- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[Prestasi Pertamax] Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi


TS
ayahzie
[Prestasi Pertamax] Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi
![[Prestasi Pertamax] Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi](https://s.kaskus.id/images/2014/08/11/7012047_20140811112150.jpg)
![[Prestasi Pertamax] Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi](https://s.kaskus.id/images/2014/08/18/4747529_20140818110912.png)
![[Prestasi Pertamax] Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi](https://s.kaskus.id/images/2014/08/19/4747529_20140819105531.jpg)
Quote:
Quote:
Prolog :
Assalamualaikum. Pakebra kaskuser semua? Sehat kan? kan? kan? Mudah-mudahan saja demikian ya. Sebab kesehatan merupakan asset yang sangat berharga bagi kehidupan kita. “Mensana in corporesano, beli insana di warung pa Jono” begitu kata pepatah. Ngawur ya? Biarin ah, yang jelas, dengan tubuh yang sehat dan jiwa yang kuat, peluang untuk mewujudkan apa yang kita cita-citakan akan semakin besar. Tapi sehat saja tentu tak cukup. Perlu amunisi lain berupa upaya yang optimal dengan tak lupa senantiasa memohon perlindungan dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Itu! (MT mode on)

Nah, pada kesempatan yang baik ini, izinkan ane untuk sedikit berbagi tentang sekelumit kisah dari masa lalu yang ada relevensinya dengan kata kunci prestasi yang mudah-mudahan ada hikmah dan manfaat bagi siapapun yang membacanya. “Halah lebay ente.”Biarin, rasain, suruh siapa baca?
Cukup untuk nasi-basinya ah. Sekarang kita langsung saja ke pokok permasalahan yang sejak tadi hendak ane sampaikan, yaitu terkait dengan salah satu dari sekian sedikit prestasi yang pernah ane raih, Dan tanpa mengurangi rasa hormat eh maksud ane esensi dari cerita dan biar asik buat dibaca, ane menyajikannya dalam bentuk cerpen. Bagaimanakah kisahnya? Kita langsung saja ke KTP! Cekibrot!!!
Quote:
Spoiler for Ini Dia Kisahnya!:
Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi
Andai tak salah ingat, itu adalah suatu waktu di kota berjuluk Paris Van Java, pada medio tahun 1999 yang panas, karena saat itu memang hari sedang siang. Namun panas yang terasa adalah panas yang proporsional dan menghangatkan, tidak lebay seperti saat ini. Bandung yang kini heurin ku tangtung (padat/red) memang kian panas dan tak lagi bersahabat, bagai kemompong. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang terlalu superior terhadap lahan hunian yang tersedia.
Kala itu aku baru saja mendapat predikat alumni dari salah satu SMA negeri yang berlokasi di Jalan Pasir Kaliki, dengan hasil yang menurutku biasa saja, karena memang demikian adanya. Tenang, jangan dulu kau tanya di mana aku bersekolah, karena kau akan segera tahu sebab kuberi tahu, bukan tempe. Sekolah itu adalah sekolah yang andai kau melihatnya dengan mata kepala sendiri pasti akan salah persepsi, karena mengiranya sebagai penjara. Dan sebuah gerbang menjulang serta benteng yang tinggi semakin menguatkan stigma itu.
Dulu, aku dan siswa lain yang ternyata teman-temanku itu punya sebutan khusus untuk almamater kami tercinta, yaitu Kandang Japati (Sangkar Merpati/Red). Julukan ini merujuk pada bangunan sekolahku yang sekilas memang mirip sangkar burung merpati yang bertingkat-tingkat. Andai suatu saat kau tamasya ke kotaku, sempatkanlah ke jalan yang kusebut tadi agar kau bisa melihat dengan jelas sebuah pelang bertulisan besar-besar tentang identitas sekolahku.
Kembali ke lap-pel! Bersamaan dengan kebahagiaan yang membuncah karena tidak harus tinggal bersama adik-adik kelas dua untuk lalu ikut EBTANAS di tahun berikutnya, tetiba satu batalyon rasa bimbang menyerbu dan mengepung dari berbagai penjuru, memojokkanku di sudut-sudut kelam ruang dan waktu. Aku yang tersudut hanya bisa diam termangu, ditemani sepiring sangu (nasi/red) dan segelas jamu. Satu kata dari KBBI yang paling cucok untuk mewakilkan rasaku saat itu mungkin adalah : dilematis.
Di pihak yang satu, semangatku untuk kuliah begitu menggebu. Sedang di lain pihak, aku tak bisa menutup mata dengan statusisasi ekonomi keluargaku yang ahh, tak tega aku mengatakannya Justo. Penghasilan perkapita keluargaku hanya berasal dari Bapakku yang profesinya sebagai penambal band, ban maksudnya dan Emakku yang demi membantu kiprah lelaki yang disebutnya suami rela berpanas-panasan di depan kompor untuk membuat gorengan (peyek/red). Silahkan estimasi sendiri berapa nominal yang dikumpulkan dari dua pekerjaan itu. Yang jelas perlu waktu tak sebentar bagi mereka untuk mengumpulkan sejumlah rupiah berwarna merah. Dan oleh karena realitas tak terbantahkan itulah, aku sebagai anaknya harus tahu diri dan legowo andai mereka sepakat untuk tidak sepakat dengan hasratku yang ingin kuliah.
Namun ajaib, bukan sulap bukan sihir, ketika di suatu malam kuutarakan isi hatiku pada mereka, hipotesa awalku terbukti ngawur. Jawaban yang meluncur dari mereka justru begitu menyejukkan, menginspirasi dan memotivasi. Bak keluar dari mulut seorang motivator handal berkacamata dan berkepala setengah botak bernama Mario Teu Puguh.
“Sok rek kuliah mah, dido’akeun ku Bapak jeung Emak, mudah-mudahan sing hasil.” (Silahkan kalau mau kuliah, Ibu dan Bapak mendoakan semoga berhasil). Begitu ujar mereka dalam satu helaan nafas.
Dan bagiku, itu adalah pilihan kata yang lebih dari cukup untuk membangkitkan kembali semangatku yang sempat meredup dan serta merta menghancurleburkan galau yang menggurita. Aku tak tahu pasti kenapa mereka menyanggupi permintaanku. Dan entah darimana datangnya optimisme itu. Kini, tatkala seorang anak lelaki lucu berumur 4 tahun memanggilku ayah, baru kufaham, bahwa cintalah yang membuat Emak dan Bapakku begitu berani menyanggupi keinginanku. Ah, memang kasih sayang orang tua tak berbalas tak berbatas. Sebuah oase, itulah dia. Duh jadi melow begini euy! Bentar nyeka air mata dulu, soalnya ini nulis sambil ngiris bawang

Selepas momen yang mencerahkan itu, akupun segera merancang strategi agar rencanaku untuk kuliah bisa terwujud. Formasi 5-3-2-1 pun segera kuterapkan. Yaitu 5x shalat fardhu, 3x makan, 2x mandi, dan 1x belajar setiap harinya. Serta tak lupa senantiasa bernafas dan berkedip agar tetap hidup normal. Itu semua kulakukan agar bisa lulus UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sebab perguruan tinggi negerilah pilihan yang paling rasional untuk tempat kuliah. Rasional dengan kemampuan ekonomi keluargaku maksudnya. Andai tak lulus UMPTN, maka sudah dapat dipastikan aku tak akan kuliah dan lalu akan fokus saja mengurusi perusahaan tambal ban yang diwariskan Bapak.
Untuk jurusan yang akan kuambil, aku memilih Teknik Arsitektur ITB pada pilihan pertama karena profesi arsitek terdengar keren. Sedang untuk pilihan kedua, aku memilih jurusan Statistika UNPAD atas saran wali kelasku yang orang Batak itu, pak Amirdin Samosir. Entah apa yang membuatku mau menuruti sarannya.
Jika mereka, teman-teman seangkatanku yang berasal dari keluarga terpandang ramai-ramai ikut bimbingan belajar (bimbel) di tempat bimbel terkenal seperti GO dan SSC untuk menghadapi UMPTN, aku sih woles aja, terlalu mainstream itu sih. Kenapa ketawa? Ya, aku tahu apa yang kau fikirkan. Kau pasti mau bilang, “ah bilang aja kagak punya doku buat ikut Bro!” Eh? Emang bener sih, kayanya. Lalu bagaimana caraku mempersiapkan diri? Jawabannya adalah, teret teret teret. Kasih tahu gak ya? Yaudah sih jangan ngambek gitu, nih aku kasih tahu.
Dari berjilid-jilid buku kumpulan soal UMPTN yang berasal dari kebaikan hati kakak-kakak alumnilah aku mengasah kemampuan. Selain dikasih pinjem buku, aku dan beberapa teman juga beruntung mendapat semacam pembekalan dari mereka yang sudah duluan berstatus mahasiswa di kampus-kampus terkenal. Dan itu cuma-cuma a.k.a gratis. Untuk apa yang mereka telah perbuat, aku wajib berterimakasih dan juga berdoa, semoga perbuatan baik mereka dibalas berlipat ganda oleh Sang Maha Pembalas, Allah Yang Maha Esa.
Singkat kata, singkat cerita, waktu yang dinanti telah tiba. (dibaca dengan nada lagu Sedap Betul nya Jamal Mirdad ya) Hari pengumuman kelulusan UMPTN itulah dia. Malam sebelum hari P (Pengumuman/Red), aku jadi tak bisa tidur, sebab belum ngantuk. Jantungku berdegup kencang, darahku mengalir deras, hatiku bergejolak, fikiranku berkecamuk. Sementara di luar, gemericik air selokan mengalun lembut, kontradiktif dengan suara cicit tikus sialan dari langit-langit rumah. Kuarahkan pandanganku ke langit-langit, tetiba seberkas sinar putih menyilaukan pandangan.
“Inikah waktu yang dijanjikan itu?” fikirku.
“Aku belum siap wahai tuhan. Izinkan aku hidup sehari lagi esok, agar bisa mengetahui hasil jerih payahku ikut UMPTN,” gumamku lagi.
“Hey Jang-jang hudang, isya heula,” (Hey Nak-nak bangun, solat isya dulu) seru sesosok lelaki berambut putih mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Ampun ampun, jangan siksa aku!” teriakku.
“Eh ngalindur budak teh. Hudang!” (Eh ngigau ni anak. Bangun!) hardik lelaki itu.
“Aeh Bapak ningan, sugan teh Malaikat,” (Eh ternyata Bapak, kirain Malaikat) kataku sembari terkekeh.
Rupanya tanpa disadari aku tertidur sesaat tadi. Sedangkan berkas sinar putih yang kulihat tadi berasal dari lampu neon yang nampak lelah menggelantung di langit-langit kamar. Setelahnya, dalam sekejap aku sudah berada di kamar mandi dan kemudian mengambil wudhu. Bukan karena aku sakti, melainkan karena jarak antara kamar tidur dengan kamar mandi hanya beberapa langkah saja. Selepas sholat isya, akhirnya aku benar-benar terlelap untuk lalu terbuai di alam mimpi.
Sekitar pukul setengah sepuluh pagi esok harinya, aku baru bisa terbebas dari jerat mimpi yang melenakan itu, dan sialnya aku melewatkan solat subuh. Aku takut tuhan marah dan sebagai konsekwensinya namaku dihapus dari daftar nama peserta yang lulus UMPTN, andai aku memang lulus. Dia kan Maha Berkehendak dan Maha Berkuasa. Kun fayakun, maka jadilah. Tapi untungnya kau dan aku sama-sama faham bahwa Dia bukanlah pendendam, tak seperti kebanyakan mahluk ciptaan-Nya. Sehingga kelalaianku tadi bukanlah soalan bagi tuhan, melainkan menjadi tanggung jawabku di akherat kelak. Tanpa fikir panjang, setengah berlari aku beranjak menuju tukang koran yang letaknya tak jauh dari gang sempit tempatku tinggal. Bahkan aku sampai lupa untuk sekedar cuci muka dan gosok gigi. Tapi biarin ah, sebab itu tak akan menafikan kenyataan bahwa aku ketje-pet.

”Mang aya koran PR?“ (pak ada koran PR?) Tanyaku sesaat setelah tiba di penjual koran.
”Aya jang, kabeneran nyesa hiji deui. Titatadi loba nu neangan, cenah mah aya pengumuman UMPTN.” (Ada nak, kebetulan masih tersisa satu. Dari tadi banyak yang nyari, katanya ada pengumuman hasil UMPTN) Kata bapa penjual Koran dengan logat sunda nya yang kental.
”Enya mang ieu oge bade ningal pengumuman. Sabarahaan ieu teh mang?“ (Iya pak saya juga mau melihat hasil pengumuman. Berapa harganya pak?)
”Sarebuan jang“ (Seribu rupiah saja nak)
”Ieu mang, sarebu nyak,” (Ini pak, seribu ya)
”Nuhun nya jang, didoakeun sing lulus“ (Terimakasih nak, didoakan semoga lulus)
”Aamiin, nuhun mang“ (Aamiin, terimakasih pak)
Sembari berjalan pulang, segera kubuka lembar demi lembar koran itu dengan seksama. Begitu khusyunya, hingga sapaan dari orang-orang yang kukenal kunafikan begitu saja. Lima menit berlalu dan belum juga kutemukan namaku. Setelah dicermati ternyata yang kubaca sejak tadi adalah berita olahraga, pantas saja tak kutemukan namaku disana.
Akhirnya kuhentikan saja aktifitas membaca itu, dan kulanjutkan sesampainya di rumah. Setelah beberapa saat berusaha keras dengan mengerahkan segenap jiwa dan raga mencari namaku di deretan yang bikin pusing karena tulisannya mini, akhirnya mataku tertambat pada sebuah perpotongan antara baris dan kolom. Tak salah lagi, itu adalah nama dan nomor pesertaku. Menyadari hal itu, tak pelak aku kegirangan dibuatnya. Andai tak malu, aku ingin sekali naik ke atap rumah dan lalu berteriak, “aku kuruuuuuuuuuuuuuuuusssss...“, agar semua orang tahu aku kurus. “Apaan sih? Teu nyambung.“ katamu setengah mencibir. Sekali lagi biarin, rasain, suruh siapa baca.
![[Prestasi Pertamax] Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi](https://s.kaskus.id/images/2014/08/18/4747529_20140818122529.jpg)
Gambar ini hanya ilustrasi.
Sumber : Google
Sumber : Google
Akhirnya mimpiku, mimpi Emakku, mimpi Bapakku, mimpi kakakku, pamanku, bibiku, uwakku dan mimpi semua seluruh keluargaku yang mohon maaf tidak bisa disebutkan satu persatu karena capek, dapat terwujud. Siapa sangka aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di tanah air. Meskipun aku hanya diterima pada pilihan kedua, namun itu tidak bisa menutupi rasa bahagiaku yang membumbung.
Hari itu adalah sejarah. Hari itu kubuktikan kepada dunia, kepada keluarga, juga kepada diriku sendiri bahwa seorang anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, juga bisa kuliah. Aku berhasil mematahkan stigma buruk, bahwa si miskin tidak bisa memperoleh pendidikan yang layak. Ini juga berarti bahwa akulah satu-satunya di keluargaku yang sanggup mengenyam pendidikan sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Merdeka!
"Mak, mak, ujang lulus ma!“(Bu, bu saya lulus bu) Teriakku.
"Lulus? Lulus naon?“ (Lulus? Lulus apa?) Tanya Emak-ku keheranan.
"Ujang katarima kuliah di UNPAD, ujang katarima kuliah di UNPAD mak!“ (Saya diterima di UNPAD, saya diterima kuliah di UNPAD bu!)
Teriakku lagi berulang-ulang sambil mencoba memperlihatkan pengumuman di koran.
Kami lalu spontan berpelukan. Dan yang terjadi setelah itu adalah kami menangis bersama-sama, lammmaaaa sekali. Tapi itu bukan tangis kesedihan. Sebaliknya, itu adalah tangis kebahagiaan. Bahagia atas anugrah tiada terkira yang baru saja kami terima. Malam harinya ketika Bapak pada akhirnya juga mengetahui berita itu, kami mengulangi lagi ritual peluk dan tangis itu dalam pekatnya malam. Sungguh hari itu adalah hari paling membahagiakan yang pernah kami rasakan. Seluruh pahit dan getirnya hidup seolah sirna. Digantikan dengan manisnya suka cita.
Selesai...
Di sore yang lembab sehabis hujan, di bulan kemerdekaan. Sembari melarut dalam kisah masa lalu, yang jadi indah untuk dikenang karena adanya masa kini.
(Rachmat Sonjaya| @insanbasajan)
(Rachmat Sonjaya| @insanbasajan)
Quote:
Epilog :
Lulusnya ane pada seleksi UMPTN pada kesempatan pertama tersebut sekali lagi merupakan salah satu dari sekian sedikit prestasi yang pernah ane torehkan selama hidup. Ane sendiri pun tidak menyangka akan lulus, mengingat persaingan yang begitu ketat dan persiapan yang tidak maksimal. Selain itu kelulusan tersebut menjadi prestasi terbaik karena kebanggaan yang muncul bukan milik ane seorang, tapi milik seluruh keluarga besar ane khususnya kedua orang tua ane. Sejak saat itu keluarga ane seolah mendapat tempat dan mendapat perlakuan berbeda dari masyarakat sekitar. Meskipun secara materi keluarga ane tidak mampu, tapi kalau dalam hal prestasi boleh diadu.
Demikian saja, kurang lebihnya mohon maaf. Semoga dari kisah ini ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Aamiin.
Catatan :
- Kisah ini murni berasal dari kisah hidup ane. Meski pada beberapa bagian ceritanya ada dialog atau plot yang sedikit didramatisir, namun penambahan unsur dramatisasi tersebut tidak mengurangi esensi dari kejadian sebenarnya.
- Soir tidak dilengkapi dengan gambar pendukung, sebab kejadiannya sudah sangat lawas, pertengahan tahun 1999. Sebenarnya dulu ane sengaja simpan potongan koran yang memuat pengumuman kelulusan UMPTN, tapi setelah ane coba cari, hasilnya nihil.
![[Prestasi Pertamax] Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi](https://s.kaskus.id/images/2014/08/18/4747529_20140818110912.png)
Quote:
Point 8 dan 9 :
Spoiler for Bukti Like Fanpage Pertamina:
Spoiler for Bukti Following Twitter Pertamina:
Spoiler for Bukti Share:
![[Prestasi Pertamax] Ujang, dari Sukajadi Menembus Perguruan Tinggi](https://s.kaskus.id/images/2014/08/18/4747529_20140818110912.png)
Diubah oleh ayahzie 19-08-2014 11:15
0
2.5K
Kutip
15
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan