"Jokowi dan JK Jangan Berbeda Pendapat di Depan Publik"
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengingatkan agar presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, tak menampilkan perbedaan pendapat di ruang publik. Menurut Haris, perbedaan pendapat itu akan memberikan dampak negatif, termasuk menciptakan kebingungan di tengah masyarakat.
"Jangan sampai Jokowi-JK berbeda statement di depan publik, itu sangat tidak menguntungkan," kata Haris, saat dihubungi, Kamis (28/8/2014).
Haris mengatakan, Tim Transisi harus memastikan Jokowi-JK tak berbeda pendapat, atau minimal mencegah perbedaan pendapat itu menjadi konsumsi publik. Caranya, dengan mematangkan semua kajian dan rencana kebijakan di tingkat Tim Transisi dan menyampaikan pada perwakilan Jokowi-JK.
"Harusnya ada perwakilan staf khusus Jokowi dan stafnya, Pak JK, supaya Tim Transisi bisa memastikan keduanya tak memberi pernyataan berbeda kepada publik," ujarnya.
Ia menambahkan, setelah adanya pertemuan antara Jokowi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maka Tim Transisi harus merespons dengan baik. Setidaknya, tim ini dapat mematangkan opsi kabinet untuk ditawarkan pada Jokowi-JK.
Jokowi sempat melontarkan wacana untuk merampingkan kabinet pemerintahannya. Salah satu alasannya, untuk menjamin efektivitas, khususnya menghemat anggaran.
Sementara itu, JK lebih tertarik meneruskan postur kabinet pemerintahan saat ini dan hanya menghapus jabatan eselon III tanpa perlu merampingkan jumlah kementerian. Menurut JK, opsi ini lebih menghemat waktu agar dapat langsung bekerja setelah dilantik.
Tim Transisi telah menyiapkan tiga opsi kabinet yang terus dimatangkan untuk diajukan kepada Jokowi-JK. Opsi pertama adalah status quo, atau jumlah kementerian yang akan datang sama dengan jumlah kementerian saat ini. Hanya, ada sejumlah kementerian yang akan diubah namanya.
Opsi status quo menjadi pertimbangan lantaran anggaran yang dimiliki pemerintah dalam kurun waktu Oktober-Desember 2014 sangat terbatas. Dengan demikian, restrukturisasi kelembagaan pun tidak memungkinkan.
Opsi kedua adalah membuat jumlah kementerian yang ada menjadi 27 kementerian. Opsi itu dilakukan dengan mempelajari UU Kementerian Negara yang mencantumkan tiga menteri koordinator untuk mengatur kinerja kementerian yang ada.
Ketiga kementerian koordinator itu adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Dalam Negeri.
Sementara itu, opsi ketiga dibagi menjadi dua, yakni opsi 3A dan 3B. Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada jumlah kementerian yang ada. Opsi 3A adalah 20 kementerian, sedangkan opsi 3B adalah 24 kementerian.
Penentuan jumlah kementerian dan figur yang akan mengisinya merupakan hak prerogatif Jokowi-JK.
kompor
Blon dilantik aja dah beda pendapat, gimana ntar dah jadi... 1 ngomong A satu lagi ngomong B... Kyk Wiwi ama Ahok kemaren
Gak kompak aahhhh.... Ini aki2 jadi wapres koq pengen kebanyakan bacot??