Quote:
YOGYAKARTA - Gubernur dan wakil gubernur DIY harus dijabat laki-laki. Ini mengemuka dalam Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) urusan tata cara pengisian gubernur dan wakil gubernur (BA 17) yang sebentar lagi diparipurnakaan.
Namun demikian, dalam Perdais urusan 'suksesi' tersebut tidak menyebut secara tegas jabatan elit yang harus dipegang laki-laki.
Dalam public hearing di DPRD DIY, Senin (25/8/2014) juga sempat mempertanyakan ketidaktegasan gubernur dan wakil gubernur harus laki-laki.
Mempertegas jabatan nomor satu dan dua di DIY ini harus dipegang laki-laki. Peserta public hearing menilai Raperdais bersikap ambigu. "Raperdais harus menyebut
aturan itu," kata peserta public hearing dari kalangan budayawan, Taufik.
Dia menilai, ketegasan Raperdais Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wagub sangat diperlukan. Apalagi DIY yang berstatus Daerah Istimewa, melekat raja yang bertahta di Keraton dan Pakualama otomatis menjadi gubernur dan wakil gubernur.
”Sultan melekat dengan jabatan gubernur. Seorang Sultan harus laki-laki. Ini harus diatur dengan tegas,” timpalnya.
Taufik berpendapat, jika Raperdais tidak dijelaskan secara tegas, maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tanpa disebutkan secara tegas dan tertulis, membuka peluang jabatan gubernur dan wagub dijabat perempuan. Padahal, aturan tersebut, penting mengingat selama ini Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Pakualam yang bertahta selalu laki-laki.
Ketua Pansus Raperdais BA 17 DPRD DIY Istianah ZA mengakui, dalam raperdais tersebut memang sengaja tidak menyebutkan jabatan gubernur dan wakil gubernur diatur secara eksplisit di raperdais tersebut.
Namun, dengan ketentuan yang berlaku untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY sebenarnya sudah bisa dipahami.
Politikus PAN ini menjelaskan, dalam Pasal 3 ayat 1 huruf M, menyebutkan ada kewajiban bagi calon gubernur atau wagub untuk menyerahkan daftar riwayat hidup.
Dalam daftar tersebut memuat sejumlah hal antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
”Tidak ada syarat untuk melampirkan riwayat hidup suami. Jadi itu sudah bisa dimengerti," jelasnya.
Lebih lanjut Isti'anah mengungkapkan, dari kalimat yang tertuang tersebut, diterjemahkan jika calon gubernur dan wagub harus laki-laki.
Ketentuan gubernur dan wakil gubernur dan wakil gubernur ini tidak dirumuskan sendiri dalam pembahasan di pansus BA 17.
Namun lebih banyak berdasarkan pada aturan yang ada dalam Undang-Undang Keistimewaan (UUK) No 13 tahun 2013.
Selain harus laki-laki, syarat lainnya untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY minimal harus berusia 30 tahun. Untuk batasan usia tertua tidak ada pembatasan dalam raperdais tersebut.
"Usia termuda dibatasi, tapi tidak ada pembatasan usia tertua. Saya tidak mengatakan seumur hidup atau selamanya. Tapi kalau yang bersangkutan masih merasa mampu ya menjabat lagi," ungkapnya.
Sekretaris Daerah DIY Ichsanuri menambahkan, dalam ketentuan umum Raperdais ini sebenarnya semakin mempertegas jabatan Gubernur dan Wagub DIY harus laki-laki.
Dia mengutip Pasal 1 ayat 5, yang menyebutkan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang selanjutnya disebut Kasultanan adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.
”Bisa dipahami jika gubernur dan wagub harus laki-laki,” lanjutnya. Ichsanuri mengakui, gubernur dan wakil gubernur harus laki-laki memang tidak menyebut secara tegas dan tertulis. Ini dilakukan karena dalam dalam produk hukum tidak boleh memuat diskriminasi. Maka untuk penulisan ketentuan harus laki-laki diatur secara implisit.
”Peraturan daerah dan peraturan lain tidak boleh melanggar asas diskriminasi,” ungkapnya.
sumber: http://daerah.sindonews.com/read/894804/22/gubernur-wagub-diy-harus-laki-laki
peraturan tidak boleh melanggar asas diskriminasi atau tidak boleh melanggar eksplisitnya aturan diskriminasi?
eksplisit atau implisit, esensinya kan tetep diskriminasi!
sedangkan dulu sultan hbx malah terbuka bila gub/penguasa kraton berikutnya adalah wanita.
Quote:
SULTAN BERI SINYAL PEMBAYUN PENERUS TAHTA
TEMPO Interaktif, Yogyakarta – Sri Sultan Hamengku Buwono X memberi sinyalemen, bahwa tidak menutup kemungkinan pengganti dirinya kelak sebagai raja adalah perempuan. Meski tidak secara eksplisit dikemukakan, namun Sultan mengakui bahwa jika dibandingkan dengan istrinya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, maka putri sulungnya Gusti Kanjeng Ratu Pembayun mempunyai peluang lebih.
“Kalau GKR Hemas kan, orang lain. Kalau GKR Pembayun kan anak langsung dari raja,” kata Sultan kepada wartawan di Kepatihan, Jumat (14/5).
Di sisi lain, Sultan mengingatkan, bahwa kraton mempunyai paugeran atau aturan sendiri. Bahwa paugeran kraton selamanya adalah yang menjadi raja biasanya laki-laki. Hanya saja, lanjut Sultan, sebagai raja dia tidak boleh membedakan peran laki-laki dengan perempuan. “Siapa raja yang berkuasa, dia berhak melakukan perubahan,” tegas Sultan.
Meski demikian, Sultan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat Yogyakarta terkait siapa yang kelak menjadi raja di Kraton Yogyakarta untuk menggantikan dirinya. “Terserah aspirasi rakyat, siapa sultan nanti,” imbuh Sultan.
sumber:http://www.tempo.co/read/news/2010/05/14/177247807/Sultan-Beri-Sinyal-Pembayun-Penerus-Tahta
Bagaimana tanggapannya warga yogya?

secara khusus terhadap aturan diskriminatif yang implisit ini dan secara umum... apakah anda yakin penerus sultan selamanya adalah orang yang baik? apa tidak ingin setidaknya ada semacam pilihan seperti di korut?