- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kutinggal Hatiku Di Jatinegara


TS
cisangkela
Kutinggal Hatiku Di Jatinegara

Quote:
Kutinggal Hatiku di Jatinegara
Aku sedang menunggu kereta di stasiun Jatinegara ketika pertama kali melihat Rita pada Nopember 2013. Wajahnya lumayan dengan dagu tirus dan tulang pipi menonjol, bibirnya merah menyala, hidungnya mancung dan tajam. Dengan wangi parfum mencolok, celana jeans ketat, kardigan merah muda, kaos putih dengan tanda hati merah dan rambut agak pirang, bisa kutebak dia bekerja di diskotek, bar, tempat karaoke atau semacamnya. Aku tidak pernah berfikir negatif tentang profesi tersebut mengingat aku juga seorang pekerja malam.
Dia bangkit ketika mendengar pengumuman kedatangan kereta, dan sempat melirik ke arahku saat menaikinya.
Aku menyukai Stasiun Jatinegara, memandang jalur-jalur kereta seolah itu merupakan mainan masa kecilku, lengkungan-lengkungan baja atap stasiun, dinding putih dengan jendela-jendela kuno, pintu-pintunya yang besar, tiang-tiang lampu yang menyala di pagi hari. Aku bisa merasakan diriku berada bersama orang-orang yang ingin pulang kampung dengan tas-tas besar yang menunggu suara pengumuman keberangkatan kereta atau ikut menikmati perjalanan di dalam gerbong kereta diesel besar dan kokoh.
Aku menemukan Rita keesokan harinya, dia berdiri tepat di sampingku. Tidak ada make-up, bau parfum berlebihan atau wig. Dia tahu aku pria sama yang duduk di sampingnya kemarin, suara lembutnya menanyakan tujuanku.
“Bekasi,” jawabku gugup.
“Aku juga ke Bekasi. Mau jenguk teman.”
Kami berkenalan dengan sedikit rasa malu. Dia membawa sekantong plastik buah-buahan dan beberapa kue untuk teman lainnya.
“Sakit apa?”
“DBD. Sudah dua minggu.” Kemudian dia bercerita tentang kampung halamannya di Jogja, kerinduannya pada kedua orang tuanya dan betapa dia akan kembali pulang suatu waktu.
Hari berikutnya dia mengajakku makan pagi di warung soto. Aku menyambutnya dengan tangan terbuka, apalagi hari itu di pertengahan bulan, seperti biasa, nafas dompetku mulai megap-megap.
“Satpam kayak kamu pasti sering olahraga ya?” dia bertanya, memandang lekuk otot tubuhku.
Aku mengangguk. Perusahaan menyediakan fitnes gratis, dua kali seminggu, tapi aku biasa latihan sebelum tidur pagi atau sore hari sebelum berangkat kerja.
“Yah, paling-paling sit-up dan push-up.”
Ekspresinya seperti mengagumiku. Dia mencoba memegang lengan bisepku.
“Boleh?”
“Coba aja.”
Jari telunjuknya menyusuri lenganku, berputar ke atas dan berhenti di atas otot bisepku, kemudian dia mencubitku pelan, meninggalkan bekas merah muda. Tukang soto memerhatikan kami.
“Maafkan aku,” Rita berkata. “Kau mungkin menganggap aku nakal. Kumohon kau jangan berpikir seperti itu. Aku tidak akan melakukan pekerjaan ini jika tidak terpaksa.”
Kemudian, tanpa kusadari tanganku sudah berada di atas telapak tangannya dan memegangnya erat. Tidak ada obrolan lagi setelah itu, tapi kami sama-sama menikmati kebersamaan dan makan pagi.
Terkadang hidup ini terasa aneh dan tidak dapat diduga, apalagi bicara tentang cinta yang penuh kejutan. Meski aku tidak pernah menyatakannya, tapi kedekatan ini membawa kami pada tingkatan yang lebih jauh. Hari-hari berikutnya aku terbiasa dengan kehadiran Rita. Kami menghabiskan pagi dengan hal-hal baru: makan di tempat berbeda atau berjalan menyusuri rel hingga stasiun Manggarai. Dia memanjakanku dengan berbagai macam traktiran, membelikanku pakaian, sepatu dan jam tangan, mengejutkanku dengan hadiah smartphone di hari ulang tahunku yang kedua puluh empat. Dan untuk segala kebaikannya, aku hanya bisa membalasnya dengan memberikan bahuku untuk bersandar.
Namun sayangnya, hampir di sepanjang Desember intensitas pertemuan kami berkurang karena kesibukan masing-masing. Meski demikian kami punya rencana untuk menghabiskan malam tahun baru kami dengan jalan-jalan dari Monas hingga ke Bunderan HI untuk menikmati musik dan kembang api. Dan menjelang tengah malam aku memberanikan diriku untuk melamarnya.
“Aku tidak bisa,” dia berkata. “Kurasa aku bukanlah orang yang tepat sebagai pendampingmu.”
“Apakah ini karena pekerjaanmu? Tidakkah kita bisa menyikapi permasalahan ini dengan bijaksana?”
“Aku akan pulang ke Jogja untuk merawat ibuku.”
“Aku bisa mencari pekerjaan di sana.”
Rita menghela nafas, tangannya memegang pipiku.
“Sayang,” dia berkata. “Ini demi kebaikan kita. Simpan cincin itu baik-baik dan berikan kepada perempuan yang benar-benar kaucintai, seorang perempuan sejati.”
Aku terdiam cukup lama, tidak cukup tahu saat dia pergi meninggalkanku.
Tidak ada kabar darinya keesokan harinya, begitu juga keesokan lusanya atau minggu berikutnya, hingga di pertengahan Januari 2014 ketika aku mengetahui berita itu saat makan pagi di sebuah warung soto di Stasiun Jatinegara. Tukang sotonya masih mengenal tampangku sehingga tidak canggung ketika dia memulai percakapan.
“Kemana temannya, Mas?” tanya tukang soto.
“Siapa?”
“Teman mas … Rinto …”
Suara tukang soto menghilang secara perlahan hingga aku sama sekali tidak mendengar penjelasannya tentang nama yang dimaksud.
Aku masih menyukai Stasiun Jatinegara, memandang jalur-jalur kereta seolah itu merupakan mainan masa kecilku, lengkungan-lengkungan baja atap stasiun, dinding putih dengan jendela-jendela kuno, pintu-pintunya yang besar, tiang-tiang lampu yang menyala di pagi hari. Aku bisa merasakan diriku berada bersama orang-orang yang ingin pulang kampung dengan tas-tas besar yang menunggu suara pengumuman keberangkatan kereta atau ikut menikmati perjalanan di dalam gerbong kereta diesel besar dan kokoh.
31 Januari 2014, Stasiun Jatinegara sangat padat dan aku terpaksa berdiri menunggu keretaku. Ada dua jalur menuju arah timur, dimana satu jalur digunakan untuk kereta luar kota sedangkan jalur lainnya untuk kereta Jabotabek. Namun terkadang salah satu jalur digunakan bergantian, sehingga setidaknya aku memastikan berdiri di peron yang tepat. Tidak banyak penumpang ke Bekasi pada pagi hari, dan aku membaur bersama rombongan orang-orang berbahasa Jawa dengan tas-tas besar. Pengumuman mengatakan kereta menuju Jogja akan tiba sebentar lagi. Aku mundur untuk memberikan kesempatan orang lain mengambil tempatku. Tapi ruang gerakku terbentur pada barisan orang-orang di belakang dan aku hampir tidak bisa bergerak sama sekali.
Kereta tiba lewat pukul tujuh. Aku berusaha diam menahan desakan orang-orang yang ingin menaikinya. Dengan perlahan, aku mencoba mundur untuk melepaskan diri dari keramaian. Tapi langkahku terhenti ketika tiba-tiba kedua mataku menangkap sinar mata seorang lelaki yang tengah memandangku. Mata dan hidungnya menarik perhatianku, mengingatkanku pada seseorang di suatu tempat atau suatu waktu di masa lalu.
* * *


anasabila memberi reputasi
1
3.6K
Kutip
42
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan