terlihat gosong dan barusan ia mengeluh perih. Ah, tampaknya matahari telanjang di pendakian siang tadi rampung sudah memanggang kulitnya.
Teman kami satu lagi, Waji, duduk di sebelah kiri Frita. Waji masih saja beraksi menggodai makhluk halus. Gadis manis berjilbab rombongan PMI itu, rupanya model makhluk halus yang disukai Waji. Duduk di sebelah Waji, gadis itu terlihat kikuk. Tapi Waji masabodoh. Tetap saja ia menggelontorkan pertanyaan-pertanyaan "aneh" demi yang namanya pendekatan.
Sementara, di belakang hutan di balik gelap sana berdiri satu gunung yang baru saja kami daki. Penanggungan.
Gunung Penanggungan ini relatif tidak berat. Untuk menggapai puncaknya bisa ditempuh dalam waktu satu hari saja. Malah jika badan masih bugar, bisa juga langsung turun lagi.
Jarakknya dari pos pendakian mungkin tidak sampai lima kilometer. Dengan ketinggian yang juga tidak seberapa, 1600 mdpl, menjadikan ketinggian Gunung Penanggungan tidak sampai setengahnya Gunung Semeru.
Meski begitu, bentuk gunung ini mirip dengan Semeru kalau dilihat dari kejauhun. Mungkin karena itulah di kalangan pendaki ada beredar julukan untuk Penanggungan. Penanggungan acapkali disebut: Anaknya Gunung Semeru. Atau ada juga orang yang menyebut: Adiknya Semeru.
Namun terlepas dari hitung-hitungan tingginya yang rendah dan jaraknya yang pendek, penjabaran yang terdapat dalam teks lontar Tantu Panggelaran justru mengatakan nilai keagungan pada Penanggungan. Tulisan itu mengemukakan bahwa sejatinya, Penanggungan adalah ujung Puncak Semeru.
Di teks Tantu Panggelaran tersebut diguratkan: pada mulanya, Jawadwipa (Pulau Jawa) adalah pulau yang labil. Konon Pulau Jawa begitu mudah berguncang. Untuk menjadikannya stabil, maka bertindaklah para dewa.
Dewa-dewa lalu beraksi mengangkat gunung mahabesar yang ada di India. Mereka menggotong gunung tersebut di langit. Lalu dijatuhkannya di atas tanah Jawa. Dan setelah berdiri, gunung tersebut akhirnya berhasil memaku Jawa. Pulau Jawa menjadi kokoh.
Sekarang ini, kita mengenal gunung tersebut dengan nama Semeru.
Namun, rupanya pekerjaan para dewa belum selesai sampai di situ. Disebutkan masalah baru yang kemudian muncul. Beban yang diakibatkan Gunung Semeru malah membuat Pulau Jawa menjadi miring ke sebelah timur karena bobot Semeru yang teramat berat. Akhirnya, dewa-dewa memotong puncak Gunung Semeru. Dan potongannya puncaknya tersebut dilempar ke arah utara dan menjadi Gunung Penanggungan.
Maka jika mengacu pada cerita Tantu Panggelaran ini, tersimpullah bahwasanya Penanggungan adalah Puncaknya Semeru.
Kini malam semakin malam. Rintik menjadi hujan yang deras. Cuaca ini bertolak belakang dengan malam kemarin saat kami memulai pendakian.
Waktu itu, bintang-bintang menghiasi langit. Jalan berbatu membawa kaki hingga ke pintu hutan.
Saat sampai pintu hutan, di sebuah pertigaan, kami berhenti untuk memilih jalan. Kami meraba-raba sekitar. Sejak meninggalkan pos yang padahal masih dekat, Ini adalah proses memilih jalan yang kesekian kalinya. Di antara kami memang belum ada yang pernah ke gunung ini.
Headlamp bergerak menyorot-nyorot ke segala arah. Lalu terpaku pada satu pohon yang menjulang. Di batangnya terlihat plang kecil tertempel, “PUNCAK” Tanda panahnya menunjuk ke kanan.
Jalanan mulai mendaki dan kami beriringan satu-satu.
Pukul sepuluh, setelah dua jam lebih kami mendaki santai, di tengah hutan ini kami berhenti lagi. Berpencaranlah kami mencari dudukan yang pas untuk pantat masing-masing. Dan duduklah kami sekenanya. Melawan kebisuan, ponsel pinkku kusuruh memutar lagu.
Beberapa pendaki melewati kami. Mungkin mereka adalah yang tadi sudah kami lewati. Atau yang sudah melewati kami lalu kami lewati dan mereka melewati kami lagi. Yah, begitulah adanya. Karena malam ini, rombongan pendaki memang dua gambreng banyaknya.
“Mari, Mas” katanya melewati kami.
“Nutrisari” kataku yang dilewatinya.
Di jalur yang sempit ini, ternyata duduk istirahat adalah aplikasi ketidakadilan. Aku, memang enak. Tapi pendaki belakang yang mau menyalip, jadinya kesusahan. Posisiku ini menghalangi mereka, memakan jalannya, dan membuatnya jadi berjalan miring-miring laksana kepiting yang tapi bukan.
“Sret!” dia terpeleset.
Aku langsung membantunya lewat kata, “hati-hati, Nutrisari”
Ia diam saja.
Istirahat kami selesai. Kami berdiri bangkit. Lalu Bangkit, Frita, dan Waji, berjalan lagi di depanku.
Lama-lama kami berjalan semakin ke atas, kakiku melangkahnya semakin lama. Terjalnya jalan terasa semakin terjal. Dan miringnya tanah bertambah miring. Sementara pijakan kaki adalah bebatuan lepas sekepalan tangan yang kalau salah injak bisa bikin badan jatuh ke depan yang namanya tersungkur. Kalau ke belakang, namanya terjengkang. Nah, kalau kedua kaki melebar ke samping, namanya mengangkang, yang kalau ditambahkan tangan ke belakang, namanya jadi kayang.
Tapi tak perlulah sampai kayang segala untuk mencapai pelataran yang disebut Puncak Bayangan itu. Berjalan saja, akhirnya Puncak Bayangan itu kami capai dengan capai pada pukul sebelasan.
Langit bersih. Pandangan ke sekeliling begitu bebas. Lampu-lampu Kecamatan Trawas menitik-nitik di kejauhan di bawah sana. Di arah belakang, puncak Penanggungan terlihat seperti misteri. Sosoknya menghitam dibatasi garis punggungannya sendiri.
Kami bergegas membongkar tas di tengah keramaian pendaki yang sudah tiba duluan. Karena kami membawa tenda, makanya kami mulai mendirikan tenda. Dua tenda kami pasang. Yang satu ukuran tiga orang, dan satunya lagi tenda egois.
Tenda kami ini, tidak usahlah dicari berdirinya di mana. Kamu bisa kewalahan kalau nekat mencarinya. Bagai mencari kebencian di tengah tumpukan cinta.
Betul deh. Soalnya, orang dan tenda memang sedang minta ampun banyaknya. Puncak Bayangan ini begitu kepenuhan. Mirip-mirip pasar malam.
Tenda-tenda berapatan nyaris bersentuhan. Canda tawa orang-orang terdengar melabrak sunyi. Api unggun yang dibuat besar-besar itu pun mendamprat dingin.
Di dalam tenda yang ukuran tiga orang, Waji sudah telentang duluan. Di tenda egois, Frita juga sudah bersembunyi. Bangkit sempat menemaniku masak nasi sebelum akhirnya dia pun merangkak ke sebelah Waji.
Terduduk di muka tenda, sebelum tidur, aku merasakan kasihan pada tendaku ini. Tenda ini tidak mau kuajak tidur. Ia malah terus berdiri dan terjaga hingga pagi bahkan siang. Dan akhirnya kutemanilah dia hingga pagi.
---
Aku masih melek pas orang-orang mulai naik. Langkahnya terdengar berderap-derap di depan tenda. Entah mereka ini rombongan ke berapa yang dini hari ini pergi menuju puncak.
Aku penasaran dan keluar tenda. Terlihat banyak orang mulai meninggalkan tendanya. Sementara di kejauhan di atas sana, di tengah-tengah jalur arah ke puncak, senter-senter pendaki terlihat beriringan. Cahaya senter itu menjadi garis, dan seolah membelah Penanggungan menjadi dua.
Aku masuk tenda lagi dan mencoba tidur. Dan gagal. Dan matahari terbit. Dan petesan jedar-jedar. Uwow sekali.
Bangunlah Waji melihat pagi. Bangkit juga ikutan bangkit. Frita kemudian menyusul keluar dari tendanya. Aku masih belum tidur.
(mudah-mudahan bersambung dan poto menyusul) *Pissmeeen
Diubah oleh insanpenyendiri 11-09-2014 07:01
0
2.6K
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan