- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Aprindo: Pembatasan Waralaba Serap Produk Lokal


TS
noviaputrii
Aprindo: Pembatasan Waralaba Serap Produk Lokal

Quote:
Rencana pemerintah membatasi jumlah waralaba disambut positif oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta mengatakan aturan pembatasan waralaba bertujuan menyerap produk dalam negeri.
Aturan ini sudah digagas sejak Gita Wirjawan menjabat Menteri Perdagangan. "Saat itu, Gita memandang menjamurnya toko waralaba akan dibarengi dengan membanjirnya produk impor ke Indonesia," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Rabu, 20 Agustus 2014.
Akibatnya, tutur Tutum, defisit neraca perdagangan bakal tak terelakkan. Badan Pusat Statistik mencatat defisit neraca perdagangan pada Semester pertama 2014 mencapai US$ 15,42 miliar. "Pembatasan kepemilikan waralaba bermaksud mengatur kepemilikan retail agar produk dalam negeri terserap. Rencana ini sekaligus mengatur agar retail-retail tidak dimiliki oleh satu kelompok saja," katanya.
Menurut Tutum, semangat pembatasan aturan waralaba ini memberi kesempatan pada masyarakat bila ingin memiliki toko waralaba sendiri. "Aturan tersebut membatasi satu pemilik hanya memiliki 150 gerai saja. Selebihnya harus ditawarkan pada calon pemilik lainnya."
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal Aprindo Satria Hamid, bahwa tujuan pembatasan kepemilikan waralaba adalah memberi kesempatan pada masyarakat untuk mengembangkan bisnis di daerah. Terlebih, ujar dia, bisnis waralaba merupakan sektor yang bisa melibatkan masyarakat secara langsung.
Aprindo mencatat minimarket di bawah Aprindo berjumlah 22 ribu gerai. Pertumbuhan gerai-gerai baru setiap tahun tercatat 10-20 persen. "Minimarket di bawah Aprindo ada Alfamart, Indomaret, Alfamidi, dan Circle K," tuturnya.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berencana merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 Tahun 2012 tentang waralaba untuk jenis usaha toko modern dan Nomor 07/2013 tentang pengembangan kemitraan dalam waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan minuman. Dalam peraturan itu, kepemilikan waralaba restoran dibatasi hingga 250 gerai, sementara untuk toko retail hanya sampai 150 gerai. Setelah itu, gerai baru harus diwaralabakan pada pihak lain.
Salah satu aturan ini direvisi karena produk nasional belum siap mengisi stok toko modern di dalam negeri. Di satu sisi, investasi toko modern seperti mal di Indonesia cukup pesat.
sumber: TEMPO
Aturan ini sudah digagas sejak Gita Wirjawan menjabat Menteri Perdagangan. "Saat itu, Gita memandang menjamurnya toko waralaba akan dibarengi dengan membanjirnya produk impor ke Indonesia," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Rabu, 20 Agustus 2014.
Akibatnya, tutur Tutum, defisit neraca perdagangan bakal tak terelakkan. Badan Pusat Statistik mencatat defisit neraca perdagangan pada Semester pertama 2014 mencapai US$ 15,42 miliar. "Pembatasan kepemilikan waralaba bermaksud mengatur kepemilikan retail agar produk dalam negeri terserap. Rencana ini sekaligus mengatur agar retail-retail tidak dimiliki oleh satu kelompok saja," katanya.
Menurut Tutum, semangat pembatasan aturan waralaba ini memberi kesempatan pada masyarakat bila ingin memiliki toko waralaba sendiri. "Aturan tersebut membatasi satu pemilik hanya memiliki 150 gerai saja. Selebihnya harus ditawarkan pada calon pemilik lainnya."
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal Aprindo Satria Hamid, bahwa tujuan pembatasan kepemilikan waralaba adalah memberi kesempatan pada masyarakat untuk mengembangkan bisnis di daerah. Terlebih, ujar dia, bisnis waralaba merupakan sektor yang bisa melibatkan masyarakat secara langsung.
Aprindo mencatat minimarket di bawah Aprindo berjumlah 22 ribu gerai. Pertumbuhan gerai-gerai baru setiap tahun tercatat 10-20 persen. "Minimarket di bawah Aprindo ada Alfamart, Indomaret, Alfamidi, dan Circle K," tuturnya.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berencana merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 Tahun 2012 tentang waralaba untuk jenis usaha toko modern dan Nomor 07/2013 tentang pengembangan kemitraan dalam waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan minuman. Dalam peraturan itu, kepemilikan waralaba restoran dibatasi hingga 250 gerai, sementara untuk toko retail hanya sampai 150 gerai. Setelah itu, gerai baru harus diwaralabakan pada pihak lain.
Salah satu aturan ini direvisi karena produk nasional belum siap mengisi stok toko modern di dalam negeri. Di satu sisi, investasi toko modern seperti mal di Indonesia cukup pesat.
sumber: TEMPO
Quote:
Toko Wajib Jual Produk Lokal, Pengusaha Senang
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengapresiasi langkah pemerintah ihwal pelaksanaan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2013. Aturan itu mewajibkan toko modern dan pusat perbelanjaan memasarkan produk dalam negeri minimal 80 persen dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan.
"Kami menganggap ini adalah dukungan pemerintah untuk melindungi produk dalam negeri," katanya saat ditemui di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2014.
Adhi mengatakan, dengan adanya regulasi tersebut, industri domestik dapat berkembang lebih pesat karena mendapat kesempatan dan tempat lebih besar di pasar dalam negeri. Adhi yakin industri dalam negeri akan bertumbuh dan meningkat berkat pelaksanaan regulasi tersebut.
Menurut Adhi, banyak negara di Eropa telah menerapkan regulasi seperti itu. "Cuma saya enggak hafal berapa persentasenya," katanya. Ia yakin pemerintah membuat regulasi itu berdasarkan referensi negara-negara lain yang sudah menerapkan lebih dulu.
Kementerian Perdagangan telah mengevaluasi para pengusaha toko modern atau swalayan dan pusat perbelanjaan terkait dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2013. Dengan diberlakukannya peraturan itu, dalam 2,5 tahun setelah peraturan dibuat, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi optimistis produk dalam negeri mampu bersaing dengan produk impor. Namun efektivitas peraturan ini masih perlu dikaji.
Salah satu hal penting yang diatur dalam peraturan ini yaitu ihwal kewajiban toko modern dan pusat perbelanjaan memasarkan produk dalam negeri minimal 80 persen dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan. Menteri Lutfi mengaku masih terus melakukan pengkajian apakah nantinya angka persentase itu akan diubah atau tidak.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina mengatakan pemberlakuan pasal 22 dalam peraturan tersebut bertujuan membuat produk lokal dapat bersaing di negeri sendiri. Srie mengklaim sejauh ini sudah banyak toko modern yang telah menaati peraturan ini. Pengkategorian toko yang menyediakan barang impor lebih dari 20 persen, kata dia, akan ditinjau ulang.
"Pelaku usaha pusat perbelanjaan dan toko modern yang telah beroperasi dan menyediakan barang dagangan kurang dari 80 persen sebelum peraturan ini berlaku harus segera menyesuaikan paling lambat dua tahun," kata Srie.
sumber: TEMPO
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengapresiasi langkah pemerintah ihwal pelaksanaan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2013. Aturan itu mewajibkan toko modern dan pusat perbelanjaan memasarkan produk dalam negeri minimal 80 persen dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan.
"Kami menganggap ini adalah dukungan pemerintah untuk melindungi produk dalam negeri," katanya saat ditemui di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2014.
Adhi mengatakan, dengan adanya regulasi tersebut, industri domestik dapat berkembang lebih pesat karena mendapat kesempatan dan tempat lebih besar di pasar dalam negeri. Adhi yakin industri dalam negeri akan bertumbuh dan meningkat berkat pelaksanaan regulasi tersebut.
Menurut Adhi, banyak negara di Eropa telah menerapkan regulasi seperti itu. "Cuma saya enggak hafal berapa persentasenya," katanya. Ia yakin pemerintah membuat regulasi itu berdasarkan referensi negara-negara lain yang sudah menerapkan lebih dulu.
Kementerian Perdagangan telah mengevaluasi para pengusaha toko modern atau swalayan dan pusat perbelanjaan terkait dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2013. Dengan diberlakukannya peraturan itu, dalam 2,5 tahun setelah peraturan dibuat, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi optimistis produk dalam negeri mampu bersaing dengan produk impor. Namun efektivitas peraturan ini masih perlu dikaji.
Salah satu hal penting yang diatur dalam peraturan ini yaitu ihwal kewajiban toko modern dan pusat perbelanjaan memasarkan produk dalam negeri minimal 80 persen dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan. Menteri Lutfi mengaku masih terus melakukan pengkajian apakah nantinya angka persentase itu akan diubah atau tidak.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina mengatakan pemberlakuan pasal 22 dalam peraturan tersebut bertujuan membuat produk lokal dapat bersaing di negeri sendiri. Srie mengklaim sejauh ini sudah banyak toko modern yang telah menaati peraturan ini. Pengkategorian toko yang menyediakan barang impor lebih dari 20 persen, kata dia, akan ditinjau ulang.
"Pelaku usaha pusat perbelanjaan dan toko modern yang telah beroperasi dan menyediakan barang dagangan kurang dari 80 persen sebelum peraturan ini berlaku harus segera menyesuaikan paling lambat dua tahun," kata Srie.
sumber: TEMPO
kenapa ga dari dulu ya? warung2 kecil sekarang juga kasian bersaing dengan minimarket dan supermarket yang ada

0
2.6K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan