- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[OPINI] Merancang Demokrasi Murah dan Berkualitas 2
TS
pro.perti
[OPINI] Merancang Demokrasi Murah dan Berkualitas 2





Sebenarnya opini ini mau ane post dikompasiana, tapi nggak tahu kenapa kok susaha banget akses webnya... ya jadinya ane coba share dimari aja..
![[OPINI] Merancang Demokrasi Murah dan Berkualitas 2](https://dl.kaskus.id/static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/demokrasi-ilustrasi-_120409120028-614.jpg)
Quote:
Masih, sumber masalah ini masih dari kubu Prahara yang sekarang lebih dikenal dengan koalisi merah putih, tapi saya lebih suka menyebutnya kubu Prahara karena memang mereka benar-benar sumber prahara, sumber keributan.
Kali ini kubu Prahara mencoba mengamputasi kedaulatan rakyat dengan rancangan sistem pemilukada dengan mengembalikan hak pemilihan kepala daerah ke DPRD, seperti zaman orde baru dulu itu.Nah bisa Anda bayangkan jika kemarin Prabowo menang pilpres, saya yakin 99% kita akan kembali ke Orde baru, hal itu sudah saya baca dari debat pertama Pilpres.
Alasan yang dibuat kubu Prahara sebagai latar belakang untuk mengubah sistem pemilu kembali ke DPRD adalah mahalnya biaya pemilu, mahal dari segi biaya dan masalah sosial yang ditimbulkan. Tentu alasan ini masuk akal, tapi fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan politik tidak berjalan.
Ini sebenarnya manuver lanjutan kubu prahara yang kalah di MK. Ini adalah serangan lanjutan ke KPU yang sebenarnya targetnya adalah pemerintahan Jokowi, sunggung keji niat para elit kubu Prahara yang masih belum legowo dengan kekalahan mereka atas pasangan Jokowi-JK. Sebagai wakil rakyat, mereka sungguh tidak tahu terimakasih dengan cara mengamputasi hak rakyat untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani rakyat.
Tetapi kita tidak perlu terlalu khawatir karena pemerinthan SBY dan Anggota DPR 2009-2014 akan segera berakhir. Pembahasan RUU yang penuh dengan kontroversi akan membutuhkan waktu yang lebih lama, dan saya tidak yakin mereka selesai sebelum masa jabatannya selesai. Jikapun itu disahkan dalam waktu yang singkat, maka pasti akan digugat masyarakat (judicial review) ke MK dan akan mudah digugurkan. Dan saya yakin RUU ini akan layu ditengah jalan, alias tidak akan diketuk-palukan.
Alasan mahalnya biaya penyelenggaraan dan biaya sosial yang menjadi alasan utama kubu Prahara sebenarnya masih bisa disiasati dengan mengadakan pemilukada secara serentak seperti yang pernah diwacanakan kubu Jokowi dan kini tahapan RUU ini insyallah akan disahkan pada September ini : http://www.tribunnews.com/nasional/2...-serentak-2015
Saya sendiri sebenarnya pernah membuat tulisan dikompasiana bagaimana merancang demokrasi yang murah dan berkualitas. Saya melihat demokrasi di Indonesia belum berkualitas, bukan karena tingginya golput, tapi rendahnya pengetahuan mereka terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Hal ini tercermin dari konflik-konflik dan kecurangan yang terjadi selama masa proses pemilihan. Saya ambil contoh Amerika, di sana golput mencapai 60% tetapi konflik horizontal di tengah masyarakat tidak terjadi.
Jadi sebenarnya permsalahan demokrasi di Indonesia adalah masalah pendidikan demokrasi yang begitu rendah di masyarakat. Undang-undang pemilu yang memberikan Hak tiap warga yang berusia minimal 17 tahun atau sudah kimpoi, seharusnya perlu dikoreksi karena dengan undang-undang ini orang yang tidak waraspun yang berusia di atas 17 tahun pun memiliki hak suara dalam pemilu. Nah Anda mau jika bangsa ini ditentukan oleh orang yang sakit jiwa? seperti yang terjadi di Bali. http://pemilu.sindonews.com/read/881...ng-di-rsj-bali
Kemudian untuk orang yang waras pun sebenarnya belum cukup untuk mereka mempunyai hak suara, yaitu jika mereka tidak mempunyai pengetahuan terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia, golongan ini adalah mereka yang bodoh secara pengetahuan terhadap sistem ketatanegaraan dan politik, golongan ini jika dibandingkan dengan orang sakit jiwa tadi sebenarnya nggak jauh beda. Kedua kelompok ini bisa kita analogikan sebagai orang2 yang buta politik.
Terus bagaimana solusinya, ya mau tidak mau bahwa pemerintah harus melakukan pendidikan politik. Caranya adalah perlu diadakan suatu proses seleksi warga negara negara yang mempunyai hak suara dalam pemilu. Sistemnya mungkin bisa semacam ujian/tes pengetahuan bagi setiap calon pemilih, jika mereka lolos maka mereka mempunyai hak untuk memilih. Dengan cara ini diharapkan pemimpin/perwakilan yang terpilih benar-benar orang yang dipilih dari orang-orang yang mempunyai pengetahuan.
E-Voting
Terpilihnya Jokowi sebagai presiden terpilih 2014-2019 membuka peluang besar diberlakukakanya sistem e-voting, karena karakter Jokowi yang sangat technologi minded, seperti yang ia terapkan pada DKI. Bisa kita bayangkan jika pemerintah mempunyai perangkat sistem e-voting yang bisa digunakan di berbagai daerah maka penghematan yang signifikan bisa dilakukan utnuk menyelengarakn pemilukada.
e-voting, menjadi sebuah keniscayaan dalam perkembangan tekhnologi yang semakin merasuki sendi-sendi kehidupan. Mau tidak mau, lambat atau cepat, nantinya kita pasti menggunakan sistem e-voting seperti yang telah dilaksanakan di Amerika. Jika sistem e-voting ini berlaku maka permasalahan untuk mengembalikan sistem pemilukada ke DPRD terjawab semua.
Kali ini kubu Prahara mencoba mengamputasi kedaulatan rakyat dengan rancangan sistem pemilukada dengan mengembalikan hak pemilihan kepala daerah ke DPRD, seperti zaman orde baru dulu itu.Nah bisa Anda bayangkan jika kemarin Prabowo menang pilpres, saya yakin 99% kita akan kembali ke Orde baru, hal itu sudah saya baca dari debat pertama Pilpres.
Alasan yang dibuat kubu Prahara sebagai latar belakang untuk mengubah sistem pemilu kembali ke DPRD adalah mahalnya biaya pemilu, mahal dari segi biaya dan masalah sosial yang ditimbulkan. Tentu alasan ini masuk akal, tapi fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan politik tidak berjalan.
Ini sebenarnya manuver lanjutan kubu prahara yang kalah di MK. Ini adalah serangan lanjutan ke KPU yang sebenarnya targetnya adalah pemerintahan Jokowi, sunggung keji niat para elit kubu Prahara yang masih belum legowo dengan kekalahan mereka atas pasangan Jokowi-JK. Sebagai wakil rakyat, mereka sungguh tidak tahu terimakasih dengan cara mengamputasi hak rakyat untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani rakyat.
Tetapi kita tidak perlu terlalu khawatir karena pemerinthan SBY dan Anggota DPR 2009-2014 akan segera berakhir. Pembahasan RUU yang penuh dengan kontroversi akan membutuhkan waktu yang lebih lama, dan saya tidak yakin mereka selesai sebelum masa jabatannya selesai. Jikapun itu disahkan dalam waktu yang singkat, maka pasti akan digugat masyarakat (judicial review) ke MK dan akan mudah digugurkan. Dan saya yakin RUU ini akan layu ditengah jalan, alias tidak akan diketuk-palukan.
Alasan mahalnya biaya penyelenggaraan dan biaya sosial yang menjadi alasan utama kubu Prahara sebenarnya masih bisa disiasati dengan mengadakan pemilukada secara serentak seperti yang pernah diwacanakan kubu Jokowi dan kini tahapan RUU ini insyallah akan disahkan pada September ini : http://www.tribunnews.com/nasional/2...-serentak-2015
Saya sendiri sebenarnya pernah membuat tulisan dikompasiana bagaimana merancang demokrasi yang murah dan berkualitas. Saya melihat demokrasi di Indonesia belum berkualitas, bukan karena tingginya golput, tapi rendahnya pengetahuan mereka terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Hal ini tercermin dari konflik-konflik dan kecurangan yang terjadi selama masa proses pemilihan. Saya ambil contoh Amerika, di sana golput mencapai 60% tetapi konflik horizontal di tengah masyarakat tidak terjadi.
Jadi sebenarnya permsalahan demokrasi di Indonesia adalah masalah pendidikan demokrasi yang begitu rendah di masyarakat. Undang-undang pemilu yang memberikan Hak tiap warga yang berusia minimal 17 tahun atau sudah kimpoi, seharusnya perlu dikoreksi karena dengan undang-undang ini orang yang tidak waraspun yang berusia di atas 17 tahun pun memiliki hak suara dalam pemilu. Nah Anda mau jika bangsa ini ditentukan oleh orang yang sakit jiwa? seperti yang terjadi di Bali. http://pemilu.sindonews.com/read/881...ng-di-rsj-bali
Kemudian untuk orang yang waras pun sebenarnya belum cukup untuk mereka mempunyai hak suara, yaitu jika mereka tidak mempunyai pengetahuan terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia, golongan ini adalah mereka yang bodoh secara pengetahuan terhadap sistem ketatanegaraan dan politik, golongan ini jika dibandingkan dengan orang sakit jiwa tadi sebenarnya nggak jauh beda. Kedua kelompok ini bisa kita analogikan sebagai orang2 yang buta politik.
Terus bagaimana solusinya, ya mau tidak mau bahwa pemerintah harus melakukan pendidikan politik. Caranya adalah perlu diadakan suatu proses seleksi warga negara negara yang mempunyai hak suara dalam pemilu. Sistemnya mungkin bisa semacam ujian/tes pengetahuan bagi setiap calon pemilih, jika mereka lolos maka mereka mempunyai hak untuk memilih. Dengan cara ini diharapkan pemimpin/perwakilan yang terpilih benar-benar orang yang dipilih dari orang-orang yang mempunyai pengetahuan.
E-Voting
Terpilihnya Jokowi sebagai presiden terpilih 2014-2019 membuka peluang besar diberlakukakanya sistem e-voting, karena karakter Jokowi yang sangat technologi minded, seperti yang ia terapkan pada DKI. Bisa kita bayangkan jika pemerintah mempunyai perangkat sistem e-voting yang bisa digunakan di berbagai daerah maka penghematan yang signifikan bisa dilakukan utnuk menyelengarakn pemilukada.
e-voting, menjadi sebuah keniscayaan dalam perkembangan tekhnologi yang semakin merasuki sendi-sendi kehidupan. Mau tidak mau, lambat atau cepat, nantinya kita pasti menggunakan sistem e-voting seperti yang telah dilaksanakan di Amerika. Jika sistem e-voting ini berlaku maka permasalahan untuk mengembalikan sistem pemilukada ke DPRD terjawab semua.
Kalau agan merasa thread ini pantas dikasih bintang 5, silahkan dikasih..
Kalau agan merasa thread ini pantas dikasih cendol, silahkan dikasih...
Dan jangan malu2 untuk komen ya gan...





Diubah oleh pro.perti 06-09-2014 09:23
0
895
Kutip
4
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan