- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[MAJAPAHIT] Cerita Asli Versi Sejarah


TS
legendia93
[MAJAPAHIT] Cerita Asli Versi Sejarah
Yooooo, kali ini waktunya kita mengetahui lebih banyak tentang sejarah, berhubung salah satu disiplin ilmu yang saya favoritkan adalah sejarah, kita akan sedikit melakukan time travel melalui goresan cerita masa lalu ini..
VERSI SEJARAH, CERITA ASLI MAJAPAHIT
Dari prasasti Balitung ditulis bahwa Medang Ri Pohpitu atau Medang di Pohpitu disebut, “raja Mataram yang pertama adalah Sanjaya, disusul oleh Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watu Humalang, dan Balitung. Pada prasasti Canggal tertulis bahwa pada tahun Saka yang telah lalu dengan ditandai angka Caka Cruti Indria Rasa, pada hari Senin, hari baik, tanggal tiga belas bagian terang bulan Kartika, sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda di bukit yang bernama Stirangga untuk keselamatan rakyat.”
Perjalanan waktu mengubah segalanya.
Pemerintahan di tanah Jawa bergeser ke arah timur, ada Isyana yang meninggalkan jejak amat jelas bersamaan waktu dengan Warmadewa di Bali dan negara Sriwijaya di Sumatra.
Sejak berkuasanya Empu Sindok, Jawa bagian timur menggantikan Jawa wilayah tengah di atas panggung sejarah. Empu Sindok dan keturunannya banyak meninggalkan prasasti, berturut-turut sampai pada garis keturunan berikutnya, Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa, yang memerintah dengan aman dan damai negara Medang atau Kahuripan.
Ketika Sri Dharmawangsa terbunuh dalam peperangan, Airlangga berhasil meloloskan diri dan membangun kembali ruruntuhan pemerintahan. Tahun 1019, oleh para pendeta Buddha, Siwa, dan Hindu, Airlangga dinobatkan menjadi raja menggantikan Sri Dharmawangsa. Pemerintahan Airlang¬ga benar-benar memberikan air kehidupan bagi segenap rakyatnya namun sebuah kekeliruan dilakukan oleh Airlangga yang mengesampingkan persatuan dan kesatuan dengan membelah kerajaan menjadi dua untuk dibagikan secara adil pada kedua anaknya.
Kahuripan dibelah menjadi Jenggala (sekarang Sidoarjo, 40 km arah selatan Surabaya, lokasi bencana lumpur Lapindo) yang beribu kota di Kahuripan dan Panjalu (sekarang di Kota Kediri, 40 km arah selatan Kota Kertosono) yang beribu kota di Daha. Sebagaimana terlihat dari jejaknya Jenggala tidak mampu berkembang menjadi negara yang besar. Jenggala lenyap dari percaturan sejarah, sebaliknya Panjalu atau Kediri masih meninggalkan jejak kemegahannya.
Berturut-turut raja-raja Kediri yang tercatat riwayatnya dalam prasasti-prasasti antara lain Sri Jayawarsa Digdaya Castraprabu, dilanjutkan oleh Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuawanatustikirana Sarwaniwaryawirya Parakramadigdayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Candrakapala berwujud tengkorak dengan taring. Selanjutnya, pemerintahan Prabu Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Dharmmecwara Madhusudana Wataranindhita Suhrtsingha Parakramma Digjayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Narasingha. Jayabaya digantikan Sarweccwara, selanjutnya digantikan Sri Aryyeccwara yang menggunakan Ganeca sebagai lambang kekuasaan. Ketika Aryyeccwara surut digantikan Sri Gandra yang bergelar Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handhabuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggade¬wanama Sri Gandra.
Pemerintahan Sri Gandra berakhir, dilanjutkan oleh Raja Crngga yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarwwecwara Triwikramawataranindita Crnggalancana Digwijayotunggadewa, yang menggunakan Changka atau kerang bersayap sebagai lambang kerajaan.
Raja Kediri terakhir, Sri Kertajaya, menggunakan lambang Garudhamuka sebagaimana Airlangga, leluhurnya yang juga menggunakan lambang Garudhamuka.
Akan tetapi, Sri Kertajaya menganggap dirinya sebagai penjelmaan Dewa dan meminta kepada para Brahmana, pendeta Siwa dan Budda untuk menyembahnya. Para pemuka agama tak bisa menerima perlakuan itu dan merestui Ken Arok, maling kecil dari Karautan untuk melakukan makar setelah dengan gemilang berandal ini merampok kekuasaan Tumapel dan mengubah namanya menjadi Kutaraja dan berubah lagi menjadi Singasari melalui kelicikan otaknya.
Ken Arok, ia hanya maling kecil yang sesekali mencegat orang lewat untuk dirampas harta bawaannya. Brahmana Lohgawe, menandai tanda-tanda gaib yang melekat pada sosok Ken Arok. Brahmana Lohgawe menandainya sejak menemukan jejak maling itu di padang rumput yang banyak dihuni binatang liar bernama Karautan. (Karautan diperkirakan berada di sekitar kota Batu, Malang.)
Lanjut dibawah gan

VERSI SEJARAH, CERITA ASLI MAJAPAHIT
Spoiler for Awal mula:
Mundur kurang lebih 7 ratus tahun sebelum zaman Majapahit terdapat dua buah wangsa (dinasti) yang menyelenggarakan pemerintahan di Jawa silih berganti yang ditandai oleh kemegahan dua buah candi besar, salah satu candi di antaranya bahkan disebut-sebut sebagai 1 dari 7 keajaiban dunia, yaitu Candi Budda Borobudur, terletak di Kabupaten Magelang, dan sebuah lagi candi yang amat indah dan menjulang tinggi disebut Candi Mendut atau Candi Prambanan karena terletak di Prambanan. Kedua candi itu terletak di Jawa Tengah.
Dua wangsa itu, garis keturunan Syailendra dan garis keturunan Sanjaya silih berganti menyelenggarakan pemerintahan. Agama Hindu dan Buddha marak mewarnai kehidupan segenap rakyatnya. Hukum ditegakkan, negara dalam keadaan gemah ripah loh jinawi.
Di mana letak Istana dua wangsa, baik Syailendra dan Sanjaya ini tidak diketahui. Keberadaan dua wangsa tersebut tertandai oleh keberadaan puluhan candi yang tersebar di Jawa Tengah juga dari peninggalan-peninggalan berupa prasasti.
Dua wangsa itu, garis keturunan Syailendra dan garis keturunan Sanjaya silih berganti menyelenggarakan pemerintahan. Agama Hindu dan Buddha marak mewarnai kehidupan segenap rakyatnya. Hukum ditegakkan, negara dalam keadaan gemah ripah loh jinawi.
Di mana letak Istana dua wangsa, baik Syailendra dan Sanjaya ini tidak diketahui. Keberadaan dua wangsa tersebut tertandai oleh keberadaan puluhan candi yang tersebar di Jawa Tengah juga dari peninggalan-peninggalan berupa prasasti.
Spoiler for Part 1:
Dari prasasti Balitung ditulis bahwa Medang Ri Pohpitu atau Medang di Pohpitu disebut, “raja Mataram yang pertama adalah Sanjaya, disusul oleh Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watu Humalang, dan Balitung. Pada prasasti Canggal tertulis bahwa pada tahun Saka yang telah lalu dengan ditandai angka Caka Cruti Indria Rasa, pada hari Senin, hari baik, tanggal tiga belas bagian terang bulan Kartika, sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda di bukit yang bernama Stirangga untuk keselamatan rakyat.”
Perjalanan waktu mengubah segalanya.
Pemerintahan di tanah Jawa bergeser ke arah timur, ada Isyana yang meninggalkan jejak amat jelas bersamaan waktu dengan Warmadewa di Bali dan negara Sriwijaya di Sumatra.
Sejak berkuasanya Empu Sindok, Jawa bagian timur menggantikan Jawa wilayah tengah di atas panggung sejarah. Empu Sindok dan keturunannya banyak meninggalkan prasasti, berturut-turut sampai pada garis keturunan berikutnya, Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramotunggadewa, yang memerintah dengan aman dan damai negara Medang atau Kahuripan.
Ketika Sri Dharmawangsa terbunuh dalam peperangan, Airlangga berhasil meloloskan diri dan membangun kembali ruruntuhan pemerintahan. Tahun 1019, oleh para pendeta Buddha, Siwa, dan Hindu, Airlangga dinobatkan menjadi raja menggantikan Sri Dharmawangsa. Pemerintahan Airlang¬ga benar-benar memberikan air kehidupan bagi segenap rakyatnya namun sebuah kekeliruan dilakukan oleh Airlangga yang mengesampingkan persatuan dan kesatuan dengan membelah kerajaan menjadi dua untuk dibagikan secara adil pada kedua anaknya.
Kahuripan dibelah menjadi Jenggala (sekarang Sidoarjo, 40 km arah selatan Surabaya, lokasi bencana lumpur Lapindo) yang beribu kota di Kahuripan dan Panjalu (sekarang di Kota Kediri, 40 km arah selatan Kota Kertosono) yang beribu kota di Daha. Sebagaimana terlihat dari jejaknya Jenggala tidak mampu berkembang menjadi negara yang besar. Jenggala lenyap dari percaturan sejarah, sebaliknya Panjalu atau Kediri masih meninggalkan jejak kemegahannya.
Berturut-turut raja-raja Kediri yang tercatat riwayatnya dalam prasasti-prasasti antara lain Sri Jayawarsa Digdaya Castraprabu, dilanjutkan oleh Sri Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Kameswara Sakalabhuawanatustikirana Sarwaniwaryawirya Parakramadigdayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Candrakapala berwujud tengkorak dengan taring. Selanjutnya, pemerintahan Prabu Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Dharmmecwara Madhusudana Wataranindhita Suhrtsingha Parakramma Digjayotunggadewa, menggunakan lencana kerajaan berupa Narasingha. Jayabaya digantikan Sarweccwara, selanjutnya digantikan Sri Aryyeccwara yang menggunakan Ganeca sebagai lambang kekuasaan. Ketika Aryyeccwara surut digantikan Sri Gandra yang bergelar Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handhabuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggade¬wanama Sri Gandra.
Pemerintahan Sri Gandra berakhir, dilanjutkan oleh Raja Crngga yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarwwecwara Triwikramawataranindita Crnggalancana Digwijayotunggadewa, yang menggunakan Changka atau kerang bersayap sebagai lambang kerajaan.
Raja Kediri terakhir, Sri Kertajaya, menggunakan lambang Garudhamuka sebagaimana Airlangga, leluhurnya yang juga menggunakan lambang Garudhamuka.
Akan tetapi, Sri Kertajaya menganggap dirinya sebagai penjelmaan Dewa dan meminta kepada para Brahmana, pendeta Siwa dan Budda untuk menyembahnya. Para pemuka agama tak bisa menerima perlakuan itu dan merestui Ken Arok, maling kecil dari Karautan untuk melakukan makar setelah dengan gemilang berandal ini merampok kekuasaan Tumapel dan mengubah namanya menjadi Kutaraja dan berubah lagi menjadi Singasari melalui kelicikan otaknya.
Ken Arok, ia hanya maling kecil yang sesekali mencegat orang lewat untuk dirampas harta bawaannya. Brahmana Lohgawe, menandai tanda-tanda gaib yang melekat pada sosok Ken Arok. Brahmana Lohgawe menandainya sejak menemukan jejak maling itu di padang rumput yang banyak dihuni binatang liar bernama Karautan. (Karautan diperkirakan berada di sekitar kota Batu, Malang.)
Spoiler for Part 2:
Ken Arok adalah anak Ken Endok yang bersuami Gajah Para dari Desa Pangkur, namun sejak kecil harus berjibaku dengan kepahitan hidup. Mungkin kedua orang tuanya tidak peduli atau mungkin sudah mati menempatkan Ken Arok harus bertahan menghadapi kepahitan hidup, tidak ada pilihan lain Ken Arok harus menyambung hidup dengan cara menjadi pencuri.
Brahmana Lohgawe mengentaskan Ken Arok dan membawanya menghadap Akuwu Tunggul Ametung yang memiliki istri yang kecantikannya tiada tara, Ken Dedes untuk diabdikan sebagai seorang prajurit. Apabila semula Brahmana Lohgawe berhasil menerjemahkan tanda-tanda gaib yang melekat pada sosok Ken Arok, hal yang sama ditangkap Lohgawe ketika melihat pertanda gaib pada diri Ken Dedes. Brahmana Lohgawe curiga, Ken Dedes adalah perempuan utama yang memegang pertanda gaib Ardhanareswari. Ardhanareswari adalah julukan bagi perempuan yang menjadi induk dari para raja.
Ken Arok terlebih-lebih, ia sangat tertegun melihat kecantikan istri Akuwu itu.
“Kelak aku harus bisa merebutnya,” janji Ken Arok pada diri sendiri.
Ken Arok sama sekali tidak peduli meski Ken Dedes sedang dalam keadaan hamil.
Ken Arok menjadi prajurit di Tumapel, bersahabat erat dengan Kebo Ijo. Sahabat bisa jadi merupakan tempat berbagi keluh kesah, namun Ken Arok memiliki cara pandang yang berbeda. Sahabat bisa dimanfaatkan untuk keperluan apa saja, tempat mengeluh, namun bisa juga untuk keperluan lain, misalnya untuk melepas fitnah sebagai batu loncatan untuk meraih cita-cita.
Mula-mula Ken Arok memesan sebuah keris kepada seorang Empu bernama Gandring dari Lulumbang, sebuah tempat yang berada tidak jauh dari Madakaripura, hanya sehari perjalanan dari kota pelabuhan Ywangga.
Pada zaman Majapahit Madakaripura adalah sebuah wilayah yang dianugerahkan oleh Raja Hayam Wuruk kepada Mahapatih Gajah Mada yang digunakan untuk menyepi/meditasi di usa tuanya. Pesanggrahan Madakaripura terletak di Desa Sapih kecamatan Lumbang Kab Probolinggo berada di kaki Gunung Bromo sebelah utara. Di tempat ini terdapat tujuh air terjun yang berbahaya karena sering terjadi bah yang datang setiap saat dan telah meminta banyak korban. Di tempat inilah ditemukan prasasti Madakaripura yang menjadi petunjuk arah bagi generasi sekarang bisa mengetahui isi sumpah Gajah Mada yang terkenal dengan nama Hamukti Palapa.
Empu Gandring adalah pembuat keris yang hebat dan terkenal hingga ke empat penjuru langit. Keris buatan Empu Gandring semua berjiwa, yang dipahatkan itu melalui tapa brata yang dilakukan berbulan-bulan yang dibuat dengan bahan baku yang bukan dari biji besi sembarangan. Logam yang digunakan merupakan logam pilihan yang dicampur dengan batu bintang, menjadikan semua keris buatan Empu Gandring memiliki kelebihan dari keris rautan empu yang lain.
Ken Arok memesan keris itu kepadanya.
Namun Ken Arok adalah prajurit yang tidak memiliki cadangan kesabaran. Beberapa kali ia mengunjungi Empu Gandring untuk melihat sudah sampai sejauh mana pembuatan keris yang dipesannya. Ken Arok terpaksa pulang dengan menggigit jari berulang-kali, itu karena pembuatan keris yang dilakukan Empu Gandring memang rumit. Terakhir, bilah keris memang telah teraut bagus, akan tetapi itu pun masih belum selesai karena gagang yang digunakannya masih sementara, gagang cangkring, sejenis bambu kerdil.
Ken Arok yang menyimpan rencana jangka panjang tidak sabar.
Empu Gandring pasti tidak pernah menyangka, bahkan bermimpi pun tidak, ketika dengan hati beku dan dingin Ken Arok membenamkan keris yang masih belum tuntas pembuatannya itu. Empu Gandring menggeliat dengan tangan menggenggam perut yang tertembus senjata pusaka hasil rautannya. Namun tentu Empu Gandring tidak bisa menerima kematian itu. Itulah sebabnya dari mulutnya terlontar kutukan yang menyebabkan Ken Arok gemetar.
“Eling eling Ken Arok, sira den eling, tibaning supata piwalesing awak mami, sira nemahi palastra,” kutuk Empu Gandring dengan suara terbata.
Empu Gandring bersumpah, keris buatannya akan meminta korban nyawa, tujuh nyawa dan turunan Ken Arok.
Ken Arok adalah mantan seorang maling, otaknya licik dan menyimpan banyak siasat culas. Keris yang baru diperoleh itu dihadiahkan kepada Kebo Ijo, teman yang memang memiliki banyak manfaat. Nyaris semua orang di Tumapel tahu Kebo Ijo memiliki keris yang dahsyat. Ke mana-mana Kebo Ijo pamer kerisnya, hal yang kemudian menjadi malapetaka yang tidak terbayangkan.
Tengah malam ketika Kebo Ijo tertidur pulas, Ken Arok menyelinap masuk mencuri keris itu. Ken Arok bergegas menuntaskan rencananya, sungguh bukan pekerjaan yang rumit bagi Ken Arok untuk menyelinap ke tempat tidur Akuwu Tunggul Ametung karena ia seorang maling dan jiwa maling itu tidak pernah lenyap. Ken Dedes yang terbangun hanya bisa tertegun melihat Ken Arok, prajurit yang dikenalnya dengan baik menyelinap masuk dan membunuh suaminya. Pada Ken Dedes, Ken Arok meletakkan ujung jarinya ke mulut sebagai isyarat agar Ken Dedes tutup mulut.
Sungguh malang Kebo Ijo karena keris kebanggaannya ditemukan tenggelam di dada Tunggul Ametung. Kebo Ijo sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi ketika dengan beringas Ken Arok membunuhnya, dengan menggunakan keris yang sama atas nama tuduhan yang tidak pernah ia lakukan, membunuh Sang Akuwu.
Kebo Ijo mati dengan tuduhan telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung, menempatkan Ken Arok sebagai pahlawan dan bahkan mewarisi tak hanya kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung akan tetapi sekaligus juga jandanya. Konon Ken Dedes adalah seorang Ardhanareswari, tanda-tanda itulah yang menyebabkan Ken Arok menggebu mengawininya, meski di samping Ken Dedes Ken Arok juga mengawini Ken Umang, yang kelak di kemudian hari akan memberi sumbangan atas betapa mendidih dan panas perjalanan sejarah Singasari.
Dari perkimpoiannya dengan Akuwu Tunggul Ametung, Ken Dedes melahirkan Anusapati, sementara buah perkimpoiannya dengan Ken Arok, ia mendapatkan keturunan antara lain Mahisa Wong A Teleng, Panji Saprang, Agnibaya, Dewi Rimbu.
Ken Arok juga mengawini Ken Umang. Dari perkimpoiannya dengan istri muda ini, ia mendapat keturunan antara lain Tohjaya, Panji Sudratu, Twan Wregola dan Dewi Rambi.
Raja Kediri terakhir, Sri Kertajaya yang juga bernama lain Prabu Dandang Gendis sangat marah karena di hari-hari Pisowanan Agung (sidang yang dihadiri oleh segenap utusan wilayah bawahan antara lain adipati, bupati, akuwu) tidak hadir utusan dari Tumapel yang oleh karena telah beberapa kali berulang terjadi, Kediri menganggap Tumapel melakukan makar. Tanpa tedeng aling-aling Ken Arok menyatakan tidak lagi mengakui Kediri sebagai negara yang membawahi Tumapel. Kertajaya yang murka segera mengerahkan pasukan untuk menggebuk Ken Arok, akan tetapi Raja Kediri itu sama sekali tidak menduga bakal menghadapi musuh yang membabi-buta dalam berperang. Tumapel memang kalah dalam jumlah, namun memenangkan pertempuran.
Ken Arok yang telah berhasil merobohkan pilar-pilar Istana Kediri itu akhirnya mendirikan sebuah negara baru bernama Kutaraja dengan menghapus nama Tumapel dan menempatkan diri menjadi raja pertama dengan gelar Sri Rangga Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Kemelut pun terjadi sejalan dengan waktu yang bergerak, dipicu oleh keinginan Ken Arok menempatkan Tohjaya sebagai Pangeran Pati (putera mahkota), padahal jauh sebelumnya ia telah berjanji pada Ken Dedes akan menempatkan Anusapati sebagai Pangeran Pati.
Jauh sebelumnya, ketika Ken Arok merayu Ken Dedes agar mau menjadi istrinya, Ken Dedes mensyaratkan anaknya yang akan lahir harus ditempatkan sebagai putera mahkota. Sejalan waktu berlalu, rupanya Ken Arok merasa risih melihat Anusapati yang bukan anak kandungnya itu. Wajah Anusapati mengingatkan Ken Arok pada Akuwu Tunggul Ametung. Caranya berjalan, tatapan matanya dan senyumnya yang mengerucut amat mirip Tunggul Ametung, maklum, benih Tunggul Ametung yang mengalir di darah Anusapati.
Dikesampingkan oleh ayahnya, dianaktirikan dengan terang-terangan, Anusapati mengorek keterangan dari Ibunya. Mendidih darah Anusapati ketika mendengar cerita tentang kematian ayah kandungnya, Akuwu Tunggul Ametung dibunuh melalui cara licik oleh Ken Arok melalui menempatkan Kebo Ijo sebagai terfitnah.
Maka Anusapati belajar dari Ken Arok, Anusapati meniru apa yang dilakukan mantan maling dari Padang Karautan yang menjadi ayah tirinya itu.
Anusapati mengupah Pengalasan Batil membunuh Ken Arok menggunakan keris yang sama, keris rakitan Empu Gandring, yang dilakukan itu ketika hari sedang senja. Ken Arok sedang makan ketika Batil mendekat dan mencabut keris Empu Gandring dari pinggang Raja Singasari itu dan menghunjamkannya ke perut. Ken Arok mati oleh kutukan Empu Gandring.
Brahmana Lohgawe mengentaskan Ken Arok dan membawanya menghadap Akuwu Tunggul Ametung yang memiliki istri yang kecantikannya tiada tara, Ken Dedes untuk diabdikan sebagai seorang prajurit. Apabila semula Brahmana Lohgawe berhasil menerjemahkan tanda-tanda gaib yang melekat pada sosok Ken Arok, hal yang sama ditangkap Lohgawe ketika melihat pertanda gaib pada diri Ken Dedes. Brahmana Lohgawe curiga, Ken Dedes adalah perempuan utama yang memegang pertanda gaib Ardhanareswari. Ardhanareswari adalah julukan bagi perempuan yang menjadi induk dari para raja.
Ken Arok terlebih-lebih, ia sangat tertegun melihat kecantikan istri Akuwu itu.
“Kelak aku harus bisa merebutnya,” janji Ken Arok pada diri sendiri.
Ken Arok sama sekali tidak peduli meski Ken Dedes sedang dalam keadaan hamil.
Ken Arok menjadi prajurit di Tumapel, bersahabat erat dengan Kebo Ijo. Sahabat bisa jadi merupakan tempat berbagi keluh kesah, namun Ken Arok memiliki cara pandang yang berbeda. Sahabat bisa dimanfaatkan untuk keperluan apa saja, tempat mengeluh, namun bisa juga untuk keperluan lain, misalnya untuk melepas fitnah sebagai batu loncatan untuk meraih cita-cita.
Mula-mula Ken Arok memesan sebuah keris kepada seorang Empu bernama Gandring dari Lulumbang, sebuah tempat yang berada tidak jauh dari Madakaripura, hanya sehari perjalanan dari kota pelabuhan Ywangga.
Pada zaman Majapahit Madakaripura adalah sebuah wilayah yang dianugerahkan oleh Raja Hayam Wuruk kepada Mahapatih Gajah Mada yang digunakan untuk menyepi/meditasi di usa tuanya. Pesanggrahan Madakaripura terletak di Desa Sapih kecamatan Lumbang Kab Probolinggo berada di kaki Gunung Bromo sebelah utara. Di tempat ini terdapat tujuh air terjun yang berbahaya karena sering terjadi bah yang datang setiap saat dan telah meminta banyak korban. Di tempat inilah ditemukan prasasti Madakaripura yang menjadi petunjuk arah bagi generasi sekarang bisa mengetahui isi sumpah Gajah Mada yang terkenal dengan nama Hamukti Palapa.
Empu Gandring adalah pembuat keris yang hebat dan terkenal hingga ke empat penjuru langit. Keris buatan Empu Gandring semua berjiwa, yang dipahatkan itu melalui tapa brata yang dilakukan berbulan-bulan yang dibuat dengan bahan baku yang bukan dari biji besi sembarangan. Logam yang digunakan merupakan logam pilihan yang dicampur dengan batu bintang, menjadikan semua keris buatan Empu Gandring memiliki kelebihan dari keris rautan empu yang lain.
Ken Arok memesan keris itu kepadanya.
Namun Ken Arok adalah prajurit yang tidak memiliki cadangan kesabaran. Beberapa kali ia mengunjungi Empu Gandring untuk melihat sudah sampai sejauh mana pembuatan keris yang dipesannya. Ken Arok terpaksa pulang dengan menggigit jari berulang-kali, itu karena pembuatan keris yang dilakukan Empu Gandring memang rumit. Terakhir, bilah keris memang telah teraut bagus, akan tetapi itu pun masih belum selesai karena gagang yang digunakannya masih sementara, gagang cangkring, sejenis bambu kerdil.
Ken Arok yang menyimpan rencana jangka panjang tidak sabar.
Empu Gandring pasti tidak pernah menyangka, bahkan bermimpi pun tidak, ketika dengan hati beku dan dingin Ken Arok membenamkan keris yang masih belum tuntas pembuatannya itu. Empu Gandring menggeliat dengan tangan menggenggam perut yang tertembus senjata pusaka hasil rautannya. Namun tentu Empu Gandring tidak bisa menerima kematian itu. Itulah sebabnya dari mulutnya terlontar kutukan yang menyebabkan Ken Arok gemetar.
“Eling eling Ken Arok, sira den eling, tibaning supata piwalesing awak mami, sira nemahi palastra,” kutuk Empu Gandring dengan suara terbata.
Empu Gandring bersumpah, keris buatannya akan meminta korban nyawa, tujuh nyawa dan turunan Ken Arok.
Ken Arok adalah mantan seorang maling, otaknya licik dan menyimpan banyak siasat culas. Keris yang baru diperoleh itu dihadiahkan kepada Kebo Ijo, teman yang memang memiliki banyak manfaat. Nyaris semua orang di Tumapel tahu Kebo Ijo memiliki keris yang dahsyat. Ke mana-mana Kebo Ijo pamer kerisnya, hal yang kemudian menjadi malapetaka yang tidak terbayangkan.
Tengah malam ketika Kebo Ijo tertidur pulas, Ken Arok menyelinap masuk mencuri keris itu. Ken Arok bergegas menuntaskan rencananya, sungguh bukan pekerjaan yang rumit bagi Ken Arok untuk menyelinap ke tempat tidur Akuwu Tunggul Ametung karena ia seorang maling dan jiwa maling itu tidak pernah lenyap. Ken Dedes yang terbangun hanya bisa tertegun melihat Ken Arok, prajurit yang dikenalnya dengan baik menyelinap masuk dan membunuh suaminya. Pada Ken Dedes, Ken Arok meletakkan ujung jarinya ke mulut sebagai isyarat agar Ken Dedes tutup mulut.
Sungguh malang Kebo Ijo karena keris kebanggaannya ditemukan tenggelam di dada Tunggul Ametung. Kebo Ijo sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi ketika dengan beringas Ken Arok membunuhnya, dengan menggunakan keris yang sama atas nama tuduhan yang tidak pernah ia lakukan, membunuh Sang Akuwu.
Kebo Ijo mati dengan tuduhan telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung, menempatkan Ken Arok sebagai pahlawan dan bahkan mewarisi tak hanya kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung akan tetapi sekaligus juga jandanya. Konon Ken Dedes adalah seorang Ardhanareswari, tanda-tanda itulah yang menyebabkan Ken Arok menggebu mengawininya, meski di samping Ken Dedes Ken Arok juga mengawini Ken Umang, yang kelak di kemudian hari akan memberi sumbangan atas betapa mendidih dan panas perjalanan sejarah Singasari.
Dari perkimpoiannya dengan Akuwu Tunggul Ametung, Ken Dedes melahirkan Anusapati, sementara buah perkimpoiannya dengan Ken Arok, ia mendapatkan keturunan antara lain Mahisa Wong A Teleng, Panji Saprang, Agnibaya, Dewi Rimbu.
Ken Arok juga mengawini Ken Umang. Dari perkimpoiannya dengan istri muda ini, ia mendapat keturunan antara lain Tohjaya, Panji Sudratu, Twan Wregola dan Dewi Rambi.
Raja Kediri terakhir, Sri Kertajaya yang juga bernama lain Prabu Dandang Gendis sangat marah karena di hari-hari Pisowanan Agung (sidang yang dihadiri oleh segenap utusan wilayah bawahan antara lain adipati, bupati, akuwu) tidak hadir utusan dari Tumapel yang oleh karena telah beberapa kali berulang terjadi, Kediri menganggap Tumapel melakukan makar. Tanpa tedeng aling-aling Ken Arok menyatakan tidak lagi mengakui Kediri sebagai negara yang membawahi Tumapel. Kertajaya yang murka segera mengerahkan pasukan untuk menggebuk Ken Arok, akan tetapi Raja Kediri itu sama sekali tidak menduga bakal menghadapi musuh yang membabi-buta dalam berperang. Tumapel memang kalah dalam jumlah, namun memenangkan pertempuran.
Ken Arok yang telah berhasil merobohkan pilar-pilar Istana Kediri itu akhirnya mendirikan sebuah negara baru bernama Kutaraja dengan menghapus nama Tumapel dan menempatkan diri menjadi raja pertama dengan gelar Sri Rangga Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Kemelut pun terjadi sejalan dengan waktu yang bergerak, dipicu oleh keinginan Ken Arok menempatkan Tohjaya sebagai Pangeran Pati (putera mahkota), padahal jauh sebelumnya ia telah berjanji pada Ken Dedes akan menempatkan Anusapati sebagai Pangeran Pati.
Jauh sebelumnya, ketika Ken Arok merayu Ken Dedes agar mau menjadi istrinya, Ken Dedes mensyaratkan anaknya yang akan lahir harus ditempatkan sebagai putera mahkota. Sejalan waktu berlalu, rupanya Ken Arok merasa risih melihat Anusapati yang bukan anak kandungnya itu. Wajah Anusapati mengingatkan Ken Arok pada Akuwu Tunggul Ametung. Caranya berjalan, tatapan matanya dan senyumnya yang mengerucut amat mirip Tunggul Ametung, maklum, benih Tunggul Ametung yang mengalir di darah Anusapati.
Dikesampingkan oleh ayahnya, dianaktirikan dengan terang-terangan, Anusapati mengorek keterangan dari Ibunya. Mendidih darah Anusapati ketika mendengar cerita tentang kematian ayah kandungnya, Akuwu Tunggul Ametung dibunuh melalui cara licik oleh Ken Arok melalui menempatkan Kebo Ijo sebagai terfitnah.
Maka Anusapati belajar dari Ken Arok, Anusapati meniru apa yang dilakukan mantan maling dari Padang Karautan yang menjadi ayah tirinya itu.
Anusapati mengupah Pengalasan Batil membunuh Ken Arok menggunakan keris yang sama, keris rakitan Empu Gandring, yang dilakukan itu ketika hari sedang senja. Ken Arok sedang makan ketika Batil mendekat dan mencabut keris Empu Gandring dari pinggang Raja Singasari itu dan menghunjamkannya ke perut. Ken Arok mati oleh kutukan Empu Gandring.
Spoiler for sumber:
Lanjut dibawah gan
Diubah oleh legendia93 26-08-2014 16:53
0
5.9K
Kutip
26
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan