Kaskus

News

haperuzakAvatar border
TS
haperuzak
[Enak bener jadi koruptor] Vonis tak Patut Ratu Atut
DALAM berperang melawan korupsi, negeri ini memang paradoksal. Ketika korupsi kian mengganas, sebagian penegak hukum justru kehilangan ketegasan. Tatkala koruptor dan calon koruptor konsisten berperilaku korup, penegak hukum malah bersikap inkonsisten untuk memberangusnya. Mustahil dimungkiri, korupsi telah menjadi musuh nomor satu, lawan paling membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini. Para pelancung dan sekutu mereka seakan tiada jeri berperilaku korup kendati pelaku korupsi silih berganti diringkus dan diadili. Kenapa korupsi bukannya surut dan malah kian menggila? Salah satunya disebabkan belum semua penegak hukum berada dalam satu napas untuk mengedepankan ketegasan. Ketegasan sebagai syarat mutlak guna menghadirkan efek jera masih jauh dari harapan. Ketegasan cuma bersifat sesaat, menghentak pada suatu waktu, tetapi melempem di lain waktu. Itulah yang dipertontonkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta ketika mengetok vonis untuk Gubernur nonaktif Banten, Ratu Atut Chosiyah, Senin (1/9). Dalam putusan itu, majelis hakim menyatakan Ratu Atut terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara penyuapan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait dengan sengketa pemilu kada Kabupaten Lebak, Banten. Namun, Atut cuma diganjar hukuman 4 tahun plus denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan. Putusan tersebut jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi berupa hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 5 bulan kurungan. Tak cuma itu, jaksa juga menuntut pencabutan hak Atut untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Majelis hakim yang diketuai Matheus Samiadji memang punya pertimbangan dan kewenangan sendiri dalam mengetok palu putusan. Namun, bagi publik, putusan itu jelas mengecewakan. Vonis untuk Atut yang amat ringan merupakan wujud pencederaan akan rasa keadilan. Vonis itu sekaligus menunjukkan inkonsistensi hakim dalam menyikapi kasus korupsi. Kita pernah memberikan apresiasi setinggi-tingginya ketika hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menggoreskan rekor dengan mengganjar Akil hukuman seumur hidup. Ketegasan luar biasa itulah yang semestinya terus ditunjukkan untuk memberangus kejahatan luar biasa bernama korupsi. Sebagai penyuap Akil, Atut semestinya mendapat vonis berat. Bukankah penyuap dan penerima suap telah bersekongkol berbuat lancung sehingga hukuman terhadap keduanya semestinya tidak terpaut jauh? Betul bahwa sebagai penegak hukum yang justru melanggar hukum, Akil patut dihukum berat. Namun, Atut juga penyelenggara negara yang semestinya memberikan keteladanan dengan berlaku jujur dan berintegritas. Dari sisi rasa keadilan, vonis buat Atut bisa disebut tak patut. Ini sekali lagi membuktikan belum semua penegak hukum punya kemauan kuat dalam memerangi korupsi. Masih banyak di antara mereka yang lemah atau melemahkan diri terhadap korupsi. Putusan hakim untuk Atut memang wajib dihormati, tetapi bukan berarti diterima begitu saja. Kita mendukung langkah KPK untuk mengajukan banding sekaligus menyiapkan amunisi baru guna membidik Atut dalam perkara korupsi lainnya. Kita juga berharap pengadilan yang lebih tinggi nanti lebih peka, lebih punya kepedulian dalam pemberantasan rasywah. Saatnya mereka memberikan contoh bagaimana seharusnya penegak hukum bersikap menghadapi kasus korupsi. Kita tidak ingin vonis ringan untuk Atut melemahkan semangat memerangi korupsi

Sumber
0
2.9K
31
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan